14. Under The Same Roof

Ucapan Kal-el terus terngiang-ngiang di telingaku sampai aku kesulitan berkonsentrasi dengan apa pun yang kukerjakan.

Karl bertingkah menggemaskan, tapi untuk tersenyum pun aku sulit. Kenang dan Kefan berusaha mencari tahu setelah menyadari perubahan sikapku, tapi akhirnya diam melihat keseriusanku. Bahkan, saat menemukan Kanaya menanti di depan rumah sambil marah-marah, aku sudah begitu ingin balik mendampratnya, tapi langsung kehilangan semangat saat mengingat ucapan Kal-el.

"Mereka punya urusan masing-masing ...."

"Apa lo nggak ingin punya urusan lo sendiri?"

Kalau bisa, aku juga ingin sekali tak peduli. Untuk apa aku terus mengendus problematika hidup empat orang saudara yang bahkan tak punya pertalian darah denganku kalau aku bisa tidak peduli? Aku punya kekasih, punya pekerjaan, punya seribu alasan untuk mengabaikan mereka kalau aku bisa tak peduli. Kalau aku tidak jatuh cinta pada anaknya yang seperti malaikat, untuk apa aku memaksa menginap di rumahnya setiap akhir pekan? Kalau aku tidak sangat bahagia dengan rumah tangganya dengan Moza, untuk apa aku selalu ingin tahu bagaimana kondisi kesehatan istrinya yang tengah mengandung?

Kalau aku bisa tak peduli, mana mau aku berurusan dengan gadis yang susah diatur seperti Kanaya? Kalau aku tidak menyayangi dan menyayangkan kepintaran Kenang, untuk apa aku mencemaskan keselamatannya bertualang ke mana-mana? Kalau aku bisa menahan rinduku pada si bungsu, aku juga ingin tidur lebih cepat setiap malam dan bukannya menunggunya selesai beraktivitas untuk sekadar mengucapkan selamat tidur lewat panggilan video.

Bagaimana dia bisa mengatakan hal yang begitu menyakitkan seolah aku tak ingin punya kehidupanku sendiri? Jadi aku bukan bagian dari kehidupannya? Aku juga ingin punya anak dan istriku sendiri, tapi apakah dengan begitu Kal-el ingin aku tidak lagi mencampuri urusan mereka? Apa aku sebegitu mengganggu?

Sepanjang sore aku mengurung diri di kamar. Setelah menidurkan Karl, kucoba menghubungi Ruth dan mengajaknya bicara, tapi dia tidak merespons pesan dan panggilanku. Apa aku bahkan tidak cukup berkualitas untuk memiliki keluarga sendiri? Terlepas dari apa yang kulakukan pada Ruth, aku bukan orang yang tak bertanggung jawab, bukan? Aku manusia yang bisa berbuat salah, tapi apa adil aku dihakimi karena satu dua kesalahanku?

Karena tak ingin membangunkan Karl sementara pedih hatiku tak tertahankan, aku memutuskan mandi sore duluan demi mendinginkan kepala. Rupanya aku berendam terlalu lama sampai-sampai Karl terbangun dan menangis meraung-meraung mendapati di sisinya tak ada orang. Aku mencoba mendiamkannya, tapi kalau sudah telanjur menangis, dia sangat sulit dibujuk. Terus memanggil mamanya dengan suara tangis yang memilukan.

Seisi rumah gempar karena tangisan Karl. Satu per satu muka-muka bantal berhamburan keluar dari kamar masing-masing, terusik tidur siangnya.

"Apa dia biasa begini?" Kenang mengembalikan Karl padaku karena tangisnya justru makin kencang saat dia menggendongnya. Kefan mencoba menghibur dengan mainan, tapi Karl malah merebut dan melempar benda itu sampai hancur berantakan.

"Aku belum pernah melihatnya mengamuk," gumamku, merasa aneh.

"Anak kecil memang biasanya nangis kalau bangun tidur. Kakak tinggalin, ya waktu dia kebangun?" tanya Kanaya di sela membuat-buat mimik lucu di depan Karl.

"Lo malah bikin dia takut, Nyet!" cela Kenang, menyingkirkan Kanaya dari hadapan Karl. "Apa kita harus ngasih dia susu?"

"Susu!" pekikku seperti mendapatkan ide. "Ambilkan susu kotak di kulkas."

"Apa dia sudah boleh minum susu kotak?" Kanaya bertanya-tanya, tapi tetap menjalankan perintah.

"Dia sudah empat tahun," gumam Kefan. "Seharusnya sudah boleh."

"Memang sudah boleh!" Aku menyahut susu kotak dari tangan Kanaya. Namun, karena terlalu terburu-buru, aku mengenai tangan gadis itu dan membuatnya menjerit kesakitan. "Maaf, maaf, aku nggak sengaja ...."

"Kalau memang marah, kenapa nggak marah aja kayak biasanya," sungut gadis itu.

"Aku belum mood buat marah," sahutku. "Tapi jangan khawatir, kamu pasti akan dapat jatah marahku kalau itu maumu!"

Kanaya mendecap kesal, mencobloskan ujung tajam sedotan ke kotak susu stroberi di tanganku.

"Cup ... cup ... mimik susu, sayang ... jangan nangis, dong ...," bujukku. Semula Karl menjauhkan kotak susu dari bibirnya, tapi saat Kenang menggodanya dengan pura-pura merebut, dia malah buru-buru menyambar kotak itu dan mulai menyedot hingga tangisnya berhenti.

"Uh ... sayang ... dia kangen mamanya barang kali ...." Kanaya mengelus kepala Karl dengan sayang.

"Jangan ngomong gitu," bisik Kefan di telinga Kanaya sebelum gadis itu bicara macam-macam.

"Tapi Kak Moza nggak apa-apa?" Kanaya balas berbisik.

"Nggak tahu, aku sama Kak Kenang nggak dikasih lihat, Kak Kenan lihat kali." Kefan menunjukku dengan dagunya.

"Dia nggak apa-apa," potongku agak senewen. "Kalian nggak usah khawatir dan nggak usah cemas. Kalau mau jenguk, tanya Kal-el dulu, dan jangan bawa-bawa namaku. Jangan sampai dia mikir aku yang nyuruh kalian datang ke sana!"

Kenang, Kefan, dan Kanaya bergantian saling tatap.

"Tumben." Kanaya mendesis. "Biasanya pasti udah ribut nyuruh kita ngejenguk, kalau perlu bikin tenda di depan rumah sakit."

Kenang tertawa membenarkan ucapan saudara kembarnya. Hanya Kefan yang mencuri pandang kepadaku, mengernyit saat aku tidak membantah sama sekali seperti biasanya. Suasana hatiku masih seburuk sebelumnya, mungkin karena itu juga Karl semakin susah dibujuk. Katanya, anak kecil sangat peka dengan mood sekitarnya.

Aku tidak boleh melibatkan Karl. Jika terus begini, lama-lama dia akan ingat mamanya dan merengek minta pulang. Kal-el akan semakin memandangku rendah kalau sampai aku tak sanggup mengalihkan perhatian Karl dari mamanya. Baiklah, aku harus tersenyum. Anak kecil adalah keahlianku sejak dulu.

Kutinggalkan tiga bersaudara yang mulai asyik mengobrol itu di dapur, kutimang Karl dan kusenandungkan lagu pembuka serial Naruto kesukaannya. Kal-el tidak terlalu suka Karl nonton itu, tapi Moza tidak seketat suaminya dalam soal tontonan anak-anak. Karl berangsur berhenti terisak. Meski bibirnya masih manyun, dia tak berhenti menyedot susu. Menatapku dengan bola mata bulatnya yang berkaca-kaca.

"Kenapa sih kok nangis?" tanyaku.

Namun, malaikat kecilnya Kal-el itu sedang malas bicara. Bola matanya menerawang jauh, lalu saat bibirnya melepas sedotan, hanya satu kata yang dia ucapkan, "Mama ...."

"Mama lagi bobo siang sama Papa," jawabku. "Karl juga bobo, ya? Kalau nangis, nanti mama sedih."

"Papa malah," katanya lucu.

"Iya, papa marrraaah."

Dia cemberut, tapi aku tahu suasana hatinya sudah membaik. Dalam beberapa menit, aku berhasil menidurkannya kembali. Karena cukup berat, aku menidurkannya di sofa, tapi tak berani beranjak dari sisinya. Saat aku pun mulai kembali mengantuk karena kelelahan, dari baris bulu mataku, kulihat Kanaya di ambang pintu.

"Aya ...," panggilku saat gadis itu mengurungkan niat memasuki ruangan. "Duduk sini."

"Kirain Kakak tidur." Dia meringis.

"Ke mana aja kamu semalaman?"

"Aku bisa jelasin baik-baik, Kakak nggak usah marah dulu sama aku," katanya mengambil ancang-ancang. "Kemarin waktu aku bilang sudah berangkat ke Kefan, aku masih beres-beres. Sampai sini udah malam banget, padahal aku bawa banyak barang."

"Are you staying?"

Setelah mengerucutkan bibir, dia mengangguk pelan.

"Apa yang terjadi di Bali? Kenapa kamu nggak pernah balas pesan atau menjawab teleponku akhir-akhir ini?"

Kanaya menghela napas, "Aku capek ngeladenin Kakak berantem," katanya lesu. "Apa aja yang kulakukan selalu salah di mata Kakak."

Mulutku sudah membuka dan siap menyemburnya dengan kemarahan yang sudah kutahan-tahan selama ini, tapi—lagi-lagi—ucapan Kal berkelebat di benakku. Mereka punya urusannya masing-masing. Mereka punya kehidupannya sendiri, kecuali kamu. Mendadak, semuanya buyar. Aku hanya diam, termenung. Sementara Kanaya yang siap menerima omelanku, menatapku aneh.

"Aku ... agak kacau di Bali," kata Kanaya kemudian. "Pekerjaanku tidak memuaskan, aku terus kekurangan uang. Kupikir mendingan aku pulang ajalah, nyari pekerjaan dari sini, kalau sudah ada yang pantas, baru aku pindah ke sana. Lagian ... aku ke Bali bukan karena aku ingin ke sana, aku ke sana karena aku marah."

"Marah? Sama aku?"

"Sama siapa lagi? Kakak udah bikin aku malu, tahu!"

"Ssst!!!" Aku memasang jari telunjuk di bibir Kanaya, kemudian berpaling untuk mengecek apakah tidur Karl terusik atau tidak. Ternyata tidak.

Saat kembali menghadapi wajah adik perempuanku, aku terkejut mendapati kedua bola matanya membulat. Bibirnya menganga kecil, menempel di jari yang kupakai untuk membungkam mulutnya. Kenapa mukanya merah padam begitu? Ini bukan kali pertama aku memotong atau menghardik tingkahnya yang suka berlebihan. Jangan bilang dia tersinggung, kenapa gadis-gadis begitu mudah tersinggung?

"Aku minta maaf," ucapku sambil melepas bibirnya. "Aku belum minta maaf secara pantas ke kamu, Aya. Kadang aku suka lupa kalau kamu sudah dewasa, kamu punya hak-hakmu sebagai perempuan dewasa. Aku terlalu lama menganggapmu sebagai anak-anak dan nggak kunjung siap melihatmu memiliki kehidupanmu sendiri. Kamu boleh melakukan apa pun, asal bertanggung jawab. Kalian ..."—berat bagiku mengucapkan ini—"punya kehidupan dan urusan kalian masing-masing."

"Eh?"

"Aku tidak boleh ikut campur," imbuhku. Sesudah mengatakannya, aku menepuk pipi Kanaya dan membuat bibirnya yang melongo menutup kembali.

"Kakak ... nggak habis salah makan, kan?" Kanaya menyongsong wajahku dengan wajahnya, sampai harus menarik kepalaku beberapa senti hingga terbenam dalam sandaran sofa. "Aku sudah nyiapin jawaban yang kususun semalaman lho kalau Kakak ngajak berantem lagi."

Aku menyentil hidung mancungnya, "Mulai sekarang ... aku nggak akan terlalu ikut campur dengan urusan kalian. Silakan berbuat sesuka hati."

Saat aku berkata begitu, Kenang dan Kefan yang baru masuk ruang tengah dengan secangkir teh di tangan masing-masing mematung.

Ya. Aku harus bisa membiasakan diri tanpa terlalu peduli pada kehidupan adik-adikku. Aku pasti bisa. Kalau mereka menganggapku hanya mencampuri urusan mereka, aku akan menjauh dan mulai menata hidupku sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top