15. Kak Kenan Sendiri

Apa aku bisa tidak peduli pada kehidupan adik-adikku?

Sebelum tidur, aku sudah bertekad macam-macam. Aku akan mengurangi frekuensi menelepon Kefan, siapa tahu dia mulai tidak nyaman diperhatikan mengingat usianya sudah menginjak remaja. Karena akan tinggal di sini, aku akan mulai menjauhi urusan pribadi Kanaya, misalnya dengan siapa dia berpacaran, atau menungguinya di ruang depan sampai dia pulang malam mingguan. Tidak terlalu merecoki Jordan mengenai keberadaan Kenang saat dia susah dihubungi ... dan mulai memercayai bahwa pemuda itu sudah bisa bertanggung jawab sepenuhnya atas hidup dan pilihannya. Soal Kal-el ... ah ... baaimana, ya? Agak susah mengurangi rasa ingin tahuku mengenai tumbuh kembang Karl, tapi aku akan berusaha. Berikan sesuai porsi, dan mulai memikirkan diri sendiri. Tidak mengorek-ngorek perihal rumah tangga Kal-el dan percaya sepenuhnya pada keterangannya.

Aku pasti bisa.

Aku pernah meninggalkan mereka lima tahun lamanya dan ternyata kesibukan bisa menghapus segala kekhawatiranku. Mungkin Kal-el benar, jika aku punya keluarga sendiri, sibuk sendiri, maka aku akan mulai bersikap sewajarnya.

Itu ... sebelum aku pergi tidur semalam.

Kenyataannya, saat aku bangun keesokan paginya, aku sudah marah-marah di ruang cuci pakaian mendapati Kenang mencampur baju dalam dan seprai di kotak baju kotor. Mulai menguliahinya tentang pentingnya menjaga kebersihan saat bepergian ke luar negeri selama lima belas menit penuh. Tidak hanya itu, aku juga mengomel saat Kanaya susah dibangunkan karena mengunci pintu kamarnya. Kemarahanku makin meledak melihat kamarnya menjelma seperti kota yang habis dilanda tsunami dalam semalam.

Maksudku, apa sih yang dilakukannya sampai kamar yang sudah kubersihkan seharian untuk menyambut kehadirannya hancur seolah ada dua puluh orang berkumpul di sana hanya dalam beberapa jam???

Yah begitulah. Pada akhirnya aku tak mampu mengendalikan diri untuk tidak mengomentari hidup mereka. Anehnya, sepanjang omelanku yang seakan tak berujung, Karl sama sekali tidak ketakutan. Dia sibuk dengan almond cookies di tangannya, bergelayut nyaman dalam gendonganku seolah mendengarku marah-marah sudah jadi kebiasaan baginya.

"Sebenarnya Kakak nggak bisa menghakimi hidup seseorang hanya dengan melihat kamar mereka setelah beberapa jam tiba di suatu tempat." Kanaya mendapat celah untuk bicara.

Dia duduk di antara Kenang dan Kefan yang menantiku menyiapkan sarapan. Karl duduk di kursi paling dekat denganku, berusaha menghabiskan cookies dan susu, tapi malah kelihatan seperti sedang menghambur-hamburkannya. Kalau Kal-el tidak selalu berpesan supaya sesekali aku membiarkan anaknya melakukan sesuatu sendiri, sudah sejak tadi aku menyuapinya.

"Paling enggak, kamu bisa sedikit rapi sebagai perempuan!"

"Teman-teman perempuanku jauh lebih berantakan karena mereka sepertinya menyimpan seluruh isi minimarket dalam kopernya." Kenang menimpali. Jelas dia tidak berada di pihakku.

"Nah!" seru Kanaya.

"Tapi biasanya setelah menetap beberapa hari kamar mereka jauh lebih rapi dari kami."

"Nah!" Gantian aku yang berseru sementara Kanaya memaki Kenang karena berbalik menjatuhkan setelah mendukungnya.

Aku menambahi, "Beberapa kali aku berkunjung ke kamar kosmu di Surabaya, aku tidak pernah melihatnya dalam keadaan rapi."

"Itu karena Kakak selalu datang tanpa pemberitahuan!" Kanaya menyahut.

"Itulah tujuannya kunjungan dadakan," kataku kesal. "Kalau kamu hidup dengan baik, bergaul dengan orang-orang baik, selalu memperhatikan kebersihan tempat tinggalmu, kesehatanmu, kamu nggak perlu mengkhawatirkan kunjungan dadakan."

Gadis itu masih tidak terima rupanya, "Kakak kayak nggak pernah muda aja, memangnya kamar Kakak selalu rapi apa? Hidup Kakak selalu baik?"

"Nggak ada yang tahu," bisik Kenang. "Kakak 'kan kerja di Jepang. Siapa juga yang ngasih kunjungan dadakan ke sana? Mamanya Nobita?"

"Sebelum aku kerja di Jepang, akulah yang memperhatikan kebersihan rumah ini!" sergahku, tidak menganggap ocehan Kenang lucu meski semua orang tertawa, tak terkecuali Kefan. "Jadi jangan samakan masa mudaku dengan masa muda kalian."

"Makanya ... mungkin karena itu kami kesulitan bertanggungj awab pada kebersihan diri sendiri." Kenang mengeluh, menyasarkannya padaku. Kanaya langsung mengangguk setuju, Kefan masih sebatas senyam-senyum saja.

"Oke." Aku berkacak pinggang dengan salah satu tangan, "Coba kulihat kalau aku tidak memperhatikan kalian, apa kalian bisa hidup lebih baik, hmm?"

"Masalahnya bukan pada kita ...." Kenang menggumam. "Masalahnya Kakak bisa enggaaak ...."

Aku pura-pura nggak mendengar ucapannya, menahan diri tidak mengomentari tawa-mengejek-tanpa-suara Kanaya yang terlihat dari pantulan kaca kabinet di depanku. Mereka ini benar-benar tidak tahu bagaimana menjaga perasaan orang dewasa yang mulai bertanya-tanya apa sudah membesarkan mereka dengan baik, atau malah sebaliknya.

Untuk mengalihkan pembicaraan, sambil mengangkat sup miso, aku bertanya, "Kalian ada acara apa hari ini?"

"Aku mau tiduran seharian," jawab Kanaya cepat. "Mungkin nanti malam aku mau keluar, ada temenku yang nawarin kerjaan."

"Kerjaan?" ulangku—kerjaan apa yang ditawarin malam-malam?

"Gue pikir lo balik mau nerusin kuliah," timpal Kenang menyuarakan pertanyaanku.

"Iya, tapi gue mau nyambi gawe," ucap Kanaya tenang, mengisi mangkuk setiap orang dengan nasi sembari menantiku meniriskan filet ikan. Aku tak banyak bicara, tapi tetap pasang telinga.

"Lo kerja doang aja nggak becus, pake nyambi kuliah," ejek Kenang tanpa beban. "Salah satu ajalah, emang Papa nggak bilang mau bayarin lo kalo nerusin kuliah?"

Kanaya bertopang dagu, mendengus, "Dibayarin."

"Kalau lo bisa bagi waktu sih nggak masalah, asal lo pegang salah satu sebagai prioritas" Kenang mendekatkan wajah ke telinga saudara kembarnya"cowok lo gimana?"

Aku masih bisa mendengar meski sangat pelan. Mataku menatap kaca kabinet untuk memastikan seperti apa rupa Kanaya saat dia bilang.

"Putus." Pipinya menggembung, tapi tak kuduga dia menatap lurus ke arahku. Mungkin hanya perasaanku, tapi sepertinya barusan manik mata kami bertemu di pantulan kaca. Dengan cepat, aku kembali menunduk.

"Lo balik bukan karena kerjaan atau mau kuliah lagi, kan? Tapi karena putus?" tuduh Kenang.

"Pacar yang mana sih, Kak?" Kefan ikutan bertanya dengan volume rendah.

"Yang gue cerita di Line itu." Kanaya mendesah lagi.

Kefan terdengar menghela napas, "Itu kan baru?"

"Udah jalan empat bulan," sanggah kakak perempuannya.

"Orang mana, sih?" Kenang menyambar.

"Denmark," sebut Kefan. "Yang itu, bukan?"

Kanaya nggak menjawab. Denmark? Bule? Astaga ... mau apaaa dia pacaran sama bule? Tapi untunglah sudah putus.

Jangan salah sangka, bukannya aku rasis atau percaya pada stereotip pacarannya orang barat, tapi punya adik perempuan memang—tidak bisa tidak—membuatku berpikiran ke arah sana. Namun, aku ini laki-laki dan kebetulan tahu rasanya menjadi orang asing saat mengadu nasib di Tokyo. Sebelum mengenal Shizu—atau sesudah kami putus hubungan—lebih mudah bagi pria asing menyambut perasaan gadis setempat. Kami menganggapnya sebagai sesuatu yang sementara, untuk mengisi waktu. Kami bahkan tak terlalu memikirkan kehormatannya sebagai perempuan, yang kami jalani adalah hubungan sama-sama senang. Kalau pada akhirnya aku menjadi sangat serius dengan Shizu, itu karena aku mulai berpikir untuk menetap.

"Jadi lo patah hati, dong?" Kenang menggoda. "Kok muka lo malah kelihatan lebih santai dari sebelumnya, udah punya gebetan baru?"

Masih tak ada jawaban, tapi karena kebetulan semua filet sudah matang, aku bisa melihat sendiri Kanaya menggeleng saat meletakkan gorengan ikan di meja.

"Kakak nggak apa-apa Kanaya pacaran sama orang Denmark?" Kenang memancing.

Aku menatapnya tajam, "I am glad she broke up," kataku pendek.

"Kakak rasis banget sih?" sungut Kanaya.

"Bukannya rasis," sela Kenang. "Kakak akan glad lo break up sama siapa aja."

"Enak aja, terus gue seumur hidup kudu jomlo dong kalau mau bikin Kak Kenan seneng?"

"Jangan konyol." Aku menghardik tanpa membentak. "You always know how to please someone like me. Bawalah pulang cowok yang bertanggung jawab, mapan, baik, mulangin kamu sebelum jam sebelas malam, sesekali bergabung buat sarapan atau maka malam dengan keluarga. Selama dia baik, aku nggak akan keberatan, apalagi menghalang-halangi."

Dengusan yang terembus dari bibir Kanaya malah makin kencang dari sebelumnya, "You make it sounds way more impossible than when it said by other people."

"Tenang aja sih, Kak." Kefan nimbrung dengan senyuman bijaknya yang khas. "Kak Kanaya masih muda, perempuan sekarang mengkhawatirkan karier dan pendidikan, bukan jodoh. Jodoh akan datang sendiri kalau kakak sukses."

"Kata siapaaa?" sahut Kenang dengan cibiran bibir semeter andalannya. "Cewek itu makin sukses malah makin bikin cowok takut. Let's say kita bukan sebagian dari pria-pria di luar sana yang happy-happy aja sama cewek berpendidikan tinggi dan karier bagus, tapi ... denger nih, tapi ... kenyataannya dunia ini masih dipenuhi diskriminasi pada wanita karier, terutama saat nyari jodoh! Semakin perempuan mendapat tempat di dunia yang biasa dikuasai pria, pria-pria patriarkis makin takut, mereka jadi punya kriteria baru buat jodoh mereka, yakni ... bodoh."

"Gue nggak mau jadi bodoh cuman biar bisa masuk ke kriteria cowok macam gitu," sengit Kanaya.

"Of course you won't," kataku tak panjang-panjang. Kubagikan beberapa potong filet ikan di piring kecil mereka masing-masing, kemudian—dibantu Kefan—kusajikan sup miso dan tamagoyaki. "You will not change your true color to fit other people. None of you here will."

Aku suka sekali setiap kalimatku berhasil merangkum obrolan kami dengan cara bijak, sebab aku tak perlu mendengar mereka memuji, aku bisa menyimpulkannya dari bagaimana mereka tersenyum dan menghela napas lega.

Tahu-tahu Kenang menyeletuk, "Gue tahu siapa pria yang masuk dalam kategori cowok ideal Kak Kenan buat lo bawa pulang, Aya!"

Alis Kanaya mengerut, "Siapa?"

Aku juga penasaran, siapa memangnya? Kayaknya dari semua list cowok Kanaya, aku tidak pernah melihat mereka memenuhi kriteria lebih dari sepuluh persen.

"Kefan tahu nggak?"

Kefan menggeleng pelan, sama bingungnya, "Siapa, Kak?"

Kenang tertawa sebelum menyemburkan bualannya, "Kak Kenan sendiri!"

Dasar berandalan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top