1. Super Brother
"Om Kenan cudah tuwa!"
Mataku membelalak kaget. Kasir Sevel yang menerima uangku sontak menahan geli. Aku hanya bisa melongo mendengar Karl berteriak lantang dengan tiba-tiba.
Harus kuakui, meski perangainya ceria—jauh dari sifat ayahnya yang pendiam—Karl memang mewarisi kecerdasan dan keberanian Kal-el. Sering kali aku dibuatnya terkejut dengan hal-hal baru yang dia ketahui atau ucapkan.
Usianya baru empat tahun, tetapi kosakatanya sudah kaya, nalarnya sudah nyambung diajak ngobrol. Dia juga cakap membaca kata sederhana dan menulis. Dia bilang hobinya menggambar dan menyanyi. Tak mau jadi dokter seperti ayah, katanya. Dia mau jadi tentara atau Kapten Amerika. Sewaktu kami mentertawakannya, dia meralat dengan mengatakan ingin jadi Kapten Jakarta karena kami tinggal di Jakarta. Tapi akan berteman dengan Kapten Amerika.
Lucu sekali, bukan?
Aku sudah menganggapnya seperti anakku sendiri. Dia memang anakku sendiri. Anak Kal-el berarti anakku juga.
Sekarang Moza sedang menunggu anak kedua. Menurut hasil USG jenis kelaminnya lelaki lagi. Kal yang memberitahuku, Moza sendiri tak mau tahu jenis kelamin jabang bayinya. Dia ingin kejutan saja. Kami sudah menyarankan supaya Kal-el memberi tahu Moza kalau bakal bayinya bukan perempuan seperti harapan kuat sang ibu.
Moza ingin anak perempuan, keluh Kal-el tiap kali mereka membeli perlengkapan bayi baru berwarna pink dan salem. Dia tidak tega menghancurkan harapan orang yang sangat dicintainya, toh kalaupun nanti dia tahu laki-laki, mereka masih bisa memakai ulang perlengkapan bayi Karl dulu. Namun, Moza nggak akan berhenti sampai mereka mendapat bayi perempuan.
"Om belum tua, ah." Aku pura-pura menggerutu.
"Om udah tua, lambut putih sepelti kakek!" kekeh Karl sambil mengemut lolipop strawberry kegemarannya.
"Mana?"
"Itcuuuhhh!" tunjuknya ke arah kepalaku.
Masa sudah ada uban di rambutku? Dengan panik, aku menyingkirkan tubuh kasir Sevel ke samping supaya aku bisa berkaca di cermin yang dipasang di balik etalase rokok. Terlalu jauh, aku tidak melihat apa pun.
"Ada ubannya ya, Mbak?" tanyaku.
"Permisi ya, Pak?" katanya sambil nyengir.
Aku mengizinkannya menyingkap rambut bagian depanku, kemudian dua jarinya menjepit sehelai rambut. "Cabut, Mbak," suruhku penasaran.
Hati-hati tanpa menyakitiku, jari lentik penjaga kasir itu mencabut sehelai rambut yang ditariknya. Aku membuka telapak tangan, menantinya meletakkan temuan tadi di sana.
"Cuma sehelai, kok," ucapnya.
Astaga ... benar-benar uban.
"Nggak ada lagi, ya?"
Dia menyingkap sisi rambutku yang lain, tapi dengan cepat berhenti saat pintu toko membuka untuk seorang pelanggan baru masuk.
"Sepertinya nggak ada, Pak. Cuma satu tadi saja. Itu biasa terjadi kalau sudah masuk usia empat puluhan."
Empat puluh?
Sialan. Dalam hati aku menggerutu. Aku baru awal tiga puluhan, empat puluh dari mana?
Jengkel, aku mengambil semua kembalianku sampai keping terakhir dan menggendong Karl ke mobil.
"Sekalang udah ganteng agi, Ooom!" Dia mengacungkan jempol. He's emotionally smart, mungkin dia bahkan tahu aku bete dikatai tua.
"Ya ... kan Om memang ganteng!" seruku.
Memang masih ganteng, aku melirik kaca spion untuk meyakinkan diri. Ganteng, tapi kusam dan kuyu.
Tak jarang, aku kurang percaya diri saat menatap wajahku di cermin. Ke mana masa muda itu pergi? Dalam beberapa bulan yang teramat singkat, aku menua beberapa tahun lebih cepat. Pekerjaan, kesepian, pertengkaran beruntun dengan Ruth karena tidak bisa memenuhi tuntutannya meluangkan waktu untuk rencana masa depan kami, juga kesehatan kakek yang memburuk membuatku letih.
Kadang aku menelepon Kefan untuk melipur lara.
Hanya dia yang masih punya waktu mengangkat telepon dan agak bermanja-manja. Suaranya sudah berubah, kadang aku harus memastikan berkali-kali bahwa itu dia. Sayangnya, dia sudah tidak pernah bilang kangen seperti dulu lagi. Tapi tak apa, sebentar lagi liburan semester, dia bilang akan pulang dan menghabiskan liburan di Jakarta. Aku sudah membersihkan kamarnya dan Kenang, siapa tahu kamar lamanya sudah terlalu sempit untuk pemuda yang beranjak dewasa.
Hubunganku dan Kenang seperti hubungan orang tua dan anaknya yang sudah punya kehidupan sendiri. Makin hari, dia makin sulit dihubungi karena terus berpindah tempat. Kadang dia berada di tempat terpencil atau terlalu sibuk sehingga tak memungkinkan untuk dihubungi. Paling-paling kami hanya bisa bertukar kabar tentang keberadaannya, atau menanyakan keadaanku yang selalu kujawab sedemikan rupa agar dia tidak berpikiran macam-macam. Beberapa menit Skype saat dia mendapat sinyal di Tibet, atau tahu-tahu di Chiang Mai saja aku sudah bersyukur. Paling tidak dia baik-baik saja. Lagi pula Jordan bersamanya.
Jangan tanya mengenai Kanaya.
Gadis remaja yang dulu begitu terbuka kepadaku sudah lenyap tak berbekas sejak aku memarahinya tahun lalu mengenai hubungannya yang terlalu jauh dengan sang kekasih. Aku sedang ada urusan di Surabaya waktu itu dan memutuskan memberi kunjungan kejutan ketika menemukannya sedang bercumbu di hunian mahasiswi dekat kampusnya. Aku murka, tetapi dia justru lebih marah karena menurutnya aku sudah membuatnya malu.
Pantas dia tidak segera kembali ke Jakarta setelah lulus.
Aku berharap dia pulang dan melanjutkan S2 di Jakarta, atau di luar negeri sekalian biar aku nggak lihat kelakuannya, tapi dia bilang mau mencoba mencari pekerjaan dulu. Aku sangat menghargai keinginannya untuk mandiri, meski dia hanya bekerja di kantor kecil dengan penghasilan pas-pasan. Namun, tak kusangka kehidupannya begitu bebas di sana.
Ketika aku menyeretnya pulang dan menyebabkannya kehilangan pekerjaan karena membolos, dia malah kabur dan menetap di Bali. Kal-el dan Moza melarangku menyusul, bagaimanapun juga, dia sudah cukup umur untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Aku tidak bisa menggunakan alasan finansial, kenyataannya Jordan memberinya cukup uang.
Aku mulai menyalakan mesin mobil sesudah membersihkan sekitar mulut Karl dengan tisu basah.
"Jangan bilang mama, ya, kalau Om traktir makan permen."
"Om juga jangan bilang mama ya kalo aku mam pelmen."
"Beres, bos!"
"Oke, booos!" gelaknya lucu.
Aku memang selalu suka anak-anak. Beberapa waktu sebelum Kal-el pindah ke rumah baru, yang kurindukan setiap pergi kerja adalah bayinya yang lucu. Dia mengingatkanku pada Kefan kecil. Seiring bertumbuhnya, aku makin jatuh hati. Aku bahkan memohon supaya Kal-el tidak buru-buru pindah, tapi aku tak kuasa menghalanginya.
Memangnya sejak kapan aku bisa menghalangi Kal?
Telepon berdering sebelum aku menjalankan mobil. Nama Kal tertera di layar ponsel.
"Lo bawa anak gue ke kantor?" serbunya tanpa basa-basi.
Aku membela diri, "Emaknya ngasih, kok."
"Moza bilang lo nggak ngomong kalau mau ke kantor!" katanya.
"Aku cuma ngantor sebentar buat tanda tangan ini itu. Dia juga nggak nakal. Aku kangen. Sebulan ini aku nggak kamu kasih nemuin dia!"
"Ya lo-nya juga nggak pernah keluar dari rumah sakit!"
"Ya udah, ntar gue balikin sebelum sore. Santai aja. Ada baby seat di mobilku, kok. Kakek nggak apa-apa, kan? Dia tidur atau bangun?"
"Tidur," jawab Kal cepat. "Jangan lo kasih makan aneh-aneh, ya! Dia baru sembuh batuknya."
Huh? Aku melirik Karl di sampingku. Dasar penipu cilik. Waktu kutanya dia lagi batuk apa enggak, dia bilang enggak, makanya aku berani beliin Chupa Chups.
"Ken!" hardik Kal-el, sampai pengang telingaku.
"Iya. Enggak."
"Jangan-jangan udah lo kasih es krim?!"
"Enggak ... tanyain aja ntar bocahnya."
"Alaaah! Kayak gue nggak tahu aja dia pinter boong kalau soal eskrim sama permen. Awas lho ntar kalo batuk lagi, Moza ngamuknya ke gue, bukan ke elo!"
"Iya, iya, bawel. Aku udah mau jalan, nih. Aku tutup, ya—"
Dia malah nutup telepon duluan. Haaah ... ya ampun ... kayaknya selain aku, cuma Kal yang nggak berubah sekeluarga ini. Juga Jordan, sih. Masih sama seenaknya kayak dulu mereka berdua itu. Apa karena kami sudah tua, ya, makanya sudah nggak ada yang bisa diubah dari kami.
"Baiklah, Karl. Sekali lagi. Jangan bilang mama dan PAPA—"
"Papa juga?"
"Iya! Papa juga! Kalau Karl bilang, nanti Om nggak ada lagi beliin es krim sama permen. Ngerti?"
"Beeeles Booos!"
Tawaku meledak mendengarnya, Karl ikut tertawa saat aku mengacak rambut tebalnya yang persis milik Kal-el. Anak ini benar-benar mewujudkan impianku untuk merawat Kal-el bayi. Waktu papanya masih bayi, aku masih terlalu kecil untuk memliki perasaan seperti orangtua terhadap anak. Karl seperti cerminan masa lalu ketiga saudara lelakiku. Saat satu per satu menjauh, dia hadir menggantikan mereka, meski aku tak mungkin melibatkan diri terlalu jauh pada tumbuh kembangnya. Kal sangat protektif, kadang jauh lebih galak daripada Moza.
Telepon berdering lagi.
"Astaga, Kal. Aku baru aja keluar parkiran. Kenapa lagi, sih?"
"Ken, mending lo balik ke rumah sakit."
"Ya habis aku nyampe kantor, ngurus ini itu bentar, aku balikin anakmu ke mamanya."
"Ke rumah sakit, Ken. Sekarang."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top