Bab 34. Calon Baby Girl


‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Ily memekik, menghampiri Gravi. Ia melupakan ponselnya, membiarkan benda itu tergeletak di kasur begitu saja. Ait mata mengalir di pipi, dia terduduk meraba wajah Gravi yang penuh lebam dan darah. Tubuh lelakinya terkulai layu di lantai. Ada apa lagi dengan dia. Apa dia berkelahi dengan Halim lagi.

"Ini kenapa begini, sih? Pukul-pukalan sama Halim lagi?" Ily terisak tangannya turun meraba hoodie yang terkena darah.

"Gapapa, Ly," lelaki itu meringis kecil, "kamu gak usah nangis. Aku pulang cuma mau ganti baju aja, habis i-"

"Iya, sebentar. Aku ambilin kompresan sama obat buat luka kamu."

Menghapus air matanya, Ily melangkah keluar kamar. Tinggal bersama dengan Halim mengajarkan Ily banyak hal. Temasuk untuk tetap bergerak hidup meski masih ingin menangis. Berbeda ketika dulu di rumah. Saat sedih, Ily hanya akan menangis dan menangis di dalam kamar.

"Kamu senderan di tembok, Gra."

Lelaki itu menggeser duduk sesuai dengan yang Ily instruksikan. Jika Ily tidak salah, ini adalah yang ke empat kalinya selama empat bulan ia tinggal betsama suaminya. Ily membersihkan wajah penuh darah dan lebam Gravi.

Memeras handuk kecil di tangan, Ily kemudian menempelkannya pada sudut bibir lelaki itu. Darahnya masih agak basah, jadi mudah untuk dibersihkan. Pasti aksi jotos itu terjadi baru saja, tapi di mana dengan siapa. Ily tak tahu dan Gravi pasti tetap tak ingin memberi tahu.

"Makasih, Ly."

Gravi bangkit, melangkah menuju lemari. Dia mengambil sebuah hoodie dan satu setel baju kasual. Melangkah melewati Ily begitu saja lantas memasuki bilik kamar mandi.

Menghembuskan napas pelan, Ily memegangi perutnya menggunakan satu tangan. Berdiri perlahan, sedangkan tangan lainnya untuk menumpu pada tembok. Dengan susah payah ia mengambil baskom di lantai. Kemudian membawanya ke wastafel.

Kembali masuk ke kamar, Ily merebahkan diri di kasur lagi. Ponselnya tergeletak di sana. Ah, padahal tadi dia sedang mengobrol bersama kakaknya. Dan sejak tadi, Ily masih saja merasakan pusing pada kepalanya.

Gravi masuk ke kamar dengan balutan kaos lain dan hoodie merah maroon yang tadi diambilnya. Ah ya, Gravi pasti akan berangkat kerja meski keadaannya tadi sempat terkulai lemas dan babak belur begitu.

"Ly, aku berangkat kerja dulu." Dia sudah bersiap pergi dengan tas yang melekat di punggungnya.

"Tunggu dulu, Gra."

"Kenapa?"

Iya terdiam, haruskah ia mengeluhkan keadaannya sekarang pada Gravi. Atau lebih baik Ily diam saja dan menunggu pusing itu pergi sendiri.

"Ly ... ada apa?"

"Eh," gadis itu tersadar dari lamunannya. "Itu, kamu gak makan dulu?"

Gravi menggeleng, "Aku udah makan tadi jam tiga. Kamu yang jangan lupa makan malem. Tidurnya juga jangan terlalu larut."

Ily mengangguk, di ambang pintu sana Gravi tersenyum. "Aku berangkat dulu, Ly"

"Kamu hati-hati di jalan."

Kalau Gravi tidak mau mengatakannya. Tidak masalah, Ily bisa menanyakan itu pada Halim. Mematut sebentar ponselnya, ia kemudian mendekatkan benda itu ke telinga.

"Halo, Kak."

"Hu'um, Ly."

"Gravi baru keluar dari apartment. Dia pamit berangkat kerja."

"Issh ... oke-oke makasih, Ly."

Sekarang ini, Ily sedang melakukan apa yang menjadi imbalan seperti yang diminta Halim kemarin malam.

"Imbalannya gampang banget. Lo cuma perlu kasih tau gue kemana aja Gravi pergi sampai seminggu ke depan."

Entah apa yang akan dilakukan lelaki itu. Apa untungnya memata-matai kegiatan Gravi. Apa dia disuruh ayah Rajendra. Ah, tidak mungkin, ayah mertuanya itu sudah tak lagi peduli. Atau ibu Nura, kalau ini mungkin saja. Tapi sudahlah, Ily hampir saja melupakan tujuan utamanya menelpon Halim.

"Kak Halim sama Gravi abis berantem lagi, ya?"

Hening, tak ada jawaban apa pun dari seberang telepon. Ily memanggil nama Halim. Satu kali, dua kali, tapi tetap tidak ada jawaban.

"Kak!" kali ini Ily memekik.

"Berantem? Enggak, aku tadi udah di rumah. Lagi masak nih, denger kan."

Iya, Ily memang dengar ada suara kemeletik minyak panas yang mendidih. "Aku lagi goreng ayam. Mama sama papa keluar kondangan. Jadi ya, masak sendiri dimakan sendiri."

"Oh, yaudah. Selamat memasak, Kak!"

Detik itu juga Ily mematikan sambungan telepon. Kalau begitu dengan siapa Gravi beradu tinju. Atau, dua orang itu sedang berbohong pada Ily.

***

Ada yang salah dengan dirinya. Ily sudah tak bisa lagi menahan lebih lama semua keluhan sakit itu. Cukup tiga minggu saja. Dan di sinilah Ily dan Gravi dekarang, berada di dalam ruangan dokter kandungan.

Dokter Balqis menyuruh Ily untuk turun dari ranjang periksa pasien, lalu ia kembali duduk di kursi. Memakai kacamatanya, perempuan seumuran dengan ibunya itu membaca kertas berisi data Ily. Balqis mengangkat map, menatap pada Ily dan kertasnya secara bergantian.

"Yang Ily rasain ini sakit kepala, pusing, nyeri di dada, sesak napas, sama lemes. Itu aja?"

Ily mengangguk.

Dokter Balqis menorehkan tinta di atas kertas. Dia menatap pada Gravi dan Ily, "Seharusnya ada Mama Nura di sini yang nemenin kalian. Tapi gak apa, untuk sekarang diinget-inget, ya."

"Menurut hasil tensi, keluhan yang Ily alami, ditambah lagi riwayat keluarga yang punya hipertensi. Ily ini mengalami hipertensi. Tekanan darahnya tadi 140/90 mmHg."

Pantas jika selama ini Ily sakit kepala dan pusing-pusing terus.

"Kondisi tekanan darah tinggi saat hamil bisa berbahaya bagi ibu maupun janin kalau tidak mendapatkan penanganan dengan baik. Hipertensi ini bisa menyebabkan terjadinya masalah preeklampsia yang serius, bayi lahir prematur, bahkan bisa mengancam keselamatan ibu dan calon bayi."

Dokter Balqis menatap bergantian pada Ily dan Gravi. Lalu kembali angkat bicara, "Preklampsia itu sendiri adalah peningkatan tekanan darah disertai adanya protein dalam urine. Biasanya tekanan darah tinggi penyebab preklampsia ini mencapai lebih dari 140/90. Jadi, Ily masih aman."

"Walau begitu Ily tetap harus berusaha menjaga tekanan darahnya. Apalagi Ily memiliki beberapa kondisi yang menjadi faktor risiko hipertensi.
Seperti ... ayah Ily punya riwayat hipertensi, ini kehamilan pertama Ily, dan usia ibu hamil kurang dari 20 tahun."

"Untuk mencegah itu nanti saya akan berikan resep obat penurun tekanan darah. Untuk Ily harus tetap melakukan aktivitas fisik yang ringan. Konsumsi makanan bergizi seimbang.

Hindari juga berbagai hal yang bisa meningkatkan risiko hipertensi kaya kebiasaan merokok, mengonsumsi alkohol, maupun pemakaian obat-obatan terlarang. Dan jangan stress."

Balqis tersenyum pada Ily.
"Dijaga ya baby girl-nya."

Meski Gravi bersikeras untuk merahasiakan jenis kelaminnya sampai lahir. Ily yang tak bisa menahan rasa penasaran. Akhirnya meminta untuk dilakukan USG tadi. Sesuai dengan keinginan Ily, anaknya perempuan. Ily sungguu tak sabar ingin membeli perlengkapan untuk bayinya.

Disepanjang pernalanan pulang yang Ily pikirkan hanya satu. Ily ingin semua perlengkapan bayinya dengan warna pink. Kira-kira kapan ya Gravi bisa mengantar.

Memasuki lift Ily menyenggol pelan lengan suaminya.

"Apa, Ly?"

"Weekend besok, keluar yuk. Cari perlengkapan bayi."

Gravi menatap ke pojok kanan atas. Dia memegang perut buncit Ily, "Seinget aku, dia masih 25 minggu. Bener, kan?"

Ily mengangguk.

"Nah itu, pamali kalo beli perlengkapan bayi sebelum umur kandungannya tujuh bulan. Nanti bisa meninggal janinnya."

Ily mengernyitkan dahi tak percaya. Mana ada yang seperti itu. Ini pasti bisa-bisanya Gravi saja.

"Tau dari mana kamu mitos kaya gitu?"

"Bukan mitos, itu beneran tau. Tante aku hamil, bayinya meninggal diumur kandungan enam bulan. Padahala semua perlengkapannya udah siap. Tetangga di rumah yang sana juga gitu."

Ily sebenarnya tidak percaya dengan hal-hal yang seperti ini.

"Udahlah nanti aja kalo udah 30 minggu. Aku bakal anterin kamu beli. Janji."

Gravi mengacungkan satu jari kelingkingnya, Ily menyambut uluran itu dan menautkan kelingkingnya dengan kelingking Gravi. Ily benar-benar sudah tidak sabar lagi menunggu minggu itu datang.

***

Televisi menyala, tapi sejak tadi Ily sibuk dengan popcorn gula merahnya dan tendangan-tendangan halus janinnya.

Ily menyibak pakaian yang ia kenakan. Mengelus pelan permukaaan perut, Ily berucap, "Anak ibu yang cantik aktif banget, sih."

"Aduh, haha, ya ampun itu tadi kenceng banget." Ily tertawa sendiri seraya mengelus perutnya.

Ily menyomot popcorn, memasukkannya ke dalam mulut. "Ibu tuh, pengennya namain kamu Zahra tapi papa kamu maunya Elsa."

Suara bel pintu mengakhiri kegiatan Ily. Dengan manik yang melihat ke arah jam dinding, satu tangannya terulur menutupi perut dengan baju. Siapa yang bertamu di jam segini. Jam setengah sembilan malam.

Ily membuka pintu apartment, betapa kagetnya Ily. Ada Rajendra dan Nura yang berdri tepat di depannya. Ily segera membuka pintu lebar-lebar.

"Mama, papa silahkan masuk."

Ily melempar senyum, mengangguk sekali. Kedua pasangan suami istri itu sudah duduk di sofa. Ily permisi sebentar untuk membuatkan minuman.

"Tidak perlu repot-repot," suara berat Rajendra menginterupsi langkah Ily.
‍‍‍
"Kalo gitu buatin mama aja ya, teh hangat." Ily mengangguk, melenggang pergi dari ruang tamu. Sejujurnya, dada Ily berdegup sangat kencang kali ini. Sekarang Gravi tidak di apart, ada urusan apa ayah dan ibu mertuanya kemari selarut ini.

Meski tak meminta minuman apa pun. Ily tetap menyuguhkan ayah mertuanya segelas air putih. Ily lantas duduk di sofa berhadapan dengan orang tua Gravi.

"Gravi, dia ke mana?"

Ily menatap sang ayah mertua. "Gravi lagi kerja, Pa."

"Dan kamu percaya begitu aja?"

Astaga, Ily sangat kaget mendengar respon dari ayah mertuanya. Ia harus apa lagi jika tidak percaya pada Gravi. Di depannya Nura mengelus lengan Rajendra.

"Jangan gitu, Pa. Ini Ily, bukan Gravi."

Apa ini, apakah mereka berdua tau sesuatu yang tidak Ily ketahui tentang Gravi. Lelaki tua di hadapan Ily memejamkan mata, menghembuskan napas berat.

"Biasanya dia pulang jam berapa?"

"Ily enggak tau, Pa. Gravi pulang pas Ily tidur."

Nura mengguncang pelan lengan suaminya. "Terus gimana, Pa?"

"Kita tunggu di sini sampai dia pulang."

Ily tak tau apa yang akan mereka lakukan pada Gravi. Namun, Ily rasa ini masalah yang sangat serius.

Besambung ...

28 Oktober 2020
20.03 WIB

NEXT CHAPTER »»
"Berhenti bersikap kurang ajar pada ibu kandungmu sendiri!"

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top