Bab 32. Mantan
Ily melangkah pelan di pinggiran rumput. Menikmati sore yang begitu cerah, semilir angin membelai lembut wajahnya. Karena terlalu bosan berdiam di apartment, Ily putuskan untuk menghabiskan sore weekend-nya di keramaian taman kota.
Di sini memang sedang ramai, tapi tak sampai padat bahkan masih banyak rerumputan dan bangku kosong yang bisa Ily tempati. Ada anak-anak kecil yang berlarian ke sana-kemari. Segerombolan ibu-ibu, pasangan pemuda-pemudi juga ada di sini.
Satu bangku kosong di sudut taman tepat di bawah pohon mangga, menarik perhatian Ily. Disana teduh. Sepertinya Ily memilih untuk besantai di bangku itu.
Dari jarak sekitar dua puluh meter, di depan sana segerombolan ibu-ibu melihat ke arah Ily dengan pandangan yang tidak enak.
"Masih abege."
"Itu janin pasti gak ada bapaknya."
"Anak jaman sekarang moralnya rusak."
"Iya, cuma pacaran aja bisa jadi anak."
Seolah tak mendengar apa-apa, Ily terus melangkah maju, walau dengan pandangan sedikit menunduk. Melewati segerombolan ibu-ibu tadi adalah satu dari sekian hal yang Ily sesali saat ini.
Ia mendudukkan badan dengan perlahan di bangku. Air matanya merebak, meleleh melewati permukaan pipi. Meski sudah menerima bayi yang ada di dalam kandungannya, tetap saja rasanya sakit karena diolok seperti tadi.
Tangan Ily meraba perut buncitnya. Ada tendangan dari dalam. Tangis perempuan itu kian menjadi-jadi. Calon bayi di dalam perutnya ini tak bersalah, kenapa Ily selalu nerutuki kehamilannya. Sebuah tendangan halus di perut sekali lagi memancing seulas senyum di bibir Ily.
"Iya, Nak. Ibu gak nangis lagi."
Kepala Ily mendongak menatap langit biru. Telapak gadis itu menghapus air mata, di saat seperti ini, tak ada yang menghiburnya. Cuma makhluk bernyawa di perutnya ini lah yang menemani Ily selama sebulan terakhir.
Menghela napas pelan, tujuan awal dia ke sini adalah untuk membunuh bosan dan mengghibur diri. Bukan menangis begini. Mengeluarkan sesuatu dari saku, Ily menyematkan benda itu ke telinga.
Lagu berputar lembut seirama dengan hembusan angin. Di bangku taman itu, akhirnya ia bisa menikmati sore yang indah dan begitu menyenangkan.
Namun, sebuah sentuhan di tangan membuat Ily refleks membuka mata dan melepas earphone dari telinga. Seorang perempuan cantik, berambut panjang menyapanya dengan ramah. Ya, suara lembutnya baru saja menyebut nama Ily.
Siapa ya, Ily tak mengenal perempuan ini. Tubuh ramping itu duduk tepat di samping Ily.
"Gimana kabar lo?"
Dahi Ily mengernyit, sok kenal sekali. "Siapa ya?"
Perempuan tadi tertawa, memutus kontak mata, melihat sejenak ke arah lain."Gravi gak pernah cerita tentang masa lalunya ke lo?"
Ily terdiam, termenung memikirkan pertanyaan itu. Gravi tak banyak bercerita apa pun tentang dirinya, fakta-fakta tentang keluarganya saja Ily baru tahu akhir-akhir ini. Apalagi masalah siapa-siapa saja perempuan yang pernah dekat dengan dia. Sekali pun Gravi tak pernah menyinggung topik itu.
"Kayanya gak pernah, ya." Ily melihat ke arah gadis jelita itu lagi. Kira-kira siapa dia, mantan Gravi.
"Kenalin," tangan berjari lentik itu terulur pada Ily.
"Gue Talita, cewe yang sempet pernah dikejar-kejar sama suami lo itu pas jaman SMA, sebelum akhirnya lo pacaran sama Gravi."
Ah, jadi ini Talita yang pernah Gita ceritain itu, batin Ily.
"Gue dulu satu angkatan sama dia." Ily tau hal ini.
"Ah, ya, for your information. Gue ini juga satu jurusan di kampus yang sama juga ama Gravi."
Dan Ily tak peduli dengan hal itu. Sebenarnya apa sih, maksud cewek ini menemuinya di sini. Dan dari mana asalnya dia.
"Kenapa lo di sini sendirian? Mana Gravi?"
"Dia masih ada kegiatan di kampus."
Talita menganggukan kepala. "Anak HM emang sibuk banget. Satu prodi tau sih kalo Gravi sama Bianca tuh nempel terus."
Mata dengan lensa kontak abu-abu milik perempuan itu, menilik Ily dari atas sampai bawah. "Nasib lo tuh malang banget, ya. Di sini nanggung beban kehamilan sendirian. Sedangkan Gravi, dia lagi seneng-seneng sama cewe lain. Dan lo tau sendirikan, Bianca tuh cantiknya kaya apa."
"Mungkin, Gravi udah bosen kali ya liat muka lo tiap hari. Makanya, sekarang dia makin nempel sama cewe lain di kampus."
Tarikan napas Ily mendadak menjadi begitu berat dan kasar. Jangan sampai sakit kepalanya kambuh saat ini.
"Malang banget ya nasib lo. Untung dulu gue jual mahal sama Gravi. Makanya gue gak sempet jadi pacarnya, kalo jadi ... mungkin gue udah hamil dan berakhir menyedihkan kaya lo, gini."
Ily menatap tajam perempuan di sampingnya. Maksud Talita, Ily cewe murahan. Darah Ily sudah mendidih sekarang, dia sangat ingin meledakkan semua sumpah serapahnya.
"Gue yakin lo pasti banyak nerima gunjingan dari orang-orang. Ya, kan?"
Ily menghembuskan napas, jika dirinya meladeni gadis cantik bermulut ular ini. Sama saja Ily akan jadi sepertinya. Dia pasti akan senang melihat emosi berlebihan dari Ily.
"Udah selesai ngomongnya?"
Ily menatap mata itu. Setelah beberapa saat terdiam, Ily rasa dia sudah kehabisan kalimat. Ada dendam apa Talita pada Ily sampai-sampai dia rela menghabiskan waktu untuk sekedar mendikte kecacatan hidup Ily. Seingat Ily, dirinya tak pernah bermasalah dengan Talita. Apalagi megolok-olok hidup gadis itu.
Karena tak kunjung menjawab pertanyaannya, Ily putuskan untuk berdiri dari duduknya. "Gue duluan ya, see you next time, Ta."
Ily melangkahkan kaki di pinggir taman. Sesak di dadanya kian menjadi-jadi. Akan lebih baik kalau Ily memesan gojek saja. Dia tak kuat lagi untuk berjalan lebih jauh.
Menangis, hal yang Ily lakukan pertama kali ketika ia menutup pintu apartment. Sesak karena perkataan Talita tadi masih begitu membekas. Meski Ily bisa menyangkalnya, tapi semua yang diucapkan Talita memang benar.
Semua beban atas kehamilan ini, hanya Ily yang merasakan. Sakit kepala, sesak napas, kaki yang pegal-pegal. Ia tahu Gravi tak akan mungkin ikut merasakan itu, tapi setidaknya Ily ingin Gravi selalu ada di sebelahnya.
"Aargh ... Kamu nyebelin Gra! Kamu curang, Gra. Curang!!"
Rasanya tidak adil, semua akibat atas kesalahan yang Gravi dan Ily lakukan, hanya Ily yang menanggung. Ily tidak bisa kemana-mana karena perubahan fisiknya. Ily yang harus batal kuliah. Ily yang mendapat bisikan-bisikan tidak enak, cemooh, dan gunjingan ketika berada di luar rumah.
Sedangkan Gravi, tidak satu pun merasakan kesedihannya. Ya, Ily iri dengan kebebasan Gravi.
Di tengah tangisan, tangan Ily meremas kuat baju di bagian dadanya. Nyeri sekali. Ya Tuhan, kapan semua ini akan berakhir. Dia lelah, sangat lelah dengan hidupnya yang sekarang.
***
Dua minggu, Gravi selalu berangkat pagi dan pulang larut malam. Sampai Ily begadang jam sebelas pun, lelaki itu belum menampakkkan batang hidungnya di rumah. Di sebrang Ily, Gravi sedang menyantap nasi goreng buatannya dengan begitu tenang.
Sedangkan dirinya, hanya diam melihat saja. Belum selera makan. Bayangkan, sekarang masih jam lima lewat lima belas menit. Dan Gravi sudah minta dibuatkan sarapan sejak jam setengah lima tadi.
Sebenarnya apa yang laki-laki ini kerjakan. Ily ingat saat di awal pernikahan, Gravi selalu berangkat jam tujuh pagi. Sekarang ini, jam setengah enam pun dia sudah tidak di rumah.
"Ly, gak habis," Gravi mendorong piringnya menjauh. Lelaki itu bersiap untuk mencangklong tas ranselnya.
"Aku berangkat, Ly."
Gravi sudah pamit, tepat sepuluh menit sebelum jam setengah enam. "Bentar, Gra," tangan Ily terulur seakan mencegahnya beranjak.
"Ada apa?" dengan alis yang nyaris menyatu, Gravi kembali duduk di kursinya.
"Kamu kenapa berangkat jam setengah enam terus sih, Gra?"
"Aku ada urusan, Ly."
"Setiap hari, Gra. Urusan apa ysng bikin kamu berangkat pagi terus?" Gravi tak sedikit pun melihat ke arah Ily, dia bergeming.
"Terus, kerjaan apa yang bikin kamu pulang tengah malem. Ah enggak, mubgkin jam dua atu jam tigas. Karena aku gak pernah melek pas kamu pulang." Dan sepertinya Gravi memang tidak berniat untuk menjawab.
"Kamu gak pernah peduliin aku lagi, Gra. Kamu udah gak seperhatian kaya dulu. Kenapa sih?"
"Kamu malah selalu ngabisin waktu sama Bianca," imbuh Ily lagi.
Gravi menengokkan kepala tajam. Selalu begitu. Jika sudah menyangkut nama Bianca, Gravi akan memberikan atensi sebanyak-sebanyaknya.
"Kamu emang ada perasaankan sama dia? Kamu juga cuma terpaksakan nikahin aku?" Ily terus mendesak Gravi untuk membalas pertanyaannya.
"Kamu kenapa sih, Ly. Bahas itu mulu, gak ada habisnya dari kemarin-kemarin."
"Jawab aja, Gra."
Menghembuskan napasnya, Gravi berucap, "Aku gak pernah ada rasa sama Bianca. Dan aku serius menjalani pernikahan ini sama kamu."
"Bohong!" seruan Ily memancing amarah Gravi.
Braak
"TERSERAH!!"
Teriakan Gravi dan bantingan kursi cukup membuat seluruh tubuh Ily gemetar. Melirik pada suaminya. Wajah memerah, dengan kelopak mata melebar, napas Gravi naik turun. Dia sangat marah.
"Terserah kamu mau mikir gimana. Aku gak ada waktu buat berdebat lebih lama lagi sama kamu."
Ily tak tau harus mengatakan apa lagi.
"Yang pasti, aku di luar karena emang kerja, bukan main-main."
Gravi menyudahi perdebatan mereka begitu saja, bergegas keluar dari apertment. meninggalkan Ily sendiri. Salah ya, jika dia ingin perhatian dari Gravi.
"Iya, halo, Kak."
"Lo, di mana? Gue udah di cafe sebrang nih. Jangan bilang lo masih di apartment."
Tidak bertemu langsung, tidak di telepon. Halim memang sangat bawel. "Otw kak, lagi di lift."
"Yodah cepet, nanti keburu Gravi nongol. Bisa jotos-jotosan lagi nanti."
Sambungan terputus. Iya, terakhir kali Gravi adu jotos dengan saudara tirinya minggu lalu. Saat itu, Gravi sepertinya salah paham. Kejadian itu hari sabtu sore, saat Halim datang ke apartment untuk mengajari Ily melukis.
"Bukan begitu cara neken kuasnya, tapi gini."
Halin mengambil alih kuas yang ada di tangan Ily, dia sekarang berdiri tepat di belakang punggung Ily. Ia sendiri tidak begitu memerhatikan posiai mereka berdua. Karena fokusnya hanya pada cara Halim menggerakkan kuas di atas kanvas.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Gravi masih lengkap dengan ranselnya menarik Halim mundur. Meninjunya sambil melayangkan sumpah serapah.
"Lo jangan kurang ajar ya sama Ily. Dia istri gue, punya hak apa lo deket-deket kaya gitu."
Keluar dari pelataran apartment, Ily menyudahi semua pikiran di kepalanya. Di cafe sebrang, Halim sudah menunggunya di meja out door persis seperti yang lelaki itu bilang.
Bersambung ...
27 Oktober 2020
21.08 WIB
Next Chapter »»
"Ya masa gak ada keuntungan apa-apa buat gue."
"Imbalan? Imbalan kaya gimana?" Ily mengernyitkan dahi.
"Ciuman gitu."
Ily melebarkan mata. Astaga, apa yang Halim ucapkan barusan. Dia gila.
T e k a n ☞☆☜ b i n t a n g
Maaf banget ya, karena Hana updatenya malem :) gak kaya biasanya. Terima kasih sudah membaca Gravihati.
Ah ya jangan lupa ajak temen-temen kamu buat baca cerita ini. Thank cyuuu (●'з')♡
[Revised]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top