Bab 20. Segera Sah
Empat pasang mata tertuju pada seseorang di dekat tangga. Di pojok sana, Halim menjatuhkan toples kaca berisi kripik yang dibawanya. Lelaki berumur dua puluh tahun itu tersenyum kikuk.
“Maaf, maaf,” ujarnya seraya memunguti pecahan toples kaca.
“Gak usah, Lim. Nanti biar, Bu Inah aja yang beresin semuanya.” Nura memperingati putranya. “Lain kali hati-hati,” sambung Nura lagi.
“Iya, Ma. Kalo gitu ... semuanya, saya permisi dulu, maaf mengganggu.”
Ily memejamkan mata sejenak. Pecahan kaca tadi membuat suasana menjadi jauh lebih menegangkan. Rajendra berdehem pelan, kontan mata Ily terbuka lebar detik itu juga.
“Kalau dia hamil, lantas apa urusannya dengan saya?”
Dada Iy berdetak sangat cepat saat ini. Respon ayah Gravi ... apa maksudnya. Sinyal macam apa itu, pertanda burukkah.
“Saya ingin bertanggung jawab dengan menikahinya.”
Tak ada respon apa pun dari Rajendra. Pria dengan kulit tan itu masih menatap ke bawah. Wajahnya pun terlihat biasa saja. Apa ini, Ily tak mengerti.
“Lalu?” tanyanya singkat saat Gravi tak kunjung mengutarakan kalimat lainnya.
“Tujuan saya ke sini. Ingin minta restu dan dukungannya untuk menyakinkan kedua orang tua Ily.”
Menit-menit berlalu dengan keheningan. Ily masih menundukkan wajah. Ia tak berani memperihatkan wajah di depan orang tua Gravi.
“Usaha apa yang sudah kamu lakukan?”
Apa maksudnya? Aku sama sekali tak paham dengan kalimat itu, batin Ily.
“Saya sudah lebih dulu mengakui ini pada orang tua Ily,” ujar Gravi.
“Berapa umur kandungannya?” kali ini Nura yang bertanya.
Menyibak surai hitamnya, Ily mengakat wajah lalu menjawab, “Hampir tujuh minggu tante.”
“Gravi, ceritakan semuanya,” titah Rajendra.
Menoleh pada Ily sekilas, Gravi mengangguk meyakinkan gadis itu. “Kemarin malam Ily diusir dari rumah setelah mendengar pengakuan itu. Terpaksa Ily tinggal di apartment semalam. Dan hari ini kami sepakat untuk datang ke sini juga.”
Rajendra tersenyum miring. “Berani kamu, ya. Nekat.”
Seluruh bulu kuduk leher Ily meremang. Suasana di ruangan ini mulai tidak enak. Rajendra mulai memperlihatkan gelagat lain. Tak ada satu dari empat orang pun yang membuka suara.
Sampai tiba-tiba, Ily terlonjak kaget karena suara pecahan keramik sebesar tabung gas biru yang baru saja Rajendra gulingkan. Detik itu pula, pria setengah abad bertubuh bugar itu bangkit dan langsung menyahut kerah sweater neck turtle hitam putranya.
“Beraninya kamu menghamili putri orang, punya apa kamu untuk merawat seorang istri dan anak? Hah!”
Tinjuan mendarat bertubi-tubi di perut Gravi. Ily hanya bisa terisak tanpa daya untuk menghentikann. Sama halnya dengan tante Nura yang saat ini juga tengah menangisi Gravi.
“Apa yang kamu punya untuk menghidupi keluarga kecilmu nanti? Jawab!”
“Niat, usaha, dan keberanian,” ringis Gravi.
Rajendra tersenyum sinis, kali ini ia melayangkan bogeman ke wajah Gravi. “Sakit karena pukulan ini tak sebanding dengan sengsaranya seorang wanita hamil.”
“Kamu mungkin seorang anak yang kurang ajar juga seorang lelaki yang bengsek. Tapi saya harap, kamu bukanlah seorang suami yang pengecut nantinya.”
Rajendra menghempaskan kasar kerah sweater Gravi lalu segera beranjak dari tempatnya. Belum sampai berapa langkah, dirinya berbalik lagi.
“Nura, katakan padanya untuk tidur di rumah saja. Panggilkan Halim untuk mengantar gadis itu ke apartment.”
Sepeninggalnya Rajendra, Nura mendekat pada Gravi. “Malam ini tidur di rumah ya, biar Ily Halim yang antar—”
“Aku tau, aku sudah dengar,” sela Gravi.
Pemuda itu berpaling dari Nura, berjalan mendekati Ily yang masih duduk terdiam di sofa. Kini, benar-benar hanya ada mereka berdua. Nura menghilang di balik anak tangga teratas.
“Ily, baik-baik di apartment. Mungkin besok kita akan ke rumah orang tua kamu.”
Menatap wajah Gravi, tangan Ily terulur menyentuh bercak darah yang lagi-lagi menghiasi ujung bibir. Jari-jari lentiknya mengusap pelan darah yang perlahan keluar dari hidung Gravi. Dengan tangan lainnya, Ily mengusap air mata yang tiba-tiba merebak.
“Jangan nangis, Ly,” ujar Gravi.
Kepala Ily hanya mengangguk. “Itu lukanya dibersihin dulu, baru tidur.”
“Siap, boss.”
Saat itu juga Halim turun dengan balutan jaket kulitnya disusul Nura. Halim terus saja melangkah keluar, sampai hilang di balik pintu utama. Nura mendekat pada sepasang kekasih itu. Ia menarik tangan Ily perlahan, memegang kedua bahunya.
Lantas berkata, “Jangan khawatir. Kami semua akan segera menjemputmu di apartment Gravi besok. Sekarang, untuk sementara kamu terpaksa tidur di sana sendiri.”
Ily mengangguk saja. Tak mengapa, memang sudah seharusnya begitu. Ily mengikuti langkah Nura yang menggiringnya ke mobil putih yang kini sudah menyala.
“Halim, hati-hati bawa mobilnya,” celetuk Nura.
“Siap, Ma.”
Pintu samping Ily ditutup. SUV milik Halim mulai meninggalkan pelataran luas milik ayah tirinya. Ily duduk bertopang dagu, melihat keluar jendela mobil.
Dalam hati Ily menangis, ternyata seperti ini rasanya menerima kemarahan yang sama dua hari bertutut-turut. Ily merasa tidak ada yang mau menerima dirinya dengan keadaan yang sekarang. Jangankan orang tua Gravi, orang tuanya sendiri saja tidak bisa menerima keadaan Ily.
Gravi, apa kabar dengan perasaaan dia. Lelaki itu yang banyak menerima makian juga tinjuan di perut dan wajahnya. Untuk sesaat, Ily merasa dirinya memang egois.
Suasana hening. Sampai mobil meninggalkan area kompleks, barulah Halim angkat bicara. “Kemaren, pantes aja gue cari di cafe lo gak ada. Udah berhenti kerja?”
Halim melirik sekilas ke Ily, lalu kembali fokus pada jalan. Sedangkan Ily, sejak tadi tak sedikit pun merubah posisinya. Dia masih asik menatap jendela.
“Ly?” Kali ini Halim memegang bahu Ily, menyadarkan perempuan itu.
“Hm.” Ily menengok dengan ekspresi bertanya.
“Udah berhenti kerja?”
Gadis itu menggeleng menjawab pertanyaan Halim. “Enggak, cuma libur sementara aja.”
“Lo mau sesuatu gak?”
Mobil Halim menepi, merambat pelan di dekat area pertokoan. Daerah ini, daerah tempatnya bekerja. Ada banyak gerai makanan, maupun stand di sini.
“Kalo kepengen, gak usah sungkan buat bilang. Awas aja kalo sungkan, gue culik lo, teus gue bawa ke galeri yang di mall.”
Pada akhirnya Halim memarkirkan mobil. Lalu mengajak Ily berjalan di sepanjang pertokoan dan stand makanan yang ada di sana.
“Ly ... bawa pulanglah, seenggaknya satu makanan.” rengek Halim kaena sejak tadi Ily tak memilih satu makanan pun untuk dibeli.
Ily sebenarnya sangat bingung. Tak ada satu makanan pun yang menarik seleranya. Ily menoleh saat Halim menariknya ke satu
stand makanan. Coba tebak apa. Permen kapas. Ily terkikik geli seketika itu juga.
“Eh, kenapa ketawa. Kali aja lo ngidam ini.” Lelaki itu mengangkat tangan kanan yang penuh dengan tiga buntalan pemen kapas.
“Banyak banget sih, belinya,” seloroh Ily.
“Gue bawa pulang satu, buat Gravi. Dia suka banget sama gulali semacam gini. Seperti lo yang ngidam gurame, kesukaannya Gravi tadi, kali aja lo juga bakal ngidam ini.”
Ily diam, tak tau harus merespon bagaimana. Mereka berdua lantas kembali ke mobil. Baru saja mesin dinyalakan, tatapi laki-laki itu pamit pada Ily. Turun lagi lalu menyebrang jalan. Masuk ke swalayan yang ada di sana.
Tak lama, pintu mobil kursi kemudi terbuka. Halim kembali dengan menyodorkan kantong kresek pada Ily. “Ada bubur instan buat sarapan besok.”
Mobil melaju membelah jalananan. Kali ini Halim tak mencoba membicarakan apa pun. Seperti yang diperintahkan ibunya, Halim benar-benar mengantar Ily sampai di depan pintu apartment.
Astaga, passwordnya, pekik Ily dalam hati.
Ily tak pernah tau kode keamanan apartment Gravi. Malangnya ponsel Ily berada di dalam apartment juga. Keluar dari lift, Ily menghentikan langkah. Begitu pun Halim mengikutinya.
“Kenapa, Ly?”
“Boleh pinjem hp buat telpon Gravi? aku gak tau password apartmentnya.”
“Oh itu, tenang aja.”
Halim melanjutkan langkah dengan tenang. Eh, apa Halim tau kode akses apartment Gravi. “Tau passwordnya?”
Halim menggleng, lalu mengeluarkan kartu dari sakunya. “Tadaaa, dipinjemin papa.”
Hanya perlu menempelkan barcode yang ada di kartu. Seketika itu juga pintu dapat dibuka. “Makasih, Kak.”
“Tidur yang nyenyak,” balas Halim tersenyum. Kemudian pria itu bergegas pamit pulang. Ily menutup pintu. Menyalakan lampu apartment. Sepi. Ily tak pernah namanya tinggal sendiri.
Menaruh semua pemberian Halim di atas meja makan. Ily merangsek masuk ke kamar. Merogoh tas untuk mencari ponselnya.
Memencet tombol daya. Ponsel hitam Ily menyala. Ada banyak pesan masuk. Namun tak satu pun ada nomor kakaknya. Padahal ia berharap Disti menelpon untuk sekedar ingin tahu keadaannya.
Ily membuka satu-satu pesan yang berisi belas kasihan juga berisi cemoohan. Begitu juga di akun media sosialnya, ada banyak DM-an negatif dari,l entah siapa mereka. Ily tak kenal.
Ily meletakkan ponselnya. Semua akan dimulai. Cemoohan itu. Kalimat-kalimat sinis itu. Apakah Ily sanggup menghadapinya nanti.
***
Mobil putih Halim berhenti tepat di belakang mobil milik ayah dan ibu Gravi. Kaki Ily lemas, telapaknya mendingin lagi. Gravi yang berada di samping kursi kemudi menengok ke Ily di bangku penumpang.
“Gak apa-apa, Ly. Semuanya akan berjalan lancar.” Ily menganggukbpelan.
Halim keluar lebih dulu, menghampiri Rajendra dan Nura yang sekarang sudah berdiri tepat di depan mobil Halim. Ily dan Gravi keluar bersamaan, melangkah mengekori Nura dan Rajendra masuk ke rumah ayah Ily.
Shinta ada di sana di teras sedang melayani beberapa pembeli. Kak Disti keluar dengan wajah bingung, mendekati sang ibu dan menggantikan tugas Shinta melayani pembeli. Tak lama, Dipta juga menghampiri.
“Saya orang tua Gravi. Sebelumnya, saya mohon maaf karena datang ke sini pagi-pagi,” Rajendra menyapa membuka percakapan.
Shinta menyilahkan semua orang masuk ke ruang tamu. Penuh. Ily memilih untuk berdiri di sofa dekat pintu. Dadanya bertalu-talu, takut bercampur sedih. Dipta, sejak tadi tak sekali pun meihat ke arahnya. Sebenci itu kah sekarang ayahnya pada Ily.
“Saya Rajendra dan istri saya Nura, datang ke sini untuk menindak lanjuti niat anak saya yang ingin bertanggung jawab atas perbuatannya. Saya mewakili putra saya, ingin meminang putri anda sebagai menantu di keluarga kami.”
Tak ada jawaban apa pun dari Dipta. Keputusan apa yang akan diambil ayahnya. Telapak Ily berkeringat dingin.
Rajendra angkat bicara lagi, “Menurut saya, jalan terbaik dari masalah ini adalah menikahkan mereka, terlepas dari terpaksa atau tidaknya kita sebagai orang tua menerima pernikahan muda putra putri kita.”
“Baiklah, saya terima pinangannya.”
Ily tau persis, ekspresi terpaksa Dipta barusan. Dan ibunya tak sedikit pun tersenyum. Ily sudah begitu mengecewakan orang tuanya.
“Kalau bapak ada waktu, kita bisa mengurus surat-surat nikahnya muai besok. Lebih cepat, lebih baik bukan?” Rajendra memimpin perbincangan lagi.
“Iya, benar.”
Perbincangan sederhana orang-orang tua itu sama sekali tak Ily dengar. Tangan Ily siuk meremat-remat kain baju di sisi tubuhnya. Ily pasti akan mendapat amarah yang lebih besar setelah ini dari ayahnya.
Tepukan di bahu menarik keluar kesadaran Ily. Halim yang baru saja melakukannya. Ternyata semua orang sudah berdiri, bersiap untuk berlalu dari sini. Ily tersenyum kecil sambil menganggukkan kepala sekali, menyapa kedua orang tua Gravi.
Keheningan menyentuh ruang tamu. Ily masih tetap pada tempatnya, terdiam menunduk di dekat pintu.
“Kamu cuma bikin bapak malu, Ratna. Malu!”
Satu kalimat dari sang ayah yang membuat rasa bersalah Ily semakin menggunung. Dipta lantas berlalu dadi sana, begitu juga Disti bahkan ibunya meninggalkan Ily sendiri tanpa satu patah kata pun.
Apa orang tuanya benar-benar tak lagi bisa menerima Ily. Sampai kapan Ily akan merasakan kebencian ini. Masuk ke dalam kamar, menutup pintu, menyenderkan punggung di sana. Memutup mulut, Ily menangis sesenggukan.
Tangan kirinya meremas baju tepat di bagian perut. Kehamilan ini, sampai kapan akan membawa kepedihan di hidupnya.
Bersambung ....
18 Oktober 2020
07.32 WIB
[Revised]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top