Twelve
P U B L I C D I S P L A Y O F A F F E C T I O N
Bakugou tidak pernah mengumbar kehidupan pribadinya, baik tentang keluarga maupun kekasihnya. Ia juga tidak senang berbagi perasaan dengan orang lain, kecuali orangtuanya dan [Name]—entah bagaimana, mereka selalu mengerti apa yang ia rasakan. Singkatnya, Bakugou adalah orang yang menjunjung tinggi privasi. Karena itu, tidak mengherankan jika ia jarang sekali bersikap romantis atau melakukan sesuatu yang berbeda terhadap [Name].
Namun, bukan berarti Bakugou sama sekali tidak pernah bersikap layaknya seorang kekasih. Saat jauh dari pandangan publik, Bakugou adalah kekasih yang baik namun saat banyak mata mengawasinya, Bakugou sedikit lebih berhati-hati. Ia tidak ingin gestur kasih sayangnya malah menjadi bahan ejekan. Walau terkadang, ia melakukannya tanpa sadar.
Pernah suatu kali, Kirishima menyaksikan betapa pedulinya Bakugou terhadap [Name].
Bakugou berdecak untuk yang kesekian kalinya dalam setengah jam. Kirishima, yang duduk di samping Bakugou, kebingungan dengan sikap sahabatnya. Ia memang tahu kalau Bakugou tidak memiliki stok kesabaran yang luas, tapi tidak mungkin juga Bakugou marah tanpa alasan.
Ia memutuskan untuk memperhatikan Bakugou, mengabaikan televisi yang menampilkan adegan aksi kesukaannya. Alisnya bertaut saat menyadari Bakugou berulang kali melempar pandangan keluar jendela. Benak Kirishima kembali dipenuhi dengan pertanyaan. Apa yang membuat Bakugou menaruh perhatian pada jendela? Memang malam itu sedang badai dan air hujan tidak berhenti menghantam kaca selama beberapa jam terakhir. Apa Bakugou takut dengan petir? Atau sahabatnya yang garang itu diam-diam takut dengan suara menggelegar badai?
"Kau takut dengan petir, Bakugou?" kata Kirishima menyuarakan pertanyaannya.
"Mana mungkin, Rambut Aneh!" geram Bakugou.
Kirishima mengurungkan niat untuk kembali bertanya. Wajah Bakugou yang merengut penuh kekesalan memang bukan hal yang baru, tapi ada sesuatu yang baru pada ekspresinya. Ia sendiri tidak yakin. Mungkin kesal untuk menyembunyikan rasa takut? Atau ... khawatir? Kirishima tidak berani mengiyakan dugaannya yang terakhir. Siapa pula yang akan dikhawatirkan oleh Bakugou?
Layaknya mendengar pertanyaan tak terucap Kirishima, seseorang membuka pintu depan asrama. Detik selanjutnya, Bakugou bangkit, meninggalkan dirinya yang masih kebingungan. Begitu mendengar suara Bakugou mengeras, Kirishima tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia harus menutup mulutnya dengan tangan agar tidak tertawa keras menyaksikan apa yang terjadi di hadapannya.
Bakugou tengah mengusak rambut [Name] yang basah dengan handuk—yang ia tidak tahu dari mana bisa didapatkan, seraya mengomel panjang tentang waktu dan kesehatan. Sementara [Name] hanya tersenyum kecil diselingi dengan anggukan kecil, mengiyakan setiap ocehan.
Astaga ... Ia tidak percaya ini. Dugaannya tentang Bakugou yang khawatir ternyata benar. Dan yang dikhawatirkannya adalah [Name] yang masih berada di luar asrama saat badai.
"Apa yang lucu, bodoh?" omel Bakugou. Ia membiarkan [Name] mengeringkan rambutnya sendiri, memilih untuk menyibukkan diri dengan menghangatkan wajah [Name] dengan telapak tangannya yang jauh lebih hangat.
"Tidak ada yang lucu, Katsuki," senyum [Name]. "Aku hanya senang karena kau mengkhawatirkanku."
Bakugou mendengus kasar. "Siapa juga yang mengkhawatirkanmu, idiot? Jangan terlalu percaya diri."
"Tindakanmu mengatakan segalanya, tuan aku-yang-akan-menjadi-nomor-satu," goda [Name].
Gadis itu tertawa kecil ketika Bakugou memalingkan wajahnya yang memerah. Satu lagi hal yang jarang Kirishima saksikan jika tidak ada [Name] di sekitar sahabatnya. Rasanya ia ingin mengabadikan momen ini, tapi ia tahu diri. Saat [Name] berjinjit untuk menempelkan bibir di pipi Bakugou, ia pergi. Tidak ingin mengganggu momen yang seharusnya milik Bakugou dan [Name] saja.
Tidak hanya Kirishima saja, Midoriya juga pernah secara tidak sengaja melihat saat Bakugou memperlihatkan langsung kasih sayangnya pada [Name]. Tentu saja, ia menyembunyikan diri dari pandangan keduanya, tidak ingin menjadi sasaran amukan teman masa kecilnya yang temperamental.
Midoriya bergegas meninggalkan kelas sesaat setelah bel istirahat berdentang. Ia khawatir dengan temannya, [Name]. Pasalnya, ia mendengar pembicaraan [Name] dengan kedua orangtuanya tadi pagi. Mendengar betapa tertekannya [Name] juga tuntutan yang dibebankan padanya mengingatkan Midoriya dengan Todoroki. Setelah mengetahui ada temannya yang mengalami hal yang sama, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak membantu.
Langkah Midoriya terhenti saat mendengar isakan tangis seorang gadis. Punggungnya menabrak dinding karena hal pertama yang terlintas di pikirannya adalah bersembunyi.
"Sampai berapa lama lagi mereka akan bersikap seperti ini! Aku muak. Kenapa aku tidak bisa mengatur hidupku sendiri? Kenapa aku harus menuruti keinginan mereka saat mereka terlalu sibuk dengan gelar dan kepopuleran mereka sebagai top hero sampai tidak peduli dengan keadaanku? Sampai kapan aku harus terperangkap dengan delusi mereka untuk memiliki keturunan nomor satu? Sampai kapan?"
Sudah jelas suara itu adalah milik [Name] dan temannya tengah menangis. Namun, untuk kedua kalinya langkah Midoriya terhenti, kali ini karena ia mendengar suara laki-laki yang terlalu familiar di telinganya.
"Persetan dengan mereka," suara Bakugou terdengar. "Kau tidak perlu terbebani dengan omong kosong mereka, bodoh. Lakukan saja apa yang ingin kaulakukan."
"Aku bukan dirimu, Katsuki. Aku tidak bisa bersikap seperti itu," gumam [Name] masih terisak.
Midoriya memberanikan diri untuk mengintip dari balik dinding. Ia melihat [Name] tertunduk, entah bagaimana ekspresinya saat ini karena wajahnya tertutupi oleh rambut panjangnya. Lalu, ada Bakugou yang menatap [Name] dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. Mungkin jengah atau kesal? Bisa juga sedih atau khawatir. Yang jelas, tatapan seperti itu tidak pernah ia lihat dari teman masa kecilnya.
Bakugou menghela nafas kasar. "Tentu saja kau bukan aku, semua orang juga tahu itu."
Midoriya terkesiap saat Bakugou menangkup wajah [Name] dengan lembut dan hati-hati. "Maksudku, kau bebas melakukan apa yang kauinginkan. Kau adalah dirimu sendiri. Kalau mereka tidak suka dengan keinginanmu dan dirimu, pilihan mereka hanya dua, menerimamu atau aku sendiri yang akan menghancurkan mereka."
Pandangan Midoriya beralih pada [Name] yang tertawa kecil lalu kembali pada teman masa kecilnya yang tengah menyeringai tipis. Ia melakukannya berulang kali sampai tawa [Name] mereda memastikan kalau apa yang dilihatnya bukan sekedar ilusi belaka. Wajah Midoriya langsung memerah ketika [Name] dan Bakugou beradu tatap. Ia bersumpah tidak pernah melihat mata Bakugou begitu lembut seperti sekarang ini.
"Sekarang berhenti menangis, cengeng," suruh Bakugou. Ibu jarinya menghapus jejak air mata [Name], lalu berangsur naik hingga membelai puncak kepalanya.
Midoriya menutup mulutnya dengan tangan, menahan agar gumamannya tidak terdengar oleh kedua temannya. Ia tidak percaya dengan matanya sendiri. Kacchan yang ia kenal sedang mencium kelopak mata [Name] lama lalu merengkuh gadis itu. Jemarinya masih bertaut dengan helaian rambut [Name], seakan berkata 'aku selalu di sini' dan 'tidak ada yang perlu dikhawatirkan' tanpa suara.
"Kembalilah ke kelas sebelum yang lain mengkhawatirkanmu," suruh Bakugou setelah melepaskan [Name] dari kukungannya. "Muka murungmu pasti sudah menjadi pembicaraan di kelas."
Midoriya langsung melarikan diri saat [Name] terkekeh dan meninggalkan Bakugou. Saat bertemu dengan Uraraka dan Iida, ia tidak bisa menjawab alasan mengapa wajahnya memerah..
Tidak berhenti pada Kirishima dan Midoriya, teman-teman satu kelas mereka turut menyaksikan betapa sayangnya Bakugou terhadap [Name] karena ia rela memperlihatkan sisi lain dirinya di hadapan publik.
Malam itu, Bakugou baru saja selesai latihan dengan Kirishima ketika ia mendapati ruang bebas di asrama penuh dan gelap. Tidak sulit untuk Bakugou menebak jika kelas 1-A tengah mengadakan rutinitas mingguan. Menonton film bersama. Mata merahnya menyusuri seluruh penjuru ruangan, mencari sosok yang belum ia lihat sejak pulang sekolah sore tadi.
"Dimana [Name]?"
"Tertidur di sofa," Kaminari, yang kebetulan mendengar pertanyaan Bakugou, menunjuk ke salah satu sofa.
Bakugou mendengus. Bagaimana bisa [Name] tertidur saat sekelilingnya begitu berisik, ditambah lagi gadis itu mampu tertidur dengan seluruh wajah tertutup oleh rambut. Memikirkan kenyamanan gadisnya, Bakugou berangsur mendekat, membangunkan [Name].
"Emm ... Katsuki?" gumam [Name] seraya menyibak rambutnya, memastikan kalau orang yang membangunkannya memang benar Bakugou.
"Rambutmu seperti sarang burung, bodoh," ejek Bakugou sedikit menyeringai.
Ini bukan pertama kalinya ia melihat tampang [Name] yang baru bangun tidur dan ia tahu benar, ketika [Name] baru tersadar dari alam mimpinya, gadis itu bersikap seperti gabungan anak kecil dan orang mabuk. Setiap kali melihat [Name] seperti itu, Bakugou tidak bisa menahan senyum geli.
"Ini gaya rambut baru tahu," kata [Name] masih berusaha mengumpulkan kesadarannya.
Bakugou tidak membalas ucapan [Name], tahu hal itu akan sia-sia saat [Name] masih belum sadar sepenuhnya. Jantungnya berdegup lebih cepat saat [Name] mengucek matanya lalu menguap, sekilas memang terlihat biasa saja. Namun di mata Bakugou, gestur ringan seperti itu terlihat begitu menggemaskan baginya.
Aku benar-benar bagai orang yang kasmaran, sial! rutuk Bakugou dalam hati.
Ia mengalihkan perhatian dengan memainkan rambut [Name], menguraikan helaian rambutnya yang kusut. Senyum penuh kemenangan terpatri di wajahnya, senang karena berhasil menjinakkan rambut liar [Name]. Ia meneruskan misinya untuk menata rambut [Name], setidaknya agar terlihat lebih baik daripada sarang burung yang diterpa badai.
Baik Bakugou atau [Name] tidak menyadari kalau keduanya menjadi bahan tontonan banyak pasang mata yang berbisik tentang keanehan Bakugou. Bakugou terlalu sibuk menata rambut, sedangkan [Name] masih berusaha mengumpulkan kembali nyawanya. Beberapa dari yang menonton memekik gemas, beberapa tersenyum penuh arti, ada juga yang menatap iri, sisanya menyunggingkan seringai penuh ejekan.
Menyadari kalau film yang ditonton bukan lagi menjadi perhatian utama, Bakugou memasang wajah seram. Ia melepaskan rambut [Name], juga berdiri agak menjauh dari gadisnya.
"Apa yang kalian lihat, brengsek?" omel Bakugou. "Dan [Name]! Pindah ke kamarmu sana, sebelum wajah jelekmu yang menjadi tontonan."
Sebelum Bakugou beringsut menjauh, sebuah tangan menahannya. Bakugou mengumpat dan merutuk pandangan subjektifnya terhadap [Name] sehingga gadis itu terlihat begitu manis saat ia tidak melakukan hal yang spesial. Sialnya, gadis itu menatap Bakugou dengan tatapan setengah mengantuk setengah memohon.
"Apa yang kauinginkan, idiot?" geram Bakugou.
Kedua tangan [Name] direntangkan layaknya bayi yang meminta untuk digendong. "Aku tidak bisa ke kamar sendiri."
"Kalau begitu tidur saja di sofa semalaman, dasar manja," umpat Bakugou, tidak ingin kehilangan imejnya di depan teman sekelas.
"Katsukii~"
Sial. Brengsek. Keparat lemah. Kenapa aku tidak bisa menolak permintaan bodoh dari gadis idiot?
Bakugou mendecak, mengumpat dan merutuk takdir yang membiarkannya jatuh cinta pada [Name]. Tanpa banyak protes, ia menempatkan salah satu lengannya di punggung [Name] sementara lengannya yang lain di lekukan lutut. Memastikan agar gadis itu tidak jatuh—ia juga tidak akan membiarkannya, Bakugou mengalungkan lengan [Name] pada lehernya.
"Bakugou! Memenuhi permintaan kekasihmu itu sangat jantan!"
"Atau Bakugou yang sebenarnya memang kasmaran."
"Oi, Bakugou! kalau kau bersikap seperti ini lebih sering, aku yakin tidak akan ada yang takut padamu."
"Berisik sampah brengsek! Tutup mulutmu sebelum aku mengirimmu ke neraka!!"
Ho ho ho... another Bakugou soft side!! Siapa lagi yang gemes kalau Bakugou lagi romantis banget?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top