11. Suster Nindi
Sudah sampai Jakarta semalam, tapi sampai keesokan harinya anak itu belum muncul juga di rumah. Ke mana dia ini sebenarnya?
"Palingan juga nginep di tempat temennya." Kenang berucap santai sambil menyeduh kopi hitam. Sejak usianya menginjak tujuh belas, aku sudah berhenti membuatkannya susu. Dia bilang dia sudah cukup dewasa untuk menentukan makanan apa yang boleh masuk perutnya dan tidak.
Aku nggak cemas tanpa alasan, kan? Paling tidak Kanaya harusnya bisa memberi tahu salah satu dari kami, apa yang menghambatnya kalau sudah sampai Jakarta, tapi nggak langsung ke rumah. Karena tahu Kenang akan berkata demikian, aku memilih diam sambil nyuapin Karl yang bangun-bangun langsung kelaparan. Sambil nonton film kartun kesayangannya, dia duduk tenang, buka tutup mulut mengikuti datangnya suapan.
Melihatku menekuk wajah, Kenang menambahi, "Nggak usah cemas berlebihanlah, dia udah gede."
Bertepatan dengan berakhirnya kalimat itu, Kefan muncul di ambang pintu. Mungkin merasa atmosfernya agak tegang di ruang makan, alisnya terangkat seolah bertanya ada apa. Aku hanya mendengus sambil buang muka. Dia mendekati Kenang, meracik kopi susu.
"Sejak kapan lo minum kopi?" celetuk Kenang, yang bikin aku menoleh seketika.
Kefan menyenggol bahunya.
"Gue aja masih minum susu sampai umur tujuh belas." Kakaknya menyindirku, tapi aku melengos, sedang malas berdebat.
"Aku kadang harus belajar sampai larut." Kefan membela diri.
"Nggak adil nih, namanya," sungut Kenang main-main. Lalu bertanya sambil menghirup aroma kopi, "Lo nggak dihubungi sama Kanaya?"
"Nggak, aku langsung tidur semalam. Nggak langsung ngecek hape."
"Anak muda macam apa yang nggak ngecek hape sebangun tidur?" Kenang mengeluarkan ponselnya sendiri, mengutak-atik lalu meletakkannya di meja. "Kanaya kalau udah sama Kak Kenan bawaannya cari-cari perhatiaaan aja. Dikira enak ngadepin orang cemberut terus. Datang jauh-jauh, cuman disuruh lihat orang ngomel."
"Kak Kanaya masih marah, ya?" Kefan bergabung di meja makan.
"Taulah, lebay dia kalo gue pikir-pikir. Bagus dia dipecat dari kantor lamanya, mau ngapain dia buang-buang waktu di sana."
"Di Bali dia kerja apa, sih?"
"Nggak usah mulai," hardik Kenang, sengaja menghadap Kefan seolah hanya bicara padanya, padahal dia tahu aku bisa mendengar. "Mau bikin orang uring-uringan seharian?"
Kefan meringis, sementara aku makin kesal.
Nggak seorang pun tahu sebenarnya Kanaya kerja apa di Bali. Dia bilang kerja di bisnis perhotelan, tapi nggak pernah nyebutin hotel apa tepatnya. Dan sepertinya selain aku, nggak ada yang terlalu ambil pusing apa dia beneran kerja, atau Jordan sebenarnya menyokong hidupnya secara diam-diam.
"By the way ... Kakak mau ketemu Suster Nindi hari ini?" tanya Kefan, saat menerima dua keping toast beroles pasta cokelat dariku.
Aku hanya mengangguk membenarkan.
"Suster Nindi siapa?" sahut Kenang antusias. "Cantik nggak?"
"Kakak bukannya udah punya pacar?" Kefan menggoda. "Cewek yang siapa tuh namanya? Yang bibirnya ada tindiknya dan suka kakak ajak di video."
"Reva?" sebut Kenang, aku langsung pasang kuping dan mengembus napas lega saat Kenang memajukan bibir bawahnya sebagai ganti gelengan kepala. "Cuma temen aja, tapi dia memang udah confess sih ke gue."
"Kakak bilang apa?"
"Nanas." Kenang mendorong dua keping roti tawar untukku. Waktu aku memelototinya, dia malah menyengir lebar. "Gue bilang nggak usah buru-buru suka, lihat-lihat dulu dari dekat. Biasanya yang asyik jadi sahabat belum tentu enak jadi pacar. Lagian ... dia bukan tipe gue."
Bukan tipenya? Benar, kan? Dia suka gadis manis seperti pacar lamanya yang sakit itu. Aku mengoles selai nanas banyak-banyak karena puas dengan jawaban Kenang.
"Kakak udah bisa move on kan dari Kak Tori?"
Oh iya Tori namanya. Kefan benar-benar luar biasa ingatannya.
Mendengar nama itu disebut, Kenang terperenyak sekilas lantas mengacak rambut si bungsu, "Udah dong, inget aja lo nama mantan gue, dasar tukang nguping. Bukan karena Tori, gue memang lagi nggak pengin pacaran."
"Lagi nggak pengin pacaran atau belum ada yang dipengenin buat dipacarin?"
"Nah itu dia!" seru Kenang, menjentikkan jari tepat di depan hidung Kefan. "Pinter! Lo sendiri gimana? Ada pacar?"
Kepala Kefan menggeleng, lalu menunduk malu-malu. Aku ikut senyum-senyum melihat wajahnya memerah diserang balik sama Kenang.
"Sekolah lo ada ceweknya, kan?" Kenang bertanya lagi dengan mulut penuh roti. "Lo nggak homo, kan?"
Aku sontak menyambar serbet makan Karl dan menyabetkannya ke kepala Kenang. Kenang mengaduh, "Aku kan cuma nanya, Kak!"
"Pertanyaanmu pertanyaan goblok!" bentakku, lalu menutup mulut secara refleks, baru nyadar Karl dari tadi masih melongo setelah serbet makannya kualihfungsikan sebagai alat pukul. Cepat-cepat aku menutup kedua telinganya, seolah dengan begitu bisa mencegahnya mencerna kata makianku barusan.
"Ish kakak ada Karl kok ngomongnya kayak gitu?" Kenang menjulurkan lidah, menikmati kepanikanku, sementara Kefan ikut tertawa terbahak-bahak. "Kalau dia pulang bawa kosakata baru kayak gitu, kakak bisa dibunuh sama Kak Kal!"
"Kalau sampai itu terjadi, aku tinggal bilang dia denger dari kamu! Dia pasti lebih percaya."
"Kalau Kakak mau ketemu sama Suster Nindi, aku ikut, yah?" pinta Kefan usai kami selesai saling lempar siapa yang akan dibunuh Kal-el kalau sampai benar itu terjadi.
"Aku juga ikut, ya?" imbuh Kenang.
"Kamu nggak cape? Aku paling bentar aja, kok. Ngambil barang kakek, terus balik masak makan malam. Siangnya nanti kamu delivery aja."
"Bosen, ah ...."
"Takutnya Kanaya pulang nggak ada orang di rumah."
"Bodo amat. Salah sendiri nggak langsung balik, biar rasa nunggu di depan pintu."
"Iya kalo Kak Kanaya mau nunggu, kalau malah cabut lagi?"
"Pokoknya aku ikut! Mau mampir ke rumah Kak Kal juga, mau lihat Kak Moza. Kak Moza kalau hamil tambah seksi."
"Kayaknya bener Kak Kenan," Kefa menyeletuk—lebih dulu melindungi puncak kepalanya saat melanjutkan—"Kak Kal-el bakal lebih percaya kalau yang ngajarin kata jelek ke Karl itu Kak Kenang."
Kenang kembali menyambar serbet makan Karl, menyabetkannya ke lengan Kefan yang terbuka. "Enak aja lo, bontot!"
Jadilah Kefan dan Kenang bersiap-siap ikut denganku ke rumah sakit untuk menemui Suster Nindi. Aku membuat janji di kantin pengunjung sebab tidak memungkinkan bagi kami menemuinya di tempat kerja karena anak di bawah tujuh tahun dilarang memasuki kawasan pasien. Sementara menanti sambil melayani keceriwisan Karl, Kenang dan Kefan memutuskan memanfaatkan waktu untuk mengunjungi ruang praktik Kal-el di gedung terpisah.
Tidak lama menanti, suster cantik yang merangkap seragam kerjanya dengan kardigan mungil berwarna toska itu muncul. Senyumnya mengembang sebagai ganti balasan lambaian tanganku, tangannya sendiri sibuk membawa bungkusan dan dompet. Aku memang sudah lama curiga tiap mata kami tak sengaja beradu, tapi aku tidak menyangka dia berbuat sejauh mengembalikan barang pada keluarga pasien meninggal secara pribadi. Meski demikian, aku nggak mau besar kepala. Dia sepertinya tahu aku punya pacar karena pernah memergokiku mengecup pipi Ruth selesai membesuk Kakek.
Aku mengintip isi bungkusan yang dia serahkan. "Sebenarnya suster tak perlu repot-repot," kataku sungguh-sungguh. Isinya benar-benar barang yang memang sengaja kutinggal.
Lesung pipit menghiasi pipinya, "Tak apa. Saya cukup sering bicara dengan Pak Adjie, saya pikir Bapak ingin menyimpannya."
"Panggil Kenan saja, Suster," pintaku sopan. "Karl, Salim dong sama Suster Nindi. Suster, ini Karl—"
"Putranya dokter Kal-el, ya?" potong Suster Nindi manis, mengelus pipi gembul Karl dan menyambut uluran tangannya. "Manis sekali, dekat ya sama pamannya?"
"Sustel itu apa?" bisik Karl dengan suara yang bisa didengar Nindi.
"Suster itu teman kerja Papa."
"Obatin olang cakit?"
Aku baru akan mengangguk, tapi Suster Nindi mendahului, "Suster membantu dokter merawat orang sakit, Karl. Bantuin papanya Karl jagain pasien."
"Kapa haus dijaga?" tanya Karl polos.
"Karena orang sakit nggak bisa jaga diri sendiri," jawabku sambil memberi isyarat permisi pada Nindi. "Orang sakit kan nggak bisa makan, nggak bisa pasang infus sendiri. Suster yang bantuin."
Dia nggak mau berhenti nanya, "Infus itu apa?"
"Infus itu makanan buat orang sakit," jawabku sekenanya.
"Kal makan bubul kalo sakit, infus itu bubul?"
"Yah ... semacam itulah. Infus untuk yang sakitnya lebih parah. Kalau cuma pilek, nggak diinfus."
"Cepelti Kakek?"
"Ya. Seperti Kakek."
"Kalo meninggal cepelti Kakek lalu pelgi ke sulga, Kakek makan juga, nggak?"
Astaga .... "Masih."
"Makan infus juga?"
Aku mengelus rambut Karl, antara gemas dan malu pada suster karena di saat seperti ini tidak bisa memunculkan ide untuk menutup mulutnya yang ceriwis bukan main. Saat aku mulai putus asa, Suster Nindi duduk manis di depan Karl.
"Di surga Kakek bisa makan apa saja yang dia inginkan, Karl. Selalu sehat, tidak perlu makan dari infus seperti orang sakit," katanya lembut.
Karl terdiam, tidak lagi mengajukan pertanyaan. Aku mengucap terima kasih tanpa suara.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top