Bab 33. Ketahuan Gravi

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍“Di mata pembenci, hal yang baik sekali pun akan tetap bernilai buruk.”

~~•~~

‍‍‍‍‍“Bumil makin hari makin cantik aja.”

Celetukan Halim yang menyambut kedatangan Ily cukup membuat perempuan itu tersenyum geli. Tiada hari tanpa melontar gombalan. Itu salah satu ciri khas Halim.

Setelah duduk nyaman di kursi, Ily melirik gelas yang ada di hadapannya. Halim memesankan susu. Menatap lelaki di depannya lantas Ily angkat bicara.

“Ngapain buang-buang uang buat beliin susu. Di rumah aku udah minun susu.”

Halim tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya. Ily tadi melempar kalimat sarkatis ya, bukan melawak atau melontar kalimat manis. Bisa-bisanya Halim melengkungkan bibir selebar itu.

“Lo tuh masih aja perhitungan ama duit. Padahal suami lo udah tajir juga. Ngirit banget.”

Mereka berdua memang beda. Sejak kecil Ily terbiasa diajari ibunya untuk menghemat uang. Membeli barang dan bahkan makanan yang memang benar-benar diperlukan. Lagipula, kalau Gravi tajir. Ily tak akan berada di cafe ini malam-malam begini.

“Papa Rajendra yang kaya, Gravi enggak punya apa-apa.”

Halim terkekeh. “Ya udahlah, malah jadi ngomongin itu. By the way, itu yogurt bukan susu biasa.”

Ily ber oh ria lalu meminumnya. Kebetulan semenjak hamil, Ily memang sedang suka makanan dan minuman yang bercita rasa asam. Terdiam sejenak, terbesit rasa ragu ingin mengatakan maksud dari janjiannya malam ini.

“Ly, kenapa diem. Mau ngomong apa sih? Ngomong aja, keburu malem nanti.”

“Itu ... aku lagi butuh uang, Kak. Kalo aku pinjem sama kakak boleh?”

Halim terdiam begitu pun Ily. Karena Halim terus saja menatap, Ily tak kuasa untuk mengangkat kepala. Dia menunduk dalam.

Mengapa Halim bereaksi seperti itu.

Kelihatannya Halim tidak bisa meminjamkan dirinya uang. “Kalo Kak Halim gak bisa, aku gak apa-apa ko—”

“Bisa. Apa sih yang enggak buat Ily.”

Halim tersenyum, menaikkan sebelah alisnya berkali-kali. Telapak kanan lelaki itu terulur membelai sekilas pipi Ily. “Jangan sedih atau bingung lagi. Gue seneng, lo bisa cerita masalah lo ke gue. Lain kali gak usah sungkan-sungkan.”

“Ibu hamil gak boleh stress, oke?” Mengacungkan ibu jarinya, Halim kembali bicara.

“Senyum dong.”

Dua sudut bibir Ily tertarik ke atas. Bagaimana Gravi tidak bisa menyadari kebaikan saudara tirinya sendiri. Apa yang Gravi bilang selalu berbanding terbalik dengan kenyataannya. Terutama tentang bagaimana ibu dan saudara tirinya.

“Mama sendiri emang udah gak bisa kirim apa-apa lagi dari rumah ke apart. Ayah tau dan ngelarang mama buat bantuin Gravi.”

Ternyata ayah mertuanya benar-benar tidak suka dengan  pernikahan Gravi termasuk dirinya. Sepertinya memang begitu, bahkan sejak awal betemu, Rajendra selalu menatap Ily dengan sorot mata tajam.

“Tapi lo gak usah khawatir, ada gue. Kalo gue sanggup, gue pasti bantuin lo, Ly.”

“Butuh uang berapa?”

Ily sudah memikirkan ini berulang kali sejak tadi pagi. Ily rasa kalau sekadar untuk makan berdua selama sebulan. Keliatannya sudah lebih dari cukup. Ily akan berusaha memasak makanan yang bahan bakunya terjangkau.

“Tiga juta, Kak. Aku perlu buat beli kebutuhan rumah.”

“Yakin cuma segitu?” Halim bertanya dengan nada ragu. Perempuan itu mengangguk, Ily yakin sekali.

“Oke bentar.”

Dia berlari ke perkiran. Jadi halim menyimpan uang cash seanyak itu di mobilnya. Ily menghembuskan napas pelan. Gravi dengan Halim memang sangat terlihat perbedaanya. Halim bergelimang Harta dari Rajendra, difasilitasi ini dan itu. Sedangkan Gravi, di saat ia sulit pun ayahnya malah semakin menyulitkannya. Apa perlakuan pilih kasih ini yang membuat Gravi begitu gedeg dengan Halim.

“Ini,” Halim menyodorkan amplop coklat, lumayan tebal. Apa uang tiga juta sampai setebal satu senti meter. Ily rasa bukan segitu isinya.

“Berapa?” tanya Ily penuh selidik.

“Sesuai permintaan lo, ti—”

“Bo'ong, ya?” sela Ily cepat.

“Enggak, siapa yang mau bohong. Lonya nyelak kalimat gue, sih.”

Eh, jadi tadi Halim belum selesai bicara. Tertawa kecil, Ily meminta maaf dan mennyuruh Halim melanjutkan kalimatnya.

“Tiga juta kali dua.”

“Hah! kebanyakan, Kak. Aku mana kuat banyarnya.”

“Balikin kapan-kapan dan sesuai dengan yang lo minta aja.” Halim menjawab santai sambil menyeruput cappucino-nya.

Kepala Ily menggeleng. “Enggak-enggak, pasti ini uang jatah bulanan kakak dari mama Nura, kan?”

“Enggak dong, itu hasil jeri payah gue sendiri.”

Ily masih menilik Halim dengan tatapannya. Apakah dia bisa dipercaya. Jangan-jangan hanya membual saja.

“Sumpah, Ly. Gue jujur. Jangan ngeliatin gue kaya gitu, kalo gue salting terus kejet-kejet di sini gimana?”

Seketika tawa Ily pecah saat itu juga. Ya Allah jiwa komedian terselip di anatara jiwa senimannya. Kenapa Halim tidak jadi penulis komik komedi saja, yah.

“Gak bakal salting.” Ily lalu tersenyum, “makasih, Kak.”

“Sama-sama,” dia lalu tersenyum.

Seakan teringat sesuatu, Halim kembali berceletuk. “Cuma terima kasih doang, ya.”

Dahi Ily berkerut. Memangnya apa yang bisa Halim harapakan dari Ily.

‍“Ya masa gak ada keuntungan apa-apa buat gue.” Ia menghembuskan napas pelan, “Gue gak dikasih imbalannya?”

Jadi Halim mengharapkan sesuatu dari Ily atas pertolongannya hari ini. “Imbalan kaya yang gimana?” Ily mengernyitkan dahinya lagi.

“Ciuman di bibir gitu.”

Ily melebarkan mata. Astaga, apa yang Halim ucapkan barusan. Dia gila. Wajah serius Halim semakin membuat Ily berkeringat dingin. Yang benar saja,

“Haha bercanda kali.” Tangannya mengaduk isi gelas dengan sedotan lalu meminumnya.

“Mana ada gue mau dicium ama lo. Liat, bibir lo aja gue gak napsu. Kurus gitu, gak bahenol. Kurang empuk buat dicium.”

What! 

Ily melayangkan pukulan di pundak Gravi. Frontal sekali bibir Halim itu. “Mesum!” pekik Ily.

“Eh, sst ... diem.”

Sayangnya sudah terlambat. Suara gadis itu menarik perhatian beberapa pengunjung yang berada di meja out door lain.

“Abisnya gitu banget, sih,” rajuk Ily. Sedangkan Halim tertawa kencang dibuat gadis itu. Lalu tiba-tiba memasang wajah serius.

“Tapi gue serius. Lo kudu ngelakuin satu hal buat gue. Wajib, gak boleh ditawar.”

“Apa?” sahut Ily. Dia penasaran, sangat.

Halim terdiam lama. Lama sekali sampai-sampai Ily menegurnya lagi. “Apa?”

“Nanti deh, gue pikir-pikir dulu.”

Bahu Ily menurun. Dia tertipu lagi. Astaga, Ily geregetan sekali dengan manusia yang satu ini.

“Eh, perut lo udah gede, ya, Ly.”

“Dan emang bener kata orang, cewe yang lagi hamil itu, beneran tambah seksi.”

Ingin sekali rasanya Ily mengeplak mulut kakak iparnya itu. Bisa-bisanya bicara begitu di depan perempuan yang sedang hamil.

***

Jemari Ily lihai menekan kode kunci pintu apartment. Klik. Ily mulai mendorong pintunya terbuka. Dia membelalakkan mata, terkejut akan kehadiran Gravi yang duduk di sofa ruang tamu. Sekarang masih jam setengah sembilan, tumben sekali Gravi sudah pulang.

Ah, tidak. Bukan itu masalahnya. Saat ini dia sudah memasang wajah tak bersahabat. Kenapa di saat Ily janjian pertama kalinya dengan Halim di malam hari, di saat yang sama juga Gravi pulang lebih awal. Kenapa mesti begitu? Jujur saja, Ily kesal.

“Dari jam tujuh sampe jam setengah sembilan. Kemana aja?”

Hah, jadi Gravi di sini dari jam segitu, batin Ily memekik dengan mata membulat.

Ia mengambil posisi duduk tepat di sebelah Gravi. Menengok ke kanan, lelaki itu masih nenatap ke arah lain. Ily tak mungkin bicara yang sebenarnya, tapi bagaimana kalau Gravi melihat.

“Jawab!”

Rasanya tangan Ily berkeringat dingin. Dia bingung harus menjawab apa. “A, aku ... itu—”

“Kamu sama Halim berduaan kan di cafe depan.”

“....”

“Kamu ngapain ketemuan di sana? Makan malam bareng?”

Ily masih diam, dia takingin berdebat dnegan Gravi.

“Jawab Ily!”

Kepala gadis itu menegok tajam. “Kamu mau ngajakin aku debat?”

“Aku gak ngajak kamu debat. Aku cuma nanya.”

“Tapi dari tadi kamu bentak-bentak aku mulu, Gra.”

Gravi menghembuska napas pelan. “Aku cuma gak suka aja kalo kamu deket sama Halim terus dan kamu juga gak pernah dengerin permintaan aku buat jauhin dia.”

“Aku gak bisa jauhin Halim, sama kaya kamu gak bisa jauhin Bianca.”

“Beda, Ly. Aku selalu ada urusan penting kalo lagi sama bianca. Sedangkan kamu, ada urusan penting apa sama Halim?”

Ily menggeleng, lalu berdiri dari duduknya. Rasa-rasanya pertengkaran ini tak akan berakhir.

“Udahlah, aku capek. Kamu gak akan ngerti, Gra.”

“Tunggu, Ly.” Gravi mencekal pergelangan Ily, mencegah perempuan itu melangkah.

“Tadi, apa tujuan kamu ketemu dia?”

Lelaki itu melepaskan cengkramannya, lantas berujar lagi, “Oh, kamu gak mau cerita juga. Kamu belain dia, makanya kamu nyembunyiin hal ini dari aku.”

Ily terdiam, tak kunjung menjawab pertanyaan Gravi. Lelaki itu mengangguk, memundurkan langkah. “Oke. Gak masalah. Aku juga udah tau semuanya dan aku juga tau kalo kamu ternyata lebih memilih berbohong buat belain dia daripada jujur ke suami kamu sendiri.”

“Dikasih uang berapa kamu sama dia? Kamu ngasih apa sebagai gantinya?”

Mata Ily melebar, pertanyaan macam apa itu. “Enggak, Gra. Bukan gitu.”

“Terus?”

“Aku yang pinjem uang ke dia.”

“Aargh!” Gravi berteriak kesal, mengacak rambutnya.

Kenapa, apa ada yang salah dengan yang aku lakukan, batin Ily.

“Buat apa?” tanyanya dengan nada tinggi.

“Aku cuma mau bantuin kamu.”

Membuang napas panjang untuk yang kesekia kali. Gravi memegang bahu istrinya, “Urusan uang biar aku yang pikirin sendiri. Kamu gak usah mikir apa-apa. Fokus aja sama kehamilan kamu.”

Ily memilih diam tak mengatakan apa-apa. Letih, kaki Ily sudah sangat pegal-pegal. Ditambah sakit kepala belakang lagi-lagi menyerangnya. Ily jadi sangat rindu dengan ibunya.
.

Esok harinya, waktu sore. Ily sedang merebahkan diri di kasur. Sejak kemarin, pusing dan sakit kepalanya tak kunjung hilang.

Dengan mata yang agak sedikit memburam. Ily menatap layar ponsel. Melihat jam digital jam di ponsel masih menunjukkan pukul lima. Dia sangat rindu keluarga di rumah. Bagaimana keadaan ibunya. Ily juga ingin mendengar kabar mereka semua.

Ditekannya ikon gagang telepon. Semoga kakaknya sudah pulang dari bekerja. Nada sambung. Ponsel kakaknya berdering. Ily girang sekali.

“Halo, Na.”

Bukannya menjawab sapaan, gadis itu terisak kecil. Ternyata seperi ini rasanya menahan kerinduan. Ada rasa haru, kesal, dan tak berdaya bercampu jadi satu.

Di sebrang sana, suara kakaknya terdengar sangat panik. “Ratna, kamu kenapa? Diapain sama Gravi?”

Ily mengahpus air mata di pipi. Mencoba tenang kembali. “Gapapa kak, aku cuma kangen mbak, ibu, bapak, sama Delia aja.”

“Mereka sehat kok, Na. Kamu sendiri sehatkan? Kondisi kandungan gimana?”

Cklek

Belum sempat menjawab. Seluruh perhatian Ily tersedot ke arah pintu. Gravi baru saja masuk ke kamar.

“Gravi! Kamu kenapa?”

Bersambung ...

28 Oktober 2020
11.11 WIB

Mohon maaf atas typo yang bertebaran :)

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top