Nine
N I G H T T E R R O R
Bakugou Katsuki tidak selalu menjadi pribadi yang keras kepala atau penuh amarah. Ia juga tidak selamanya terlihat percaya diri. Ia masih remaja berusia belasan tahun yang terkadang diselimuti rasa takut, hanya saja ia terlalu pandai mengubah ketakutannya menjadi senyum pongah. Ada kalanya ia tidak mampu memejamkan mata, takut dengan kehadiran bayangan yang tidak ingin ia pikirkan.
Dan malam ini salah satunya.
Jarum pendek masih menunjuk angka dua saat ia terbangun dengan bersimbah keringat. Kaus tanpa lengan yang sering ia pakai sudah menempel bagai kulit kedua. Napasnya terengah, kepalanya berdenyut dan telinganya berdenging. Begitu banyak kejadian buruk terlintas di benak layaknya film. Perutnya bergejolak mengingat setiap detil peristiwa yang masih menghantuinya hingga saat ini.
Tertangkapnya ia oleh penjahat lendir, ia masih bisa merasakan lumpur di dalam mulut dan tenggorokannya ketika teringat kejadian ini. Penculikannya saat musim panas lalu, ia bergidik seakan tangan penjahat itu masih terasa di lehernya. Keadaan [Name] yang koma, ia memang tidak melihat kondisi [Name] secara langsung, tapi ia bisa membayangkan bagaimananya ngerinya bertarung dengan Nomu yang membawa enam senjata tajam—ia mengetahui hal ini dari Yaoyorozu. Juga dengan pensiunnya All Might, hatinya mencelos. Ia masih menyalahkan dirinya atas terungkapnya sosok asli All Might beserta dengan pensiunnya, ia merasa bertanggung jawab dengan kejadian itu.
Bakugou mengusap tangannya di celana panjang, tidak ingin membuat ledakan tanpa sengaja dengan tangannya yang berkeringat. Sebelumnya hanya ada dua orang yang pernah menyaksikan dirinya begitu lemah dan sebentar lagi seseorang akan masuk ke dalam daftar itu. Benci mengakuinya, tapi Bakugou benar-benar membutuhkan keberadaan [Name] sekarang.
Ia meraih ponselnya di atas meja sebelah kasur. Tanpa pikir panjang ia memencet simbol telepon di samping kontak bertuliskan nama [Name]. Bakugou mengumpat saat [Name] tidak kunjung mengangkat teleponnya setelah dering kelima. Saat dering kedelapan, suara setengah mengantuk terdengar dari seberang.
"Katsuki? Kenapa menelpon malam-malam begini?" tanya [Name].
"Datang ke kamarku," sahut Bakugou cepat. Ia masih berusaha mengatur nafasnya yang memburu. "Cepatlah."
"Katsuki? Katsuki, apa yang terjadi? Ada apa denganmu? Hey, apa kau baik-baik saja?" [Name] terdengar panik di seberang telepon. Suara selimut tersibak juga barang bergeser terdengar untuk beberapa detik, lalu Bakugou mendengar suara pintu tertutup. "Tunggu aku. Aku akan berada di sana kurang dari lima menit."
Tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Bakugou memutuskan sambungan telepon. Tangannya mencengkeram kaus yang ia pakai, berusaha sebaik mungkin untuk menenangkan diri sebelum [Name] datang. Ia yakin [Name] akan jauh lebih panik darinya jika melihat keadaannya sekarang.
"Katsuki," pintu diketuk beberapa kali. "Ini aku."
Bakugou tidak menyahut, tapi beberapa saat kemudian [Name] masuk ke kamarnya sambil menenteng tas sekolah dan seragamnya. Gadis itu langsung menaruh keduanya di meja belajar sebelum menuangkan seluruh perhatiannya pada Bakugou.
"Apa yang terjadi padamu?" kedua tangan [Name] menangkup lembut wajah Bakugou, ibu jarinya mengusap pipi yang basah oleh air mata—bahkan ia tidak sadar kalau sudah menangis.
"Mimpi buruk," sahutnya pelan. Ia menggenggam tangan [Name] yang menangkup wajahnya lalu menarik nafas dalam-dalam berusaha meyakinkan diri bahwa ia tidak terjebak dalam mimpi buruknya.
[Name] mendudukan diri di hadapan Bakugou, ibu jarinya masih belum berhenti mengusap pipi kekasihnya, berusaha sebaik mungkin memberikan rasa aman yang Bakugou inginkan.
"Mau menceritakannya padaku?"
Bakugou masih belum mengucapkan sepatah kata. Namun sesaat kemudian ia membawa [Name] dalam pelukannya, membenamkan wajah di perut gadisnya, membiarkan dirinya tenggelam dalam aroma [Name]. Berulang kali yang dilakukannya hanya menarik napas panjang. Perlahan tapi pasti, tatapan menerawangnya mulai fokus. [Name] menunggunya dengan sabar tanpa berhenti membisikkan kalimat seperti 'kau baik-baik saja, Katsuki' atau 'Aku menyayangimu'.
"Semua kejadian itu langsung datang padaku," gumam Bakugou memulai ceritanya. Ia menghela nafas panjang. "Kau pasti tahu saat SMP aku pernah disandera penjahat, aku masih bisa merasakan sesaknya saat lendir masuk ke tenggorokanku saat ini. Lalu mimpiku berganti saat aku diculik oleh Liga Penjahat, saat itu aku memang tidak merasa takut, yang kupikirkan hanyalah cara untuk melarikan diri hidup-hidup. Saat All Might datang dan sadar kalau aku sudah selamat, ketakutan baru datang menimpaku bagai batu besar."
Bakugou mengepalkan tangannya di punggung [Name], meremas piyama yang ia pakai, sementara gadis itu masih terdiam. "Karena aku, [Name]. Karena harus menyelamatkanku rahasianya terbongkar. Karena menyelamatkanku ia harus pensiun menjadi Pahlawan. Karena menyelamatkanku ia sampai seperti ini. Semua ini terjadi karena aku lemah. Nomor satu apanya!"
Tidak perlu orang cerdas untuk tahu siapa 'ia' yang dimaksud Bakugou. [Name] sudah mendengar cerita lengkap penculikkan Bakugou juga pertarungannya dengan Midoriya yang berakhir dengan menjadi tahanan rumah.
"Katsuki!" geram [Name]. Ia menjauhkan wajah Bakugou dari bahunya. "All Might sendiri sudah berkata padamu kalau pensiunnya bukan salahmu. Dan kau, Bakugou Katsuki, jangan pernah berani berkata kalau kau lemah. Kau adalah salah satu orang terkuat yang pernah kukenal dan aku tahu kau terlalu keras kepala untuk menerima kata 'lemah' dan 'kalah' dalam hidupmu. Apakah aku benar?"
Bakugou hanya terdiam. Ia menatap [Name] yang dibalas dengan kilat amarah di matanya.
"Apa kau tidak ingin membuktikan pada All Might kalau ia tidak sia-sia menyelamatkanmu sampai mempertaruhkan nyawanya? Kalau ia sudah menyelamatkan salah satu siswanya yang paling berbakat? Kalau ia telah menyelamatkan seorang calon Pahlawan nomor satu? Atau kau hanya akan terus membiarkan dirimu dihantui dengan ucapan 'aku lemah'. Apakah aku salah menilai dirimu—Bakugou Katsuki yang kuat, keras kepala dengan mulut kasar dan selalu memberikan yang terbaik hingga meraih nomor satu yang mutlak?"
Pertanyaan [Name] yang bertubi-tubi dengan nada penuh provokasi membangkitkan sesuatu dalam diri Bakugou. Sesuatu yang hilang sejak kepulangannya. Sesuatu yang masih belum ia temukan hingga saat ini. Rasa percaya dirinya.
"Kau kuat, Katsuki," nada bicara [Name] melembut. Ia tersenyum menyadari mata Bakugou berkilat. "Berulang kali aku diselamatkan olehmu. Kau ingat saat baru menjadi kekasihmu dan kau berniat mengajakku area mirip hutan dekat rumahku? Saat dahan pohon hampir menimpaku kau menyelamatkanku."
Bakugou ingat. Ia menemukan tempat itu secara tidak sengaja setelah mengantar [Name] pulang dan berniat memperlihatkannya pada gadis itu. Mungkin karena area itu sudah lama, mungkin juga ada hewan yang tidak sengaja bermain di area pepohonan. Tiba-tiba saja dahan besar jatuh, hampir saja menimpa [Name] kalau bukan karena refleksnya untuk segera meledakkan dahan itu sebelum mengenai kepala gadisnya.
"Yah, walaupun caramu sama sekali tidak romantis karena biasanya setiap baru menyelamatkan kekasihnya, seorang pria pasti akan bertanya 'apa kau baik-baik saja?' tapi kalau malah berkata 'brengsek, siapa di atas sana? Turun kau sialan!'" gerutu [Name] saat mengingat kenangan mereka.
Bakugou mendengus kecil, tapi tidak bisa menahan kekehannya. Ia mengakui sifat kasarnya yang sudah mendarah daging, yang anehnya tidak membuat [Name] merasa takut padanya.
"Atau saat kau menggendongku ke unit kesehatan setelah latihan bertarung. Aku bertaruh recovery girl terkejut dengan wajah panikmu itu," sebelum Bakugou sempat menyela, [Name] melanjutkan ucapannya. "Juga saat aku tertekan dengan keluargaku, saat aku bingung bagaimana cara mengembangkan diri, saat aku butuh bantuanmu kau selalu ada Katsuki. Saat ini mungkin kau merasa lemah, tapi harus kuingatkan, apapun yang kaupikirkan dan bagaimana jadinya nanti ... kau adalah pahlawanku."
Bakugou berdecak. "Kenapa malah menangis, idiot?"
"Aku tidak menangis," sangkal [Name] dengan mata berkaca-kaca. Hatinya terasa nyeri mendengar ucapan Bakugou tentang dirinya sendiri, mengetahui betapa rendah Bakugou memandang dirinya. "Kau hanya berdelusi."
Bakugou mendecih. Ia memerangkap [Name] dalam dadanya sekali lagi lalu berbaring hingga [Name] berada di atasnya. Matanya menyusuri langit-langit yang berwarna putih sementara tangannya sibuk memainkan helaian rambut [Name]. Pandangannya terfokus pada [Name] saat merasa [Name] menggumamkan sesuatu.
"Kaubilang apa?"
"Apa kau sudah merasa lebih baik?" [Name] mengulang pertanyaannya, kali ini mengangkat kepala agar Bakugou bisa mendengarnya.
Bakugou menghela nafas dalam. Pandangannya bersirobok dengan mata [Name] yang masih berkaca-kaca. Lalu sudut bibirnya tertarik samar. "Aku memang harus merasa lebih baik kalau ingin menghentikan tangisanmu kan, cengeng?"
"Aku tidak menangis Katsuki! Kau berdelusi karena mengalami mimpi buruk," [Name] menyangkal lagi.
"Aku sudah sangat sadar saat kau meneriaki telingaku," Bakugou menyeringai. "Tidak hanya idiot tapi kau juga berisik dan cengeng. Apa aku benar-benar mengencani gadis seperti ini?"
[Name] memukul lengan Bakugou keras. "Ohh ... kau tidak hanya mengencani gadis idiot, berisik dan cengeng ini, tapi kau juga sangat menyayanginya. Aku benar kan tuan karena-aku-lemah-?"
"Dan ternyata gadis itu juga narsis," Bakugou setengah menyeringai setengah geli saat [Name] kesal.
"Kenarsisanku ini belum ada apa-apanya denganmu. Dalam hal narsis dan percaya diri, kau yang paling hebat," balas [Name] sarkas, tapi tidak bisa menyembunyikan senyumnya lebih lama lagi. Jika Bakugou sudah bisa membalas ucapan sarkasnya berarti ia sudah baik-baik saja.
Bakugou mengubah posisinya hingga berbaring menyamping masih dengan [Name] terkukung dalam lengannya. "Aku sudah mendengarkan ocehanmu sejak tadi. Sekarang tutup mulutmu dan pejamkan mata. Aizawa-sensei tidak akan memaafkan kita jika datang terlambat ke kelasnya besok."
[Name] terkikik. "Aku rasa ia tidak akan memaafkan kita jika tahu aku menginap di kamarmu malam ini."
"Ia tidak perlu tahu hal itu," Bakugou mulai memejamkan mata. Tubuhnya sudah lelah dengan aktivitas siang hari dan pengalaman buruknya di malam hari.
"Pasti akan ada yang memberitahukannya, Katsuki," gumam [Name] lagi sambil menutup mulutnya, menguap.
"Aku akan menyumpal siapapun yang berani mengadu padanya," suara Bakugou terdengar seperti gumaman tidak jelas. "Selamat malam [Name] dan terima kasih."
"Selamat malam Katsuki. Aku menyayangimu."
Perasaan takut dan rasa bersalah Bakugou mungkin tidak sepenuhnya menghilang. Mimpi buruk mungkin akan menghantui malamnya lagi, memaksanya untuk terjaga selama beberapa jam sebelum tubuhnya menyerah karena lelah. Tapi ia tahu, jika saat itu terjadi [Name] bersedia menjadi pilarnya. [Name] akan meneriakinya dengan kalimat yang akan mengembalikan apapun yang telah hilang. Menyadari hal ini Bakugou tersenyum kecil dalam tidurnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top