Bab 31. Makin Dekat
Ily mengerjapkan mata ketika ponselnya berdering kencang. Jam berapa sekarang. Membuka kelopaknya pelan, Ily terkejut melihat sorot cahaya dari luar jendela kamar. Ternyata sudah pagi, berarti dia bangun kesiangan.
Ah, semalam Ily ketiduran setelah begadang sampai jam sebelas demi menunggu Gravi pulang. Menoleh ke kanan, rupanya kosong. Gravi sudah bangun, tapi kenapa dia tak membangunkan Ily. Atau jangan-jangan, Gravi tidak pulang semalaman.
♬♪Coba tanya hatimu sekali lagi
♬♪Sebelum engkau benar-benar pergi
Ily bangkit dari tidurannya. Siapa sih, yang menelpon sepagi ini. Dengan malas tangannya meraih ponsel di meja nakas.
Kak Halim is calling ...
Ada apa orang ini sampai menelponnya nerulang kali. Awas saja kalau tidak penting. Menggeser ikon hijau ke atas, detik itu juga rentetan kalimat menyerbu telinga Ily.
"Bangun Ly, udah terang. Tidur mulu. Gue di depan pintu apartment Gravi dari tadi. Lumutan, nih. Beneran baru bangun tidur, ya?"
Ily memijat keningnya. Rasa sakit di kepala bagian belakang datang lagi, kali ini beserta badannya yang ikut melemas. Ada apa dengan dirinya.
Di sebrang telepon, Halim menggerutu lagi. "Ly, cepet bukain pintunya. Parah banget, masa dari tadi gue diri mulu di depan sini."
Ah, iya dia masih di depan. "Kenapa ke sini, Kak? Ada apa?"
Ily bertanya seraya melangkah turun dari tempat tidur. Berdiri di depan cermin, ia merapikan baju juga rambutnya. Sosok yang terpantul di depan cermin saat ini. Sangat berbeda, terasa asing.
"Ly, jangan jadiin abang kacang di sini."
Ily tekikik kecil, mulai, alaynya Halim keluar. "Iya-iya sabar, otewe buka pintu."
Menghiraukan keluhan lemas dan sakit di kepalanya. Ily mengayunkan kaki ke luar kamar, mempercepat langkah. Halim masih saja menggerutu. Sudahlah, Ily matikan saja sambungan teleponnya. Detik itu juga, Ily menarik gagang pintu.
"Awas durhaka ama abang, main matiin telpon gitu aja," semburan kalimat Halim hanya Ily respon dengan sebuah senyuman.
Pantas jika sejak tadi menggerutu terus. Bawaan Gravi lumayan banyak. Tas ransel di pundak, lima papan kanvas, sebuah easel¹ dan sebuah paper bag. Gravi benar-benar serius dengan ucapannya untuk mengajari Ily hari itu. Eh, tapi ini hari jumat.
"Cantik-cantik tapi kalo tukang bengong, ya, sama aja jadi kaya kambing ompong."
Ily mendelik. Gravi bilang apa tadi, kambing ompong. Sontak saja tawa Ily terpancing keluar.
"Dih, ketawa," sinis Halim, "Kebiasaan deh, gue gak disuruh masuk, nih."
Membuka lebar pintu, Ily menyilahkan saudara tiri suaminya masuk. Perempuan itu permisi ke belakang untuk membuatkan minuman untuk Halim. Tidak sampai lima menit ia kembali lagi ke ruang tamu dengan secangkir kopi.
"Kak Halim ada apa ke sini pagi-pagi. Hari jumat juga, bukannya kuliah?"
Menyeruput sedikit isinya Gravi lantas menjawab, "Dosennya gak bisa dateng ngajar, yaudah sekalian aja gak masuk. Abis jumatan baru ada kelas. Jadi rada santailah."
Ily mengangguk paham
"Tujuan utama ke sini, mau ngasih titipan dari mama." Halim meletakkan sebuah amplop coklat, persis seperti tempo hari.
"Berhubung gue minggu gak bisa ke sini, jadi sekarang aja deh. Sesuai janji gue waktu itu," Halim membuka resleting tasnya.
"Gue udah bawain, easel, kanvas, kuas, palet, cat poster lengkap dengan pengencernya yang bebas bau. Jadi lo gak perlu khawatir bakal muntah-muntah karena baunya."
Halim menggelar semua benda-benda yang tadi disebutkannya di atas meja. Kemudian menyodorkan paper bag coklat pada Ily, memerintahkan pada perempuan itu untuk membukanya.
"Titipan dari mama," imbuh Halim.
"Gue yakin lo pasti belum sarapan, kan?" komen Halim ketika Ily mengeluarkan sebuah kotak makan. Ily mengangguk singkat.
Tangannya merogoh lagi, ada paper bag kecil lain di dalamnya. "Nah, krim itu lo pake kalo kaki atau punggung lo lagi pegel. Jangan pake krim yang lain, pake krim khusus yang mama kasih aja."
Ily menatap Halim. Sekarang dia sudah mirip sekali dengan sales. Tersenyum kecil, Ily kembali memasukkan benda tadi ke kotaknya.
"Iya tau ... gue ganteng, kan."
Ily mendecih, memasang wajah dengan tatapan aneh. Menghiraukan saja ucapan Halim. Ily membuka kotak makan dari ibu mertuanya. Ternyata salad buah.
"Gak cemong kan? Gue bawa paper bagnya udah kaya gendong bayi kalem dan hati-hati."
"Makasih."
Ily mengangkat sendok, memasukkan makanan berserat tersebut ke dalam mulutnya. Ada anggur, melon, jeruk, apel, stroberi, nata de coco, dipadu yogurt dan keju. Enak sekali. Lidah Ily lagi-lagi sangat suka makanan buatan ibu mertuanya.
Bel apartment berbunyi. Ily beranjak untuk membukanya. Ternyata Bianca. Bibir di bawah hidung mancung itu tersenyum lebar. "Hai, Ly."
Tangan kanannya yang membawa bungkusan disodorkan pada Ily. "Dari Gravi buat lo sarapan. Dia juga minta tolong diambilin map snail biru yang di laci meja belajar nomor dua dari atas."
"Gravi di mana?" tanya Ily tanpa mempersilahkan Bianca masuk.
"Dia udah di kampus dari pagi. Ini gue baru berangkat disuruh mampir ke sini buat ambil map sekalian bawain lo sarapan."
Ily mengangguk membiarka pintu terbuka lebar. Ia kemudian melangkah cepat mencari map itu. Jika ditanya bagaimana perasaan Ily saat ini. Sesak, tapi Ily mencoba menahannya. Ada Halim yang sekarang sedang bertamu. Ily tak mau menangis lagi di hadapan laki-laki itu.
Sejak sepuluh menit kedatangan Bianca, suasana ruang tamu menjadi sunyi senyap. Sebab Ily memang sedang memikirkan tentang Gravi dan Bianca saja saat ini. Deheman Halim memecah pikiran Ily, mengawali percakapan mereka.
"Gak suka banget ya, sama Bianca."
Halim mencoba membaca ekpresinya lagi. Sekentara itukah, Ily padahal sudah berusaha biasa saja tadi. Tetapi Halim memang selalu mengerti tentang Ily, meski ia tidak mengatakan apa-apa.
"Apa karena dia juga lo nyemir rambut jadi coklat?"
Ily protes mendengar pertanyaan Halim. Meski pada kenyataan Ily memang tidak ingin kalah dari Bianca. "Padahal, lo tuh cantikan kalo rambut item, Ly. Ciri khas lo, rambut item panjang."
Ily tak merespon apa-apa. Sejujurnya saja, ia sudah malas membicarakan apa pun lagi. Mood-nya turun drastis karena kedatangan Bianca.
Halim menghembuskan napas. Mencangklong tas di bahu kanan, lantas berdiri dari duduknya. "Kayaknya lo butuh waktu sendirian. Jangan lupa, dipake kanvasnya buat coret-coret biar gak kaku. Kalo gitu gue pulang ya."
Baru hendak memegang gagang pintu. Halim berbalik lagi. "Hampir aja gue lupa."
"Mama bilang, lo harus jaga kesehatan. Dia gak bisa ke sini buat nengokin lo lagi. Karena papa gak bolehin mama ke sini."
Detik itu juga Ily mendongakkan wajah. Mulutnya belum sempat mengeluarkan kata. Halim kembali bicara, "Jangan tanya kenapa, karena gue sendiri juga gak tau."
Halim membuka pintu, mengok lagi ke arah Ily. "Dah ya gue pulang. Banyak lakuin hal menyenangkan, biar lo gak sedih mulu."
Satu-satunya yang bisa menghapus kesedihan Ily saat ini adalah jawaban dari Gravi.
Pukul 19.48 WIB
Ily duduk menyelonjorkan kedua kaki. Punggung ia sandarkan pada kepala ranjang. Kelopak Ily terpejam, menahan nyeri kepala yang menyerangnya lagi. Siang hingga sore tadi rasa sakit itu hilang. Namun, malam ini tiba-tiba datang kembali.
Bibir Ily sedikit terbuka, berulang kali ia maraup udara dari mulut. Seperti ada yang menghalangi jalan napasnya, sesak sekali. Ily sedikit kesulitan mengambil napas dari hidung. Baru berusia 22 minggu, tapi kenapa sudah terasa pengap seperti ini.
Pintu terbuka, Gravi masuk bersama tasnya. "Udah makan, Ly?"
Yang ditanya hanya mengangguk. Memerhatikan Gravi yang langsung membuka laptop. Membolak-balik beberapa tumpukan map snail. Dia terlihat buru-buru.
"Baru pulang mau langsung ngerjain tugas?"
"Hu'um," jawab Gravi sibuk dengan kertas-kertasnya.
"Kemarin malam, kamu pulang ke apartment?"
"Pulang."
"Tapi paginya, kamu gak ada?"
"Aku berangkat ke kampus jam setengah enam-an. Kamu masih tidur, aku gak tega bangunin."
Kamar hening lagi.
"Gra, dada aku sesek."
"Bra-nya kurang longgar kali," jawab Gravi asal.
Lelaki itu tak sedikit pun menoleh ke arah Ily. Sikap tak acuh Gravi semakin hari, semakin menjadi-jadi. Sudah sangat kesal, kalau begitu sekalian saja. Kali ini Ily tak akan menahan pertanyaannya.
"Ngapain ke kampus jam segitu. Paling ke rumah Bianca, ya, kan?" Ily tersungut-sungut. Ia menarik napas melalui mulut lagi. Semakin sesak saja dadanya sekarang.
"Kok malah Bianca sih, kamu ini kenapa?" Dia hanya menoleh sekilas.
"Kamu deket banget ama Bianca."
Helaan napas berat Gravi mengawali kalimatnya. "Aku ini ada tugas kuliah sama dia."
Selalu Bianca, memangnya tidak ada wanita yang lain."Kenapa mesti sama Bianca mulu, sih."
Alis Gravi tertaut, "pertanyaan kamu aneh tau."
Ternganga tak percaya, Ily menggeser kaki. Lalu berdiri mendekati meja Gravi. Dari segi mana, anehnya.
"Aku cuma nanya kenapa kamu sama Bianca mulu, sih, Gra!" kali ini Ily berseru kencang.
"Aku bersama dia hanya karena ada urusan. Itu aja."
Ily tersenyum miring tapi tidak mengatakan apapun. "Sama seperti kamu yang selalu bersama Halin. Tadi pagi Halim juga udah di apartment kan?"
"Kalian berdua di sini," smbung Gravi lagi.
Oh, Bianca mengadu rupanya, batin Ily.
"Aku sama saudara tiri kamu cuna temen."
"Yaudah, aku sama Bianca juga cuma temen. Apa masalahnya?" Gravi bangkit dari duduk setelah menumpuk map snail dan kertas-kertas jadi satu.
"Udahlah, Ly. Aku mau ke depan ngerjain tugas kuliah. Aku ada di ruang tamu sama Bianca."
Bianca sudah mendapatkan sebagian perhatian Gravi. Suaminya itu, bahkan tak peduli lagi dengan keluhan sesak yang Ily rasakan. Gravi lebih mementingkan Bianca.
Tak cukup hanya malam, paginya Bianca juga datang ke apartment. Ily sendiri yang membukakan pintunya. Melangkah kembali ke ruang tengah, kebetulan lelaki itu baru keluar dari kamar mandi. Ily menarik Gravi masuk ke kamar.
"Apa sih, Ly?" gerutu Gravi.
"Kamu mau berangkat kuliah bareng Bianca?" Ily menatap dalam pada mata Gravi. Lelaki itu memutus kontak mata mereka.
"Loh, dia udah dateng."
Gravi melepaskan tangan Ily dari lengannya. Mengambil tas lalu melangkah menuju pintu.
"Gra!" Ily melangkah mendekat pada Gravi yang berada dua langkah dari pintu.
"Apa, Ly? Aku ada urusan penting sekarang."
"Kamu ada perasaan kan, sama cewek itu? Iya kan?"
Mata Gravi terpejam. Kaki jenjang itu melangkah lebar mendekati gadisnya. Memegang bahu kecil istrinya, mata sipit Gravi menatap lurus manik hitam Ily.
"Aku gak ada perasaan apa-apa sama dia. Percaya sama aku, Ly"
"Bohong!" seru Ily.
Gravi mendengus, menghela napas panjang. "Terserah," ia lalu memundurkan kakinya, "aku harus pergi."
Bersambung ...
26 Oktober 2020
13.46 WIB
¹Easel: papan untuk menjepit kanvas. Papan ini memiliki kaki dan berdiri agak miring serta dapat di setel naik turun.
[Revised]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top