Bab 4. Foto Mesra

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Tidak ada alasan sibuk dalam istilah memberi kabar, hanya sepertinya ... kamu bukan prioritas dia saja.

~~•~~

"Halo, Gra." Ponsel Ily letakkan di karpet. Speaker sudah aktif sesuai permintan Gita.

"Apa aku ganggu belajar kamu?"

Dari ujung mata, Ily melihat Gita mesam-mesem sendiri. "Enggak, ada apa?"

Tak lama setelah tingkah ulet bulu Gita keluar. Mega menarik paksa gadis berambut gelombang tersebut untuk menyingkir dari ruang keluarga. Ily bersyukur dalam hati, Mega memang yang paling mengerti perasaan orang lain.

"Besok ada waktu? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat."

Tanpa menimbulkan suara, diam-diam Ily menghela napas pelan. Lelah. Sudah dua hari ini, waktu bersantai malamnya digunakan beraktivitas di luar.

"Ly, kamu masih di sana?"

Ily menonaktifkan mode speaker lantas mendekatkan ponsel ke telinganya. "Aku gak tau, liat besok aja apa aku bisa pergi keluar sama kamu."

"Iya gak masalah."

"Yaudah, kalo gitu selamat tidur, ly. Good night." Ily bergumam dan memutus panggilan.

Gadis dengan celana kain coklat dan kemeja krem, memungut tas lalu mencangklongnya pada kedua bahu. Kaki jenjang dia melangkah melewati ruang tamu dan berhenti di teras rumah. Mega dan Gita, mereka duduk di tangga teras.

"Yuk, beresin bekas makanan tadi. Aku mau pulang sekarang."

Mega berdiri, "Yodah yok, gue anterin."

"Hu um, gue yang beresin. Tenang aja," Gita ikut menimpali.

"Ly, sori banget tadi gue udah keterlaluan keponya."

Ily tersenyum menanggapi Gita. "Gue gak nganggep hal tadi menyebalkan. Biasa aja, gue gak kaget karena tadi lo yang minta." Kekehan mengakiri penjelasan Ily.

Ia sungguh tak masalah dengan kejadian tadi. Enam tahun bersamaan Mega dan Gita, membuat Ily paham sifat keduanya. Meski Gita nampak sangat antagonis. Pada kenyataan sesungguhnya, dia itu sangat baik. Hanya orang terdekat yang bisa mendeteksi sisi malaikatnya.

"Hati-hati!" Gita melambaikan tangan saat motor yang Ily naiki mulai memompa piston mesinnya.

-Pukul 06.48 WIB-

Meja makan mulai sepi. Kak Disti sudah berangkat kerja, begitu juga Delia yang berangkat sekolah. Ily mengumpulkan piring dan gelas kotor ke wastafel, menyimpan lauk-pauk yang masih tersisa di meja lain. Shinta di teras sedang melayani para pembeli. Sedangkan Dipta, ayah Ily duduk di meja terdiam entah memikirkan apa.

"Ratna, sudah selesai cuci piringnya?"

Ily menengok ke belakang, pada sang ayah yang masih menatap lurus. "Dikit lagi, kenapa, Pak?"

"Cuma mau ngobrol aja sama Ratna."

Ily melangkah pada meja makan, duduk tepat di depan ayahnya. "Kenapa, Pak?"

Dipta mengangkat wajah, menatap sayu pada anak gadisnya. Seulas senyum terbit, mengundang kerutan di sekitar mata Dipta. "Sudah seberapa mantap persiapan UTBK-nya?"

Manik Ily melihat kesekitar, berpikir sejenak. "Masih 85%, Pak."

"Belajar terus," tutur sang ayah.

"Gimana kerjanya? Kata Ibu, Ratna kerja di cafe kan?" Kepala bercepol satu milik Ily mengangguk.

Entahlah, tak ada banyak kalimat yang bisa Ily ungkapkan di depan ayahnya. Sejak dulu Ily memang lebih dekat dengan Shinta. Satu-satunya anak yang paling akrab dengan Dipta, hanya Delia, si bungsu.

"Ya, sudah. Semangat terus belajarnya. Ayah akan dukung kamu kuliah. Hm?" Ily mengangguk lagi. "Pinter, setidaknya Ratna harus bisa kaya Kak Disti, ya. Jangan kaya bapak sama Ibu, hidupnya susah."

Ada rasa sesak menjalari dada Ily. Ingin sekali rasanya Ily cepat besar, bisa menghasilkan uang dan mengangkat ekonomi keluarganya. Ily ingin ayahnya tak perlu lagi menjadi sopir pabrik beras. Ily juga ingin ibunya berhenti berjualan nasi di depan rumah.

"Yaudah, Bapak berangkat kerja dulu. Belajar yang rajin, ya. Biar lolos SBM."

Sepeninggalnya Dipta dari dapur, Ily menelungkupkan wajah pada lipatan tangan. Menangis tanpa suara. Ingin sekali rasanya meraih semua impian itu, tapi ia tak tahu caranya. Ily sungguh takut tidak bisa mewujudkan semua impian itu. Ily takut tak bisa membawa perubahan apa pun untuk orang tuanya.

"Na, ngapain ndelosor di meja."

Yang dipanggil namanya tersentak kaget. Ily mempertahankan posisi seperti semula. Malu jika Shinta mendapati dia menangis tak jelas. "Enggak apa Bu, Ratna cuma ngantuk aja."

"Makanya, jangan begadang mulu, Nduk."

Ily menegakkan kepala, buru-buru masuk ke kamar mandi dan membasuh muka. Merapalkan mantra bahwa, dirinya pasti bisa. Untuk saat ini, yang perlu Ily lakukan hanya belajar. Itu saja.

Matahari sedang terik-teriknya, Ily berada di teras rumah ditemani buku tebal berisi kumpulan soal UTBK. Shinta baru saja berangkat ke masjid untuk sholat Dzuhur. Seperti biasa Ily yang akan menjaga warungnya.

Ily tak menghiraukan sebagian rambut yang berjatuhan. Tangannya terus menorehkan rumus di atas buku tebalnya. Hasil akhir ditemukan, disilangnya option b.

"Mbak ...."

Ada yang mau beli, batin Ily.

Ia meletakkan pensil, menjawab seruan itu sambil berbalik badan. "Loh, Gravi. Ngapain ke sini?"

Ily gelagapan, melihat ke dalam rumah memastikan adik kecilnya tidak menyadari kedatangan lelaki ini. Bisa bahaya kalau Delia mengadu pada Dipta. Haduh, belum lagi jika ibunya pulang dari masjid.

"Kenapa panik sih, Ly? Ibu kamu masih sholat. Orang masjid belum turun."

Ily berdecak kesal. "Nanti Delia tau, mending kamu pulang aja."

"Bilang aja aku pembeli."

Eh, iya juga.

Tak heran kalau Gravi menang lomba pidato semasa SMA dulu. Dia pandai sekali memengaruhi pikiran orang lewat kalimatnya. "Cepetan mau ngomong apa, waktu kamu gak banyak."

"Gak ada sih, cuma mau mampir aja."

Ily mengerling mendengar jawaban tersebut. Kemana gerangan Gravi yang sibuk dengan kuliah. Kemana perginya Gravi yang tidak punya waktu untuk sekadar say 'hello', apalagi main ke rumah. Lalu siapa yang ada di hadapan Ily, jelmaan Halim. Hah!

Diamnya Ily mengundang senyuman kecil Gravi. Masih berada di posisi semula, Gravi meminta Ily untuk membungkus satu porsi nasi rawon. Gadis itu dengan cekatan menyiapkan pesanan Gravi lalu segera mengusir secara halus dari rumah. Jangan sampai ibunya melihat rupa Gravi walau berkedok sebagai pembeli.

"Jangan cemberut. Aku pulang dulu, semangat belajarnya." Gravi berlalu setelah melempar seulas senyum. Lagi. Tumben sekali, berapa kali sang kekasih melengkungkan bibir tadi?

Entahlah.

Ily kembali duduk, memijat dahi sekali. Dia sama sekali tak bisa berhenti memikirkan apa yang Gita katakan. Di kepala Ily selalu terbayang Gravi berjalan dengan wanita lain di kampus. Gravi playboy, Ya Tuhan.

Drrt ... Drrt ....

Manik Ily melirk layar ponsel. Mega mengirim satu foto via WA.

Mega: Send a photo

Mega: Gue ketemu dia di cafe coklat sebelah toko donat.
Mega: Sori ly, gue mlh ngasih kabar buruk k lo

Warna hoodie di foto sama persis dengan yang Gravi pakai saat dia ke sini tadi. Siapa perempuan ini. Jadi benar, Gravi suka mempermainkan perasaan perempuan. Itukah alasan sebenarnya dia meminta hubungan mereka dirahasiakan.

Ily terpejam, menyudahi tatapan nanarnya pada foto. Diletakkan kembali ponsel pada meja. Tapi, bagaimana kalau perempuan itu sebatas teman Gravi.

Dia, jalan berdua sama cewe lain.

Tak hanya Mega, di malam harinya Ily juga mendapat banyak info dari Gita. Hari itu setelah pulang kerja, ketiganya berkumpul di tenda mie ayam dekat rumah Ily.

"Liat semua fotonya, Ly. Cewe itu satu kampus sama Gravi."

"Lo stalkerin Gravi, Git?"

Gita berseru tak terima. "Gue abis jalan-jalan ya di kampus itu sama anaknya om gue. Wasalam, gue liat Gravi berdua di kantin kampus ama cewe. Ya gue tanyalah sama sepupu gue, itu cewe siapa. Eh, malah disuruh cari tau dari akun ig-nya. Yaudah gue intip terus gue ss-in lah buat Ily."

"Kenapa fotonya dicoret semua?" Ily menatap pada Gita, sementara Mega langsung mengambil alih ponsel Gita.

"Lah iya, ngapa pake lo coret-coret gitu?" imbuh Mega.

"Ihh, kagak. Itu emang asli dicoret. Di akun Ig-nya tuh cewe, gak ada satu foto pun yang diposting. Itu aja gue dapet ss dari higlight ig-nya."

"Ngapain lo ke kampus orang?" todong Mega.

"Eh ... calon kampus gue, ya." Mega merespon ucapan Gita dengan ekspresi malas.

"Tuh liat tuh, foto sendiri-sendiri tapi backgroundnya sama. Liburan bareng ini ceritanya." Gita lagi-lagi memimpin pembicaraan, Mega sibuk bertanya-tanya sambil berusaha menebak siapa gerangan di foto itu.

Sementara itu, Ily memilih tak acuh dengan percakapn kedua sahabatnya. Ia mengambil alih ponsel Gita. Jari-jarinya sibuk mencubit layar, diswipe ke kiri, lalu dizoom, diperhatikan lagi, masih tidak bisa mengenali wajah cewek di foto itu. Semakin hari, apa yang Gita curigakan benar adanya. Gravi bukan laki-laki yang cukup degan satu tipe perempuan.

***

Ily mereject telpon dari Gravi untuk kesekian kali. Semua pesan-pesan yang dia kirim tak satu pun Ily buka. Biar saja, semua masalah ini memang bersumber dari Gravi. Gravi mulai bersikap tak acuh, jalan diam-diam bersama perempuan lain. Dirinya bodoh sekali, mudah dibuat percaya dengan semua ucapan Gravi.

Ily cepat-cepat membenahi penampilan dan keluar dari ruangan karyawan. Di pojok cafe, Halim duduk di sana bersama dengan laptopnya. Dengan tanpa ragu Ily mendekati Halim lalu duduk di depan laki-laki itu.

"Apa yang pengen lo tanyain, Vy?" Halim menutup laptop lalu menyimpannya ke dalam tas.

"Tiga hari yang lalu, kakak ke cafe nyariin aku?"

"Ha?" Dahi Halim mengernyit, "Gue gak pernah ke sini lagi sejak gue ngenalin lo ke Rendi."

Ily memandang ke lantai, seraya menganggukkan kepala. Suasana hening lagi, hanya ada duara musik jazz mengalun dengan volume rendah. Halim melipat tangan, menatap lurus pada wajah Ily.

"Masa cuma itu doang?"

Ily menimang-nimang lagi. Perlukah dirinya menceritakan semua itu pada Halim. Membuang napas lelah seraya memejamkan mata sebentar. Ily tetap harus tahu dan satu-satunya cara hanyalah bertanya.

"Apa Gravi punya cewe lain selain aku?"

Halim membisu, menumpukan kedua tangan di meja dengan jari-jari yang saling bertaut. "Setau gue cuma lo pacarnya. Selebihnya gue gak tau."

"Kalo masalah itu, seharusnya lo bicarain sama Gravi, bukan tanya orang kesana-kemari." Raut wajah Ily berubah gelap.

Heh! Apa maksud orang ini. Menyebalkan sekali responnya.

"Jangan kesel dulu. Maksud gue. Masalah itu sumbernya dari Gravi, paling gampang nyeleseinnya ya bicarain ama Gravi. Kalo Gravi ngasih info hasil manipulasi. Baru lo minta bantuan orang. Gitu, seyeng."

Halim menarik kedua sudut bibir Ily ke arah berlawanan. Tertawa puas melihat ekspresi lucu hasil kedua tangannya. Hanya sebentar, karena Ily tentu langsung memalingkan wajah.

"Dahlah, aku mau pulang."

"Mau gue anterin?" tawar Halim cepat.

"Emang bawa mobil?" Dengan gaya yang diangkuh-angkuhkan, Halim menunjukkan sebuah kunci mobil.

Ily memasang wajah curiga, matanya ia sipit-sipitkan. Menggeleng kecil lalu berkata, "Enggak ah, takut di aneh-anehin sama, Om." Ily terkekeh begitu juga Halim.

Saat tawa Halim mereda, dirinya menyeletuk cepat, "Eh, gue nawarin seriusan ini. Soalnya udah mau maghrib."

Ily mengibaskan tangan di depan wajah. "Udah biasa, gapapa. Masih banyak bis lewat, kok."

Hari itu setelah Halim pulang dan Ily mulai menunggu bis di halte biasanya. Gravi tiba-tiba muncul dari arah yang sama sejak terakhir kali. Mau menghindar jelas tak bisa, berlari juga akan sia-sia.

"Ily, kamu kenapa lagi sama aku? Kenapa kamu tolak panggilan aku?"

Bibir Ily tersenyum miring. Gravi sangat mahir berakting. "Aku gak suka diduain."

Gravi ternganga menanyakan maksud kalimat Ily. Gadis itu mendecih, bukankah kalimatnya tadi sudah sangat jelas. "Kamu punya cewe lain di kampus kan?"

Kepala Gravi menggeleng. "Aku cuma punya kamu. Aku gak mendua Ily, siapa yang bilang gitu ke kamu?"

"Kamu jangan bo'ong Gravi. Itu juga kan alasan kamu ngerahasiain hububgan kita. Karena kamu emang punya cewek lain di belakang aku."

Dengan kasar Gravi mengusap wajahnya. "Kamu ngada-ngada tau, gak! Jangan percaya kata orang, Ly."

"Semua tandanya meruncing ke arah kamu. Kamu menghilang sejak kuliah, aku liat kamu jalan sama cewe lain, kamu nutupin hubungan kita dari teman-teman kamu. Udah cukup kuat buat jadi bukti, kan?"

"Mana buktinya kalo aku jalan sama cewe lain?"

Ily mengangguk mantap. "Oke, aku krimin buktinya ke kamu."

Di menit itu juga, melalui ponselnya sendiri. Gravi melihat foto-foto dirinya bersama perempuan lain. "Mau ngelak gimana lagi? itu udah jelas banget," sergah Ily sarkatis.

"Aku mau bilang, kalo cewe itu cuma temen aja."

Tawa hambar Ily menguar seketika. "Alasan klasik orang saat praktik perselingkuhannya ketauan."

"Kamu dapet foto ini dari orang lain kan? Aku gak peduli apa kata mereka. Dan seharusnya kamu gak percaya gitu aja kalimat mereka," tutup Gravi.

Ily sudah berusaha percaya, tapi siapa sih yang tak kesal melihat orang yan dicintai lebih saring bersama perempuan lain dibanding dirinya sendiri. Keheningan menyelimuti halte itu. Suara kumandang adzan mulai bersautan.

Gravi menepuk bahu Ily sekali. "Aku pergi dulu. Cepat pulang, hubungi aku jika ada apa-apa di jalan."

Gravi pergi begitu saja. Dia tak berusaha lebih keras untuk meyakinkan Ily. Sepertinya dia sudah salah mengharapkan hal itu dari Gravi.

Bersambung ....

Ps: foto bukti Gravi mendua ada di mulmed, guys.

4 Oktober 2020
04.32 WIB

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top