Bab 25. Bertemu Lagi
Sekarang pukul delapan pagi, Gravi sudah berangkat sejak satu jam yang lalu. Ily kini sedang asik mengelapi dinding kaca apartment. Yup, bersih-bersih. Jangan sampai apartment Gravi penuh dengan debu tebal.
Ting tong ting tong
Ily menoleh ke belakang. Kira-kira siapa yang bertamu sepagi ini. Turun dari kursi, lalu menaruh lapnya di kayu itu juga. Sembari berlari ke pintu, Ily mengusap telapak ke appron yang digunakannya.
Tanpa mengintip siapa gerangan si tamu, Ily lekas saja menarik gagang pintu. Memasang wajah ramah, ia sudah siap menyapa seseorang di balik pintu. Ternyata Bianca. Sontak saja lengkungan bibirnya perlahan menjadi sebuah garis.
"Pagi, Ly."
Bianca menyapa dengan ramah. Namun Ily tetap pada ekspresi datarnya. Perempuan yang tengah hamil muda ini bahkan terang-terangan menggunakan nada ketus. Iy seolah tak peduli, kalau wanita berdarah campuran di depannya ini adalah mantan boss Ily.
"Aku mau ambil flash disk hitam SanD**k punya Gravi. Katanya sih, flash disk itu ada di laci meja belajar paling atas."
Ily mengernyitkan dahi. Kenapa harus dia yang mengambil ke sini. Apa di kampus, Gravi cuma berteman dengan Bianca saja. Selalu besama Bianca, apa tidak ada gitu teman Gravi yang laki-laki.
"Gravi kemana?"
"Dia di kampus. Aku keluar ada keperluan, kebetulan emang lewatin sini. Jadi Gravi sekalian titip itu tadi. Yaudah aku ke sini, katanya ada kamu di apart yang bakal ngambilin."
Ily berbalik, menyilahkan Bianca duduk di sofa. Gravi, apa dia tidak mengerti kalau hal ini bisa membuat pikiran Ily kian bertambah banyak. Secara tidak langsung, tindakan ini seperti menunjukan bahwa memang mereka dekat. Ily merasa kalau antara Gravi dengan Bianca bukan hanya sebatas teman biasa.
Di kamar, Ily segera membuka bagian meja yang Gravi maksud. Laci meja teratas. Ditariknya gagang kotak itu. Hitam dan kecil. Dapat, itu dia. Ily langsung menyahut flash disk-nya. Akan tetapi, mata Ily terpaku pada bungkusan klip.
Testpack
Ily tak mengerti, kenapa benda yang seperti itu saja Gravi simpan. Menghiraukan rasa herannya, Ily menutup laci. Melangkah ke ruang tamu.
"Ini," ucap Iy menyodorkan benda tersebut pada Bianca.
"Makasih."
Ily mengangguk, beranjak mendekati pintu. Menyilahkan Bianca keluar setelah membuka pintunya. Memilih untuk melupakan semua rasa sesak, Ily kembali melanjutkan kegiatan bersih-bersihnya.
Pukul 10.00 WIB
Menekan tombol remot tv dari nomor 1-15, tak ada acara yang menarik. Sejak seminggu lalu tontonannya hanya itu-itu saja. Jenuh ini mulai mengganggu perasaan Ily. Sudah sepekan, dari pagi sampai sorenya selalu sendirian.
Tiba-tiba, Ily rindu ibunya dan lagi bagaimana keadaan sang ayah. Memandang jauh ke luar jendela, bolehkah dia datang ke sana. Apa kedua orang tuanya sudah bisa memaafkan dia.
Menarik napas panjang. Baiklah, Ily akan keluar untuk mengunjungi rumah orang tuanya. Ia tak akan tahu jika tidak mencoba. Semoga saja Dipta dan Shinta sudah memaafkan Ily.
.
Berdiri di sebrang jalan, Ily menatap haru rumah orang tuanya. Pintu terbuka lebar, tapi di teras tidak ada siapa pun. Menengok ke kanan dan ke kiri, Ily mulai menyebrang jalan.
Langkah kakinya melambat. Sudah di depan mata, tapi perasan ragu menelusup ke dada Ily. Dari dalam ruangan, siluet Shinta semakin lama semakin terihat jelas. Benar, itu ibunya.
"Ibu."
Ily melebarkan langkah, satu kakinya sudah melepas sandal. Tinggal menapak di atas lantai, tapi ibunya mengacungkan tangan agar Ily tidak melangkah lebih jauh lagi dari tempatnya berdiri.
"Jangan masuk."
Jantung Ily rasanya seperti ditarik paksa keluar dari tempatnya. Pedih. Air mata merebak, Ily tak bisa menahan tangis. Kenapa ibunya mengatakan itu.
Dengan suara bergetar Ily berucap, "Ratna kangen ibu." Air mata lolos begitu saja.
Berdiri mematung di pintu pagar sederhana rumah orang tuanya, Ily terisak. Sosok Shinta perlahan memburam karena air mata yang membanjiri pelupuknya.
"Kenapa kamu ke sini?"
Tangannya menyeka air mata yang terus saja keluar. "Ratna mau liat keadaannya bapak, bu."
"Bapak kamu baik." Shinta mendekati meja di warung sederhananya. "Kamu pulang aja, jangan ke sini lagi. Atau hipertensi bapakmu bisa kambuh."
Nada datar Shinta sudah cukup meremukkan hati Ily. Shinta bersikap dingin berkali-kali lipat dari sebelumnya. Ily tahu dia membuat kesalahan besar. Tetap saja Ily tak tahan jika ibunya yang marah. Sejak kecil, Shinta adalah orang nomor satu yang selalu memaafkan kesalahan Ily lebih dulu.
"Bu, maafin Ratna."
"...."
"Bu, Ratna minta maaf," lirih Ily lagi. Namun, Shinta masih tetap membelakanginya.
"Maafin Ra-"
"Iya udah ibu maafin, sekarang kamu pergi dari sini," titah wanita itu dengan nada yang mulai meninggi.
"Tapi, kenapa ibu kaya masih marah sama Ratna."
Shinta berbalik dengan derai air mata membanjiri wajahnya. "Kamu itu anak kesayangan ibu, kamu anak yang paling bisa maklumin keadaan ibu, gak banyak nuntut apa pun.
Dan ibu kecewa Na, ibu gak sukses didik kamu. Ibu gak bisa didik anak kesayangan ibu sendiri. Ratna begini karena Ibu gagal. Gagal, Ratna."
Ily menangis, hendak mendekati ibunya. Namun, Shinta melarang. Memerintahkan Ily segera pergi dari sana.
"Bu, maafin Ratna. Itu salah Ratna bukan salah ibu."
"Ibu gak mau denger apa pun lagi. Pergi Ratna!" titah ibunya.
"Bu, Ratna tetep jadi anak ibu kan. Ratna sayang banget sama ibu. Maafin Ratna karena udah buat ibu kecewa."
Shinta menangis tersedu. "Pergi! Pergi Ratna!"
Beranjak dari teras, Shinta menutup pintu, membantingnya kuat. Ily terduduk di sana, menangis sepuasnya. Shinta sudah sangat kecewa. Dengan masih tersedu, Ily berdiri. Pergi dari halaman rumah orang tuanya seraya mengeringkan air mata. Kapan kepedihan ini akan segera berakhir.
Ily masih belum bisa berhenti menangis, bahkan saat dia turun di halte dekat apartment pun. Yang Gravi ucapkan salah. Semanjak kehamilannya terbongkar, hidup Ily bukan semakin melegakan. Ia malah semakin tertekan. Penolakan orang tuanya adalah yang paling tidak bisa Ily terima.
"Ly, kenapa nangis di sini?"
Mendongakkan wajah, ternyata SUV putih yang berhenti di dekat halte adalah milik Halim. Sudah tak ada lagi air mata di pipinya. Mungkin mata sembab Ily, membuat Halim tahu kalau ia habis menangis.
Ily heran sendiri, kenapa selalu ada Halim di mana-mana. "Ngapain ada di sini?"
"Gue?" Halim menunjuk dirinya sendiri lalu ikut duduk di samping Ily.
"Gue baru pulang ngampus, terus langsung ke apartmen lo. Disuruh mama nganterin perlegkapan dapur."
"Perlengkapan dapur?"
Halim mengangguk, "Hu'um. Ayo gue anterin pulang, biar gue cepet pulang juga. Mau ada urusan nanti sore, jadi gak bisa lama-lama nemenin lo."
Malam harinya di saat Ily sedang duduk bersantai. Gravi yang baru pulang terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat di kitchen set. Tidak jadi mandi, laki-laki itu mendekat pada Ily dan duduk di sampingnya.
"Itu siapa yang beli, kamu?" tanyanya sembari mengacungkan tangan ke arah dapur.
Ily menengok lalu menggleng. "Itu dari Mama Nura." Ily menatap layar televisi lagi.
"Kenapa?"
Ily menengok lagi, kali ini dengan dahi terlipat ia menjawab, "Ya ... aku gak tau, Gra. Harusnya kamu tanya gitu ke mama."
Terdiam sejenak lalu Gravi berdiri, "Aku gak suka ya, kamu nerima pemberian dia lagi."
"Aku harap hari ini jadi yang terakhir," imbuhnya lalu melenggang pergi, masuk ke bilik kamar mandi.
Ily memandang lamat-lamat pintu putih kamar mandi. Gravi begitu keras hati terhadap ibu itinya. Bagaimana mungkin Ily bisa menolak pemberian ibu mertua sendiri. Lagipula, semua peralatan masak dan juga perlengkapan makan yang diberikan Nura sangat membantu. Ily jadi tak perlu membeli lagi. Berkat Nura juga, kithcen set di apertment ini jadi lengkap.
Beberapa saat setelah Gravi keluar dari kamar mandi. Ily menyusul lelaki itu ke kamar. Mengetuk pintunya pelan.
"Gra, udahan belum pake bajunya?"
"Udah, masuk aja."
Gravi di sana, sudah duduk di depan laptop berkutat dengan tugasnya. "Gra, kamu kapan senggang?"
"Ada apa emang?" tanyanya tanpa menoleh.
"Aku pengen beli bahan makanan. Kita beras aja gak punya. Masa iya mau beli makan di luar terus. Udah dua minggu loh, aku gak mau lagi."
Penjelasan Ily tak lantas membuat Gravi beranjak dari tugasnya. "Ada masalah kalo makannya beli?"
"Boros,” Ily terdiam sejenak, "Mutunya juga gak terjamin, meski itu restoran bagus juga tetep aja sehatan masakan rumah. Lagian, masak kan udah tugasnya aku."
Kali ini, Gravi menoleh sekilas. "Emangnya kamu bisa masak?"
Ily merebahkan diri di kasur, menghadap pada Gravi. "Enggak bisa, sih, cuma aku bakal belajar, kok."
"Iya, besok kita belanja bahan makanan."
***
Seperti yang Gravi bilang, sabtu sore ini mereka sedang berada di supermarket yang ada di pusat kota. Tak jauh dari apartment Gravi. Hanya butuh waktu sepuluh menit naik bus.
"Ly, tungguin aku dong."
Gravi berseru sambil mendorong troli belanjaan yang sudah hampir penuh. Semua Ily masukkan ke keranjang. Dari mulai sabun, body care, makana instan, bumbu dapur lengkap, kebutuhan pokok, sayur. Sekarang di depan sana, Ily berbelok ke area peralatan elektronik rumah tangga.
"Gra, beli mejikom, ya," ujar Ily sesampainya Gravi di sana.
"Aku kan udah punya, Ly."
"Tapi itu kecil Gra, gak cukup kalo dibuat masak nasi sampe sore."
Gravi mengalah. "Yaudah, mau yang mana."
"Itu yang warna abu-abu."
Gravi mengangguk, "Ada lagi gak yang mau di beli?"
Ily terdiam seolah-olah sedang berpikir. "Enggak, udah semua."
"Tunggu di sini, aku cari pramuniaganya dulu."
Ily bersorak dalam hati. Besok pagi, ia akan mencoba praktek memasak. Setidaknya dengan begini, ada kegiatan yang bisa dilakukan selama di apartment.
"Mau bungkus yang mana, Mas?"
Gravi datang dengan seorang pramuniaga laki-laki.
"Yang abu-abu itu," tunjuk Gravi.
"Magic jar Phili*s HD varian abu-abu, yang ini."
"Iya, betul," sahut Ily.
"Baik, mohon tunggu sebentar. Saya ambilkan stok produknya di dalam."
.
"Yah, ngantri, Gra." Ily berceletuk mengikuti Gravi yang mulai memasuki antrian di kasir.
"Bentar doang, cuma lima orang ini."
Celetukan Gravi barusan mengundag perhatian seorang pengunjung tepat di depan mereka yang juga sedang mengantri. Seorang wanita dengan rambut hitam tergerai, menoleh ke belakang. Ily membelalakkan mata melihat sosok itu.
Bianca.
"Gravi!" seruan Bianca menarik fokus Gravi dari ponselnya.
Lelaki itu mendongak, juga menyapa Bianca. Dalam hati Ily merutuk. Wanita itu lagi, wanita itu lagi, kenapa mesti selalu ada Bianca di tengah-tengah kebersamaan dia dan Gravi.
Detik itu juga, Ily merasa jadi orang asing. Hanya diam, tak bisa ikut menimpali percakapan. Bianca menyeret Gravi dalam topik seputar kuliah mereka. Ily tau apa jika begitu.
"Jadi, besok rencananya team kita bakal nyiapin buat acara seminar."
"Hari, biasa kan juga udah," ucap Gravi menimpali.
"Iya, sih. Tapi emang sengaja ada tambahan di hari minggu, biar lebih banyak persiapan aja. Lo bisa kan, Gra?"
Gravi melihat ke arah Ily sebentar. Tak bicara apa pun, lalu lelaki itu berujar, "Sori nih, gue gak bisa banyak tugas kuliah."
Ily bersorak kuat-kuat dalam hati.
Bersambung .....
23 Oktober 2020
12.45 WIB
[Revised]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top