Bab 28. Keinginan Terlarang

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Me
Gra, kamu mau makan malam pake apa? Aku masakin

🖤💖
Ly, aku kayakny bkl pulang malem. Jdi kmu gk usah masakin aku

Ily masih membaca ulang pesan yang dikirim Gravi sejak 15 menit lalu. Malam ini, untuk yang ke-14 kalinya. Lagi-lagi, Ily harus makan malam sendiri. Meletakkan kasar ponsel ke sofa. Ily yang duduk di karpet, melipat tangan ke meja dan merebahkan kepalanya di sana.

Tangan kanan Ily meraba, mengambil pensil lalu membuat coretan abstrak di buku tulisnya. Kesal, Ily bosan sekali sekarang. Sudah dua minggu Ily tak bercanda atau pun mengobrol hangat dengan lelaki itu.

Kuliah Gravi seperti orang kerja. Pagi berangkat, pulang malam, lalu mengerjakan tugas sampai dini hari, tidur empat jam, lalu berangkat lagi. Terus seperti itu, tak ada habisnya. Sampai-sampai hari minggu pun diterabas oleh dia. Katanya ada kegiatan di HM. Rapat, kumpulan, persiapan kegiatan, itu terus alasannya sampai-sampai Ily hapal.

Ily memandang kosong buku tebal soal-soal SBM miliknya. Jikalau tahun depan ia berkesempatan kuliah. Ily pasti tak bisa seperti Gravi yang ikut organisasi ini dan itu. Lelaki itu, kenapa dia enak sekali.

Ily sontak meraba perutnya sendiri. Sudah lumayan menonjol. Telapak Ily bisa merasakan kalau perutnya sedikit membuncit. Menggenggam ujung pakaian, ia hendak menyibak kain yang menutupi perutnya. Namun, bunyi bel apartment membuat niatnya terurungkan.

Ketika diintip dari lubang pintu. Seorang yang datang adalah lelaki familier itu, saudara tiri Gravi. Sudah lama dia tak datang ke apartment. Terakhir ketika mengantarkan perabotan dapur.

Ily membuka pintu lebar. Detik itu juga Halim menerjangnya dengan sebuah pelukan. "Adek ipar, gue kangen banget sama lo."

Ily berusaha melepas dekapan Halim dari bahunya. "Iya ... lepasin cepet, pengap nih."

Halim terkekeh, menggaruk lehernya. Lelaki itu menilai Ily dari ubun-ubun sampai ujung kaki. Heh, apa maksudnya itu. Ily putuskan untuk menutup pintunya kembali.

"Hei, hei! Kok ditutup sih, Ly." Lelaki itu berseru, dengan sigap tangannya menahan pintu agar tidak tertutup.

"Ya abis Kak Halim kaya cowo mata keranjang." Dengan tersungut-sungut Ily mengatakannya, tetapi Halim malah terkekeh pelan.

"Ini gue didiemin aja di depan pintu. Gak disuruh masuk gitu?"

Ily meringis, menyilahkan tamu langganan ini masuk ke apartment Gravi. Setelah Halim duduk manis di sofa, Ily dengan santai menanyakan minuman yang Halim ingin.

"Enggak usah deh, Ly. Nanti gue disuruh bayar lagi."

Gadis itu tertawa kecil, duduk di samping Halim. Kepalan jarinya meninju pelan lengan lelaki itu. "Seriusan tau."

Halim menggeser duduk sampai ke ujung sofa. "Eh, enggak-enggak. Gue gak mau diseriusin ama cewe yang udah bersuami."

Mulut Ily ternganga, sampai kedua alisnya menyatu sempurna. Di saat seperti ini, tingkah tak jelas Halim muncul juga. Jangan-jangan, Halim ke sini hanya sedang mencari teman bergabut ria. Astaga!

"Yaudah lah, males nyuguhin orang yang abis kabur dari Menur¹."

"Jahat kali kau dek," celetuk Halim dengan nada yang mendayu-dayu.

Ily pada akhirnya beranjak, mengambil salah satu botol susu choco banana dari kulkas untuk disuguhkan pada tamunya. Dia kemudian duduk di sofa, kali ini berhadapan dengan Halim

"Wih, itukan susu rasa kesukaan lo. Kenapa disuguhin ke gue?"

Meski melontar pertanyaan begitu, Halim tetap saja membuka tutup botol dan meneguk isinya. Ily tertawa dalam hati, laki-laki ini crewet sekali. Receh juga. Selalu berhasil membuat Ily terkekeh.

"Aku muntah minum itu, kayanya bau pisangnya bikin aku mual."

"Gak bo'ong, lo?"

Ily menggeleng, "Enggak, aku jujur tau." Untuk apa dirinya berbohong.

Halim meletakkan botol yang isinya tersisa setengah. "Mirip Gravi bener. Suka gurame, gak suka pisang. Terus apalagi?"

Ily mengangkat bahu. Hanya itu yang Ily tahu. Selebihnya tidak ada yang bermasalah.

"Jadi, sebenernya Kak Halim ke sini ada urusan apa?"

"Eh, Ly." Ily menajamkan telinga, memusatkan perhatian pada orang di depannya. Ia sudah siap mendengarkani formasi yang akan Gravi ucapkan.

"Lo lagi hamil, bukannya perut yang tambah bulet, lah ini malah pipi lo yang makin bulet. Itu dikasih makan bola ping-pong terus kan."

Dada Ily turun seketika. Ia merasa tertipu. Memutar mata malas, Ily memilih melontar lagi pertanyaannya untuk yang kedua kali. "Kak Halim ke sini ada urusan apa?"

Lelaki itu terdiam, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. "Dari mama buat lo." Ia menyodorkan sebuah amplop pada Ily.

"Buat apa?" tanya Ily pelan.

"Buat simpenan aja," jawab Halim asal.

Ily tak mengambilnya, masih menimang-nimang. Kalau Gravi tahu Ily menerima uang dari ibu tirinya. Dia pasti marah sekali.

"Kebanyakn mikir banget," celetuk Halim tiba-tiba. Sedangkan Ily mengernyit tak paham.

"Ma, iya nih. Udah. Itu menantu mama gak percaya, iya. Hu'um Ma, Halim masih di apart Gravi, kok."

Tiba-tiba Halim menyodorkan ponselnya pada Ily. "Mama mau ngomong sama, lo."

Ily mengambil alih ponsel itu, mendekatkannya pada telinga. "Halo, Ly," sapa sesorang di sebrang sana.

"Iya, Ma."

"Halim udah bawa kan amplopnya."

"Udah, Ma." Ily memandang pada tangan yang ada di pangkuannya.

"Itu buat pegangan kamu. Wajib disimpen, gak boleh dibalikin. Siapa tau nanti ada perlu buat persalinan atau lainnya."

Ibu mertuanya benar, Ily juga perlu memiliki pegangan uang. Jadi, uangnya haruus Ily terima. Masalah Gravi, dia tak akan tau kalau Ily tak cerita. Bukan begitu.

"Iya, Ma. Terima kasih banyak buat uangnya."

"Menantu mama sama calon bayinya harus sehat. Pergunakan uangnya dengan baik ya, Ly."

"Iya, Ma."

"Yaudah Mama tutup dulu telponnya. Assalamualaikum."

Setelah menjawab salam ibu mertuanya, sambungan telepon terputus. Ily meletakkan kembali ponselnya di meja, menyodorkan benda itu pada Halim. Ia memandang amplop yang tergeletak di meja untuk kesekian kalinya. Ibu mertuanya baik. Lagi-lagi tidak sejahat seperti yang Gravi katakan.

"Gue bener kan, gak bohong," celetuk Halim. Ily tak merespon, hanya mendiaminya saja.

"By the way, Gravi mana, Ly? kok enggak keliatan, sih."

Ily mengangkat kepala, melihat ke arah lelaki tersebut. Akhirnya, Halim bertanya hal ini juga. "Gravi masih kuliah, katanya dia pulang agak malem."

Halim hanya ber oh ria, seraya menganggukka kepalanya sekilas. Manik laki-laki itu tertuju pada buku tebal milik Ily. Tak lama setelahnya pertanyaan lain muncul lagi.

"Masih belajar soal SBM, ya?" Ily mengangguk.

"Berarti ada indikasi mau lanjut pendidikan?"

Pertanyaan Halim sedikit banyak membakar semangatnya untuk terus pantang mundur meraih keinginannya itu. Sudah lama, tak ada yang membahas masalah ini padanya. Seakan-akan kehamilan Ily ini menjadi penghalang yang membuatnya terasa mustahil.

"Iya, Kak, aku berniat mau lanjut."

"Jurusan apa?" tanya Halim lagi.

"Seni murni, Kak."

Halim tersenyum lebar. "Aku dukung, Ly. Semangat!" Satu tangannya mengepal di dekat bahu.

"Selain belajar ginian, masih belajar ngelukis?"

Ily hampir melupakan hal ini, bahkan semenjak kelas 12 ia sudah jarang sekali menyentuh kanvas. Dirinya terlalu sibuk dengan buku-buku tebal semacam ini. Melihat pada Gravi sekilas, Ily berkata, "Aku udah gak pernah pegang kuas lagi."

"Tapi suka ngelukis kan?"

Ily mengangguk semangat, tentu saja. Dia sangat suka kegiatan yang satu itu. Hanya saja, akhir-akhir ini Ily terlalu sibuk bersedih.

"Aku bisa jadi tutor kamu lagi, itu kalau kamu mau. Aku bakal ke sini setiap weekend. Gimana?"

Ily terkejut mendengar itu, tapi dia senang. Sangat malah. Kalau ada Halim yang main ke rumah, setidaknya ia tidak terlalu merasa kesepian. Dan lagi, akan diajari ilmu melukis baru. Ily tak akan melewatkan kesempatan ini.

‍‍"Heh, Ly, gimana? Bengong mulu sih, hobinya. Udah jangan kebanyakan mikir. Iya atau enggak, nih?"

Dagunya mengangguk semangat. "Iya dong."

"Nah, sip." Halim mengacungkan satu ibu jarinya. "Kanvas masih punya? Cat air, kuas, pal-"

"Gak ada alat melukis apa pun di apartment ini, Kak."

"Gak masalah, minggu depan gue bawain dari rumah. Yang penting, lo semangat aja. Ok?"

Ily tersenyum lebar mengiyakan. Halim membuat mood baik Ily kembali dengan begitu cepatnya. Padahal dia baru di sini sekitar setengah jam. Selalu begitu. Sejak dulu Halim memang tak pernah gagal memancing perasaan bahagia Ily.

"Tapi, ada satu hal yang gak kalah penting." Ily menunggu dengan penuh penasaran kalimat yang akan Halim ucapkan.

"Kasih tau Gravi soal rencana ini. Biar gak ada masalah nanti."

***

"Gak, Ly. Nanti aku bisa beliin perlengkapan ngelukisnya. Kamu bisa belajar sendiri." Gravi mengataknnya dengan mata terfokus pada laptop.

"Aku mau belajar sama dia, cuma belajar. Masa iya kamu gak bolehin," protes Ily.

"Gak, Ly. Aku gak mau Halim nginjak apartment ini lagi!"

"Tap-"

"Gak, udah jelas kan barusan aku bilang enggak."

Apa yang Halim ucapkan sepertinya kurang tepat. Pada kenyataannya ini malah menjadi masalah, bahkan sebelum rencana mereka di mulai. Gravi bersikeras menolak rencananya.

"Terserahlah, mau kamu setuju atau enggak. Kak Halim bakal tetep ke sini buat ajarin aku ngelukis lagi."

Ketika Ily berbalik, hendak keluar kamar. Mendadak pergelangan Ily ditarik dengan kasar. Sudah pasti perbuatan Gravi, lelaki itu lalu menghempas tubuh Ily hingga terduduk di kasur.

Gravi kenapa begini.

Kali pertama bagi Ily melihat kemarahan Gravi yang seperti ini. Laki-laki itu menunjuk ke arah wajah Ily, "Kamu jadi pembangkang karena Halim. Bilang ke aku kenapa kamu kekeh milih Halim yang ke sini?"

"Aku tau temanmu yang namanya Gita itu juga bisa melukiskan, kenapa gak ajak aja dia ke sini? Kenapa harus Halim, Ly. Kenapa!"

Dengan tersulut-sulut juga, Ily menjelaskan semuanya. "Halim ahli dalam bidang ini dan dia mau meluangkan waktunya untuk datang ke apart kamu."

Gravi melangkah mundur, berteriak kencang dengan tangan yang mengacak rambutnya. "Dia ada maksud lain, Ly! Kenapa kamu gak ngerti-ngerti maksud aku."

"Maksud apa?"

Gravi mengacak rambutnya lagi seperti orang yang sedang frustasi."Halim dari dulu mencintai kamu. Apa kamu gak berasa?"

Astaga, ini lagi alasannya.

Bersambung ....

25 Oktober 2020
05.00 WIB

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top