Twenty Two
R E T U R N
Cerita ini masih lanjutan dari yang cerita kemarin ya. Karena kalian banyak yang nangis karena Katsukinya 'mati' jadi kuputuskan untuk ngelanjutin ceritanya. Happy reading!!
[Name] sudah mendapatkan informasi bahwa pasukan penyergap masih berada di sekitar perbatasan. Kerajaan seberang tengah memulihkan diri sebelum pulang ke Ibu kota. Ia tidak membuang waktu, segera setelah mengetahui berita ini ia langsung memberi komando pada ketiga Jenderal Bakugou untuk menggerakkan pasukan.
Ia tidak mengindahkan usulan teman-temannya untuk tidak lagi berperang dengan alasan perang hanya akan membawa luka lebih dalam. [Name] tahu, perang ini hanya akan terus mengingatkannya pada Bakugou, ditambah lagi akan ada prajuritnya yang terluka karena perang. Namun, bayangan tentang Bakugou jika pria itu berada di posisinya. Tentu saja, Bakugou akan mengamuk dan membunuh pelakunya, tidak sampai situ mungkin saja Bakugou akan menghancurkan siapapun yang menghalangi jalannya. Apapun agar dendamnya terbalaskan, dan itulah yang akan [Name] lakukan.
Perang ini akan terjadi di daerah pegunungan yang sama yang membunuh Bakugou. Pasukan yang dipimpin Kaminari akan memaksa prajurit musuh untuk mundur hingga memasuki daerah tebing yang curam dan disanalah [Name] berniat melaksanakan strateginya. Pasukan Kirishima dan Sero akan mengepung musuh hingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain terjun dari tebing atau tajamnya pedang pasukannyalah yang akan mereka rasakan. Ditambah dengan keberadaan Midoriya dan pasukannya, kali ini ia akan membawa kemenangan yang mutlak.
Tidak ada yang protes saat [Name] memaparkan strateginya, Kirishima bahkan berkata bahwa taktik [Name] sangat mirip dengan Bakugou. [Name] hanya menanggapi dengan tersenyum. Wajar saja, Bakugou-lah yang mengajarinya tentang perang, bermain pedang bahkan menunggangi naganya. Karena Bakugou, ia bisa berdiri sebagai pemimpin utama pasukan kerajaan dan tidak ada yang keberatan dengan hal itu.
“[Name]-sama, istirahatlah dulu,” [Name] menoleh pada seseorang yang memasuki tendanya. “Kau sudah tidak tidur selama tiga hari.”
Bibirnya mengulas senyum tipis. “Jangan terlalu formal saat hanya ada kita berdua, Kirishima.”
Kirishima membalas senyumnya. “Kalau begitu, [Name] sebagai teman kukatakan kau harus istirahat. Kau akan tumbang jika seperti ini terus.”
[Name] menghela napas panjang. Ia mendudukkan diri di ranjang dalam hati menyetujui ucapan Kirishima. Ia tahu hanya tidur satu sampai dua jam sehari bukanlah rutinitas yang baik, tapi ia benar-benar tidak bisa memejamkan mata lebih dari itu atau sosok Bakugou akan muncul. Saat ini, [Name] tidak bisa teringat oleh suaminya atau dinding emosi yang sudah berhasil ia bangun akan runtuh.
“Aku tidak bisa,” geleng [Name]. “Sudah kucoba, tapi tetap tidak bisa. Bayangannya akan muncul. Kenangan bersamanya masih menghantuiku, Kirishima.”
Kirishima berjalan mendekati [Name]. Ia berlutut di hadapan wanita yang kini terlihat seperti wanita yang rapuh daripada sosok yang memimpin kerajaan. Jemarinya meraih tangan kiri [Name] lalu mencium cincin pernikahan [Name].
“Aku sudah bersamamu dan Bakugou sejak masih remaja. Aku sudah bersumpah kesetiaan dan hidupku hanya untuk melayanimu dan Bakugou, jadi aku tahu seberapa besar cinta Bakugou padamu,” Kirishima mendongak beradu tatap dengan [Name]. “Apa yang kaulakukan saat inilah tidak sehat. Tidak hanya aku, semua yang mengenalmu khawatir dengan keadaanmu, [Name]. Dan aku yakin Bakugou pasti benci saat melihat keadaanmu sekarang.”
Napasnya tercekat, tidak menyangka Kirishima akan berkata seperti itu. [Name] memejamkan mata, menghalau air mata yang akan tumpah. Ucapan Kirishima mengingatkannya lagi akan kenangan yang berusaha ia kubur dalam-dalam.
“Kumohon, biarkan dirimu istirahat,” kata Kirishima. “Aku sudah meminta Uraraka untuk membuat ramuan yang dapat membantumu tidur.”
“Aku akan berusaha,” balas [Name] dengan senyum paksa.
[Name] dan Kirishima kompak menoleh saat seseorang menyibak tenda [Name]. Kali ini senyum [Name] jauh lebih tulus mendapati kepala Midoriya yang menyembul dari balik tirai.
“[Name]-chan? Aku membawa ramuan dari Uraraka-san.”
“Kau boleh masuk Midoriya-kun,” sahut [Name].
Midoriya melangkah lebih dekat dan memberikan ampule berisi cairan berwarna putih. “Ramuan ini setidaknya mampu membantumu tertidur setidaknya untuk tiga sampai empat jam ke depan.”
[Name] mengambil ampule itu dengan senyum terima kasih. Ia sudah tidak sabar untuk segera tidur dan melepaskan diri dari kedukaannya walau hanya beberapa jam. Segera setelah [Name] menelannya, ia merasakan tangan familiar mengusak rambutnya.
“Beristirahatlah [Name]-chan. Kacchan pasti menginginkan yang terbaik untukmu.”
[Name] mengangguk kecil, lalu berbaring seraya memeluk jubah Bakugou. Ia merasakan ketegangan dalam tubuhnya berkurang. Ia menyadari Kirishima dan Midoriya meninggalkan tendanya sembari berdiskusi tentang pengeksekusian taktik mereka. Ia masih sempat mendengar Midoriya berkata bahwa ia yang akan menerima kabar sebagai perwakilan [Name] saat ia tertidur.
Katsuki ... mungkin aku akan memimpikanmu.
***
Keributan membangunkan [Name]. Di suatu tempat di sekitar tendanya terdengar seseorang berseru. Kemudian langkah kaki yang berlari-lari. Suara-suara itu mengusik [Name] dari tidurnya yang nyenyak.
“Bagaimana bisa ... ” [Name] mendengar Kirishima berseru, suaranya sangat melengking.
“Tidak bisa dipercaya!”
Yang itu [Name] ingat adalah suara Kaminari. Apa mereka tidak bisa bicara pelan-pelan?
Kemudian terdengar teriakan memekakkan telinga yang terdengar seperti Midoriya atau Mina? Entahlah. [Name] menarik jubah Bakugou ke atas kepala. Bahkan tindakan sepele itu mampu membuat [Name] kelelahan. Jika bisa, ia ingin sekali membungkam mereka semua. Ini adalah tidur nyenyak pertama yang ia dapatkan setelah berhari-hari, apa mereka tidak bisa pengertian sedikit?
Terdengar suara Kirishima yang berlari sambil menyerukan sesuatu kemudian ia mendengar sesuatu jatuh ke lantai. Mungkin ia sedang bercanda dengan Kaminari dan salah satu dari mereka terjatuh? Tapi tetap saja tidak menjelaskan seruannya.
“Kau pasti bercanda.”
Sekarang ada serangkaian suara yang tak terkendali. Sejumlah barang terjatuh dan ada suara tirai tersibak. Dari sekian banyak suara, satu nama berhasil sampai ke otak [Name] dan membuatnya terguling dari ranjangnya.
“Bakugou-sama!”
“Kacchan!”
“... harus bertemu dengan istriku,” hanya itu yang ia dengar sebelum [Name] mulai berteriak, berjalan terhuyung ke atas meja dengan pandangan yang tidak fokus. Segalanya terlihat berbayang, sehingga sosok yang berjalan ke arahnya lebih terlihat seperti hantu daripada seorang pria.
Ada lengan yang memeluknya dengan sangat kuat, menekan tubuh [Name] ke tubuhnya dengan sangat hingga keduanya terjatuh ke lantai. Wajahnya menempel ke samping leher yang bergetar oleh suara serak yang sangat ia kenal.
“... sangat merindukanmu, [Name]. Aku mencintaimu...”
Ini pasti mimpi, hanya itu yang terlintas dalam benak [Name]. Aku akan sangat berterima kasih pada Uraraka dari lubuk hatiku yang terdalam atas kesempatan palsu untuk bisa memeluk Katsuki lagi.
“Kau sudah mati,” tukas [Name]. “Aku sungguh berharap kau benar-benar ada di sini.”
“Tinggalkan aku berdua dengannya. Kalian semua, kumohon, beri aku waktu sebentar Kirishima.”
Sesuatu dibisikkan Bakugou di telinga Kirishima, mungkin perintah untuk menenangkan pasukan, entahlah. [Name] tidak dapat mendengar apa yang dikatakan oleh Bakugou. Kirishima mengangguk sekali dan menepuk bahu Bakugou.
“Apa pun, Bakugou.”
“Kumohon, jangan bangunkan aku,” pinta [Name] lirih. Ia takut jika seseorang akan membangunkannya dari mimpi indah ini. [Name] memeluk sosok yang terasa nyata itu seraya memejamkan mata. “Sebentar lagi.”
“Kau tidak sedang bermimpi, idiot,” Astaga, ciuman yang Bakugou layangkan pada pipi dan kening [Name] membuat hatinya hancur. “Aku ada di sini.”
“Mereka melihatmu mati, d-dan jasadmu tidak ditemukan, kau tidak mungkin nya-nyata,” realita dan kebingungan bercampur menjadi satu, ditambah dengan efek ramuan dan syok.
Bakugou menggendongnya ke ranjang lalu menempelkan tepi gelas ke bibirnya. “Ini dulu, baru bicara.”
Dengan setiap tegukan air yang ia telan, kabut akibat ramuan yang ia konsumsi mulai terangkat hingga [Name] bisa melihat dengan jelas Bakugou yang tengah berlutut di depannya. Tangan [Name] bergetar saat ia mengulurkannya untuk menyentuh Bakugou, sangat takut bahwa ini hanya ilusi yang diciptakan oleh mimpinya.
Bakugou menangkap tangan [Name] dan meremasnya. Bibirnya meraih tiap jengkal punggung tangan [Name].
“Apa kau benar-benar hidup?”
[Name] tidak bisa menghilangkan ketakutannya bahwa Bakugou di hadapannya saat ini hanyalah fatamorgana. Bagaimana jika ia percaya, tapi kemudian ia terbangun dan mendapati bahwa semua hanyalah mimpi? [Name] tidak sanggup menanggungnya. Ia akan menjadi gila.
Dalam keputusasaannya, ia menyambar gelas yang berada dalam genggaman Bakugou lalu memecahkannya. Ia mengambil salah satu pecahan gelas dan menikamkannya ke kaki. Bakugou menariknya dengan terkejut.
“Bodoh, apa yang kau lakukan?”
Rasa sakit yang berdenyut menjadi hal paling menyenangkan yang pernah ia rasakan, karena itu berarti ia sedang tidak bermimpi. Entah bagaimana, Bakugou benar-benar ada di sini. Kendali yang [Name] miliki selama beberapa hari terakhir langsung hancur dan [Name] menangis terisak, melemparkan dirinya pada Bakugou, bahkan saat suaminya mencoba mendorongnya untuk mengobati kakinya yang terluka.
“Kau hidup, kau hidup ...”
[Name] tidak bisa berhenti mengulanginya meskipun suaranya terputus-putus oleh isakan. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan Bakugou
Bakugou memeluknya dengan erat. Ia membisikkan sesuatu di telinganya tapi ia tidak bisa mendengar. Kedukaan dan kesedihan selama beberapa hari terakhir tumpah sekaligus, berubah menjadi kegembiraan yang mengguncangkan.
“Berhenti menangis. Bukankah sudah kubilang jangan terlalu khawatir atau wajahmu akan makin keriput?”
“Jahat sekali, Katsuki!” isak [Name]. “Apa yang terjadi padamu? Kalau kau masih hidup kenapa mereka berkata kau sudah mati? Kenapa kau meninggalkanku selama ini Katsuki!?”
“Tenangkan dirimu dulu, idiot,” Bakugou menangkup wajahnya. “Aku akan menceritakannya saat yang lain sudah berkumpul.”
Begitu [Name] tenang dan memutuskan untuk segera bertemu dengan yang lainnya. Bakugou sudah memerintahkan Kirishima untuk mengumpulkan orang-orang terdekatnya. Bakugou tidak melepaskan genggaman tangannya pada jemari [Name] saat teman-teman mereka mengucap syukur dan menyapanya.
Kini [Name] tahu, Bakugou memang hampir mati. Efek terjatuh dari tebing juga panah yang menghunjam dadanya hampir membunuhnya. Ia beruntung bisa selamat karena panah itu meleset beberapa senti dari jantungnya. Ia beruntung karena ada warga sekitar yang mengenalinya dan memberinya obat dan menyediakan tempat baginya untuk beristirahat sejenak. Ia langsung berusaha menghubungi [Name] saat kesadarannya pulih, namun begitu mendengar bahwa [Name] kembali menyatakan perang pada kerajaan tetangga, ia tahu ia akan menemukan [Name] di sekitar perbatasan dan itulah yang ia lakukan. Alasan mengapa naganya tidak bisa merasakan keberadaannya karena kondisi kritisnya yang hampir mati sehingga koneksi mereka juga meredup.
Pandangan [Name] tidak pernah lepas dari Bakugou. Ia meremas tangan suaminya selama ia bercerita.
“Kumohon jangan pernah tinggalkan aku seperti itu lagi,” bisik [Name].
“Aku tidak pernah bermimpi untuk meninggalkanmu, [Name].”
***
“Oi! Oi gadis pemalas, cepat bangun!”
[Name] mengerang lemah saat seseorang mengguncangkan tubuhnya. Ia menepis tangan yang mencolok pipinya kasar.
“Hei, ini sudah tengah hari dan kau masih tidur. Apa kau benar-benar semalas ini hah gadis idiot?”
Merasa tidak akan mendapatkan ketenangan lagi, [Name] membuka matanya. Ia langsung beradu tatap dengan Bakugou yang melipat kedua tangannya di depan dada dengan ekspresi tidak senang.
“Sudah puas tidurnya?” sapa Bakugou. “Cepat bangun, bodoh. Aku sudah memasak makanan kesukaanmu.”
“Hah?”
[Name] mengernyit bingung. Bukankah sebelumnya ia berada di medan perang dan baru saja bertemu dengan Bakugou setelah berhari-hari yakin bahwa pria itu sudah mati? Bukannya ia akan berperang dengan kerajaan sebelah untuk membalaskan dendam Bakugou? Lalu mengapa ia berada di kamar tidur mereka dan Bakugou mengenakan pakaian santainya?
“Omong kosong apa lagi yang kau katakan, [Name]?” tukas Bakugou. “Tidak ada perang dengan kerajaan manapun. Lagipula, siapa yang mati bodoh? Aku tidak akan mati. Tidak semudah itu.”
Bagai dihantui oleh mimpinya, [Name] kembali merasakan duka dan sedih yang dipendamnya setelah mendengar kematian Bakugou. Tanpa pikir panjang, ia menghambur pada Bakugou yang hampir terjatuh sebelum mampu menyeimbangkan diri dengan [Name] bergantung padanya.
“Di mimpiku kau sudah mati, Katsuki,” suara [Name] parau ketika ia menceritakan mimpinya pada Bakugou. “Kumohon jangan mati sebelum aku. Jangan tinggalkan aku. Hanya dalam mimpi saja aku sudah hampir gila apalagi kalau kau benar-benar melakukannya.”
Bakugou menghela napas panjang. Ia memandang tunangannya jengah.
“Dengarkan aku [Name],” sebelah tangan Bakugou menangkup wajah [Name] dan yang lainnya mencubit pipi gadis itu. “Yang kaualami hanyalah mimpi. Kenyataannya, aku tidak mungkin terjatuh dengan mudah dari tebing curam dan aku juga tidak akan mati semudah itu. Tidak ada lagi novel historis sebelum tidur untukmu, paham?”
[Name] mengangguk kecil. “Kau berjanji tidak akan meninggalkanku, kan?”
Bakugou mendengus kecil. “Meninggalkanmu adalah satu-satunya hal yang tidak bisa kulakukan, idiot.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top