Ten
R E A S O N S
Pertanyaan Midoriya dan beberapa temannya siang tadi sukses memaksa [Name] terjaga. Jarum jam sudah menunjuk angka tujuh, tapi pikiran [Name] masih hilir-mudik layaknya jalanan di Tokyo. Langit malam yang penuh bintang seakan mengejek [Name] yang kebingungan. Pertanyaannya sederhana.
[Name]-san, apa yang kaulihat dari Kacchan?
Sederhana, tapi membingungkan. [Name] yakin Midoriya tidak ingin jawaban panjang dan berbelit seperti esai yang ditugaskan oleh Cementoss beberapa hari lalu, tapi ia harus memberi jawaban yang memuaskan keingintahuan sahabatnya agar tidak muncul pertanyaan lain yang lebih membingungkan.
Pasalnya, inilah pertanyaan yang pertama kali timbul di benaknya saat Bakugou menyatakan perasaannya. Bisa dibilang, pernyataan perasaan Bakugou juga agak berbeda. Ia tidak membawa bunga atau cokelat atau apapun untuk meyakinkannya agar menerima perasaan Bakugou.
"Kenapa membawaku kemari?" tanya [Name], bingung mengapa Bakugou memaksanya ikut ke bagian UA yang agak sepi.
Bakugou berdiri gelisah. Entah apa maksudnya membawa [Name] ke belakang sekolah, yang pasti Bakugou kesulitan mengungkapkan apa yang ia pikirkan. Kedua tangan Bakugou dimasukkan ke dalam saku celana, pandangannya menghindari tatapan [Name], tapi wajahnya merengut.
"Bakugou, ada yang ingin kausampaikan padaku?" tanya [Name] sekali lagi. Bukan, bukannya [Name] tidak suka bersama dengan Bakugou, hanya saja ia memiliki janji untuk belajar bersama Midoriya untuk menyelesaikan tugas akhir.
"Jangan dekat-dekat dengan kutu buku sialan itu lagi," gumam Bakugou. Perlahan pandangan Bakugou hanya terfokus pada [Name] yang balik memandanginya bingung. "Aku tidak suka melihatmu bersama dengan Deku. Kau bisa meminta bantuanku kalau butuh sesuatu."
Tangan [Name] terlipat di depan dada, sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan Bakugou. "Aku tidak mengerti maksudmu."
"Masa begitu saja tidak mengerti, gadis bodoh!" Bakugou menghela nafas panjang. "Aku hanya akan mengatakan ini satu kali. Jadi dengarkan baik-baik!"
[Name] mengangguk, menuruti perintah Bakugou untuk memasang telinga lebar-lebar. Keingintahuannya terusik melihat Bakugou tidak berhenti gelisah. Sebenarnya apa yang ingin dikatakan oleh remaja tempramen di hadapannya?
"[Name], aku menyukaimu," Bakugou bergumam kecil. Ia menarik nafas panjang. "Aku sangat menyukaimu."
Dahi [Name] mengernyit kecil. Ia tidak mendengar terlalu jelas apa yang dikatakan oleh Bakugou. "Kaubilang apa?"
Bakugou menggeram. Ia menatap [Name] kesal karena tidak mendengar dengan baik kalimat yang dengtan susah payah ia ucapkan. "Apa kau tuli, idiot? Kubilang aku menyukaimu. Jadilah kekasihku."
[Name] menahan senyum. "Kau bahkan masih bisa mengataiku saat menyatakan perasaanmu. Bukan cara yang baik untuk meminta seorang gadis menjadi kekasihmu."
"Apa kaubilang?"geram Bakugou. Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras, sementara giginya gemeletuk. Bayangan tentang [Name] menolaknya, memenuhi kepala Bakugou. Tanpa sadar, ia mengeluarkan letupan kecil dari telapak tangan.
[Name] terkikik menyadari hal ini. "Bukan berarti aku menolakmu, Bakugou."
"Hah?"
"Aku mau menjadi kekasihmu, Bakugou."
"Katsuki," gumam Bakugou memalingkan wajah. "Panggil aku Katsuki."
Begitulah cara Bakugou menyatakan perasaannya pada [Name]. Kata-kata kasar, hinaan, juga temperamen tidak serta merta menghilang begitu saja saat Bakugou menyukainya. Namun, karena pertanyaan Midoriya, ia kembali berpikir, apa yang membuatnya menerima pernyataan perasaan Bakugou? Terlebih, apa yang membuatnya menyukai Bakugou?
[Name] menoleh ke arah pintu saat ada yang mengetuk, tapi sebelum [Name] bisa membalas, tamunya sudah masuk ke kamar lebih dulu. Ia menahan senyum mendapati Bakugou menatapnya dengan bingung.
"Kenapa kau menatapku begitu, idiot?" tanya Bakugou seraya menutup pintu lalu menghampiri [Name] yang masih duduk di dekat jendela.
"Melihatmu seperti apa?"
"Seperti kau baru saja melihat hantu," ucap Bakugou. Ia sedikit merunduk, menempelkan bibirnya sejenak di puncak kepala. "Atau mungkin kau sedang memikirkanku dan terkejut karena aku datang di saat yang tepat?"
Skakmat.
Seharusnya [Name] sudah mengetahui Bakugou tidak hanya terkenal dengan kekuatannya tapi juga kecerdasannya. Ia meraih peringkat tiga di antara teman-teman sekelas. Jelas saja, menebak hal seperti ini adalah yang mudah baginya.
"Memang," jawab [Name] menahan senyum. "Aku tidak tahu kalau kau bisa membaca pikiran orang lain, Katsuki."
"Aku bisa membaca pikiranmu dengan mudah karena kau bodoh," Bakugou mendengus kecil, senang dengan reaksi kesal yang [Name] tunjukkan. "Jangan cemberut seperti itu. Wajahmu akan makin jelek nantinya."
[Name] mencebik. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Ia melempar pandangan keluar jendela, tidak ingin melihat ekspresi penuh kemenangan Bakugou. Sekali lagi, untuk kesekian kalinya hari ini, pikiran [Name] beralih pada pertanyaan Midoriya. Apa yang dirinya lihat dari Bakugou?
"Apa yang membuatku menyukainya?" kata [Name] dalam hati.
Ia tidak menyadari jika Bakugou sudah duduk di belakangnya. Membaringkan dagunya di bahu [Name], mengukung [Name] dengan kedua lengannya. Hembusan nafasnya menyapu telinga dan sisi pipi [Name].
"Apa yang kaupikirkan?" tanya Bakugou berbisik. Sepertinya ia tidak ingin merusak keheningan yang menenangkan di antara mereka.
[Name] terdiam, tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Bakugou. Ia sedikit merubah posisi hingga punggungnya bersandar pada dada Bakugou. Ia tahu Bakugou tidak akan protes dengan posisi mereka saat ini, lagipula Bakugou di hadapan publik dengan Bakugou saat berdua dengannya sangatlah berbeda.
"Katsuki?"
Tidak ada jawaban verbal. Bakugou hanya berdehem pelan pertanda ia masih mendengarkan, juga menuntut jawaban atas pertanyaanya beberapa menit yang lalu.
"Apa yang kaulihat dariku?" tanya [Name]. Ia buru-buru menambahkan saat tatapan Bakugou dipenuhi dengan keterkejutan dan bingung. "Maksudku, kenapa kau menyukaiku? Apa ada alasan kau memilihku sebagai kekasihmu?"
Bakugou mendengus. Ia memalingkan wajah saat mata [Name] mengarah padanya. "Pertanyaan bodoh macam apa itu!?"
"Jangan mengelak," omel [Name]. "Jawab saja, Katsuki."
[Name] berpikir, mungkin setelah mendengar jawaban Bakugou, ia juga mampu menjawab pertanyaan yang Midoriya lontarkan padanya. Walaupun kemungkinannya kecil, setidaknya ia sudah berusaha.
Bakugou menghela nafas panjang. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan bodoh [Name]. Hanya saja, ia tahu apapun yang mengganggu gadisnya saat ini berhubungan erat dengan pertanyaan yang baru saja ia ajukan. Tidak ada pilihan lain selain menjawab pertanyaan bodohnya.
"Kau adalah gadis pertama yang berani menjawab tantanganku," gumam Bakugou pelan. Ia masih belum membalas tatapan [Name]. "Kau kuat dan tidak gentar saat berhadapan denganku. Ambisi dan keinginanmu untuk berkembang juga caramu mengontrol quirkmu membuatku kagum. Di sisi lain, kau memiliki banyak teman dan ramah terhadap mereka. Kau tidak ragu untuk membela dan menolong mereka saat dibutuhkan. Singkatnya, kau luar biasa."
Jawaban panjang Bakugou membuat [Name] terperangah. Ia tidak menduga Bakugou akan menjawab pertanyaannya dengan begitu serius. Ditambah dengan wajahnya kian memerah malu, suara detak jantung [Name] menggila sampai ia sendiri bisa mendengarnya.
"Kenapa aku baru tahu kalau kau berpikir seperti itu terhadapku?" [Name] bergumam setengah berbisik. Ia menggenggam erat lengan Bakugou yang melingkari bahunya. Wajahnya turut menghangat menyadari Bakugou tidak hanya menyukainya karena ia sanggup menanggapi ucapan kasar Bakugou, namun lebih dari itu.
"Aku tidak akan menjawab pertanyaan bodoh lain, gadis idiot!" seru Bakugou tidak suka.
[Name] terkekeh. Ia berusaha membalikkan tubuhnya agar menghadap Bakugou, namun remaja dengan temperamen tinggi itu mencegahnya. Tidak ingin bertatapan langsung dengan [Name] saat wajahnya masih seperti kepiting rebus.
"Katsuki?"
"Apalagi? Kau tidak bisa menutup mulut sebentar hah, bawel?" umpat Bakugou.
"Aku menyayangimu," bisik [Name]. "Sangat menyayangimu."
"Heh," dengus Bakugou. "Aku sudah tahu hal itu, bodoh."
Bakugou memang tidak mengatakannya kembali, tapi kedua lengannya merengkuh [Name] lebih erat. Tidak ada suara yang lebih keras daripada tindakan, dan Bakugou melakukannya untuk [Name]. Sikapnya pada [Name], bagaimana cara ia memprioritaskan segala kebutuhan [Name], pelukannya, tatapannya semuanya berkata kalau ia memiliki perasaan yang sama dengan [Name].
Menyadari hal ini, [Name] menemukan jawaban dari pertanyaan yang sudah mengganggunya sejak siang.
Apa yang ia lihat dari Bakugou Katsuki?
Segalanya. Ia melihat segalanya dari Bakugou Katsuki. Sikap kasarnya, umpatannya, seruan berulang kali yang berkata ia akan meraih nomor satu yang mutlak, kebiasaannya untuk tidur lebih awal dan menemui [Name] terlebih dahulu sebelumnya, masakan buatan Bakugou yang hampir selalu ia santap setiap pagi, caranya meluangkan waktu untuk [Name]. Segalanya.
[Name] jatuh cinta pada Bakugou karena ia adalah Bakugou Katsuki. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Hayoooo... kalian sendiri kenapa suka dengan Bakugou Katsuki?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top