Bab 21. Keluarga Terasing

“Ada banyak orang yang berharap bisa memutar ulang waktu untuk mengakiri rasa penyesalannya.”

~~•~~

‍‍‍‍‍‍“Bapak berangkat, Bu. Assalamualaikum.”

Shinta menjawab salam suaminya, pun begitu Ily. Mengunyah perlahan makanan di mulut, pikiran Ily melayang jauh. Ia tidak lagi bisa menikmati semua, hidupnya, bahkan keluarganya.

“Bu, Ratna bantuin jagain warung, ya.”

“Gak usah, istirahat saja sana.”

“Tapi, Bu, Ratna capek tiduran mulu. Pokoknya nanti Ratna mau bantuin.”

Shinta berlalu begitu saja, tak menanggapi kalimat Ily. Hampir dua minggu ini selalu begitu. Keadaan keluarganya berbeda, tak sehangat dulu. Bahkan ibunya pun sudah tidak banyak bicara padanya, seolah-olah tidak peduli lagi.

Mengusap air dari sudut mata. Ily meraup udara sebanyak-banyaknya, mencoba tersenyum, berusaha bersikap tegar. Ily membereskan meja makan. Mengumpulkan semua piring kotor lalu mencucinya.

Hoeek

Meletakkan tumpukan piring. Ily bergegas memasuki kamar mandi, memuntahkan semua isi perutnya. Tak ada support atau apa pun, diabaikan dan dianggap tidak ada. Walau sudah berusaha melakukan yang tebaik di rumah ini, tetap saja tak berarti apa-apa.
.


“Oh, Ratna ini yang mau nikah besok lusa itu, kan?”

Celetukan seorang pembeli, menarik perhatian Ily. Tangannya yang semula cekatan melipat kertas minyak kini malah bergerak lambat. Ibu-ibu yang lain ikut menyahut. Dari mana orang-orang tahu.

“Udah berapa bulan hamilnya?”

Menoleh ke samping. Ibunya diam saja, sibuk membungkus nasi. Jadi, Ily yang harus menjawab pertanyaan ibu-ibu pembeli di sini.

“Sembilan minggu, Bu.”

“Hamil muda pasti banyak ngidamnya, ‘hoek-hoek’ juga pasti.” Ily cuma tersenyum menanggapi.

“Mbak Sin, emang bener, ya. Calon mantunya orang kaya, ganteng lagi ya?”

“Iya,” jawab Shinta singkat.

“Yang pas itu bawa mobil, nganterin Ratna pulang kerja itu?” tanya ibu-ibu lain yang berkerudung.

“Udah bawa mobil sendiri?”

“Iya, saya kebetulan abis beli rawonnya Mbak Sin.”

Ily tercengang, berapa banyak waktu yang mereka gunakan untuk memerhatikan kehidupan orang lain.

“Pinter dong Ratna milih suami dapet, orang kaya.”

“Iya, Ratna bejo.”

Menundukkan kepala, Ily mendadak tidak nyaman. Ibu-ibu di sini terlalu banyak bicara bahkan terang-terangan bertanya ini dan itu. Tidakkah mereka merasa, kalau mereka terlalu banyak ingin tahu.

“Kenapa ndak dirame-ramein, Mbak? Toh hamilnya juga masih dua bulan, belum keliatan ini.” Suasana hening, Shinta tak menjawab pertanyaan itu.

“Mbak Rin ini gimana, sih. Itukan beda cerita. Kalau kasusnya gini, memang ijab qobul saja sudah cukup.”

“Monggo, ibu-ibu pesanannya.” Shinta menyerahkan bungkusan plastik kesek, membubarkan percakapan.

“Uangnya pas ya, Mbak Sin.”

Ily hanya bisa menunduk lagi. sepeninggal ibu-ibu tadi, Shinta mendekat, memegang bahu Ily.

“Kamu sedih? setiap hari, ibu menghadapi pertanyaan-pertannyaan itu dari orang yang berbeda setiap hari.”

Shinta beranjak meninggalkan Ily. Namun, diambang pintu, ia berujar memerintahkan anaknya untuk masuk ke kamar.

“Keberadaan kamu hanya akan semakin mengundang kalimat jahat orang-orang,” imbuhnya kemudian beranjak dari teras.

Dada Ily sakit, seperti dihantam kuat oleh batu belasan kali. Kenapa semua orang di rumah begitu sinis terhadapnya. Bahkan Shinta bersikap begitu dingin pada Ily.

Berlari masuk ke dalam kamar. Gadis itu meloloskan air mata yang dari tadi berusaha ia tahan. Sejak kecil, hidupnya hanya terpusat pada keluarga. Mimpinya adalah membuat keluarga kecil inu hidup dengan keadaan yang lebih berkecukupan.

Sekarang mimpi terburuk Ily sudah datang. Terasa jauh dari keluarga meski nyatanya ia masih berada di rumah. Keluaga ini terasa begitu asing.

Menangis lagi, Ily memukul-mukul perutnya sendiri. Merutuki janin yang ada di dalam rahimnaya. “Gara-gara kamu hidupku hancur. Mimpi, keluarga, teman, ketenangan. Semua pergi dari sisiku. Kenapa ....”

Ia menangis bersimpuh di lantai. Mengapa orang tuanya sendiri juga memberi tatapan sinis pada dia. Kalau begini, apa artinya hidup. Derai air mata membanjiri pipi, Ily meringkuk di lantai yang dingin.

Kemana lagi ia harus mengadukan semua keluh kepedihannya. Tak ada yan mau menerima Ily lagi. Haruskah Ily tiada saja. Ily lelah, sudah sangat lelah.

***

“Mbak Na, mbak Na, bangun Mbak.”

Sebuah telapak kecil menepuk pelan pipinya. Ily mengernyitkan dahi, mengerjap sebentar sebelum kelopaknya benar-benar terbuka lebar.

Delia. Ternyata sekarang sudah siang.

“Mbak Na kenapa boboan di sini?”

Gadis berumur delapan belas tahun itu bangkit, menerjang tubuh mungil sang adik. Memeluk erat, Ily menangis di sana. Delia beberapa hari belakangan ini juga turut mendiami dia.

“Mbak Na, kenapa malah nangis?”

“Delia marah juga ya sama Mbak.”

Kepala gadis itu menggeleng. “Enggak Mbak.”

“Terus, kenapa Delia gak pernah pinjem Hp-nya Mbak Na lagi?”

Gadis kecil berumur delapan tahun itu melepaskan pelukan. “Delia kasihan sama Mbak Na. Makanya Delia diem aja, Delia cuma gak mau ganggu Mbak Na yang lagi sedih.”

Mengusap air matanya, Ily lalu tersenyum. “Delia kalo mau pinjem HP Mbak Na juga gak apa-apa, kok.”

Ily lega, masih ada Delia yang tidak membencinya. Gadis itu berlari senang, keluar kamar sambil membawa ponsel Ily. Apa suatu saat, dia bisa membahagiakan keluarganya lagi. Apa Ily bisa mengejar impiannya lagi.

“Mbak Na ....” Delia berlari masuk ke kamar Ily. “Ini HP-nya mbak bunyi.”

Gravi

Sepeninggalnya Delia, Ily langsung menggeser ikon hijau ke atas.

“Gimana kabar kamu?”

“Iya, gitu, deh. Ada apa emang?”

“Cuma mau ngasih tau, berkas nikah udah selesai.” Ily diam mendengarkan saja.

“Kamu gak boleh sedih, Ly. Gak boleh patah semangat. Kamu gak usah dengerin omongan-omongannya orang.”

Kehilangan semangat, itulah yang Ily rasakan saat ini. Ingin sekali ia berteriak. Ingin memaki, tapi pada siapa.

Sampai jumpa besok lusa sayang. Istirahat, ya.” Sambungan telpon terputus.

Matahari beranjak dari ketinggian. Sore ini, Ily duduk di depan tv. Daripada menonton, ia lebih banyak memerhatikan Disti yang sibuk berkutat dengan laptopnya sejak tadi.

Sejak dulu, Disti selalu unggul jika dibandingkan dengan dirinya. Disti good looking waulau tidak begitu cantik, semasa sekolah pintar, saat kuliah pun dia sukses dapat beasiswa sampai S2, bisa masak, anak kebanggaan Dipta, kata ibu Disti juga rajin bersih-bersih rumah.

Kadang Ily jadi sangat iri dengan takdir hidup Disti. Memikiki orang tua sama, tumbuh di lingkungan yang sama, tapi kenapa Disti mesti mendapatkan takdir yang lebih baik dari Ily. Tuhan memang jahat pada Ily.

Aku punya takdir seburuk ini, hamil di luar nikah. Hah!

Ily menghembuskan napas kasar. Bosan dengan hidup yang ia jalani. Tak ada rutinitas lain, ia hanya berdiam, mengurung diri di rumah sambil menunggu hari ijab qobul.

Ditambah lagi ia tak punya pekerjaan. Gravi menyarankan padanya untuk berhenti kerja. Ily pun setuju saja, karena memang ia tak mau mendapat gunjingan-gunjingan lagi dari teman kerjanya.

Di tengah lamunan, tiba-tiba rambut berkuncir kuda Ily ditarik pelan ke belakang. Disti pelakunya. Kenapa, Ily salah apa.

“Ratna, kenapa oneng banget, sih? Kenapa gak bilang mbak kalo kamu punya pacar?”

“Kalo mbak tau, seenggaknya kamu gak akan salah langkah kaya gini.”

Disti diam, menyenderkan kepala pada tembok, melipat kedua kakinya merapat, satu tangannya menekuk menyangga dahi.

“Kapan pun Ratna butuh teman, calling Mbak aja. Mbak siap jadi temen kamu. Jangan disimpan sendiri.”

Ily kaget dengan penuturan Disti barusan. Lagi, ia salah menilai kakaknya. Disti memang baik, dia layak mendapatkan segela pujian dari orang-orang. Tidak seperti dirinya.

Hari itu tiba, hari di saat Gravi menjabat tangan Dipta. Mengucapkan janji di hadapan Tuhan atas nama pernikahan. Ily mengulum bibir. Di sampingnya Gravi menyebut dengan lantang nama Ily.

“Saya terima nikah dan kawinnya Puspa Ilya Ratnasari binti Dipta Waseno dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”

“Sah?”

Saaah

Ily mengangkat kedua tangan. Tak sengaja air mata mengalir begitu saja. Pernikahan ini adalah bukti bahwa cita-citanya berhenti sampai di sini. Seorang wanita, kebanyakan akan berhenti mengejar mimpinya karena sebuah pernikahan bukan. Sepertinya, Ily akan menjadi salah satu dari wanita itu.

Cincin putih bermata satu tersemat manis di jari manis Ily. Diciumnya punggung tangan Gravi untuk pertama kali. Lalu, lelaki itu gantian mencium kening Ily. Ia sudah resmi menjadi seorang istri.

Ily memang pernah berharap bisa memiliki pernikahan yang bahagia dengan Gravi. Tapi tidak secepat ini. Dan tidak menikah karena insiden memalukan ini.

Acara ijab qobul selesai, sejam setelahnya semua keluarga berangsur-angsur meninggalkan rumah Ily. Tak banyak yang mengahdiri acara hari itu, hanya keluarga terdekat, sekitar lima belas orang.

“Kami sekeluarga pamit pulang lebih dulu.” Rajendra bersuara. “Gravi dan Ily bisa nyusul nanti setelah waktu dzuhur.”

“Kami permisi Pak Dipta, Bu Shinta.”

Di ruang tamu, hanya tersisa Disti dan Shinta. Keempat orang di sana saling diam, menunggu ada yang angkat bicara. “Ini hidup kamu yang baru, jalani dengan sebaik-baiknya.” Shinta pergi begitu saja, tanpa pelukan atau kalimat penyemangat lainnya.

“Ibu bener, Na. Kamu harus semangat terus.” Disti menarik Ily ke dalam pelukannya.

“Mungkin ibu sama bapak masih kecewa sama kamu. Dan karena itu, Mbak gak bisa nyuekin kamu juga.” Ily terisak kecil, hari apa pun rasanya sama saja. Menyedihkan.

“Mbak bakal selalu ada buat kamu.” Disti melerai pelukan, memegang kedua bahu adiknya.

“Mending kamu pulang sekarang, langsung istirahat. Sering-sering bikin diri sendiri seneng, jangan terlalu dibuat pikiran.”

Pulang. Ya, apartment Gravi adalah rumahku saat ini. Bukan di sini lagi, batin Ily.

Masih dengan balutan kebaya putih, Ily melangkah masuk ke ruang tengah apartment. Di belakangnya, Gravi membawa dua koper sekaligus satu tas ransel berisi barang-barang Ily. Pada akhirnya, Ily kembali lagi ke tempat ini. Rumah tanpa halaman. Hanya dinding dengan jendela kaca saja kelebihan tempat ini.

Sebuah tangan melilit perut Ily. “Jangan sedih lagi. Aku sebagai suami, akan bersungguh-sungguh mengupayakan tenaga aku untuk menghidupi kamu dan anak kita nanti.”

“Aku juga akan berusaha menjadi ibu rumah tangga yang baik untuk keluarga ini.”

Itu tadi hanya sekadar kalimat untuk membalas kalimat lain dari lawan bicaranya. Tidak diucapkan dari niat terdalam. Ily cuma asal berucap saja. Pikirannya masih tertinggal di rumah orang tua. Ia masih belum menerima semua yang terjadi padanya sampai detik ini.

Rasanya, ingin sekali memutar ulang waktu.

Bersambung ....

‍‍‍19 Oktober 2020
04.00 WIB

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top