Bab 17. Ily Diusir

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Dalam keadaan wajah menunduk, Ily mengangguk samar. Sedangkan Shinta terdiam kaget, melepaskan tangan dari bahu anaknya. Rasa bersalah, takut, kecewa dan khawatir bercampur jadi satu di dada Ily. Setetes air meluncur dengan bebas di pipi. Punggung Ily bergetar, suara isak tangisnya menggema di ruangan yang mendadak menjadi hening.

"Ratna, siapa laki-laki itu?" tanya Dipta memecah keheningan.

Detik bertambah menjadi menit, suasana masih benar-benar sunyi. Ily tak mengangkat kepala atau pun menjawab pertanyaan ayahnya. Sekadar bicara saja Ily tak kuat, bibirnya terus beregetar.

"Jawab! jangan diem aja!"

"Sebelumnya maaf, Om." Pada akhirnya Gravi angkat bicara.

"Nama saya Gravi, temen semasa SMA juga pacarnya Ily. Saya yang akan bertanggung jawab dengan menikahi Ily."

"Pacar ya," geram Dipta.

Ily yakin amarah ayahnya itu sebentar lagi pasti akan memuncak. Ia sampai tak berani hanya untuk sekedar mengangkat kepala menatap wajah ayahnya. Tiba-tiba, Dipta menarik paksa Ily untuk berdiri. Menarik putrinya menjauh dari sofa.

Plaak

Satu tamparan mendarat mulus di pipi kiri Ily. Tubuhnya membatu seakan semua syarafnya berhenti bekerja. Ily tak menyangka akan mendapat tamparan itu.

"Kamu penipu," celetuk Dipta sambil memegang kedua sisi bahu Ily. Derai air mata dengan deras lolos dari pelupuk matanya.

"Anak tidak tahu diri, bikin malu orang tua. Kuliah kamu batal. Besok gak akan ada yang akan mengantar kamu buat daftar ulang."

Rasanya seperti ada sebuah pisau menancap di dada Ily dengan sangat dalamnya. Satu impian yang sudah ia perjuangkan hancur begitu saja, tak akan ada kuliah. Lalu apalagi setelah ini.

"Gak, saya gak sudi nguliahin anak kaya kamu." Tubuh Ily di dorong, untung Disti sigap menahan tubuh terhuyung adiknya dari belakang.

Ily menangis terisak dengan kepala tertunduk. Ia hanya berharap semoga nasibnya tidak sama seperti Nada. Bukankah ayah dan ibunya sangat sayang pada Ily. Untuk sesaat hanya ada suara tangis dia dan ibunya.

"Dan kamu," Dipta melangkah ke arah Gravi.

Telunjuk lelaki hampir separuh abad itu mengacung di depan wajah Gravi. "Laki-laki kurang ajar. Berani sekali kamu menghamili anak saya," maki Dipta kemudian menarik kasar kerah baju Gravi.

Kepalan tangannya yang besar, meninju berulang kali perut dan wajah Gravi. Pemuda 20 tahun itu hanya terdiam tak melawan. Ily yang melihat itu memalingkan wajah. Terisak lagi.

"Saya terima pertanggung jawaban kamu," ujar Dipta lalu mendorong pemuda itu hingga ia terhuyung keluar dari pintu.

Dengan langkah lebar juga tergesa, Dipta masuk ke kamar Ily. Dari pintu tang terbuka, Manik Ily melihat ayahnya membuka lemari memasukkan baju ke dalam tas Ily. Lalu Dipta menarik paksa Ily keluar bersama tasnya.

"Pak, maafin Ratna, hiks." Ily memohon sambil berusaha mempertahankan posisinya agar tidak beranjak.

"Pak, ampun, hiks. Ratna minta maaf."

Seakan tuli Dipta tetap menyeret putrinya lalu mendorong kuat tubuh kecil Ily ke arah Gravi. Melempar juga tas Ily keluar dari pintu rumah. Ily tentu memaksa untuk melesak masuk. Namun Dipta berdiri menjulang di ambang pintu, menghangi Ily.

"Pak, Ratna minta maaf." Air mata kian mengalir membanjiri pipi. Ily bersimpuh, memegang punggung kaki ayahnya. "Maafin, Ratna, Pak."

Ily mendongakkan kepala, Dipta sama sekali tak melihat ke arahnya. Mengintip ke dalam, ibunya di sana duduk dengan berlinang air nata. Terisak menangis melihat ke arah Ily.

"Bu, maafin Ratna."

Bibir gadis itu bergetar. Dipta mendorong Ily menjauh dari kakinya. Masih bersimpuh di lantai, ia mendongak melihat wajah Dipta.

"Kamu bukan lagi tanggung jawabku, pergilah dan jangan kembali. Urus pacarmu itu!"

Saat pintu hendak ditutup. Shinta mendekati sumianya yang berdiri menjulang di depan pintu. Kepala dengan balutan kerudung itu menggeleng.

"Jangan pak, ini masih malem, Ratna jangan keluar dari rumah."

Ada isak tangis di sela-sela kalimatnya. Air mata lagi-lagi membanjiri pelupuk Ily. Ibunya, Ily sudah mematahkan hati wanita yang paling mulia di hidupnya.

"Aku tak peduli. Aku tidak punya anak seperti dia. Biar saja. Kita masih punya Disti dan delia."

"Pak, maafin Ratna." Ily memohon ampun.

Tak menghiraukan permohonan Ily. Dipta bersikukuh mengusir anaknya keluar dari rumah. Memaksa Shinta masuk ke dalam. Dipta beralih melangkah mendekat pada Ily dan menyeretnya. Lalu mendorong keluar dua sejoli itu dari pagar teras. Ily menangis terus, melisankan kalimat permohonan maaf.

"Pak, biarin Ratna di rumah sampe besok pagi," teriak Shinta lagi dari dalam.

Ily berusaha menahan pagar teras agar tidak tertutup. Namun, gagal. Pagar minimalis itu sudah terkunci.

"Pergi dari sini!" ujar Dipta sebelum akhirnya ia menutup pintu rumah.

Ily berdiri menempel pada pagar, menangis sejadi-jadinya. Tak pernah terbayangkan oleh Ily akan seperti ini akhirnya. Terlalu cepat dan Ily belum siap. Ily menyesali semua. Tangan Ily memukul keras perutnya berkali-kali.

"Ily jangan gitu," Gravi mencekal taangan gadis itu yang terus berontak.

"Jangan! Kamu bisa nyakitin diri kamu sendiri," ujar Gravi memperingatkan lagi.

"Biarin! Apa peduli kamu? HAH!" teriak Ily tak terkendali.

Suara deru kendaraan dan angin malam menyamarkannya. Gravi tak menjawab, dengan sendirinya tangan Ily terjatuh ke sisi badan. Tak peduli dengan keadaan sekitar atau pun dilihat orang-orang yang berlalu lalang di jalan.

Ily terduduk di tanah, menenggelamkan wajah di antara kakinya yang ia tekuk. Menangis lagi. Sesal dan sesak. Ily harap ini semua hanyalah mimpi.

Sebuah sentuhan di bahu membuat Ily mendongak. "Udah Ly, jangan nangis diliatin orang nanti."

"Ayo bangun." Ily menepis kedua tangan Gravi dari bahunya. Lelaki itu diam, napas berat ia hembuskan.

Berdiri dari duduk, mata Ily menyapu sekitar tanah. Melihat ke arah Gravi sekilas. Hanya ada tas hitam Ily yang tersampir di bahu Gravi. Kepala gadis itu menunduk, lagipula siapa yang akan teringat dengan sandal jika sibuk menangis dan berteriak. Mengatur emosi saja tak bisa.

Masih dengan rembesan air mata di pipi. Ily mengayunkan kaki, menyebrangi jalan raya. Dinginnya aspal menjalar ke seuruh tubuhnya. Ia melangkah tak tentu arah. Entah kemana, yang jelas hanya berusaha menjauh dari rumah orang tuanya.

Ternyata seperti ini rasanya diusir dari rumah orang tua. Merasa sendiri, tak punya siapa-siapa. Menyakitkan, sangat menyesakkan.

Angin malam berhembus kencang, hawa dingin menusuk permukaan kulit Ily. Ia memeluk erat tubuhnya sendiri. Ily memang pantas menerima semua ini. Benar kata ayahnya, ia dalah seorang penipu, anak tidak tahu diri. Namun, tetap saja rasanya Srmua dunia Ily berakhir sesaat setelah ayahnya mengucapkan kalimat itu.

"Aku tak peduli. Aku tidak punya anak seperti dia. Biar saja. Kita masih punya Disti dan delia."

"Ily, sini."

Tarikan tangan Gravi membuyarkan lamunan. Ily digiring duduk di halte tempat biasa ia menunggu bus untuk berangkat bekerja. Gravi memandangnya
dalam kebisuan.

Kemudian lelaki itu duduk di sampingnya. Ily tak peduli dan hanya diam saja. Semua ini terjadi juga karena Gravi. Memalingkan wajah ke arah lain, Ily mengusap air mata lagi.

Sapuan angin di pipi yang basah semakin membuat wajahnya mendingin. Entah sudah jam berapa sekarang, Ily tak pernah menduga akan sedingin ini rasanya angin malam. Tanpa sadar, Ily lagi-lagi memeluk dirinya.

"Dingin, ya?"

Tak lama setelah berceletuk, Gravi melesakkan masuk hoodie putihnya lewat kepala Ily. Kain tebal itu hanya mengalung di leher Ily. Mata lebar itu menatap Gravi dalam senyap.

"Pake. Biar gak dingin," sambung Gravi.

Meski diam dan lagi-lagi hanya memalingkan wajah. Ily tetap mendorong masuk kedua tangannya pada lengan hoodie milik Gravi. Sedikit kebesaran, namun cukup membuat hangat tubuh Ily.

Lelaki yang kini hanya menggunakan kaos itu, sepertinya sama sekali tidak merasakan penyesalan, sedih, atau semacamnya seperti yang Ily rasakan. Mungkin, Gravi tak akan merasakan diusir oleh orang tuanya. Dan mungkin saja, Gravi juga tak akan berhenti dari studinya. Tak ada yang berubah.

Ily menaikkan dan menekuk kedua lutut. Lalu dipeluknya erat-erat kedua kaki dan menenggelamkan kepala di sana. Menangis lagi.

Brengsek! rutuknya dalam hati

Ivy tersentak saat Gravi dengan tanpa aba-aba menarik kaki Ily pelan. Hendak memakaikan sepatu putih miliknya di kaki Ily. Si pemilik kaki menolak, tapi Gravi bersikeras menahan.

"Biar telapaknya gak dingin."

Ily diam, memerhatikan laki-laki tersebut dengan mata memburam. Detik itu juga tangan Gravi meraih dan membersihkan telapak Ily dengan kain celana yang menempel pada lututnya. Butiran-butiran pasir itu meluruh dari kulit Ily.

Tatapan Ily berubah nanar saat sebuah mobil berhenti di dekat halte. Gravi memesan Grab. Memangnya akan kemana. Ily akan menunggu esok datang hingga amarah ayahnya mereda. Lalu meminta maaf, berharap Dipta bisa menerima dia kembali.

"Ayo Ly, masuk. Ngapain di situ?"

Kepala bersurai panjang yang tergerai itu menggeleng. "Aku mau ke rumah lagi besok pagi."

"Jangan konyol, Ly. Kamu gak bisa semalaman duduk di halte. Di luar sini dingin."

"Biarin, aku mau di sini. Kamu kalo mau pergi, ya pergi aja."

Gravi mengangguk. "Aku tau kamu mau di sini, tapi ibu kamu gak mengharapkan kamu kedinginan di luar. Ikut aku pulang, ya." Menundukkan kepala, Ily terdiam saja. Pulang. Satu-satunya rumah adalah milik ayahnya. Dan dia tak punya tempat sekarang.

"Gak ada pilihan lain. Untuk sementara, kamu tinggal di apart aku dulu."

Ily bangkit dari duduk, melangkah masuk ke dalam mobil disusul Gravi. Besi beroda itu mulai melaju, memutar arah. Ily memandang keluar jendela. Tangis gadis itu pecah mereka melewati rumah orang tuanya. Ily tak menyangka akan diusir dari rumah masa kecilnya karena cinta bodoh itu juga kepercayaannya pada Gravi.

Turun dari mobil, Ily memandang jauh bangunan tinggi tempat awal semua masalah bermula. Ily menepis tangan Gravi yang mencoba menggenggam tangannya. Gravi tidak protes, laki-laki itu berjalan memimpin sampai ke lobby apartment. Gravi memencet tombol lift dan ruang kotak itu terbuka. Sepasang suami istri keluar, sang wanita tengah hamil tua. Akan sebesar itukah perut Ily nanti.

Di tengah lamunan, tangan Ily ditarik hingga dirinya masuk ke dalam lift. Tentu pelakunya Gravi. Siapa lagi. Mereka sama-sama diam sampai Gravi membuka pintu apartmentnya, menyilahkan Ily masuk.

Di saat Gravi sudah melangkah sampai di dekat sofa ruangan terdepan. Ily masih berdiri mematung di dekat pintu apartment. Ily ingin berteriak, ingin marah, tapi pada siapa. Isak tangis pecah lagi.

Gravi yang menyadarinya, langsung berputar balik. Meraih dan mendekap tubuh Ily erat-erat. "Sst ... semua bakal baik-baik aja. Aku akan nyelesein semuanya. Jangan nangis lagi."

Ily  bungkam mendengar kalimat penenang dari Gravi. Dari mana dia tahu semua akan baik-baik aja. Kepercayaan orang tua Ily rusak, mereka sudah kecewa bahkan ayahnya sendiri sudah sangat membencinya. Sekarang dengan entengnya Gravi bilang semua akan baik-baik saja.

Mungkin cuma dia yang akan baik-baik saja, tidak dengan Ily. Telapak di sisi tubuh Ily mengepal. Gravi sudah menghancurkan semuanya. Napas mulai memburu, di detik selanjutnya Ily mendorong Gravi. Melayangkan sebuah tamparan di pipi laki-laki itu.

Plaak!

"Semuanya salah kamu, Gra!"

Bersambung ....

16 Oktober 2020
10.39 WIB

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top