Bab 26. (b) Gravi Rese!
Gorden melambai pelan saat angin melesak masuk ke dalam kamar. Ily menoleh ke kanan, memandang wajah terlelap Gravi dalam diam. “Kenapa rasanya susah banget ngajak kamu ngobrol.”
Setiap helaan berat napas Ily berisi kekecewaan terhadap Gravi. Mengapa dia menolak membicarakan rencana kuliah Ily. Tidak mungkinkan kalau Gravi berniat mengurungnya di tempat ini. Hah! Itu konyol. Masalahnya hanya satu, Gravi tak pernah mau berusaha mengerti perasaan Ily.
“Mending aku nyari bukunya ajalah.” Ily bangkit dari pembaringan.
Jikalau Gravi memang tidak mendukung keinginan Ily, maka ia akan berusaha sendiri. Sekarang Ily hanya butuh buku SBM milik Gravi. Mungkin saja lelaki itu masih menyimpannya di apartment ini.
“Ih, di mana sih.”
Laci meja belajar, rak buku, dan buffet kecil di kamar sudah Ily kunjungi. Tapi buku tebal itu tak ada. Ia berlari keluar kamar, membuka buffet lainnya di ruang tengah. Nihil juga, tak ada apa pun di sana. Ily menggeram kesal. Berdiri hendak menumpukan tangan pada buffet setinggi satu meter.
Prang
Manionya melebar dengan mulut terbuka sempurna. Alih-alih memegang kayu, Ily malah tak sengaja menjatuhkan akuarium kaca bulat. Pecahan kacanya berserakan. Lantai basah dan ikan itu, semuanya menggelepar di lantai. Astaga. Gravi pasti marah, bagaimana ini. Kaki Ily refleks mundur ke belakang, menjauhi genangan air yang melebar kemana-mana.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Niat hati menghindari basah, kakinya malah tertancap beling. “Aw, aww sakit.”
Telapak kanannya. Ya Tuhan beling itu menancap sempurna, darah menetes dari sana. Perih, perih sekali.
“Ily! Kamu kenapa?”
Suara bentakkan parau khas bangun tidur menggema. Gravi segera membopong Ily ke sofa depan televisi. Ia membalik telapak kaki wanitanya.
“Tahan, Ly. Akan aku tarik keluar belingnya.”
Ily meringis seraya menangis. Ia terus menggigit bibir, menahan pekikkan. Perih, rasanya sangat menyakitkan.
“Udah. Diem oke, jangan nangis lagi. Aku obatin luka kamu.”
Masih menangis sesenggukan, Ily hanya membisu mendengar segala ocehan Gravi yang menyuruhnya diam. Lelaki itu tak merasakan betapa sakit dan perihnya kulit kaki Ily.
“Kamu nih, cengeng banget.” Gravi mencibir, tangannya menetesi obat merah pada kapas.
“Ash, sakit Gra. Perih.”
Masih tak acuh, Gravi melanjutkan kegiatan membalut telapak Ily dengan perban. Bukannya diam, tangis Ily terdengar malah semakin jelas. Ini sangat menyakitkan, rasa perihnya tak mau hilang.
“Sst, Ily jangan nangis. Aku janji tiga hari lagi lukanya akan kering. Memang perih, tapi obat itu cepat mengeringkan luka.” Kedua tangan itu meletakkan kaki Ily perlahan. Sudah selesai.
“Coba cerita, kenapa bisa begini?”
Gadis itu menahan tangis sesenggukannya. Ingin berhenti, tapi tak bisa hilang. “Aku menjatuhkan akuarium milikmu.”
“Ya, aku tau itu,” Gravi menjeda sejenak, “tapi kenapa bisa jatuh?”
Ily ragu mengatakan ini. Yudha pasti bisa marah. “Aku. Aku ... cuma lagi nyari buku—”
“Buku SBM?” potongnya dengan nada datar.
Dan Ily hanya sanggup mengangguk menjawab, bahkan kini ia menunduk dalam, tak berani menatap Gravi. Dia pasti akan marah. Ily yakin itu.
“Udah aku bilang kan. Kalau buku SBM itu gak ada di apartment ini. Buku lama aku udah diloakin.” Gravi masih duduk di karpet, berhadapan dengan Ily.
“Tapi kamu masih gak percaya. Kenapa sih, kamu gak percaya sama aku, Ly?”
Karena Ily membisu, lelaki itu berpindah duduk ke sampingnya. Lalu memegang kedua bahu perempuan itu. “Bener kan, kamu emang gak bisa percaya sama aku? Kamu cuma percaya sama Halim.”
Mata Ily melotot, ia menoleh menggeleng kuat pada Gravi. “Enggak begit—”
“Iya, Ily iya!”
“ENGGAK.” Ily menghempas kasar tangan Gravi. Emosinya memuncak, kenapa dia malah menyinggung Halim. Gravi selalu saja menyudutkan Ily dengan membawa nama Halim.
“Kamu lihat sekarang akibatnya!” Gravi membentak lagi. Dia berdiri, menarik kut rambutnya.
“Kamu gak seharusnya marah begini, Gra,” lirih Ily
Tangan perempuan itu mengusap air mata yang tak sengaja terjun saat Gravi tiba-tiba menyergapnya dengan pelukan. Menyebalkan, kenapa dia bisa-bisanya menangis untuk Gravi.
“Aku takut kehilangan kamu, Ly. Aku cuma gak mau kamu pergi ninggalin aku.”
Apa itu, apa maksudnya. Ily ... tak bisa mengerti.
***
Ting tong ting tong
Dentingan bel terus berbunyi sepanjang Ily melangkah tertatih membukakan pintu. Ya Tuhan, siapa sih yang bertamu sepagi begini. Mana tak sabaran sekali.
Jika ada Gravi, tentu dia yang akan membukakan pintu. Tapi dia sudah pamit kuliah sejam lalu. Ily memaklumi kalau Gravi tak bisa absen di mata kuliah hari ini. Lagi pula, Ily tak punya hak melarangnya beraktivitas bukan.
Saat pintu dibuka. “Ya Allah, Ily, kaki mana aja yang sakit?”
Ada Ibu mertua, Halim berdiri tepat di sampingnya.
“Harusnya tadi mama bawa cardlock, tapi kelupaan. Maafin mama buat kamu jalan-jalan kaya gini.” Wanita itu terus berceloteh dengan wajah cemas. Meraba kaki Ily, menelitinya dengan seksama.
“Mama khawatir, kamu gak apa-apa?”
Ily tersenyum, memegang pergelangan tangan ibu mertuanya yang sekarang sudah bertengger di wajah. Ia tersenyum menatap dalam mata Nura yang melebar sempurna. Dia benar-benar seperti ibunya.
“Ily udah mau sembuh, Ma. Obat merah yang Gravi kasih manjur. Lusa bakalan kering lukanya. Mama jangan khawatir.”
Wajah cantik dengan beberapa kerutan itu tersenyum. “Yaudah yuk, masuk.”
“Ma.” Sosok yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. “Halim mau berangkat kuliah dulu. Udah hampir telat.”
Nura mengangguk. “Hati-hati. Maaf ya, mama ngerepotin Halim lagi.”
Lelaki itu menggeleng. “Enggak repot. Apa pun buat Mama,” pungkasnya lalu mencium pipi sang ibu sebelum melenggang pergi dari depan pintu.
“Ya udah yuk duduk.”
Ily mengulas senyum samar. Penasaran akan sesuatu hal. “Mama ada yang mau diomongin sama Ily? Harusnya mama gak usah repot-repot ke sini, kan bisa tel—”
“Enggak,” rambut pendeknya sedikit bergoyang. “Mama mau liat keadaan mantu mama. Apalagi ini permintaan Gravi juga. Untuk pertama kalinya dia minta tolong sama Mama.”
Ada binar bahagia di mata. Ia menatap ke arah Ily lagi, kali ini dengan sebuah senyuman yang begitu lebar. “Mama seneng, Gravi mempercayai Mama untuk menjaga gadis yang paling dicintainya.”
Nura menarik Ily ke dalam pelukan. “Mama senang, karena keberadaa Ily. Mama jadi bisa sering ketemu sama Gravi.”
Rasanya Ily ikut merasakan sesak yang ibu Nura rasakan. Air mata menyusup, menggenangi pelupuk Ily. Hubungan ibu dan anak ini, Ily tak bisa memahaminya dengan jelas. Mereka terlalu asing dan semua ini terjadi terlalu cepat.
“Udah-udah.” Nura menarik diri.
“Seharian kita bakal cerita-cerita. Banyaak, sekarang mending pindah ke depan tv aja. Oke.”
Ily mengangguk dan tersenyum samar. Nura mirip seperti ibunya. Ily jadi rindu Shinta.
.
Pagi berganti waktu jadi siang menjelang sore. Seperti yang Nura katakan sebelumnya di ruang tamu. Wanita itu membawakan banyak topik perbincangan pada Ily, tapi tak satu pun menarik di telinga gadis itu. Sampai akhirnya sebuah kalimat menarik seluruh atensi Ily.
“Mama minta maaf atas perbuatan Gravi. Karena ulahnya kamu jadi hidup tak bersemangat seperti sekarang.”
Bibir Ily terkatup kembali saat hendak menyangkal, tetapi itu benar. Tak ada yang salah. Dia memang seperti sedang kehilangan gairah hidup.
“Gravi memang terlihat seperti lelaki bajingan karena telah menghamili anak gadis orang. Dia juga beriskap kurang ajar dengan orang tuanya.”
Ily terpejam. Tiba-tiba bahu Ily dibawa menghadap pada wanita itu.
“Tapi percaya sama Mama, Ly. Gravi, pria dan anak yang sangat baik. Hanya saja ... pikiran dia sedang tidak stabil sekarang, itu saja.”
Sebelah alis Ily terangkat. Tidak baik-baik saja. Mengapa? Ily sungguh tidak bisa memahami ucapan ibu Nura.
“Mama harap Ily bisa selalu ada di dekat Gravi, membuat dia selalu baik-baik saja.” Apa ini sebuah permintaan. Semacam apa? Apa ibu Nura ingin aku tak mengecewakan anak tirinya itu.
“Gravi hanya akan tetap baik-baik aja kalau kamu selalu di sisinya. Mama tau persis itu.”
Saat ini, Ily ingin menangis saja. Ada rasa haru mendengar kalimat itu. Benarkah Gravi membutuhkan Ily sebegitu besarnya. Ily tak yakin. Gravi saja lebih sering bersikap tak acuh padanya.
Nura tersenyum, satu tangannya membelai pipi Ily. “Terlepas dari itu semua. Ily juga anak Mama. Cerita ke mama kalau Gravi bikin masalah sama kamu. Hmm?” Hanya anggukan yang Nura dapat dari respon Ily.
“Rasanya suasana hati mendung. Sulit walau sekedar untuk tersenyum. Semua impian satu persatu beranjak meninggalkan. Mama paham kenapa kamu murung begitu.”
Ibu mertuanya baru saja melucuti seluruh isi hati Ily. Ia sudah berusaha terlihat baik-baik saja. Memasang ekspresi biasa, bahkan banyak tersenyum di depan ibu mertuanya. Apa itu masih belum cukup menutupi duka. Semenyedihkan itukah dia.
“Mama tau, kamu juga ingin kuliah, bersenang-senang di masa muda. Bukan seperti ini.”
Napas Ily memburu, dia siap memecahkan tangisnya. Ah, Ily menahan mati-matian untuk itu. Jangan menangis dulu.
“Mama bisa saja membuka usaha untuk kita kelola bersama. Ya, mau? Biar kamu punya kegiatan.”
Ily tak pernah berpikir sampai ke sana.
“Atau Ily lanjut kuliah lagi, setelah babynya lahir. Mama akan bantu jaga cucu mama, sementara kamu kuliah. Gimana, seru kan?”
Ily tak kuasa menahan senyuman. Sudah lama tak ada yang menyemangatinya mengejar impian. Ia juga ingin mendengar itu keluar dari Gravi. Lalu merealisasikan apa yang ibu mertuanya ucapkan. Namun Gravi, Ily tak bisa tanpa ada keputusan dari laki-laki itu.
“Ily masih ingin fokus menjaga kehamilan, Ma.”
Nura mengangguk. Tepat ketika itu, suara pintu terbuka disusul makian saling tarik urat dari ruang tamu.
“Pergi dari sini!”
“Gue cuma mau jemput mama!”
“Alah bacot! Lo mau ketemu Ily juga, kan? Keluar lo!”
“Tolol, lo cemburu sama gue?”
“Gue bilang KELUAR.”
Nura beranjak berdiri, memegang bahu menantunya. “Udah ya, sayang. Mama pulang dulu. Kamu baik-baik di rumah.”
Ily mengembuskan napas panjang. Kenapa sih dengan Gravi, kecemburuannya itu tak pernah ada habisnya. Ily sampai tak habis pikir.
“Kamu keterlaluan tau, Gra,” semburnya saat lelaki itu melangkah gontai, duduk di karpet menghadap Ily.
“Maksud kamu aku keterlaluan sama Halim? Salah dia sendiri karena terus-terusan deketin istri orang,” jawabnya enteng.
“Gra, Halim gak seperti yang kamu pikirkan. Dia gak begitu!”
“Dia emang begitu.”
Ily memutar mata pada Gravi yang berbalik memunggunginya. “Dia cuma mau nemuin mama.”
Gravi tak merespon.
“Lagian mama juga kesini karena kamu yang minta kan? Kenapa kamu bersikap jahat kaya gitu.”
Gravi berdecak pelan, umpatan halus menyusul kemudian. “Harusnya aku biarin aja kamu sendirian di sini.”
Pernah Ily beritahu kalau Gravi selalu bicara seenaknya. Saat ini adalah buktinya. Dia menyebalkan, mulutnya itu pintar sekali bicara.
“Gra, kamu makin nyebelin tau.”
Helaan napas panjang Gravi tunjukkan terang-terangan. “Aku capek, Ly. Sekali aja kamu jangan nentang aku lagi cuma demi Halim. Bisa?”
“Enggak. Aku gak pernah gitu.”
“Iya! kamu begitu, tapi kamunya yang gak nyadar,” sambar Gravi cepat. Nada bicaranya juga mulai meninggi.
“BUKAN AKU YANG SALAH, TAPI KAMU GRA!” Napas Ily naik turun. Andai saja ia bisa berjalan dengan baik, ingin sekali dirinya menunjuk wajah laki-laki itu.
Suara televisi menyamarkan keheningan. Karena Gravi diam, maka Ily angkat bicara lagi. Menekankan sesuatu berharap Gravi bisa mengerti.
“Kamu salah karena gak bisa percaya sama aku. Terus kamu juga terlalu pencemburu. Kamu egois, keras kepala, gak pernah mau dengerin aku.” Dadanya sesak, Ily menjeda sebentar memberikan paru-parunya kesempatan bernapas.
“Tingkah kamu bikin aku muak, Gra!”
Bibir bergetar, air bening mulai merambat di pipinya. Ily tak pernah ingin mendikte semua sisi buruk laki-laki yang sangat dia cintai. Namun, jangan lupa dia juga manusia yang bisa lepas kendali. Ily lelah dengan semua tuduhan tak berdasar dari Gravi.
“Lihat. Gara-gara kamu membela si keparat itu, kita jadi bertengkar.” Dia berucap cuek, beranjak dari duduknya.
“Kamu salah paham!” pekik Ily berderai air mata.
“Terserah.”
Blaam.
Ily menangis selepas-lepasnya, tak menyangka mereka akan bertengkar hanya karena masalah sepele. Kecemburuan tak masuk akal Gravi. Kalau begini sekalian saja, Ily akan minta tolong sama Halim. Biar pun akan ribut dengan Gravi, setidaknya ada sesutu hal yang bisa Ily dapatkan.
Menghapus jejak air di wajah, Ily melangkah tertatih masuk ke kamar. Membuka perlahan pintu. Gravi di sana merebahkan dirinya di kasur, satu tangannya terlipat menutupi mata.
“Aww, ishh.”
Sial sekali. Saat sibuk memerhatikan Gravi, ia kelupaan dan telapaknya jadi menapak sempurna di lantai. Sementara Ily mengaduh kesakitan. Gravi masih bergeming, entah tidur atau pura-pura tak dengar. Menyebalkan, kenapa dia yang jadi ngambek begitu.
Mendudukan diri di pinggiran ranjang. Ily meraih ponsel di meja nakas. Mengetikkan sesuatu di atas keypadnya.
Send
Besok pasti Halim akan membawakan apa yang aku minta, batin Ily bersorak girang.
Ily memandang layar ponselnya lagi. Hanya perlu menunggu pesan menjadi centang dua biru, melihat respon Halim, dan Ily akan langsung mendapatkannya. Astaga Ily rindu sekali dengan bau buku.
Tiba-tiba.
“Apa-apaan itu?”
Gravi merebut paksa ponselnya dari belakang. Ily refleks menengok. Rahang Gravi mengeras, bibirnya terkatup rapat. Dan lagi, tangan dia meremat ponsel Ily kuat lalu menatap tajam pada pemiliknya. Ily khawatir gawai itu akan berakhir dengan layar pecah di lantai. Ya Tuhan, Ily tak punya uang untuk beli yang baru.
Ily dibuat bingung saat dia tiba-tiba tertawa sumbang. “Apa maksud pesan ini?”
Tenggorokan Ily mendadak kering. Bukankah pesannya sudah jelas. Apa maksud Gravi dengan bertanya lagi.
“Oh sebentar, akan aku bacakan ulang pesannya.”
“Kak Halim, maaf ganggu. Aku mau pinjam buku SBM punya kakak boleh gak? Kalau boleh, tolong kakak bawain bukunya besok, ya. Euum, eh, besok-besok juga gapapa deh. Sesempetnya kak Halim aja. Makasih.”
Gravi melirik sekilas pada Ily. “Kenapa harus ada emotikon senyum tersipu?”
Ily menggerutu dalam hati. Apa masalahnya, hanya emotikon saja.
“Sok manis,” lanjutnya.
Ily mendelik tak percaya. Mulut Gravi kasar sekali hari ini. “Siniin!”
Lelaki itu tak membiarkan Ily mendapatkan ponselnya. “Gra, siniin! Kamu jangan ikut campur. Gak usah ngerusuhin aku, kalo emang kamu gak mau bantu.”
Gravi berhenti mematut layar pipih itu. Tangannya terulur memberikan ponsel pada Ily. Lihat. Pesan yang tadi sudah dihapus untuk semua orang.
“Harus ya, kamu minta tolong Halim.”
Ily memalingkan wajah dari kilatan tajam manik Gravi. “Cuma Halim yang punya bukunya.”
“Ily, aku juga bisa beliin yang baru.”
“Tapi kamu kemarin marah gara-gara buku itu. Ya udah, aku gak mau ngomongin benda itu lagi di depan kamu.”
Ily berteriak lagi, habis sudah kesabarannya. Mau orang ini apa sih, kemarin begitu sekarang begini. Semua yang dilakukannya serba salah.
“Besok aku beliin bukunya.”
“Gak usah, kamu gak ikhlas.” Ily yakin sekali.
“Jangan mancing keributan, Ly. Kalo kamu mau aku beliin.”
“Gak jadi, gak usah.”
Kamar hening untuk beberapa saat. Ily melirik, laki-laki itu mematung menatapnya dengan wajah datar seperti menahan kesal.
“Kamu makin ngeselin.”
Jangan tanya bagaimana rasanya. Kesal! Ily sangat kesal. “Kamu yang rese, Gra! Kamu yang ngamuk gak jelas dari kemarin.”
“Udahlah,” ujar Gravi lalu keluar kamar.
Dasar pemarah.
Ingin sekali Ily berteriak di hadapan mukanya saat ini juga.
Bersambung ....
A/n:
Ini part selipan. Ada adegan yang sempet kelewat pas marathon nulis kemarin.
Semoga suka, ya.❤
13 Desember 2020
08.00 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top