Bab 15. Testpack
Gravi mendekat, telapaknya mencekal pergelangan Ily kemudian membalik punggung mungil itu. Dua pasang manik hitam mereka saling bertabrakan. Sampai suara kalkson mobil memutus kontaknya. Gravi menangkup wajah Ily, mengusap cairan yang membasahi pipi gadisnya dengan ibu jari.
“Denger, Ly. Aku ke apotik ngajak Bianca, minta tolong sama dia buat pilihin testpack yang bagus.”
Menyingkirkan tangan Gravi, Ily mundur selangkah ke belakang. “Testpack, mau buat apa?”
“Aku mau kamu mengeceknya sekali lagi.”
Ily ternganga tak percaya, matanya beredar ke arah lain. Dia pikir Ily berdusta. Gravi benar-benar membuat Ily jengkel setengah mati.
“Setelah seminggu menghilang. Kamu bikin aku ketakutan, cemas, gelisah. Terus dateng-dateng kamu nyuruh aku tes ulang. Maksud kamu aku bohong gitu?”
Dada Ily naik-turun kasar, nafasnya terengah karena emosi. Ily mengeluarkan dua testpack biru dari tasnya, melempar kasar benda tipis itu pada Gravi. Terjatuh ke tanah, lelaki itu memungut keduanya. Melihat dua strip di sana.
“Gravi, ini.” Bianca datang menyerahkan satu kantong plastik kecil pada lelaki itu.
Mengambil kantung plastiknya, lantas Gravi mendekati Ily. Gadis itu mundur selangkah. Gravi maju selangkah lagi.
Ily juga mundur selangkah lagi lalu berteriak geram, “Aku gak suka bau kamu, jangan deket-deket.”
Helaan napas Gravi terdengar jelas. “Besok aku jemput, kita tes lagi di apart aku.”
Entah kenapa, perasaan kesalnya begitu bergejolak. Gravi terlihat tenang-tenang saja. Sedangkan Ily mati-matian menahan gelisah. Bodoh sekali dirinya. Ily terdiam sejenak, tersenyum sinis.
“Udahlah, udah ga ada gunanya. Aku udah capek, kecewa berharap sama kamu.” Ily berbalik, hendak berlalu tapi Gravi menahannya.
Lelaki ity, menghadang jalan Ily. “Gak bisa gitu, Ly. Aku juga harus tau.”
Mendelik kesal, Ily menjawabnya dengan nada timggi. “Terus kemana kamu selama seminggu ini? Kamu selalu menghilang kabar.”
“Maaf.”
Ily tersenyum sekilas. “Aku berharap kata itu cukup buat mengganti semua ketakutan dan kegelisahan aku selama ini.”
“Seminggu itu, aku pake buat berpikir. Aku gak mau salah ambil keputusan lagi.” Lelaki di depan Ily menundukkan kepala.
“Ya ... di sini aku yang bodoh. Malam itu terjadi juga karena aku.”
Gravi menggeleng, “Jangan bilang begitu.”
Ily mengakui bahwa malam itu juga salahnya. Ia menyambut keinginan Gravi. Kalau saja malam itu dirinya menolak, sudah pasti tak akan ada yang terjadi di apart Gravi.
Gravi meraih telapak Ily, mengusapnya pelan. “Aku akan berusaha sebaik mungkin.”
Ily diam, menghapus air matanya. Sekarang apa yang membuat Ily sedih. Sebentar marah, sebentar pundung. Moody-an sekali dirinya.
***
“Bu, Ily mau main sama Mega sama Bita. Pulangnya siang, tapi Ily lanjut kerja.” Ilu menemui ibunya di teras rumah.
“Harus berangkat sepagi ini? Masih jam enam loh.”
Tersenyum lebar, Ily menjawab, “Janjiannya jam segini, Bu.”
“Yaudah, hati-hati.”
Seperti terakhir kali ke apart lelaki itu. Kini pun Ily melangkahkan kaki menuju masjid yang tak begitu jauh dari rumahnya. Gravi menjemput Ily di sana, dengan Grab yang dipesan.
Pintu mobil terbuka, Gravi menyapa dengan hangat. “Makasih udah nyempetin waktu buat aku.” Ily tersenyum saja, pintu ditutup kemudian mobil silver mulai melaju di atas aspal.
Tak ada yang berbicara selama di perjalanan. Masing-masing terjebak dalan pikiran sendiri. Sedikit pun, Ily tak pernah menyangka akan mengalami kejadian ini. Dulu, Ily selalu berpikir kalau dirinya adalah anak yang baik, anak yang patuh, dan bisa membanggakan orang tua. Namun, sepertinya tidak lagi. Ily sudah banyak menyusun kebohongan, mengkhianati kepercayaan orang tuanya, lagi pula mana ada anak baik berani melakukan seks pra nikah.
Memandang kosong jendela mobil di sebelah kirinya, Ily selalu bertanya-tanya sanggupkah dia menyelesaikan semua tanpa ketahuan orang tuanya. Gravi menepuk bahu Ily agar segera beranjak turun. Tak terasa, ternyata mobil yang ditumpanginya sudah berada di pelataran apartment.
Ily mengekori Gravi sampai masuk ke dalam lift. Selama dua tahun masa pacaran, ini lah kali ketiga Ily berkunjung ke apart Gravi. Selama dua tahun ini, yang Ily tahu hanya Gravi tak pernah akur dengan saudara tirinya, Halim. Ily sebelumnya tak pernah tau kalau hubungan Gravi dengan orang tuanya tidak pernah baik. Apalagi apartment ini, Ily tahu pun baru-baru saja.
Lift terbuka, Ily berjalan mengikuti langkah Gravi. Sesampainya di dalam, semua nampak sama saja, tak ada yang berubah. Sementara Gravi masuk ke kamarnya, Ily berdiri menghadap jendela kaca. Kota kecil tempat Ily tinggal begitu memesona. Beberapa gedung-gedung berkilau memantulkan cahaya dari timur. Meski hari ini sabtu, jalan raya sudah mulai ramai dengan kendaraan.
“Ly”
Gadis itu berbalik badan. Gravi sudah berdiri tepat di belakangnya dengan membawa sesuatu di tangan.
“Dari pagi, kamu udah pipis?” Pertanyaan Gravi, mengundang gelengan kepala Ily.
“Ini,” Gravi menyodorkan satu gelas plastik juga satu kantong kresek hitam. Ily menerima keduanya. Mengintip isi kantong plastik itu.
“Dipake semua testpacknya.”
“Hah?” Ily mendelik tak percaya. “Kamu tes aja sendiri.”
Ily menyerahkan kembali kantong hitam pada Gravi. Berbalik badan lalu bergegas masuk ke kamar mandi bersama gelas plastiknya. Menghembuskan napas panjang, Ily mencuci mukanya. Mencoba meredam amarah.
Dua testpack kemarin sepertinya memang tidak cukup memuaskan dia. Terang-terangan Gravi menunjukkan kalau dia masih meragukan Ily. Buktinya Gravi masih ingin Ily mengecek ulang dengan alat sebanyak itu.
Hah, Gravi tak pernah tau berapa sulitnya ia setiap sore, mual, lelah bolak-balik ke kamar mandi. Dan lagi, dua hari ini payudaranya terasa sakit sekali. Semua rasa itu, benar-benar membuatnya mudah tersulut emosi.
Ily melihat sekilas gelas bening berisi cairan kuning. Menaruhnya di atas tutup kloset duduk. Ia lantas membuka pintu kamar mandi. Ada Gravi menunggu tepat di depan pintu.
“Gelasnya, aku taruh di dalam,” ujar Ily kemuadian berlalu begitu saja, melangkah ke arah karpet dekat tv.
Ily melihat Gravi mengambil salah satu bungkusan dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Dari respon Gravi kemarin. Sepertinya memang ia tak siap bertanggung jawab. Ily pun begitu. Ia tak siap mendapat cemoohan orang atau kebencian ayah ibunya.
Ily merogoh tas mengambil ponselnya. Mengetikkan satu nama di pencarian kontak. Nikya, teman semasa SMP Ily. Manik bulat Ily melirik jam digital yang ada di ponsel.
06.57
Ily rasa tak mengapa menelpon Niky. Sudah tidak terlalu pagi juga. Ditekannya ikon gagang telpon. Nada tersambung, ponsel Niky berdering. Tiga menit pertama hanya nada sambung saja. Nyaris Ily mengakhiri panggilannya, tetapi ....
“Halo”
Suara parau perempuan di seberang telepon menyambut telinga Ily. Dahi bebas rambut itu mengernyit sedikit. Seriusan Niky temannya baru bangun tidur, atau bahkan terbangun karena telpon dari dia.
“Halo ... siapa, sih?” Dengan terbata, Ily membalas sapaan Niky lalu menyebutkan namanya.
“Hah, seriusan ini Ilya.”
Suara girang dengan nada antusias dari telepon membuat Ily tersenyum lebar. Sisi khas yang melekat dari Niky. Ily mengangguk kecil, meskipun lawan bicaranya tak bisa melihat.
“Aku emang Ilya, temen sebangku lo pas SMP.”
“Astaga, Il, gue kangen banget ama lo masa. Gak kerasa udah empat tahun aja.”
Mata Ily memandang keluar jendela sedangkan pikirannya sedang menyebrangi waktu. Dia memang dekat dengan Niky, sangat. Mega, Ily, Niky, Gita, keempatnya pernah saling berteman. Dalam masa biru navy-nya pernah ada nama Niky di sana. Bahkan Mega menamai koloni kecil mereka dengan sebutan “MING Yuoppa.” Ily tersenyum, mengingat hal itu.
“Il, heh! Pasti gak dengerkan. Astaga penyakit ngelamun lo itu masih ga ilang-ilang?” Niky masih mengingatnya ternyata.
“Btw, Il. Kabar lo gimana. Terus kenapa nelpon, ada apa?”
“Gue baik, Nik. Gue harap lo juga baik.”
“Iya, gue sehat wal afiat. Kenapa lo nelpon?” desak Niky lagi.
Ily mulai mengedarkan acak fokus matanya. Menimbang-nimbang kembali keputusan di detik terakhir. Melihat sekilas pada Gravi, lelaki itu keluar masuk kamar mandi dengan wajah gelisah. Sepertinya Ily harus pergi menemui Niky. Tak ada hal yang jadi alasan Ily untuk mempertahankan gumpalan daging di perut ini.
“Gue ...” Ily melirik pada kamar mandi, “mau nanya soal aborsi.” Di sebrang telepon, Niky berseru kaget.
“Lo kenapa, Il? Lo hamil?”
“Hm ... gue pengen ngomong langsung ama lo, Nik. Gak lewat telepon. Hari ini juga.”
“Nanti, gue kasih share loc-nya.”
Sambungan telepon terputus. Disusul sebuah pesan masuk. Bersamaan dengan itu, Gravi datang dari kamar mandi. Duduk di dekat Ily, kemudian menunjukkan semua testpack-nya. Ada empat macam tespack berbeda dan keempat-empatnya ... positif.
Di sebelah Ily, Gravi duduk bersender pada sofa. Kepalanya menengadah ke atas. “Aku gak nyangka kamu bakalan hamil,” celetuk Gravi tiba-tiba kemudian dia menarik bahu Ily memaksanya menghadap ke arah pemuda itu
“Aku udah pastiin gak keluar di dalam, tapi kenapa kamu masih hamil?”
Gravi berteriak geram. Apa lelaki itu menyalahkan Ily saat ini. Dengan kasar, Ily menghempas tangan Gravi dari bahunya.
“Itu mitos, Gra. Kata dokter itu mitos!” bentak Ily tak kalah kencang.
“Kamu udah cek ke dokter?”
Ily menagngguk. Tak ada respon lanjutan dari Gravi. “Gra, kamu mau apa setelah ini?”
“....”
“Gra–”
“Please, Ly, jangan bahas lagi. Kasih aku waktu buat mikir.”
Seperti biasa. Tak ada kejelasan. Oke, Ily tak peduli lagi dengan tindakan Gravi setelahnya. Ia yakin seratus persen, Gravi tak akan mau bertanggung jawab. Gravi keberatan, Ily tau itu.
“Kalo gitu aku pulang dulu.”
Saat Ily hendak bangkit, Gravi tiba-tiba berceletuk, “Aku pesenin Grab.” Ily membisu tak mengiyakn atau menolak.
“Mau pulang kan,” imbuh Gravi.
“Enggak. Ke perum Graharaya.”
“Ngapain?”
“Ke rumah temen.”
***
Ily saat ini tengah duduk dipinggiran kasur. Memikirkan kembali semua ucapan Niky, tadi pagi.
“Gue gak menyarankan lo untuk aborsi, Ly. Karena itu sakit banget. Selain itu aborsi juga membahayakan diri lo. Apalagi tempat yang gue tau ini ilegal. Gak berlisesnsi.”
Mau bagaimana lagi, Ily dalam keadaan tak punya pilihan saat ini. Respon Gravi tadi pagi saja begitu. Lelaki itu bingung dan sepertinya memang tak berniat melakukan apa pun. Gravi pasti akan mengulur waktu. Sedangkan Ily tidak punya banyak waktu. Setelah pengumuman SBM keluar, Ily akan sibuk mengurus berkas ini dan itu.
“Kalo cowo lo mau tanggung jawab. Mending lo ga usah aborsi.” Nikya memegang satu bahu Ily.
“Gue tahu gimana susahnya ngadepin omongan orang. Tapi percaya deh, lama-kelamaan mereka bosen ngomongin lo. Topik yang sekarang hot, gak selamanya hot. Cemoohan orang itu juga bakal pergi seiring waktu berjalan.”
“Tapi gue merasa hina, Nik.”
“Udah terlanjur juga. Hidup lo yang jalanin lo, bukan mereka. Lo gak akan bisa bungkam mulut mereka. Yang bisa lo lakuin cuma nutup mata dan telinga dari bisika-bisikan jahat.”
Ily terdiam lagi.
“Gue cuma mau lo berpikir ulang sebelum berangkat ke alamat yang gue kasih itu.”
Ketukan di pintu kamarnya membuyarkan kamunan Ily. “Ratna, katanya hari ini udah keluarkan hasil SBM-nya?” Shinta berujar dari luar
Ah, iya, sekarang sudah jam delapan malam. Ily begegas mengambil ponselnya. Keluar dai kamar dan duduk di sofa ruang tamu. Ada ayah dan ibunya saja. Ily mulai duduk dan menekan-nekan layar ponselnya.
“Gimana?”
“Ily lolos, Bu, Pak.”
Shinta dan Dipta berseru senang. Orang tuanya mulai membicarakan banyak persiapan untuk Ily. Ada banyak harapan yang orang tua Ily gantungkan. Keputusan Ily untuk melakukan aborsi semakin kuat.
Aku gak peduli lagi dengan Gravi.
Bersambung ....
14 Oktober 2020
05.54 WIB
[Revised]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top