Thirteen
F I G H T
Amarah. Penyesalan. Frustasi.
Perasaan Bakugou berkecamuk, namun tidak ada satupun emosi positif dalam dirinya saat ini. Kegagalannya dalam ujian siang tadi hanya menambah luka yang tidak perlu. Tangannya mengepal, berusaha untuk mengontrol diri agar tidak meledakkan sesuatu hanya karena terpengaruh emosi. Bagaimanapun ia berusaha, ia tidak bisa mengenyahkan perasaan yang mengganggunya, bahkan [Name] hanya memperparah suasana hatinya dengan mencoba membantu.
"Katsuki, aku hanya ingin membantu," bujuk [Name] bersikeras. Gadis itu menginvasi zona pribadinya dengan berusaha menahan lengannya agar tidak menjauh.
Ia hanya ingin mendinginkan kepala dan perasaannya. Ia tidak ingin bergabung dengan teman sekelasnya yang tengah merayakan kelulusan mereka di ruang bebas. Riuhnya tawa dan semaraknya kebahagiaan tidak membuatnya merasa nyaman. Karena itulah ia memutuskan untuk pergi ke halaman depan asrama. Namun, alih-alih merasa bahagia dengan kerumunan, gadis keras kepala itu malah mengikutinya.
"Aku tidak butuh bantuanmu," tolak Bakugou dingin. Ya, tidak seperti biasanya, suara Bakugou terdengar begitu tenang namun dingin dalam waktu yang bersamaan.
"Katsuki," panggil [Name]. "Lihat aku."
Dengan kedua tangan [Name] yang menangkup wajahnya, Bakugou tidak bisa menghindar dari tatapan gadisnya. Iris cokelat itu berkilat khawatir setengah kesal, mungkin karena penolakannya beberapa saat lalu, mungkin juga karena nada bicaranya. Ia tidak tahu dan tidak ingin tahu.
"Kau tidak harus memendam semuanya sendiri, kau tahu? Aku ada di sini," [Name] mendekat selangkah ke arahnya. "Aku bisa mendengarkanmu, Katsuki. Aku bisa membantumu. Cerita padaku, apa yang mengganggumu."
Entah egonya yang tersinggung atau benaknya sudah tidak bisa menampung beban emosional, sesuatu dalam diri Bakugou meledak. Ia menyentak kasar tangan [Name], lalu mundur beberapa langkah. [Name] terkesiap saat mereka beradu tatap. Bakugou yakin hanya amarah yang terpancar dari matanya.
"Sudah kubilang, aku tidak butuh bantuanmu, bodoh," bentak Bakugou. "Apa kau tidak mengerti ucapan itu hah? Melihatku dengan tatapan kasihan seperti Deku, kaupikir aku lemah, kan? Karena gagal dalam ujian, kau pasti berpikir aku bodoh, kan? Pergi. Aku tidak ingin mendengar saran memuakkanmu atau memandang wajah menjijikkanmu."
Kedua tangan Bakugou terkepal. Sesaat setelah menyelesaikan kalimatnya, ia menyesal. Wajah [Name] begitu terpukul mendengar ucapannya. Wajar saja, selama ini ia tidak pernah berbicara dengan kata sekasar itu pada [Name], bahkan saat ia marah dengan gadis itu.
"Ah, begitu," Bakugou meringis. [Name] memandangnya dengan tatapan kosong. "Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu lebih lama, Bakugou-san."
[Name] berjalan menjauhinya. Seiring dengan jauhnya jarak [Name], amarah dan frustasi kian mengaburkan pikirannya. Tenangnya suara [Name] dibarengi dengan ekspresinya yang dingin. Bakugou tidak pernah melihat [Name] yang seperti itu.
"Cih, memuakkan."
Merasa ia tidak lebih tenang, Bakugou memutuskan untuk masuk ke asrama. Ia sudah bersiap mendengar ocehan tentang bagaimana memperlakukan seorang gadis dengan baik dari si Muka Bodoh dan Rambut Aneh, namun sebelah alisnya terangkat saat ia tidak mendapatkan reaksi yang berarti. Sebaliknya, teman-teman sekelasnya masih sibuk membahas tentang betapa hebatnya mereka dalam ujian dan bagaimana reaksi Aizawa-sensei. Tidak seperti dugaannya, [Name] masih berkumpul bersama dengan yang lain seraya tertawa karena membicarakan sesuatu.
Saat mata mereka bersirobok, [Name] melengos, mengalihkan pandangan dan kembali tenggelam dalam obrolannya. [Name] mengabaikannya. Entah kenapa, walaupun ia tahu pertengkaran kali ini adalah salahnya, Bakugou tidak tahan diabaikan oleh [Name]. Karena itulah ia memutuskan untuk mengakhiri semuanya.
Ia berjalan mendekati Deku. "Oi, nanti kita jalan-jalan sebentar. Aku ingin membicarakan soal quirk-mu."
***
[Name] menghela nafas pelan. Kepalanya berdenyut, matanya sembap dan seluruh tubuhnya seakan tanpa sendi akibat memikirkan ucapan Bakugou beberapa jam yang lalu. Ia memang tidak tahu apa yang dirasakan oleh kekasihnya, karena itu ia berniat untuk membantu, namun bentakan kasar yang ia terima. [Name] sama sekali tidak terkejut saat mendengar suara ledakan samar-samar, juga suara Aizawa-sensei yang menggerutu di sepanjang lorong.
[Name] lebih tidak heran lagi saat lewat tengah malam, pintu kamarnya terbuka pelan diiringi dengan suara langkah kaki. Ia memejamkan mata, berpura-pura tidur saat seseorang yang berani memasuki kamarnya di tengah malam seperti ini kian mendekat. Bau asap yang samar juga ringisan tertahan meyakinkan [Name] bahwa yang memasuki kamarnya adalah Bakugou.
"Kau menangis, hm?" Bakugou bergumam kecil, menganggap kalau ia sudah tertidur. [Name] harus menahan diri agar tidak bergerak saat jemari Bakugou mengusap pipinya, tepat di bawah mata.
Napas [Name] tercekat saat bibir Bakugou bersentuhan dengan kelopak matanya. Berulang kali menggumamkan kata 'maaf' dengan suara berbisik. [Name] berusaha agar air matanya tidak tumpah dan membongkar penyamarannya.
"Aku tahu kau tidak tidur [Name]," kata Bakugou terkekeh. "Berhenti berpura-pura agar aku bisa meminta maaf dengan benar."
Merasa sudah tidak ada gunanya meneruskan sandiwara, [Name] membuka mata lalu mendudukkan diri sehingga ia berhadapan dengan Bakugou. Matanya menelusuri wajah Bakugou yang terluka, bahkan lengannya dibalut. Kekhawatiran mengalahkan rasa sedihnya. Sebelum ia sadari, tangannya menggenggam tangan Bakugou, jemarinya membelai lengan Bakugou yang terbalut.
"Aku tidak apa-apa, bodoh," Bakugou mengusak rambut [Name] dengan tangannya yang bebas. "Daripada mengkhawatirkanku, pedulikan saja matamu yang bengkak itu."
[Name] mencebik, kesal karena kekhawatirannya lagi-lagi dianggap remeh oleh Bakugou. "Mau apa kemari?"
"Maaf karena ucapan kasarku tadi," sebelah tangan Bakugou menangkup wajah [Name]. "Aku tahu ini bukan alasan. Aku tidak sepantasnya membentakmu atau mengabaikanmu begitu saja, tapi ..."
[Name] mendengarkan dengan seksama. Bakugou menceritakan apa yang ia rasakan semenjak penculikannya hingga malam ini. Bagaimana ia bertarung dengan Midoriya dan All Might melerai mereka. Bagaimana ucapan All Might menenangkan kegelisahan Bakugou karena merasa ia yang mengakhiri karir All Might. [Name] merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kekasihnya, tapi ia tidak bertanya lebih jauh. Jika Bakugou tidak membicarakannya, mungkin memang tidak seharusnya dibicarakan.
"Karena itulah sekali lagi aku minta maaf padamu," kata Bakugou mengakhiri ceritanya. Ibu jarinya masih terus mengusap bagian bawah mata [Name] yang memerah.
"Lupakan. Untuk ukuranmu, bisa menahan begitu banyak emosi selama itu, kau sudah luar biasa. Wajar saja kalau akhirnya kau meledak," canda [Name] seraya tersenyum kecil. "Lalu kenapa lukamu belum disembuhkan? Mau kupanggilkan recovery girl?"
Bakugou menggeleng kecil. "Sebagai hukuman karena melanggar jam malam dan bertarung, lukaku harus sembuh dengan normal dan menjadi tahanan rumah selama empat hari."
[Name] terbahak mendengar hukuman Bakugou. "Itulah balasan karena sudah membentakku."
"Juga karena membuat mataku sembap, kau harus babak belur," tambah [Name]. seringai jahil terukir di wajahnya. "Hey, Katsuki.. haruskah aku mencium semua lukamu agar lebih baik? Seperti yang kaulakukan karena mataku sembap?"
"Tutup mulutmu, dasar gadis berisik tidak berguna!"
Untuk kedua kalinya [Name] tertawa malam itu, tapi tidak seperti beberapa jam yang lalu. Kosa kata kasar Bakugou tidak menyakiti hatinya, malah membuatnya tambah geli.
holaaaaa... how are you guys doing? gimana dengan belajar onlinenya? Lebih susah atau lebih gampang nih..
anyway, happy reading yaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top