Bab 2. Tertangkap Basah

"‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Terkadang, dia menghilang kabar. Lalu tiba-tiba kembali datang, mengatakan cinta, seakan tak pernah terjadi apa-apa."

~~•~~

"Udah mau menjelang maghrib ya, pengunjung juga mulai senggang. Silahkan digunakan sebaik mungkin waktunya."

Entah apa lagi yang dikatakan wanita berpakaian kasual itu. Ily tak bisa fokus mendengarkan. Dia sekarang sibuk mencari celah dari penampilan boss mudanya.

Bibir merah muda milik perempuan itu melengkung, menampilkan senyum berhias lesung pipit yang membuat siapa saja betah memandang wajahnya. Belum lagi dagu yang terpahat lancip, ditambah hidung mungil plus mancung, dan bulu mata lentik.

Astaga ... jika ditanya apa pendapat Ily saat ini. Ily sangat iri, garis keras, iri. Ily akui Bianca a.k.a boss-nya ini memiliki fisik nyaris sempurna. Tubuh langsing, kulit putih, dan kaki jenjang. Bukankah yang Ily sebutkan tadi, jadi idaman semua perempuan.

"Pekerja part time baru. Siapa ya?"

Ily mengangkat dengan ragu tangan kanannya. Bianca tersenyum, membubarkan yang lain. Kemudian berjalan mendekat pada Ily.

"Halo," manik Bianca tertuju pada name tag yang ada di sebelah kanan dada Ily, "Puspita."

Ily mengangguk tersenyum. "Biasa dipanggil Ily, Bu."

Bianca menagnggukkan kepala lalu angkat bicara, "Panggil saya apa aja, tapi jangan bu. Ah, ya selamat bergabung di cafe ini. Good luck, ya"

Sepeninggalnya Bianca. Ily langsung merapat ke bilik para pekerja. Pintu terbuka, tak ada siapa pun di sana. Perlahan ia menutup pintunya kembali. Mengayunkan kaki ke pojok ruangan, lalu membuka salah satu pintu loker. Ily melepas name tag-nya. Memerhatikan dengan seksama benda persegi panjang mengkilat itu.

Puspita Ilya Ratnasari, semoga ini adalah langkah awal dari semua kesuksesanmu, Ily mengaminkan kalimatnya sendiri dalam hati.

"Ly."

Rambut kuncir kuda Ily bergoyang saat dirinya menengok ke belakakng. Ternyata Nada, teman kerja yang paling akrab dengan Ily. Gadis berambut sebahu itu datang menghampiri, lalu duduk di bangku kayu panjang.

"Udah mau pulang, ya." Ily masih sibuk membereskan barang hanya menjawab dengan gumaman.

"Asal lo tau, Ly, Bianca itu yang ngelola cafe ini. Cakep-cakep gitu, tapi dia sukanya berhentiin anak part time. Lo kudu hati-hati, Ly"

"Gue kira Rendi pengelola cafenya," ucap Ily datar.

"Rendi itu adek dari pemilik cafe ini, tapi berhubung Rendi kuliah jurusan seni, gak cocok buat ngelola bisnis. Jadilah, Bianca adek iparnya Bu Meriska, si mahasiswi Bisnis management yang ngelola sementara cafe ini."

Ily sudah mencangklong tas ikut duduk di bangku panjang. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian kalimat-kalimat Nada.

"Sampe kapan Bianca bakal ngelola cafe ini?" tanya Ily sambil menekan lama tombol daya ponsel hitamnya.

"Enggak tau, baru lima bulan ini sih, Bu Riska ikut suaminya ke Kanada. Beruntung banget ya Bu Meriska."

Entah apa yang Nada katakan, Ily sudah tak peduli lagi. Saat ini perhatian dia tertuju penuh pada benda pipih di tangannya. Ada enam belas panggilan tak terjawab dan lima pesan Whatsaap dari Gravi. Sepenting apa sebenarnya topik yang akan dibicarakan Gravi sampai-sampai dia begitu gencar menghubungi Ily.

"Nad, gue pulang dulu, ya."

"Eh, anjim, padahal gue belum selesai cerita." Ily terkekeh seraya berdiri.

"Udah ya, Mba Nad. Gue pulang duluan. Semangat kerjanya."

Ily membuka pintu lain yang bersebrangan dengan pintu tempatnya masuk. Jika pintu yang tadi menghubungkan bilik dengan cafe. Maka, di balik pintu yang ini. Fungsinya menghubungkan empat bilik kamar mandi pekerja sekaligus jalan keluar-masuk pekerja.

Ily melangkah sampai bilik kamar mandi terujung. Membuka pintu coklat yang menghubungkannya dengan jalan setapak, menutup pintunya dan mulai melangkah. Dingin dan sunyi, hanya ada suara deru kipas AC yang menempel pada dua tembok tinggi bangunan cafe dan butik. Di ujung bibir gang, Ily langsung berbelok ke kanan. Berjalan sekitar seratus meter untuk sampai ke halte yang ada di sebrang jalan.

Sekarang sudah pukul 17.38 WIB, hampir maghrib dan jalan raya masih ramai dengan kendaraan pribadi yang berlalu lalang. Ily mendudukan diri di kursi halte, menunggu bus lewat. Dia lagi-lagi kepikiran Gravi. Sejak kemarin, meski sudah berusaha untuk tak acuh, dengan kurang ajar batinnya terus saja menerka-nerka.

Ponsel di genggaman Ily bergetar. Panggilan masuk dari Gravi lagi. Ily membiarkan saja. Lelaki itu juga perlu merasakan bagaimana nelangsanya diperlakukan masa bodo. Panggilan berhenti, tak lama sebuah pesan WA muncul di layar ponsel.

🖤💖
Tolong angkat telponnya ily

"Sabodo!" Ibu jari Ily menekan lama tombol daya, mendorong paksa ponselnya masuk ke tas.

Kelopak Ily menutup, bersamaan dengan punggung yang perlahan menyadar pada bangku panjang. Sudahlah, jangan pikirkan apa pun lagi tentang dia. Berulang kali mantra itu Ily putar-putar di kepalanya.

"Ily"

Si pemilik nama mengernyitkan dahi, masih dengan posisi semula. Tadi ... baru saja ada suara baritone yang memanggil dia. Sangat familiar, tapi rasanya tak mungkin. Ily yakin telinganya masih berfungsi sangat baik. Ia jadi teringat kalau sebentar lagi akan adzan maghrib.

Jangan-jangan ... suara tadi, suara makhluk ghaib.

"Ily"

Sebuah panggilan sekaligus sentuhan di tangan membuat gadis itu terpenjat. Mata bulat hitam tersebut kian melebar saat mendapati Gravi berdiri tepat di hadapannya. Tubuh berlapis hoodie coklat, kebiasaan khas Gravi yang tak akan pernah ia lupakan.

"Mikirin apa? Kamu lagi ada masalah?"

"Enggak ada."

Lelaki yang dua tahun ini bersemanyam dalam hati Ily bertanya lembut seraya duduk di samping kirinya. Gravi memang tak pernah terduga. Terkadang, Ily merasa dirinya tak berarti apa-apa di mata Gravi. Lalu tiba-tiba, Gravi kembali dengan tingkah manisnya, berucap seolah-olah Ily sangat berharga.

Gravi menghela napas berat. "Kita perlu bicara."

Halah, kemarin ngilang kemana aja, gerutu Ily dalam hati.

Gravi tak pernah melakukan banyak pengorbanan untuk hubungan mereka. Bahkan waktu saja Gravi tak bisa meluangkan. Oh, God, parahnya Ily baru menyadari hal itu sekarang.

Disaat Ily sedang bergelut dengan banyak topik di kepala. Tangan Gravi dengan tidak santainya menarik Ily beranjak dari halte. Memberontak, tentu saja Ily melakukan perlawanan. Namun satu kalimat pamungkas Gravi, sukses membuat Ily bagai kerbau dicocok hidungnya.

"Ada banyak hal yang perlu kamu tau, Ly."

Apa? Ingin sekali Ily merutuki hasrat keingin tahuannya yang terlampau besar. Gagal sudah keinginannya menolak mentah-mentah ajakan Gravi.

***

Aroma gurih daging menyentuh rongga hidung Ily. Rumah makan spesialis bakso ini, tak jauh berbeda sejak dua tahun lalu. Masih bernuansa instagramable, bersih, juga ramai pengunjung baik dari kalangan muda maupun sampai yang berkeluarga.

Dari pintu di pojok sana, Gravi melangkah sambil membenarkan hoodie coklat berkarakter panda pemberian Ily. Sebenarnya, ada maksud apa Gravi mengajak makan malam di sini. Apa laki-laki itu berusaha mengingatkan Ily masa-masa manis kebersamaan mereka.

"Maaf membuatmu menunggu."

Bersamaan dengan itu, seorang pramusaji datang membawa dua mangkuk bakso dan teh manis. Mercon jumbo dengan segelas teh manis hangat, ternyata masih jadi favorit Gravi. Kelihatannya Gravi benar-benar berniat membuka kenangan manis dua tahun silam.

"Kenapa diam? Seingat aku kamu suka bakso urat jumbo kan," ucap Gravi sambil menyendokkan sambal sebanyak tiga kali ke mangkuknya.

Gravi benar, hanya saja Ily sudah tak tahan dengan rasa penasaran yang bersarang di kepala. "Sebenernya kamu mau ngomong apa?"

"Kita makan dulu aja." Baiklah, Ily akan ikuti alur pembicaraan Gravi malam ini.

Sepuluh menit berlalu, Ily menelan potongan bakso terakhir. Diam-diam ia memerhatikan wajah Gravi yang memerah, keringat mengucur deras di sana. Sebelum Gravi menggunakan lengan hoodie untuk menyeka tetesan peluh itu, Ily lebih dulu menyodorkan selembar tissue yang selalu ada di tasnya.

"Terima kasih." Bibir merah Gravi melengkung mengulas senyum.

Ily melihat ke arah lain, tak ingin merespon apa pun. Gravi terlihat seperti baik-baik saja ketika Ily tak mengabarinya. Lain dengan Ily yang merasakan rindu serta antek-anteknya.

"Kenapa marah sama aku?"

Ily mendelik tak percaya. Kalimat pembuka dialog yang sangat buruk. Gravi seolah tak melakukan kesalahan apa pun. Ah, Ya Tuhan. Ily kembali melengos ke arah lain.

"Tanyain semua hal yang pengen kamu tanyain."

Mata Ily menyorot tajam. "Katanya kamu mau ngomongin banyak hal?"

"Aku akan jawab apa pun yang kamu tanyakan." Lagi-lagi, bukan itu jawaban yang Ily harapkan. Apa ini. Haruskan Ily yang aktif menanyakan ini dan itu, kenapa Gravi tak mau berusaha menjelaskan sesuatu.

"Ada hal yang bikin kamu kesal, Ily? Tanyain aja ke aku. Jangan disimpan sendiri."

"...."

Gravi menghela napas panjang. "Aku pengen ngajak kamu ngerayain kelulusan sekaligus anniversary ke-2 hubungan kita. Setuju?"

Ily lagi-lagi tercengang. "Buat apa ngerayain anniversary? Aku gak minat ngerayainnya. Kita aja udah jarang ketemu, mending kamu fokus aja sama kuliah."

Entah apa yang Gravi pikirkan. Lelaki di hadapan Ily malah membisu, maniknya menatap lama. Ily merutuk dalam hati, sampai kambing mengeong pun ia tak akan mengerti maksud dari tatapan Gravi.

Pemuda itu masih membatu. Sepertinya, memang tak ada hal penting yang ingin Gravi bicarakan. Ah, sudahlah.

"Tunggu sebentar!" Cekalan tangan Gravi mencegah langkah Ily. "Tolong duduk dulu."

Baiklah, ini kesempatan terakhir yang Ily berikan. Kalau sampai si penggila makanan pedas di hadapan Ily ini tidak angkat bicara, maka ia akan benar-benar pulang.

"Sejak aku masuk kuliah, kamu kan udah kelas 12. Aku jarang ngajak ketemuan, karena gak mau ganggu belajar kamu aja."

"...."

"Kamu gak perlu mikirin hal-hal yang bahkan enggak pernah terjadi. Hm ... kamu percaya sama aku, kan?"

Senyum lebar Gravi perlahan memudar melihat Ily yang tak bereaksi apa pun. Untuk sekadar senyum saja tidak. "Aku janji, mulai sekarang aku bakalan sering-sering ngabarin kamu."

Digenggamnya satu tangan Ily. "Aku akan berusaha untuk enggak ngecewain kamu lagi. I love you, Ily."

Tiba-tiba saja, suara seorang perempuan menginterupsi keduanya. "Astaga, lo kenapa bisa mesra-mesraan sama dia?"

Bersambung ....

2 Oktober 2020
02.22 WIB

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top