10. Hati


Seorang gadis kecil kini tertidur di sebelahnya. Mata sejernih emerald itu terpejam, sebelah tangannya memeluk sebuah boneka dinasaurus ungu milik Sasuke. Rambut merah muda pendeknya terkadang menutupi dahi yang kelihatan lebar karena gerakan absurd yang ia lakukan saat tertidur. Tersenyum sekilas, Sasuke pun merapikan poni-poni Sakura dan menyibakkannya ke samping agar tidak menganggu mimpi indah sang putri.

Tatapan bermanik kelam remaja lelaki itu, lalu mengarah kepada boneka yang dipeluk sang merah muda, boneka yang membuat amarahnya kembali membeludak di dalam dadanya. Matanya tiba-tiba menyipit tajam saat onyx itu membidik dinasaurus yang berada di rengkuhan sang rambut gulali, bentuknya lusuh dan penuh luka robekan yang sudah diperbaiki.

"Si tikus got itu pantas mati. Ya, pantas mati," bisik Sasuke dan setelahnya ia tersenyum karena melihat wajah polos Sakura yang masih ternyenyak.

Uchiha Itachi, lelaki itu adalah kakak Sasuke yang telah menjadi jembatan antara dirinya dan jurang penderitaan. Sosok yang sangat diingat lelaki raven itu telah membunuh kedua orang tuanya dan menyisakannya sendiri di dalam rumah besar ini. Saat itu usianya masih sepuluh tahun dan ia sangat benci atas alasan sang kakak berlaku kejam kepada orang tua mereka.

Sampai sekarang, ia masih mengingat apa yang diucapkan Itachi, dengan santainya lelaki itu berkata hal yang menurutnya sangat tak manusiawi, sebagai alasan atas kekejian itu. Tetapi, bukan hal itu yang menyebabkannya mendendam seperti sekarang ini, sayangnya Uchiha Itachi telah mati beberapa bulan setelah pembantaian keluarganya. Yang membunuh lelaki itu adalah Shimura Danzo, otak dari pembantaian keluarganya yang telah berhasil ia singkirkan, tikus got yang telah ia musnahkan.

Uchiha Fugaku adalah perdana menteri yang sudah menjabat selama bertahun-tahun, belum ada yang bisa menjatuhkannya, dan Danzo sebagai salah satu pejabat yang ingin menguasai parlemen, ia pun memfitnah dan mengotori nama Fugaku dan Mikoto yang merupakan pasangan suami istri yang berpengaruh di pemerintahan, Itachi yang merupakan salah satu komandan devisi ANBU yang dibawahi oleh Danzo, bahkan termakan cara kotor itu, ia mempercayai bahwa kedua orang tuanya melakukan cara keji untuk tetap menjabat di pemerintahan, bukti-bukti kotor itu diberikan oleh Danzo dan membuat sang anak pun akhirnya tunduk dan melakukan apa yang menjadi tugasnya.

Hanya beberapa orang yang mengetahui misi ini dan salah satunya adalah Itachi sendiri yang bertugas untuk membuat pembunuhan rekayasa yang dilakukan olehnya, berita kematian kedua orang tua Uchiha Itachi menyebar, sedangkan dirinya melarikan diri dan bergabung bersama salah satu organisasi hitam yang terkenal kebengisannya yaitu Akatsuki, hal ini ia lakukan karena dirinya mendapati informasi bahwa Danzo akan segera menghabisinya setelah itu, tidak ada pilihan dan karena ingin membongkar kebusukan lelaki tua itu, Itachi pun menjadi salah satu kriminal paling ditakuti dan dicari, tapi tak sampai beberapa bulan setelahnya, lelaki mantan komandan devisi ANBU itu ditemukan terbunuh.

Dua tahun setelahnya, Uchiha Sasuke yang meranjak remaja menitisi jejak kakaknya. Walau pernah hampir mati beberapa kali karena mendatangi sangkar singa, ia tidak peduli, yang ada di dalam kepalanya hanyalah keinginannya untuk membereskan kasus kematian kedua orang tuanya dan juga kakaknya. Sasuke terus saja mencari infomasi dan terjun ke dunia hitam, selama lima tahun dalam masa remajanya ia bergelut di sana dan perlahan-lahan merubah kepribadiannya. Ia semakin dingin dan bisa melakukan apa saja, termasuk mencuri informasi milik devisi ANBU melalui komputer milik kakaknya.

Ia mulai mencari, mempelajari dan sama sekali tidak ketahuan, Sasuke begitu ahli dalam dunia itu, ia pun memengang kendalinya. Sampai, ketika ia mulai menyelidiki Akatsuki, ia diketemukan dengan Kisame, lelaki itu adalah mantan partner Itachi saat melakukan misi. Tak ia bayangkan ternyata Kisame lebih normal daripada yang lainnya, ia memberikan buku peninggalan Itachi dan beberapa barang-barang kakaknya yang selama ini ada pada lelaki bertubuh besar itu dan dari sanalah Sasuke mendapatkan kepingan yang hilang, ia juga mempelajari banyak hal bersama Kisame.

Akhir itu pun tiba, di mana ia bisa membunuh tikus got tanpa ada yang mencurigainya, lelaki itu ia habisi tanpa meninggalkan jejak sedikit pun, ia berterimakasih kepada buku-buku milik Itachi yang banyak membantunya juga mantan rekan kakaknya itu.

Desah napas Sasuke kembali keluar dari bibir tipisnya, kejadian beberapa bulan yang lalu tiba-tiba saja masuk ke pikirannya, lelaki itu terkadang membengkokkan kedua benda kenyal di wajahnya itu dan menyeringai karena mengingat keadaan Danzo yang telah ia bunuh dengan cara yang tak kalah keji. Kembali bola matanya melirik Sakura yang berada di sebelahnya, sesaat ia merasa tenang karena melihat wajah sepolos malaikat.

.
.
.

Green & Akashi
Story by zhaErza
Naruto © Kishimoto Masashi

WARNING:
Alur maju mundur, No lemon, rate M for conflic, Death Chara, OoC, Typo(s) dan lain-lain.

.
.
.

Last Chapter: 10 Hati

.
.
.

Oksigen itu terhisap dari hidungnya, ia begitu meresapi bagian dari alam yang masuk melalu lubang yang ada di wajahnya, seperti baru saja terlepas dari sangkar, Sakura merasa begitu bebas. Ia kemudian menatap sang kekasih yang menggendongnya, wajah dengan bingkaian rambut crimson dan manik jade itu pun menatap emerald-nya, seperti memberikan kekuatan agar dapat tegar setelah begitu banyak hal yang terjadi belakangan ini. Gaara yang awalnya terhenti karena melihat tatapan sang tercinta, kini kembali melanjutkan langkahnya dan membawa gadis di gendongannya itu masuk ke dalam mobil.

Gedung bertingkat itu terlihat, dan mereka menuju bagunan yang berdiri gagah, dan langsung melangkah ke arah di mana kamar apartemen yang mereka tempati. Masih sama seperti tadi, digendongan Gaara, Sakura hanya terdiam dan sesekali membelai-belaikan telunjuknya di dada pemuda itu. Tak lama, mereka langsung membuka pintu dan melangkahkan kaki ke ruangan kamar, meletakkan sang merah muda di atas ranjang.

Mereka hanya saling berhadapan, dengan Sakura yang terduduk dan Gaara yang berjongkok. Ia membelai pelan rambut gulali, lalu mencium pelipisnya.

"Istirahatlah," bisik Gaara setelah melepaskan ciumannya.

Tak ada jawaban berarti, hanya ada pergerakan hati-hati Sakura yang langsung merebahkan tubuhnya dan menarik selimut setinggi dada. Wajah anggunnya ia miringkan ke sisi yang tak dapat dilihat Akashi, walau tak menyaksikan air mata yang tumpah karena muka Green-nya yang tak mau menatapnya, tapi sang Iblis Pasir Merah tentu tahu bahwa wanitanya ini tengah bersedih dengan tubuh yang rapuh. Ia mengerti, kehilangan orang yang sangat disayangi adalah hal yang sulit, dan inilah yang sedang dirasakan oleh kekasih merah mudanya.

"Green," panggilan itu tercekat di tenggorokan Akashi.

.
.
.

Dor.

"Suu-chan!"

Tembakan itu melukai lengan Sasuke yang sudah terluka, lengan atasnyalah yang menjadi bidikan Gaara tadi.

"Nah, kita akhiri ini, Uchiha Sasuke."

Acungan pistol kembali mengarah ke Sasuke. Gaara benar-beanr bernafsu untuk menyingkirkan lelaki itu.

"Tidakkk!"

Dengan berteriak kencang, Sakura semakin memberontak dan membuat kuncian Kakashi terhadap dirinya kendur. Wanita itu tak menyiakan kesempatan, akal sehatnya telah pergi entah ke mana, si merah muda kini bergerak beringas ketika sekali lagi tubuhnya ingin dihambat lelaki bertopeng yang bersusah payah mengekangnya itu.

Dengan secepat kilat, Sakura berlari dan menghampiri sosok Sasuke yang bermandikan darah. King Ares yang tak berdaya dan kini hanya terduduk dengan mata yang terbelalak karena menangkap tubuh Sakura dalam jeratan onyx-nya.

Dor.

Senjata api terlanjut ditembakkan Akashi, mengeluarkan timah panas yang dapat mengamuk pada apapun.
Keempat pasang mata pun terbelalak, sementara itu Sasuke berteriak mengerikan.

"Arrrrgggggggg! Cherry!"

Pistol terlepas dari telapak tangan Gaara, tubuh lelaki itu gemetaran dan terpaku.
Napasnaya menjadi satu-satu dan terkadang menderu. Dilain pihak, ada seorang wanita yang tubuhnya mengeluarkan cairan amis yang kental dari tengah dadanya, tepat dari dalam hatinya. Lengan Sakura terangkat pelan ke arah wajah saat manik zamrud-nya mengangkap ceceran darah di sana. Pandangannya berkunang-kunang, ia terbelalak dan menatap nanar Sasuke yang memaksa menggerakkan tubuh dan berusaha mendekatinya.
Lelaki itu merangkak, terseok dan menggunakan sebelah siku untuk membunuh jarak di antara mereka, mendekatinya dengan tubuh tak kalah bersimbah material yang sama dengannya.

Bunyi sesuatu yang bertabrakan antara lantai marmer dingin dengan tubuh seseorang, menandakan kalau satu-satunya wanita yang berada di kamar Sasuke itu terjatuh. Tubuhnya miring menghadap lelaki yang terluka parah itu, mata klorofilnya pun menatapn sayu.
Sasuke tergopoh dalam gerak tak sempurnanya, menyeret tubuhnya mendekati Sakura yang masih bernapas dan menatapnya dengan derai air mata.

"Cherry!" bibir dalam Sasuke tergigit, napasnya terengah dan ia mengangkat tubuh Sakura ke pelukannya.

Mereka saling menatap, dan saat ini Sakura tersenyum karena untuk pertama kalinya ia melihat Sasuke; lelaki yang dianggapnya sebagai seorang kakak kini tengah menangis. Bulir-bulir sejernih keristal itu berjatuhan dari jelaganya dan menetesi wajah Sakura.

Lengan ringkih wanita musim semi itu terangkat pelan, dan membelai wajah dingin Sasuke yang bersimbah air mata dan darah.

"Suu-chan ... akhirnya me-nangis." Suara Sakura hanya bisikan yang terlalu lemah.

"Cherry, janganlah ... kautinggalkan aku. Jangan." Sasuke tersendat karena tersedak liurnya sendiri, gelengan kepalanya dan bahunya yang bergetar, serta air mata yang semakin deras berjatuhan dari maniknya, menandakan kalau ia benar-benar tak ingin ditinggalkan wanita itu.

Setelah perkataan itu terucap, belum sempat Sasuke mendengar jawabnya, Sakura telah kehilangan kesadaran. Mata berhiaskan zamrud itu tertutup kelopak, dan membuat dirinya histeris.

"Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Cherry!"

Gaara menatap tangannya, ia sangat ketakutan dan kecewa terhadap dirinya yang dikuasai nafsu membunuh, tatapannya terhenyak karena melihat tangisan Sasuke yang memeluk Green-nya. Pandangan matanya lalu menatap Kakashi yang sedang menghubungi entah siapa, dan berteriak-teriak 'cepat', mungkin anggota mereka.

Tersadar dari kebodohan dan keterpakuan yang menjeratnya sedari tadi, kini ia berlari, dengan detak jantung berdebar, Gaara menghampiri Green-nya. Wanitanya itu tak sadarkan diri, ia mengingit kuat bibirnya, menggunakan telapak tangannya yang berkeringat dingin, Sabaku no Akashi mengambil tangan Sakura dan memeriksa nadinya. Ketakutan itu menyekiknya, tetapi dengan sengenap keberanian, ia pun menekankan pelan beberapa jarinya ke pergelangan tangan Sakura. Ada, tapi lemah.

"Akashi, bawa dia ... bawa dia ke rumah sakit," gendongan Sasuke mengarah kepada Gaara dan sekarang wanita berbaju putih dengan hiasan merah itu berada di dekapan lelaki berambut crimson, "enam ratus meter dari sini, arah jam dua, ada rumah sakit milikku."

Gaara tidak bisa berpikir, akhirnya anggukan kepala merah itu langsung tertangkap di jelaganya, dan Gaara berlari karena mendengar suara ambulance yang berhasil dihubungi Kakashi.

Manik sekelam malam itu memerhartikan punggung pria beriris jade yang semakin menjauh dari jangkauannya, sementara itu Kakashi yang di dekatnya langsung mengambil tindakan dan mengendongnya. Tidak mungkin pria bawahan Akashi ini meninggalkan musuh mereka ini agar mati kehabisa darah.

...

Tersadar karena bau rumah sakit yang menyengat, Sasuke langsung mencoba duduk, walau akhirnya ia menyerah karena rasa sakit yang membelenggunya. Napasnya tersegal dan bulir keringat mulai muncul di dahi dan pelipisnya. Tatapannya kini mengarah kepada Kakashi, lelaki itu duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Dengan memiringkan kepala, Sasuke benar-benar jelas menatap lelaki berambut perak yang sekarang berjalan mendekat ke arahnya.

"B-bagaimana keadaan Cherry?"

Kakashi hanya diam dan menghela napas, gelengan kepalanya kemudian membuat alis Sasuke berkedut tajam. Lelaki Uchiha itu sepertinya ingin penjelasan lebih.
Mengalah, pemilik rambut perak yang berpakaian rapi itu kini akhirnya menjawab.

"Aku tak tahu, ia masih diurus oleh dokter."

"Bagaimana bisa kau tak tahu? Ukh ... sudah berapa jam aku tertidur?"

"Dua jam."

Dengan sebelah tangan yang terinfus dan sebelah lagi yang terbalut perban, Sasuke nekat menggerakkan tubuhnya kembali dan bersusah payah hanya untuk mendudukkan dirinya, dengan perut yang terluka karena tembakan, tentu saja itu sangat menyulitkan baginya.

Pandangan mata Kakashi jengah karena melihat kekeras-kepalaan lelaki tak berdaya di hadapannya ini.

"Apa yang ingin kaulakukan?"

"Ghh ... hoss ... hoss. Bawa aku ... kepada Akashi. Di mana dia?"

Menghubungi tuannya terlebih dahulu untuk meminta izin, ia pun sekarang memanggil perawat dan membawakan kursi roda untuk King Ares. Lelaki pemilik rumah sakit ini di gendongnya dengan pelan dan didudukkannya di atas kursi roda, kemudian ia mulai mendorong dan membawa Sasuke kepada Gaara yang berada di ruangan dokter.

Wajah frustrasi Gaara adalah hal pertama yang menyambutnya.
Pembicaraan yang serius pun dimulai, Sasuke yang mengetahui inti pembicaraan ini kelihatan sama terguncangnya.
Setelah mendengarkan arahan sang dokter, mereka pun keluar dari ruangan itu menuju kamar rawat inap Sasuke.

"Bisa kautinggalkan kami berdua saja?" bibir pucat lelaki berambut raven itu kembali terkatup setelah ia menyuarakan isi kepalanya.

Kakashi mengerti, dan ia pun meninggalkan Gaara dan Sasuke di kamar rawat inap pria itu. Dua orang ketua organisasi yang terkenal itu saling menatap, tak ada suara untuk beberapa saat dan hanya napas merekalah yang terdengar bersautan.

Tidak ingin basa-basi atau semacamnya, maka Sasuke langsung saja ke topik dari hal yang ingin dibicarakannya bersama Akashi.

Pembicaraan itu berlangsung, dengan wajah tak percanya dan dahi yang mengerut, Gaara terheran ketika pernyataan itu keluar dari dua celah bibir Sasuke. Pemikiran yang gila, tapi juga tak ada cara lain.

"Itu sama saja, bukan? Jika sembuh pun, aku tetap akan dihukum mati. Jadi, lebih baik aku mati sekarang untuk Cherry-ku." Mata tajamnya mengintai Gaara, seringai mewarnai bibir si raven dan lelaki berambut merah itu pun menatap Sasuke dengan pandangan yang sama mengerikan, "Tak ada waktu lagi, Akashi." King Ares merubah raut wajahnya menjadi tak berekspresi kembali.

Dalam hati, Gaara membenarkan apa yang telah disampaikan Sasuke. Sudah jelas kalau mereka tak punya waktu lagi, tapi tentu saja ada sedikit keirian yang menaungi dirinya sekarang ini. Lelaki bermata jade itu selalu bertanya, apakah rasa cintanya benar-benar kalah jika dibandingkan dengan rasa cinta Sasuke kepada Sakura? Lelaki itu, seperti rela melakukan apa pun demi wanita yang sama-sama mereka cintai. Inikah yang dinamakan obsesi atau cinta yang sebenarnya? Ia sebagai sesama lelaki sangat tidak mengerti bagaimana jalan dari pemikiran seorang Sasuke Uchiha, baginya lelaki itu terlalu rumit dan tak tertebak.

Ia perhatikan lagi lelaki yang masih terlihat pucat itu, matanya tersorot keyakinan dan kepercayaan diri. Tak ada secuilpun ketakutan di sana, dan sekali lagi ia merasakan keirian itu mencubit hatinya.

Masih diam, Gaara terus saja memikirkan apakah hal ini pantas atau tidak, bagaimana pun ia sekarang merasa sedikit kasihan dengan jalan hidup lelaki yang masih menatapnya ini.

"Kenapa kau masih diam? Tidak ada jalan lain lagi, aku yang paling tepat." Ada gejolak dalam setiap untaian kata yang diucapkan Sasuke.

Kini keheningan itu kembali, dalam pikirannya masing-masing, meraka sama-sama mengulang kembali apa yang dokter itu katakan beberapa saat yang lalu sebelum mereka berbicara empat mata seperti sekarang.

Hatinya terluka, dan operasi adalah satu-satunya cara, masalahnya kita juga membutuhkan pendonor untuk Nona Haruno Sakura.

Secepatnya harus dilakukan, jika tidak kondisinya akan semakin membahayakan.

"Ini keputusanku, Rei Gaara." Nyatanya, buka hanya Akashi yang mengetahui jati diri King Ares, tapi juga sebaliknya.

Hela napas dan anggukan kepala menjadi persetujuan dari lelaki crimson itu.

Tiba-tiba saja, jade Gaara menangkap seringai dari wajah pucat itu. Dahi pria bertato 'Ai' itu pun mengerut.

"Tak kusangka lelaki yang telah membunuh kakaknya sendiri ternyata dapat berbaik hati juga." Gaara menatap Sasuke yang seperti terhenyak.

"Apa maksudmu?"

Mereka kemudian sama-sama terdiam untuk kesekian kalinya, Akashi sendiri menjadi bingung karena pertanyaan Sasuke.

"Aku tak pernah membunuh kakakku, dia mati saat usiaku sepuluh tahun. Itu akan terdengar aneh, aku masih kecil waktu dia terbunuh. Bagaimana ceritanya kau mengatakan akulah pembunuh Itachi?"
Sasuke merasakan kekesalan merambat ke kepalanya, ia sama sekali tak terima dikatakan pembunuh kakaknya. Dan ingatan itu kembali hadir, kalau tak salah saat Cherry ingin mendekatinya di malam itu, si sialan ini mengatakan hal yang sama untuk membujuk wanitanya agar tak mau menerimanya. Berengsek.

Akashi pun kelihatan kebingungan, lantas ia langsung menjawab.

"Aku mulai membunuh saat usia sepuluh tahun, itu tak aneh. Bahkan aku pernah hampir membunuh teman sepemainanku. Tapi, Itachi mati sembilan tahun lalu, kenapa kau bilang saat kau berusia sepuluh tahun? "

"Jangan samakan aku sepertimu, Bangsat. Masa kecilku itu tak suram sepertimu, aku hidup bahagia dulu sebelum keluargaku mati. Dan yang membunuh Itachi itu Danzo, seharusnya aku tak perlu menyebut si tikus got itu. Dia membunuhnya enam belas tahun yang lalu, kenapa kau berpikir Itachi mati sembilan tahun lalu dan aku yang membunuhnya? Dari mana kau mendapatkan informasi rajungan itu?"

"Danzo, pantas saja sampai sekarang tak ada informasi mengenai pembunuh Itachi, tapi dia sudah mati sembilan tahun yang lalu juga. Kalau begitu ada yang tidak beres, kemungkinan ini adalah manupulasi dan pemalsuan identitas Itachi saat lelaki itu mati, dan waktu itu Danzo sengaja untuk menjatuhkannya kepadamu? Sebagai satu-satunya keturunan perdana menteri?"

"Banjingan itu ingin menghabisi keluargaku sampai ke akar-akarnya."

"Tapi, untungnya dia sudah mati sebelum rencana tengiknya dilaksanakan. Kutebak, kau yang membunuhnya." Gaara menyeringai.

Mereka kembali terdiam, Sasuke hanya mendelik tak suka karena tuduhan Gaara tepat sasaran.

"Dia pantas mati."

"Hmm, jadi Itachi memang bukan anggota Akatsuki. Mengingat organisasi itu baru sepuluh tahun berdiri."

"Akatsuki itu ada dua, yang dulu sekitar enam belas tahun lalu, Akatsuki hanya organisasi untuk melenyapkan orang-orang kotor di pemerintahan, tapi entah bagaimana ceritanya sepuluh tahun belakangan mereka seperti membabi buta dan menerima segala macam permintaan membunuh dengan bayaran tentunya. Akatsuki sebenarnya sudah ada hampir delapan belas tahun lalu, tapi mereka dulunya hanya terkenal di dunia hitam, sampai ketika Pain memimpin, organisasi ini lebih beringas dari yang dulu."

"Ternyata banyak yang ditutupi di devisi ANBU. Hades juga banyak melenyapkan informasi ini, aku bahkan tak tahu. Ya, ternyata masih banyak yang harus kuselidiki meski Akatsuki telah lenyap.

Mata hitam Sasuke lalu menatap jendela yang anginnya sedang membelai tirai, menyejukkan ketika mengenai kulit pucat miliknya, ia lalu memfokuskan pandangannya lagi ketika mengangkap lelaki beriris jade yang mengunci tubuhnya dengan manik kehijauan itu, ia tahu jika lelaki ini ingin menanyakan sesuatu, yang membuat firasatnya tak enak.

Bibir Gaara terbuka sedikit, ia ingin mencari tahu apa penyebab Sasuke memperkosa Sakura dari lelaki itu sendiri. Begitu penasaran, dan benar-benar ingin ia ketahui.

"Apa alasannya?" terlalu ambigu, tapi Sasuke paham ke mana arah pertanyaan lelaki yang berdiri di samping ranjang ini, dari suara Gaara yang sangat berbeda saja ia tahu kalau lelaki itu menanyakan hal yang paling tabu baginya.

Hela napas Sasuke menjadi satu-satunya jawaban untuk saat ini, ia masih belum mau membuka suara, ada sesuatu yang belum siap dalam hatinya.

Merileksasikan tubuh, Gaara kembali menanyakannya.

"Sasuke, beritahu aku apa alasan kau melakukan hal itu padanya?" tatapan Gaara kelihatan terluka dan miris terhadap kehidupan di masalalu dari Sasuke dan Sakura.

Kepala berambut gelap itu tertunduk, ia memejamkan mata dan seperti sulit untuk memberitahukan hal ini kepada Gaara.

"Kau tak perlu tahu, kebusukan itu tak perlu kuumbar."

Mata jade itu terbelalak, Gaara menghisap udara dengan tajam, lengannya mencekik leher lelaki pucat yang tak berdaya itu, lalu menghentaknya ke sandaran ranjang yang berada di kamar rumah sakit. Bunyi benturan besi dan kepala Sasuke terdengar, untuk saat ini Sabaku no Akashi tidak ingin perduli walau sekarang sedang memperlakukan pendonor hati wanitanya dengan kasar.

"Dengar, kau dan aku itu sama. Kita busuk dan hidup di dunia busuk," napas lelaki berambut bak api itu menderu, giginya gemeletukan karena tak menemukan respons dari sang Raja Dewa Perang yang tak berdaya, "kita bahkan, mencintai orang yang sama. Tidak, aku yang mencintainya, sedangkan kau ... itu hanya obsesi. Kau hanya ingin memilikinya, menempatkannya di sampingmu, kau tak memikirkan kebahagiannya, bukan?" suara Gaara semakin kuat seiring emosi yang membelenggunya.

"Tak ada yang lebih besar dari rasa cintaku pada Cherry-ku, Gaara. Selamanya."

Walau hanya terdiam, tapi gigi lelaki bernama lain Akashi itu gemeletukan, kepalan tangannya terbentuk dan nyaris melukai dirinya sendiri ketika semakin mengerat karena melihat senyum angkuh Sasuke.

"Aku mencintainya, walau dengan cara yang salah."

Tidak ingin memperpanjang masalah, Gaara pun keluar ruangan untuk mengurus keperluan lainnya mengenai wanita yang dicintainya itu.

"Sasuke sialan." Bisiknya.
Beberapa saat setelahnya operasi pun dimulai.

Angin kini berembus dan menerbangkan dedaunan yang melambaik nakal, sesekali, rerumputan pun ikut tergoyang karena belaiannya, masuk ke jendela dan meniup kain tipis yang menutupi jendela kamar.
Mata emerald itu akhirnya terbuka, menampakkan cahayanya yang dirindukan sang kekasih. Namun, ada keingintahuan yang besar di iris menawan itu, setelah kesadaran Sakura, wanita itu semakin memberontak karena tak percaya mengenai jawaban-jawaban yang telah diberikan kekasihnya, ia merasakan kesedihan setiap kali menyebut nama orang terkasihnya. Hatinya bergemuruh dan Sakura tak pernah merasakan sesak sedahsyat ini sebelumnya.

"Aku ingin bertemu, Suu-chan."

Wanita merah muda masih bersikukuh untuk hal yang diinginkannya, matanya menatap tajam kepada Akashi yang masih menolak perkataan yang sejak tadi diucapkan pemilik nama Green itu. Walau ia yakin kalau sang musim semi tak akan peduli dengan penjelasannya, namun tetap saja lelaki berambut merah itu mempertahankan jawabannya.

Hal yang dilakukan Sakura setelah mendengar penolakan Gaara adalah kembali mencercanya, setidaknya ia sudah cukup bersabar untuk membicarakan hal ini baik-baik kepala lelaki yang memiliki status sebagai kekasihnya itu.

"Kau harus memikir-"

"Aku tidak peduli! Aku tidak peduli!" lelehan air mata pun tumpah, punggung gadis itu terlihat mengguncang sedikit karena mencoba menahan suaranya.

Tidak ada perubahan suasana hatinya, meski ia telah mendapat rengkuhan dari Akashi, ia merasa tetap dingin dan selalu merindukan Sasuke, seorang lelaki yang dianggapnya kakak. Benar-benar tak tergantikan.
Menenangkan Green yang histeris bukan sesuatu yang mudah, wanita keras kepala itu akan mencoba apa pun untuk menuntaskan keinginannya, meski hal itu membahayakan dirinya.

"Suu-chan, kumohon ... hiks izinkan aku pergi menemuinya, Gaara."

Lengan kuat sang lelaki masih membelai punggung sang wanita, bisikan-bisikan janji pun terdengar oleh Sakura.

"Sabarlah, kau harus sembuh dulu, Green."

"Tapi, aku sudah sembuh ... Gaara. Jadi, kumohon." Masih dengan deru napas dan tangis yang mengiringi, membuat permintaan Sakura sangat menyayat hati bagi siapa pun yang mendengarnya.

Gaara hanya terdiam, belaian tangannya semakin lembut di punggung wanita itu. Tatapan jade-nya membuana entah ke mana, mengingat sosok lelaki yang terakhir kali ditemuinya sebelum melakukan operasi, mereka masih bercakap-cakap sebentar, dan setelahnya, Gaara menemuinya lagi tetapi lelaki itu tak meresponsnya. Dingin, pucat, kaku dan tak bernyawa.

"Jagalah Cherry-ku. Bagiku, tak ada yang lebih berharga selain dia."

"Kau tidak ingin memberi perkataan terakhir untuknya, atau semacamnya?"

Gelengan kepala dari surai hitam itu terlihat, Sasuke tersenyum tulus.

"Selama ini, aku selalu membuatnya sedih ... tersakiti," Sasuke membuang tatapannya, mengarah ke dinging yang tak akan merespon suasana hatinya, "kesedihan itu, rasa terluka ... aku tak ingin menambahnya lagi ketika ia menangis histeris hanya karena perkataan terakhirku. Sudah cukup untuknya, dan ini adalah permintaan maafku, dengan hatiku sebagai buktinya. Buatlah ia bahagia."

Percakapan itu begitu tertanam dalam kepala berambut merahnya, ia sama sekali tidak berpikir kalau Sasuke tak memberikan kata-kata terakhir untuk Sakura, selembar surat atau sebagainya. Tidak ada, hanya hatinya yang menjadi bukti sebagai rasa cinta dan penyesalannya ketika ia menyakiti hati sang musim semi.
Keesokan harinya pun sama, ketika membuka emerald-nya, yang langsung ditanya wanita itu adalah nama Sasuke.

"Sasuke sudah tidak ada di pulau ini." Sakura terhenyak.
Langsung saja wanita itu bertanya ke mana lelaki itu pergi? Kenapa ia tega meninggalkannya, bukankah Sasuke telah berubah sekarang, menjadi sosok yang lebih baik dan menyayanginya.

"Ke mana?"

"Ia sudah ke tempat asalnyal."

"Apakah ia sudah pulang ke desa asa-"

"Ya, dia sudah pulang ke sana."
Tatapan Sakura kembali berair, berkaca-kaca. Ia merasa kesal karena mengetahui bahwa lelaki itu telah berada di kampung halamannya dan tidak mau menemaninya di sini, rumah sakit yang baunya sangat memuakkan.

"Kenapa dia meninggalkanku?"

"Setelah kau lebih baik, aku akan menjelaskan semuanya."

Jari kelingking Sakura terangkat, ia ingin lelaki bermata jade ini mengikat janji dengannya, dengan menyatukan kedua kelingking mereka.

Setelah mengikat janji, Sakura kelihatan lebih tenang. Wanita itu pun tak ragu untuk beristirahat. Hari demi hari pun berjalan normal dengan Sakura yang semakin semangat untuk menyembuhkan diri, dan kesembuhan itu pun mulai terasa, walau masih belum boleh berjalan, dirinya pun sudah diizinkan untuk keluar dari rumah sakit di pulau milik Sasuke ini.

Mereka menuju bandara dan langsung pulang ke apartemennya, di sana tetap saja Sakura masih harus dikontrol oleh dokter dan terkadang ada perawat yang memeriksanya.
Sesendok bubur disuapan terakhir menandakan kalau nafsu makan Sakura semakin membaik, wanita itu tersenyum dan menatap kekasihnya yang memberikan segelas penuh air putih dan obat-obat penyembuhnya.

Meneguknya, setelah itu ia mendapatkan kecupan di bibir dari lelaki merah itu. Ini sudah seperti kebiasaan bagi Green dan Akashi, ketika sehabis meminum obat, maka Gaara akan memberikan kecupan sebai hadiahnya.

Bibir merah muda itu masih mengerucut, bertanda ia masih menginginkan ciuman itu walau sang lelaki hanya terkekeh dan mencubit pelan pipinya.

"Syukurlah keadaanmu sudah semakin baik."

Gaara memeluk wanita yang terduduk di kasurnya itu, meletakkan kepala merahnya di ceruk leher sang wanita, dan menghirup wangi yang selalu ia rindukan.

"Kau memiliki janji, Gaara."
Gaara seperti terpaku, ia melupakan hal ini karena Sakura yang sama sekali tidak pernah mengungkit Sasuke lagi semenjak mereka berjanji. Gadis itu benar-benar memfokuskan diri untuk sembuh.

"Aku ingin bertemu dengan Suu-chan."

Gaara hanya bisa terdiam dan menghela napas panjang.

.
.
.

Tatapan mata jade itu tak hentinya menyorotkan kekhawatiran pada sang wanita, sesekali telinganya menangkap suara sendatan Sakura dalam tidurnya karena tangis diam-diam yang baru berhenti. Kemarin, setelah pergi ke pemakaman Sasuke yang berada di desa asalnya, Sakura benar-benar tak bisa mengendalikan tangisnya kembali. Ia mengerti, itu adalah luka, kekecewaan, dan kasih yang menjadi satu dalam isakan Green-nya. Bukan hal yang mudah untuk menerima kenyataan ini.

Beberapa minggu lalu, Gaara menepati janjinya setelah kesembuhan gadis itu, ia menjelaskan Sasuke yang telah tiada dan membuktikan rasa cintanya dan maafnya dalam bentuk hati yang nyata untuk keselamatan diri Sakura. Dengan mata kepalanya, ia melihat Sakura yang histeris, berteriak dan memaki Gaara. Bahkan wanita itu seperti kehilangan semangat hidupnya.

"Aku tak peduli ... hiks ... bawa dia kepadaku! Ini bohong! Kaubohong, aku benci kalian. Aku benci!"

"Sttt tenanglah, dia berada di dalam dirimu. Sasuke tetap hidup, dalam dirimu. Kau ha-"

"Aaaaarrrrgggg ... kau pembohong, Biadap. Kau membunuhnya, pembunuh! Lepaskan aku! Lepakan!"

"Sakura te-"

"Suu-chan! Arrggg ... tidak! Tidak! Aaaaa! Jangan tinggalkan aku ... hikss."

Pejaman mata jade-nya membuyarkan lamunannya tentang malam ia menjelaskan mengenai keadaan Sasuke. Gadis itu sangat terguncang, Sakura depresi dan nyaris melukai dadanya yang memiliki bekas operasi. Jari Gaara mengurut pelan batang hidungnya, ia lalu menatap kembali Sakura yang masih terlelap dengan bekas-bekas kesedihan yang masih tercetak di wajahnya.

Syukurlah, setelah membujuk wanitanya, akhirnya si merah muda mau mendengarkannya dengan syarat mereka akan pergi ke pemakaman Sasuke setelah psikis Sakura lebih baik. Gaara menyanggupi, setidaknya keadaan Green-nya tidak memperihatinkan lagi.

Awalanya, Gaara mengira kalau Sakura akan langsung menangis dan berteriak ketika membaca nama Uchiha Sasuke yang terukir di batu nisan, tapi tidak. Wanita itu terdiam kaku dengan air mata yang metes, walau wajahnya tak berekspresi. Yang bisa ia lakukan hanya menenangkan dan menguatkan wanitanya, mencoba memberitahu bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Dia akan bahagia jika kau bahagia."

Setelahnya, Gaara melihat Sakura yang menghapus air matanya dan mengangguk sambil tersenyum. Wanita itu mengatakan kalau ia akan berjanji agar bahagia. Setelah menatap lama nisan Sasuke, Sakura mengatakan ingin pulang ke apartemen mereka, walau jaraknya jauh tapi ia bersikukuh ingin pulang.

Mereka pulang dengan menaiki helikopter, saat turun dan berjalan bersama, Sakura tiba-tiba saja limbung, Akashi tentu sangat khawatir dan ia ingin membawa Green-nya ke rumah sakit, namun sang wanita menggelengkan kepalanya. Dia bilang ingin cepat pulang.

Sekarang, gadis itu masih terbuai alam mimpi. Kesedihan itu telah larut dan tak berbekas di wajahnya, hanya ada deru napas yang teratur dan kenyenyakan tidurnya.

"Kau akan mendapatkan kebahagian, Green ... karena aku telah berjanji kepadanya."
Tersenyum, Akashi membelai rambut gulali yang beruraian di ranjang.

.
.
.
.
.

Enam tahun kemudian.

Mata emerald wanita dewasa itu menatap tajam suaminya yang tersenyum maklum, seperti mengancam karena melihat buah hati mereka yang sekarang tengah menangis di gendongan sang papa. Ketika sampai di hadapan sang wanita merah muda, langsung saja pria dewasa yang menjadi suaminya itu mendapatkan sikuan kuat di perutnya, meringis tapi sang suami sama sekali tak membalas. Sementara itu, anak mereka yang berusia lima tahun kini menggapai-gapaikan tangannya kepada sang mama, bocah imut itu semakin menguatkan tangisnya dan berniat mengadu kepada bundanya.

"Papa menginjak bungaku, aku menyiraminya setiap hari huaaaaa."

Usapan-usapan kini membelai punggung anak kecil itu, sepertinya sang mama masih menatap galak pada suaminya yang sedang ikutan mengusap kepala anaknya.

"Papa sudah memperbaikinya kok, tadikan sudah minta maaf sama bunganya." Suara lelaki yang memanggil dirinya dengan sebutan 'papa' itu merajuk dan dibuat sedih.

"Lain kali, kita menanamnya di pot ya, Sayang. Nah, Papa kan sudah mengaku salah, ayo dimaafkan." Wanita itu menyentuh pipi gembil anaknya dan menghadapkan wajah sang anak kepada papanya yang berwajah merajuk.

"Papa, nanti merawat bunga sama Sarada, ya." Jari kelingking mungil itu langsung diapit papanya. Lelaki dewasa itu mengangguk.

"Baiklah, terimakasih karena kebaikan putriku ini." Ciuman lembut menghiasi pipi gembil menggemaskan itu.

Mereke tertawa bersama, walau masih ada lelehan air mata di pipi sang anak yang tersisa. Ketiga orang berbeda warna rambut yang terlalu mencolok itu memasuki rumah mereka yang terletak di desa Sasuke, mereka menghuni dan tinggal di rumah orang tua Sakura yang dulunya sempat kosong.

"Sayang, bunganya kalau sudah mekar untuk Papa ya?" Gaara merayu anak perempuannya itu.
Bibir mungil Sarada merengut, ia lalu membuat senyuman yang mirip seringai jika dilihat oleh orang lain, membuat Sakura dan Gaara cukup terkejut melihat cara tersenyumnya.

"Tidak, itu untuk Papa Sasuke."
Sakura tersenyum, sementara Gaara kelihatan kecewa yang dibuat-buat.

"Wah, kalau begitu Mama juga akan memberikan bunga untuk Papa Sasuke."

"Tidak adil, Papa juga memberikan bunga kalau begitu."

Sakura dan Sarada saling tatap, kemudian wanita musim semi itu berbisik kepada putrinya.

"Papa tidak boleh ikut, weeeekkk."

Sarada tertawa saat melihat mamanya memeletkan lidah kepada papanya, gelak tawa mama dan anak itu semakin gencar ketika mereka berlari bersama dan dikejar oleh satu-satunya pria yang ada di rumah.
Mereka tertangkap, dan dihadiahi ciuman oleh Gaara.

"Kyaaaa dicium Papa, nanti jadi mata panda." Sakura berteriak ketika dihujani ciuman di wajahnya.

"Tidakkk." Sarada ikutan memekik ketika mendengarkan ocehan mamanya, dia tidak mau memiliki mata panda seperti papanya.

"Dasar Mama nakal, awas ya akan Papa cium."

.
.
.

Suu-chan, Terimakasih. Aku sangat bahagia dengan hidupku, dan ini karenamu, pun Sarada dan Gaara yang telah menjadi keluarga kecilku.

Aku memenuhi janjiku, Sasuke. Aku membuatnya bahagia, dan terimakasih.

Green dan Akashi, mereka memikirkan orang yang sama setiap kali merasa bahagia.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Tamat

A/N:

Akhirnya tamat juga update fic ini di wattpad. Wahaha terimakasih untuk semuanya.

Salam sayang dari istri Itachikoi,

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top