Bab 40. Kedua Kalinya

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Kalau kamu pikir, aku mencintai perempuan lain. Kamu salah. Hati aku masih milik kamu."

Ily menatap meja, melihat ke arah Gravi sama saja mempermalukan diri sendiri. Ia nanti malah salah tingkah.

"Gak usah terburu-buru, aku kasih kamu waktu satu minggu untuk memutuskan."

‍"Ly! Lo ngelamunin apa, sih."

Gadis yang disebut menoleh. Mega memasang wajah menyelidik. Begitu juga Gita menatap dirinya seraya membenahi Vio yang bergerak aktif dalam pangkuannya.

Ily menggeleng kecil. "Bo'ong tuh," celetuk Gita.

"Gue tau, lo pasti mikirin Gravi kan?" sambung Gita lagi.

"Gravi dia udah nunjukin batang hidungnya ke lo belum?" Mega bertanya.

Haruskah kedua sahabatnya tahu tentang kemarin malam. Ily diam lagi menimbang-nimbang. Menghembuskan napas, Ily mengangguk sebagai jawabannya.

"Terus, gimana hubungan lo sama Gravi selanjutnya? Aneh tau gak. Kalian suami istri, udah sama-sama dewasa tapi masih kaya bocah."

Gita selalu saja berkomentar dengan sejujur-jujurnya. Ily tertohok sekali mendengar kalimat itu.

"Pedes banget tau, Git. Ily temen kita sendiri."

"Ya, maap, gue geregetan banget soalnya."

Ily sama sekali tak mempermasalahkan ucapan Gita. Meski hatinya tertohok dan sedikit nyeri, dia sudah biasa mendengar kalimat serupa dari bibir Gita. Jika tidak begitu, bukan Gita namanya.

"Terus, kalian bahas apa?"

Mega angkat bicara. Seperti de javu. Kejadian ini persis seperti tujuh tahun yang lalu. Gita mencak-mencak kesal dan Mega yang bertugas menjadi malaikat pemberi pertanyaan. Ily ingin tertawa, tapi dia sedang tidak berselera.

"Gravi ngajak aku membangun keluarga." Semua terdiam, senyap. Tak ada yang berbicara. Mereka juga pasti bingung mau berkomentar apa.

"Lo sendiri, gimana perasaan lo?"

Mega membuka suara. Ily lagi-lagi hanya bisa menggeleng lemah. Dia belum siap.

"Lo yakinin diri lo dulu, lah."

"Tapi nih," Gita yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. "Menurut gue, Gravi cowo setia. Yang omongan gue dulu-dulu itu anggep aja kita salah udah menyangka dia sama Bianca punya hubungan."

"Logikanya udah tujuh tahun berlalu, kalo emang dia bukan cowo setia. Dia pasti udah bakal sama cewe lain, Ly."

Penjelasan Gita entah kenapa malah semakin membuat kepala Ily pening.

"Ngeliat lo kaya gini, gue makin yakin kalo sebenernya lo tuh masih cinta juga sama Gravi. Cuma bingung dan takut mau memulai semuanya dari awal. Lo udah terlalu nyaman dengan hidup lo yang sekarang. Hidup tanpa masalah."

Sementara Ily terdiam memikirkan ucapan Gita, dua sahabatnya itu beradu argumen entah apa. Jadi apa benar, Ily sekarang sedang ketakutan untuk memulai hubungan rumah tangga lagi dengan Gravi.

"Sayang udah ada tamu." Suara suami Mega menghentikan perdebatan kecil yang terjadi sekaligus lamunan Ily.

"Ah, iya. Aku abis ini nyusul. Kamu duluan aja."

Mega menepuk bahu Ily, "Lo butuh pendapat dari om Dipta sama tante Shinta juga."

Lalu ia menarik tangan Ily untuk berdiri. "Ayo ke depan, Ly."

Berjalan mengekori kedua sahabatnya. Dalam hati Ily mengiyakan saran Mega. Dia butuh pendapat dari ibu dan bapaknya.

Malam hari ketika Dipta dan Shinta bersantai di depan televisi. Ily menghampiri kedua orang tuanya.

"Bu, Pak. Ratna mau nanya pendapat ibu sama bapak."

Sapasang manusia berusia lebih dari setengah abad itu memusatkan perhatian pada putrinya. Sang ibu menepuk ruang kosong tepat di sisi kiri. Sedangkan Dipta, dia mengecilkan volume TV-nya.

"Ada apa, Na?"

Ily menelan ludahnya. Tenggorokan Ily tiba-tiba jadi kering. Kira-kira bagaimana reaksi ayahnya. Selama tujuh tahun ini, dia sama sekali tak pernah menyinggung soal Gravi. Mengulum bibirnya sekali, ia kemudian mengeluarkan suara.

"Kemarin Bu, Gravi ngajak Ily berumah tangga lagi."

Persis seperti yang Ily prediksi. Dipta dan Shinta terdiam. Jika bisa, Ily ingin sekali menghindari hal ini, ia ingin membiarkan saja. Namun, tetap tak bisa. Karena sampai saat ini, Ily masih jadi istri Gravi yang sah di mata hukum dan agama.

"Sejujurnya, Nak. Bapak sama Ibu gak setuju kalau kamu sama Gravi lagi. Ibu takut, anak ibu mengalami hidup yang pahit lagi." Ily terdiam menunduk, begitukah.

"Tapi tetap semua keputusan ada di tangan Ratna. Ratna bebas ambil keputusan apa pun. Ketakutan ibu sama bapak ini, hanya bentuk kekhawatiran sebagai orang tua. Kalau ibu lihat, mungkin rumah tangga kalian yang kedua kali ini akan berhasil.

Melihat keadaan kalian sudah berubah. Kecukupan finansial, kematangan emosi, kalau Ratna sama Gravi saling mencintai. Ibu akan mendokan yang terbaik."

Penjelasan panjang dari ibunya sedikit banyak membuat Ily lega.

***

"Mbak! Keluar mbak, ada tamu yang nyriin mbak. Cowo yang kemarin itu."

Ily tau, ia melihat mobil Gravi terparkir di pelataran rumah. Ily tersentak. Pintu digedor lagi, kali ini dengan teriakan yang lebih kencang.

Ily tak akan menemuinya. Dia belum memiliki jawaban yang Gravi tunggu. Membuka pintu, adiknya itu sudah memasang wajah cemberut.

"Bilangin, Mbak Na gak di rumah."

Pintu ditahan oleh Delia. "Loh, gak bisa gitu mbak." Dahi Ily mengernyit.

"Soalnya tadi Delia udah terlanjur bilang kalo Mbak Na ada di rumah."

Ily membuang napas kasar. "Yaudah bilang aja kalo Mbak Na lagi mandi."

"Kalo orangnya bilang gini. Ekhem, gapapa saya tunggu sampai Ily selesai mandi. Nah, Delia harus gimana mbak?"

Ily memejamkan mata memijat kening. Delia ini, bukankah dia pintar merayu. Kenapa sekarang malah bertanya pada Ily.

Kelopak Ily terbuka. "Delia mau duit gak?"

"Duit?"

Ponsel di genggaman remaja itu langsung turun ke sisi tubuh. Mata adiknya melebar sempurna. Mengangguk semangat, lalu dia berkata.

"Delia gak bakal nolak kalo dikasih duit."

"Yaudah, buat orang di depan pulang. Nanti mbak kasih 50 ribu. Mau?"

"Waah, aye-aye kapten."

Sepeninggal adiknya dari depan pintu kamar. Ily bergeser ke jendela. Berdiri di sana, menghitung detik demi detik. Berharap Gravi segera memasuki mobil dan meninggalkan rumahnya.

Dan benar saja, tak sampai lima menit. Gravi memasuki mobilnya. Disaat yang bersamaan sebuah pesan masuk. Dari Gravi.

🖤💖
Kamu takut Ly ketemu aku?

Heh, yang benar saja. Ily tidak takut. Siapa yang takut, dia hanya malas saja. Lagi pula, ia belum memutuskan apa pun. Tak lama, sebuah pesan menyusul lagi.

‍🖤💖
Besok aku datang. Jgn menghindar, aku gk menuntut apa pun dari kamu.

Ucapan Gravi tidak main-main, sore ini dia datang. Tidak menemui Ily. Namun, langsung menemui kedua orang tuanya di rumah lama. Ily merutuk dalam hati. Zonk. Dia baru saja ditipu Delia. Delia bilang ibunya memanggil di rumah lama, Shinta menyuruh Ily untuk ke sana. Betapa terkejut Ily saat di ruang tamu ada Gravi beserta Shinta dan Dipta.

"Kedatangan saya ke sini, mau mengajak putri bapak sama ibu kembali ke rumah saya. Saya berniat membangun rumah tangga kembali bersama Ily."

Dengan balutan jas kerjanya, Gravi mengatakan hal itu dengan penuh percaya diri. Dipta selaku kepala keluarga angkat bicara.

"Apa yang bisa kamu lakukan agar anak saya bahagia?"

"Saya akan berusaha untuk menghargai dan menyayanginya sebagai seorang istri."

"Ibu terserah dengan keputusan Ily."

Semua orang terdiam menunggu jawaban dari bibir Ily. Bukan perkara yang mudah untuk memutuskan hal ini. "Ratna belum punya jawaban apa pun, Bu."


***

Ily membereskan kertas-kertas di meja. Di saat yang bersamaan Richard datang. Dia langsung tergesa mendekati Ily. Lelaki itu duduk tepat di kursi yang bersebrangan dengan kursi yang Ily duduki.

"Ly, kemaren ada cowo yang nanyain hubungan gue sama lo."

"Hah? Hubungan apa sih?"

Tanpa pembukaan, tanpa penjelasan lebih dulu. Richard tiba-tiba saja mengatakan kalimat itu dengn menggebu-gebu. Ily jelas bingung. Sejak kapan ia punya hubungan dengan Richard.

Lelaki itu menghembuskan napas pelan. "Masa lo gak paham sih, Ly."

"Ya enggaklah. Kakak ceritanya gak jelas gitu, terlalu tiba-tiba," Ily menggerutu.

"Oke-oke gue ceritain. Kemaren sore, sekitar jam limaan. Pas gue keluar dari ruangan, ada cowo pake setelan jas kerja, tinggi, putih, matanya sipit. Dia ngehampirin gue tiba-tiba ...."

"Sori sebelumnya gue mau tanya. Lo model yang punya galeri ini kan?"

Richard menatap bingung, dia tak kenal siapa laki-laki ini. Meski begitu dia tetap mengangguk. "Gue emang salah satu pemilik galeri ini dan yah gue juga kerja jadi model. Ada urusan apa sama gue?"

"Apa lo, punya hubungan sama Ily?"

"Hubungan gue sama Ily, ya. Rekan kerja aja, gak lebih."

Gravi terdiam. "Gue denger dia deket sama cowo pemilik galeri ini juga."

Richard mengangguk. "Ada satu cowo pemilik galeri ini juga. Namanya Halim."

Ily ternganga memekik keras. "Kenapa kakak bilang gitu, sih?"

"Lah, salah gue, ya? Yang gue tau kan cuma ... lo deket banget ama Halim. Ya kan, gue kira gitu."

Ily terduduk lemas. Jangan sampai terjadi bencana lagi hanya karena kesalah pahaman itu. Ily sudah memiliki jawabannya. Namun, masalah lain malah seperti akan segera datang.

Ponsel Ily berdering. Ia menyahut gawainya yang tergeletak di meja. Gravi menelpon.

"Halo, Ly. Kamu sibuk? Aku mau ajak kamu keluar."

‍‍Ah, Ily ada janji dengan orang lain. "Gak bisa, Gra. Aku ada banyak urusan."

"Ah, oke gapapa."

Belum berkata apa-apa sambungan langsung diputus oleh Gravi. Menengok ke kiri, Richard sudah tidak di kursi sebrang Ily. Lelaki bertubuh bugar yang Ily akui tampan itu kini sudah merebahkan diri di sofa.

"Halim jadi ke sini?" celetuknya.

"Jadi."

Richard bergumam. "Ly, gue tidur dulu, ya. Ngantuk banget. Lagian ada lo sama Halim ini."

"Iyaaa," jawab Ily sambil mengetikkan sesuatu di atas keypad.

Kak Halim
Gue dah di galeri, tp gk msuk ke room kerja. Gue mau liat² keaadaan galeri.

Kak Halim
Lo jelasin perkembangan penjualan sambil liat-liat, ya. Gue ada di lobby

Me
Ok, kak. Aku keluar sekarang.

Dengan map di tangan, Ily mengayunkan kaki pada Halim yang berdiri di depan sebuah kukisan dengan kanvas ukuran 2×3 meter. Sebuah lukisan beraliran surealisme.

"Jadi, gimana?" tanya Halim to the point.

Memang benar, ya, umur kadang bisa menghapus beberapa tingkah yang pernah melekat semasa remaja. Halim contohnya. Dia sudah tak pernah melempar lelucon lagi. Tertawa dalam hati, Ily jadi rindu momen itu.

"Bulan ini seiring bertambahnya pengunjung, pemasukan juga mengalami peningkatan sebesar dua puluh persen jika dibandingkan dengan bulan kemarin."

Halim mengangguk. "Yang paling laris apa?"

Ily membuka lembaran-lembaran kertas yang ada di map seraya mengikuti langkah Halim. "Berdasarkan data, lukisan tetap jadi yang paling la-"

Bugh

Dengan sekuat tenaga Gravi meninju Halim berulang kali tanpa henti. "Yang jadi dugaan gue bener, kan? Lo sama Ily emang ada hubungan di belakang gue."

Aksi saling tinju terjadi lagi. Satpam di sana berlarian meringkus Gravi. Membawa lelaki itu keluar dari Galeri. Sedangkan Halim, Ily berusaha untuk mengobati lukanya. Namun, siapa sangka Halim malah berlari keluar mengejar Gravi.

"Gue bisa jelasin semuanya, Gra! Lo salah paham."

Di sinilah mereka bertiga, di sebuah kafe yang berada tak jauh dari galeri.

"Sebelumnya gue minta maaf, selalu membuat hubungan kalian mengalami salah paham. Gue pengen meluruskan beberapa hal di sini." Halim melihat bergantian ke arah Gravi dan Ily.

"Yang pertama, gue gak pernah namanya naksir Ily, sedekat apa pun itu gue sama Ily. Karena dari dulu yang gue taksir itu Bianca, bukan Ily. Dan setiap kunjungan gue ke kafe, tujuan gue cuma mau liat Bianca."

Baik Ily atau pun Gravi saling menatap tak percaya. Astaga, Ily tak pernah menyadarinya.

Eh, tunggu, jadi Halim juga sengaja. "Kamu sengaja ngasih aku pekerjaan di cafe ... itu juga bagian dari rencana?"

Halim mengangguk, "Tujuan gue cuma satu, membuat Bianca mundur perlahan setelah tahu kalo Gravi udah punya pacar yaitu, Lo. Tapi nyatanya, Enggak. Bianca tetep aja deket sama Gravi."

"Kedua, alasan yang sama juga jadi pemicu kenapa waktu itu gue ngadu ke papa soal Gravi yang deket sama Bianca. Iya, dan gue berhasil membuat Bianca menjauh dari Gravi. Tapi pada akhirnya, gue tetep aja gak bisa dapetin Bianca."

Halim tertawa sumbang, "Akhirnya dia nikah sama cowo lain, bahkan sebelum gue sempet deketin dia."

"Lo yang cemen, Lim. Lo cuma jadi stalker dia doang, kalo gak muncul ya dia mana tau keberadaan lo!" seruan Gravi mengundang ke heningan di meja mereka.

Ily memijat keningnya pelan. Jadi, semua masalah yang berkaitan dengan Bianca dalam hubungan Ily dan Gravi didalangi oleh Halim. Semua dilakukan hanya karena Halim ingin Gravi menjauh dari Bianca.

"Kak Halim, gak pernah ya mikirin gimana dampak dari semua rencana kakak ke hubungan aku sama Gravi," Ily akhirnya bersuara.

"Astaga Ly, gue gak pernah berpikir dampaknya buat hubungan lo. Cuma yang gue pikir saat itu gimana caranya bikin Bianca biar gak nempel terus sama Gravi," jelas Halim sejujur-jujurnya.

Hening kembali. Mereka sama-sama kehabisan kata. Semua sudah berlalu lama dan baru terungkap kebenarannya sekarang.

"Maaf Gra, gara-gara gue hubungan lo sama Ily jadi banyak drama." Halim tiba-tiba berceletuk seraya bangkit dari duduknya.

Ia kembali berujar, "Sekarang semua udah jelas. Gue gak ada hubungan apa pun sama Ily."

"...."

"Gue masih ada urusan lain." Ia meminum seteguk kopinya.

"Gue duluan." Dan Halim benar-benar pamit dari meja itu.

"Ayo, aku anter pulang." Ily menggeleng, menolak ajakan Gravi untuk beranjak dari meja.

Ada hal yang ingin ia sampaikan, Ily sudah sangat yakin dengan keputusannya saat ini.

"Gra, I love you."

"Hah, apa Ly?" Gravi memasang wajah tak percaya, seraya mendekatkan telinganya pada Ily.

"I love you, Gravi."

Lelaki itu langsung menenggelamkan tubuh Ily ke dalam dekapan. "Aku juga cinta kamu, Ly."

"Berjanjilah kamu mau pulang sama aku. Kita bangun kembali keluarga kecil kita."

"Dengan senang hati, Tuan Hartanta."

Mereka berdua memutuskan untuk kembali mengulang perasaan yang sama. Mengukir kisah cinta yang lebih manis dari sekadar pernikahan untuk menutupi aib keluarga.

TAMAT

30 Oktober 2020
23.25 WIB

Apa pendapat kamu?

Cuap-cuap:
Sebenernya aku pengen ngomong banyak di sini. Cuma karena udah pusing plus mual banget. Jadi aku cuma bisa nulis ini. Mata mulai berkabut juga. Aduh jadi sambat.

Terima kasih banyak kepada para pembaca yang sudah memberi dukungan ke cerita ini berupa vote juga komentarnya.

Segitu saja, sekian, terima kasih.

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top