Bab 23. Ily Periksa
Ily termenung menghadap dinding kaca. Melihat keindahan kota kecil tempat kelahirannya dari atas sini. Masa depannya sekarang sudah berubah kelam, sekelam langit malam hari ini.
Tak ada teman, kesibukkan kuliah, tak akan ada cita-cita yang bisa dicapai. Dia akan dilupakan perlahan. Kini ayah ibunya sendiri bahkan tidak mau menemui dirinya.
Dalam kebisuan, air matanya meleleh di atas pipi. Ily akan terkurung di apartment ini. Tak ada kegiatan, tak ada yang bisa dia rasakan selain keluhan-keluhan hamil dan rasa bosan.
Ia hanya akan melihat perubahan perutnya yang kian membesar. Menelungkupkan kepala di lipatan kaki, ia terisak sepuas-puasnya. Setelah hamil, ia akan mengurus bayi kan. Ily belum siap untuk itu.
"Aaargh..."
Gravi tiba-tiba mendekati Ily, memegang bahunya. "Ly, kamu kenapa teriak? Hmm ...."
Lelaki itu ternyata sudah kembali. Masih dengan isakkan kecil, Ily mengangkat kepalanya. "Gak apa-apa, Gra. Cuma kepikiran yang tadi siang di rumah sakit."
"Jangan disimpan sendiri, sekalli-kali juga perlu diceritain."
Menyibak tirai lebih lebar. Gravi ikut duduk di samping Ily. Merangkul bahu istrinya.
"Kamu tahu, Ly. Karena malamlah, kita lebih mudah menemukan keberadaan cahaya."
"Tau gak artinya?"
Ily menengok ke kiri pada Gravi yang menatap pemandangan gedung dan jalanan. Sisi lain dari Gravi yang sudah lama hilang sejak dia kuliah, hari ini muncul lagi. Satu dari sekian hal yang membuat Ily terkagum dengan sosoknya. Gravi sangat filosofis.
"Pasti gak tau, kan?" jawab Gravi sendiri karena Ily tak kunjung bicara.
Masih memandang wajah suaminya, Ily tetap tak berpaling meski pun Gravi memergoki dia. Telapak lebar Gravi menangkup wajahnya.
"Semakin sedih hidup, bukan berarti gak akan ada kebahagiaan, Ly. Malah sebaliknya, kebahagiaan itu akan semakin mudah kamu rasakan dari hal- hal sederhana sekali pun."
Tepat setelah mengatakannya, Gravi mencium bibir Ily dengan cepat, seperti kilat. Gadis itu mematung di posisinya. Gravi tak pernah menciumn Ily semasa pacaran, bahkan ini pertama kalinya setelah mereka menjadi sepasang suami istri. Keduanya sangat jarang berkontak fisik.
Ily masih ingat sekali hari itu. Di hari anniversary pertama hubungan mereka. Gravi mengatakan sesuatu yang membuat Ily mengangguk-angguk setuju.
Saat itu, di anniversary pertama mereka. Ily menggunakan satu kesempatan permintaannya pada Gravi, agar Gravi menemaninya nonton drakor. Ketika ditengah tayangan, ada adegan ciuman yang membuat Gravi tiba-tiba berceletuk.
"Kalo aku, bakal ribuan kali mikir buat ngelakuin ciuman kaya gitu."
"Loh, emangnya kenapa?" tanya Iy heran.
Gravi menatap Ily lama sebelum akhinya benar-benar melontarkan pertanyaan. "Emang ... kamu mau aku cium?"
Sialnya, saat itu dada Ily berdegup kencang. Tubuhnya seakan sulit digerakkan. Ily malah tetap pada posisinya menatap Gravi. Beruntung kekehan Gravi mengembalikan seluruh kesadaranya.
"Bercanda kali, tegang amat."
Ily menatap ke layar laptop, tapi sungguh fokusnya hanya tertuju pada Gravi. Telinga Ily masih aktif mendengarkan celotehan lelaki di sampingnya.
"Kamu gak tau ya, ada 80 juta virus yang ditransfer akibat dari ciuman bibir selama 10 detik."
"Dulu kata kamu, ada jutaan virus yang ditransfer gara-gara ciuman bibir. Kenapa tadi nyium aku?"
Gravi terkekeh kencang, punggungnya ia sandarkan pada dinding kaca. Posisinya saat ini berhadapan dengan Ily.
"Biarin, lagian cuma satu detik."
"Sama aja," sahut Ily mengundang senyuman Gravi.
"Yang penting bisa bikin kamu seneng, ngilangin stress juga."
"Pasti ngada-ngada," celetuk Ily asal.
"Udah ada penelitiannya, googling sana kalo gak percaya. Lipgloss kamu juga bikin nagih manisnya."
Ily terkekeh mendengar penuturan Gravi. "Sana pake aja lipgloss aku, masih banyak, kok."
"No," Gravi menggeleng, "aku maunya yang nempel di bibir kamu."
"Dih, modusnya predator."
Keduanya tertawa seakan melupakan topik awal mereka. Kesedihan Ily meluap begitu saja. Dulu ternyata ada banyak moment manis bersama Gravi yang bisa Ily ingat kembali.
"Yuk makan, aku udah dapet microwave nya. Makanannya bakalan selalu bisa hangat sesuai permintaan kamu."
Laludi siniah Ily dan Gravi, duduk di meja makan dengan saling melontarkan perdebatan kecil.
"Ini udah anget loh, gurame lagi."
"Gak mau, Gra."
"Ayo dong Ly, kamu belum makan satu suap pun dari tadi siang," bujuk Gravi lagi.
"Perut aku begah gara-gara muntah tadi sore. Bisa gak sih, gak usah paksa aku."
Kali ini Gravi dibentak Ily. Lelaki itu terdiam, meletakkan piring di meja. Padahal dia sudah siap untuk menyuapi Ily makan.
"Yaudah, aku bikinin susu ya, makan buah."
"...."
Gravi menghela napas lagi. "Makan itu juga, cemilan ibu hamilnya. Hu'um, maunya itu?" Gravi tersenyum saat Ily mengangguk kecil.
Membawakan semua pesanan Ily ke meja. Perempuan di hadapannya mulai meminum susu, kemudian membuka kemasan camilan. Sepanjang sepuluh menit itu, Gravi hanya diam memerhatikan.
"Besok, jadi chek up kandungan ke dokter?"
"Jadi," jawab Ily singkat. Ia masih sibuk mengunyah makanannya.
"Katanya Mama ke sini sekitar jam satu. Kamu kuliahnya gimana, kira-kira bisa ikut?"
Gravi melirik ke atas, dia tampak berpikir. "Bisa, nanti izin ajalah."
Ily terdiam, ia jadi teringat dengan tawaran ibu mertuanya. Haruskah Gravi, Ily ceritakan. "Gra, kalo kita pindah dari sini, kamu mau gak?"
"Pindah kemana?"
Kalau Ily bilang ... bagaimana jika Gravi marah. Apa yang akan Gravi pikirkan. "Ly, jangan diem, ngomong aja gapapa."
"Ke rumah orang tua kamu. Mama ngajak kita tinggal bareng."
Ekspresi Gravi berubah, wajahnya berubah pias. Dia seperti tak suka mendengar kalimat itu. Dan benar saja. "Gak."
"Tapi Gra, bukannya akan lebih mudah kalo kita tinggal sama orang tua?"
"Lebih baik tetep di sini, daripada nanti kamu stress di sana. Aku gak pernah akur sama mereka semua. Yang ada adu mulut terus. Kamu gak akan bisa tenang kalo keadaannya begitu."
Ily membisu, semua diajak adu mulut. Kalau begitu yang salah di sini siapa. Gadis itumemandang wajah Gravi lamat-lamat.
Gravi, kenapa aku merasa belum mengenal kamu.
***
Saat itu jam menunjukkan pukul setengah satu siang. Pintu bel apartment sudah dibunyikan. Ibu mertuanya datang.
"Assalamualaikum, Ily," sapa Nura ketia sang menantu mebuka pintu apartment.
Ily menjawab salam seraya mencium punggung tangan Nura. Wanita di depan Ily menggunakan setelan putih dan warna tas yang senada dengan bajunya. Sangat elegan, tapi sederhana.
"Ayo Ma, masuk dulu."
Nura tersenyum ramah, menengok ke dalam seperti mencari sesuatu. "Gravi mana?" tanyanya penasaran.
"Gravi belum pulang kuliah, Ma."
Pintu Ily tutup, sementara ibu mertuanya sudah duduk manis di sofa. Ily pamit ke belakang sebentar hendak membuatkan minuman.
"Gak usah Ly, mama enggak haus. Lagian cuma nunggu Gravi aja kan?"
Ily menurut, mendudukan diri di sofa. "Iya, Ma. Kemarin Ily udah bilangin Gravi buat pulang jam satu."
Nura mengangguk. "Gimana kabar kamu? keluhan hamilnya gimana?"
"Kabar Ily sehat, Ma. Sejauh ini semuanya masih terkendali, ada Gravi juga yang bantuin Ily."
Nura mengucap syukur terang-terangan. "Kalau ada yang biki bingung, jangan sungkan kabarin mama"
Ily ragu, dengan ucapan Gravi bahwa Nura bukan wanita baik. Sampai sejauh ini, ibu mertuanya sangat baik. Tak ada sikap sinis yang Nura tunjukan, sepertinya Ily mendapatkan tempat di hati wanita ini.
"Mama boleh liat ke dalem gak?"
Ily termenung, ini apartment anaknya sendiri. Kenapa harus meminta izin Ily. Gadis itu tentu saja mengangguk dan menyilahkan Nura masuk ke ruangan tengah.
Berjalan ke kitchen set, Nura bergumam. "Dapurnya bujang ya kaya gini, kosong."
Klik
Pintu apartment terbuka. Suara ramai-ramai di depan sana ternyata berasal dari Gravi dan Halim yang beradu mulut.
"Mending lo pulang, gue bisa pesen grab."
"Gak bisa, mama minta gue yang nganterin."
Keduanya berdebat seraya melangkah masuk ke ruang tengah. Di sana, Gravi terdiam saja melihat Ily dan Nura. Lalu langsung masuk kamar tanpa melontarkan sapaan pada Nura.
"Ma, Ily ke kamar dulu, ya."
Perempuan 44 tahun itu mengangguk samar. Ily menyusul Gravi dengan cepat. Lelaki itu di sana, sedang sibuk memakai hoodie-nya.
"Kita naik Grab aja."
Ily mendelik mendengar celetukan Gravi. "Gak bisa gitu dong, Halim sama Mama udah di sini. Masa iya kita naik grab."
"Emang kenapa? siapa suruh pake jemput segala, kita kan gak minta."
"Seenggaknya kita harus menghargai Mama kamu."
Gravi menoleh, menatap tajam. "Perempuan itu bukan siapa-siapa aku."
Ily menghembuskan napas pelan. "Seenggaknya hargai kebaikan Tante Nura."
Gravi tersenyum miring, berpaling dari Ily. "Wanita itu jahat, dia cuma pura-pura."
"Kamu sa-"
"Udahlah, Ly," serobot Gravi.
"Untuk hari ini aja. Selanjutnya, kita bisa berangkat sendiri."
Hampir jam dua, Ily, Gravi, dan Nura baru memasuki ruangan dokter kandungan. Dokter Balqis, seorang wanita yang keliatannya seumuran dengan ibu tiri Gravi.
"Dokter Balqis, maaf banget nih, datengnya terlambat," ujar Nura seraya duduk di samping kanan Ily.
Seulas senyum tercetak di wajah dokter Balqis yang dibingkai hijab. "Enggak masalah, Ra."
Dia menoleh pada Gravi, "Ini Gravi? Udah gede."
"Istrinya cantik, ya," celetuk Balqis dan tersenyum pada Ily.
"Kalau gitu langsung aja, ya."
"Puspa Ilya Ratnasari, biasanya dipanggil Ily. Benerkan ya?" tanya dokter Balqis seraya membaca kertas di dalam map.
"Apa ada di keluarga Ily yang punya sakit diabetes, hipertensi atau yang lain?"
"Ada dok, bapak saya." Balqis menunduk sedikit, menulis sesuatu di atas kertas.
"Ily ini makannya teratur gak? Bebas rokok dan alkohol kan, Gra?" Kali ini Balqis bertanya pada Gravi.
"Saya hebas rokok dan alkohol kok dok," Ily menjawab.
"Tapi, makannya agak susah akhir-akhir ini, Dok. Kata Ily sih, kembung gitu perutnya, apalagi kalo abis mual-mual." Balqis melihat ke arah Gravi yang menyahut.
"Tolong Dok, dibilangin." Balqis tersenyum lagi.
"Perut kembung, begah, itu wajar buat ibu hamil. Gak masalah. Buat pola makannya, harus dipaksa ya. Bumil itu haram namanya telat makan."
"Ah iya, Ily sekarang lagi gak menjalani pengobatan untuk penyakit tertentu, kan?"
Ily menggeleng, "Enggak Dok, saya sehat."
Balqis mengangguk sekai. "Yuk, sekarang waktunya ambil sampel darah sama urine."
Ily mengikuti semua prosedur pemeriksaan kehamilan yang pertama. Setelah selesai tes urine dan darah, pemeriksaan selanjutnya adalah USG untuk mengetahui kondisi perkembangan janin dalam kandungan. Termasuk mendengarkan detak janinnya. Status berat badan dan tinggi badan Ily juga dicatat di atas kertas di dalam map itu.
"Kalau dilihat dari perkembangan janin dan tanggal pertama dan terakhir haid. Bayinya diprediksi akan lahir lertengahan febuari, tanggal 14 atau 15 febuari."
Ily tersenyum menoleh pada Gravi. "Gra, 14 Febuari." Gravi cuma tersenyum saja.
Dada Ily bertalu kencang, kali ini tidak disertai telapak tangan yang mendingin. Seperti ada bunga-bunga yang bersemi di dadanya. Ily terharu sekali. Kenapa bisa semenyanangkan ini mendengar kalimat dokter Balqis tadi.
"Ibu dan janinnya baik-baik aja, sehat. Tapi buat Ily, jangan banyk pikiran ya. Resiko hipertensinya tinggi karena ada faktor genetik dari ayah Ily."
Dokter Balqis menulis sesuatu di kertas, menyerahkannya pada Nura. "Suplemennya bisa ditebus."
"Jaga kesehatan, pola makan dan pola tidurnya, ya."
"Terima aksih, Dok."
Ketiga ornag tadi keluar dari ruangan Dokter Balqis.
Nura menepuk bahu Ily, "Kamu sama Gravi tunggu di mobil aja sama Halim ya, mama yang tebus resepnya."
Gravi menggeleng hendak menarik kertas yang ada di genggaman Nura.
"Biar Mama aja, Gra."
"Halim ajak Gravi ama Ily ke parkiran," perintah Nura langsung melangkah ke arah yang berlawanan.
"Yuk, Ly," ajak Halim seraya menarik tangan gadis itu.
"Gak usah pegang-pegang!"
Bersambung ....
21 Oktober 2020
11.26 WIB
[Revised]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top