Bab 13. Menghilang Lagi
“Sebenarnya gue takut ditinggalin dia.”
~~•~~
“Iya Bu, udah makan, kok. Ily masuk kamar dulu, ya.”
Masih lengkap dengan jaket dan celana training hitam, Ily merebahkan diri pada kasur. Menangis lagi, tak menyangka ia akan berbuat sejauh itu. Ily, bukan lagi anak perempuan yang bisa membanggakan Dipta dan Shinta. Setelah ini, ia harus melakukan apa.
Ily duduk di pinggir kasur. Mengeluarkan dua benda biru yang sukses membuat banjir wajah, sesak dada, dan gemetar kakinya. Butuh waktu dua jam untuk Ily menenangkan tangis di dalam kamar mandi tadi. Ily bersyukur, keputusan dia untuk melakukan tes di masjid sudah benar.
Menatap nanar lagi pada dua buah testpack itu. “Karena kamu aku hancur, Gravi,” gumam Ily pelan.
Setetes air meluncur lagi, bibirnya bergetar menahan isak. Lelah. Ia sudah lelah menangis di dalam kamar mandi masjid tadi. Bagaimana dia harus menghadapi situasi ini. Ily benar-benar kecewa dengan dirinya sendiri. Andai saja malam itu Ily tak melakukannya dengan Gravi. Maka saat ini ia akan baik-baik saja. Hidupnya akan tenang sahaja.
“Dua benda ini, tak boleh sampai ada yang tahu.”
Ily bangkit mendekati meja, meraih tas lalu menyimpan benda kecil biru itu di resleting paling depan. Tak akan ada yamg menggeledah tas ini. Rahasianya akan aman. Iya, satu-satunya hal terbaik yang bisa Ily lakukan hanya merahasiakan kehamilan ini dari keluarga, orang sekitar, juga ... termasuk Gravi. Ily tak memiliki keberanian untuk mengakui hal itu pada orang tuanya. Ily tak ingin mengecewakan mereka. Dan sejujurnya ia sangat takut dengan kemarahan Dipta.
Masih dengan sesenggukan, Ily kembali menjejal wajah di bantal. Meratapi kebodohannya sampai lelah dan terlelap menuju alam bawah sadar.
Sorenya di cafe tempat Ily bekerja ....
Telapak seorang gadis mengusap mulut yang basah. Wajahnya ia angkat, menatap lurus ke depan. Betapa menyedihkan dirinya. Wajah lelah, berpadu mata sembab, tak ada rona di pipi. Terlihat kusam dan pucat.
“Ly, lo udah mulai jadi bahan omongannya anak-anak.”
Melalui pantulan di cermin, Ily melirik sekilas pada Nada. Dia harus bagaimana jika sudah begitu. Mual-mual ini tak sedikit pun bisa Ily sembunyikan.
“Gue gak tau harus gimana, Nad.” Ily akhirnya angkat bicara.
Nada mendekat, membuka kran air dan mencuci tangan lantas berujar, “Jangan dengerin omongan mereka, udah itu aja.”
Ily menghadap kanan. “Nad, menurut lo gue harus gimana?”
Sebuah hembusan terdengar sampai ke telinga Ily. Kepala Nada menggeleng, tangannya memegang bahu Ily. “Yang tau lo mau melakukan apa, ya, cuma diri lo sendiri, Ly. Apa yang lo mau, apa yang jadi tujuan lo, apa yang menurut lo baik. Itu semua jawabannya ada di lo, gue gak tau dan gak punya jawabannya.”
Ily menunduk, menutupi wajah dengan kedua telapaknya. Dia ingin lepas dari beban ini. Haruskah Ily menyingkirkan habis sumber masalahnya.
“Cowo itu, udah tau keadaan lo?” Nada bertanya menyambung percakapan.
“Enggak.”
“Kenapa?” Nada mengerutkan kening, dia memang tidak mengerti ketakutan Ily.
“Sebenarnya gue takut ditinggalin dia.”
Nada membuang pandangan ke arah lain. “Lo pikir, mengulur waktu bisa meredakan semua masalahnya?”
“Gue pernah menyesal karena menunda,” lanjut Nada.
“Apa pun jawaban cowok itu. Asal semakin cepat lo bertindak, lo tetep punya banyak pilihan ketika lo mengambil keputusan sendiri.”
Kepala Ily berpikir keras mencerna kalimat Nada. Benarkah yang Nada katakan. Dikondisi yang seperti ini, bahkan Ily punya banyak pilihan. Pilihan semacam apa.
***
Siang ini di kamarnya, Ily duduk berselonjor pada lantai. Menggeser layar ponsel, mencari aplikasi hijau pengirim pesan. Dipandangi lagi lekat-lekat room chatnya dengan Gravi. Ily sudah memikirkan berulang-ulang ucapan Nada kemarin.
Ia memang harus mengabari kehamilannya pada Gravi. Lelaki itu juga perlu tau, ada bagian dari dirinya yang tertinggal dan akan bertumbuh di dalam rahim Ily. Tangan Ily mengusap lagi air mata yang merembes di pipi. Sejujurnya saja, gadis bersurai lurus itu masih belum bisa menerima kenyataan atas apa yang dia alami.
Me
Gravi, aku hamil.
send
Pesan bertanda centang satu abu-abu. Mungkin saja laki-laki itu sedang ada kuliah mengingat hari ini adalah hari selasa. Ily menyecroll room chat ke atas. Terakhir kali Gravi mencoba menghubunginya kemarin pagi, saat Ily masih berada di kamar mandi masjid.
Ily meletakkan ponsel di meja. Ia lalu naik ke atas kasur. Dirinya menempelkan punggung di benda empuk itu lalu tidur sebentar saja. Baru jam setengah sebelas, ada banyak waktu sebelum ia pergi bekerja.
Pesan sudah dibaca sejak pukul 12 siang. Tak terhitung berapa kali Ily mengecek gawainya. Sebelum kerja, Ily mengeceknya, belum ada balasan. Pulang kerja juga begitu, tak ada balasan. Sampai ketika hendak tidur, Gravi belum memberi respon apa pun. Dan sepertinya memang lelaki tersebut tidak berniat merespon pesan Ily.
Ily menghembuskan napas pelan. Meletakkan kembali ponsel di meja. Baiklah, ia anggap Gravi sedang memikirkan hal ini.
.
Kalau ada hal yang bisa mengalihkan Ily dari segala tekanan pikiran dan persaannya, maka hal itu adalah bekerja. Seperti sekarang ini, memasang senyum di depan pengunjung, menanyakan pesanan mereka, dan mengantarkan makanan ke meja pelanggan. Setidaknya pikiran Ily bisa sedikit sibuk.
Ily mengantarkan pesanan ke meja nomor 12. Seorang lelaki seumuran kakaknya mungkin. Entah, wajahnya terlihat begitu dewasa.
Ketika sampai di meja, parfume beraroma maskulin segar menusuk rongga hidungnya, perut Ily bergejolak lagi. Parfume yang
sama seperti milik Gravi.
Please, jangan sekarang, batin gadis itu.
Ily cepat-cepat meletakkan satu mug coklat panas juga pie coklat kacang pelanggannya. Tersenyum manis di tengah gejolak dalam perutnya.
“Selamat menikmati.”
Ily berjalan cepat, meletakkan nampan di meja saji lalu membuka pintu ruang pekerja. Mual-mual itu sebentar lagi akan dimulai. Ada banyak cairan berdesakan minta keluar. Di bukanya kasar bilik toilet.
Di dalam Ily langsung membuka mulut dan mengeluarkan semuanya.
“Hoeeeek, hoeek.”
Sejak tadi yang keluar hanya cairan bening itu. Lutut Ily gemetar, badannya lemas, beginilah setiap kali mual itu datang. Semua tenaga seakan disedot habis. Lemah, terkulai, dan Ily terduduk di atas kloset.
Pikiran Ily tiba-tiba tertuju pada Gravi. Di saat tak ada yang terjadi apa pun pada Ily, Gravi saja bersikap tak acuh. Apalagi jika Ily memiliki masalah seperti ini. Dia pasti akan meninggalkan Ily. Jelas. Karena dia tentu tidak mau repot-repot mengurusi masalah Ily.
Bodohnya dia baru menyadari itu. Mata Ily memanas. Apa ini pertanda bahwa ia akan ditinggalkan. Sampai hari ini pun, Gravi mendiamkan pesan Ily. Lelaki itu seolah menghilang kabar. Untuk yang kesekian kalinya Ily mangisi hal yang sama. Takut ditinggalkan Gravi.
***
“Ratna kalo pulang kerja kok pucet terus. Keliatan lemes. Kenapa? Kalo gak enak badan jangan kerja dulu.”
Sambutan hangat dari Shinta ketika sampai di teras rumah, harusnya membuat Ily senang, tapi malah jadi sebaliknya. Ily merasa bersalah karena terus berbohong. Ily sadar apa yang dilakukannya tidak hanya mengecewakan ayah dan ibunya, tapi juga ibarat seorang anak melempari muka orang tuanya dengan kotoran. Kini, dia benar-benar telah mengkhianati semua usaha dan perjuangan orang tuanya untuk memenuhi segala kebutuhan Ily. Ya Tuhan, mata Ily mulai memanas.
“Gapapa, Bu. Kalo gitu Ily masuk dulu.”
Ily bergegas masuk ke dalam rumah, menaruh tas di kamar Ily langsung beranjak ke dapur. Di sana Disti menyadari kedatangannya.
“Na, kenapa kamu keliatan lemes juga pucet gitu mukanya. Setiap pulang kerja, loh, Mbak perhatiin kamu gitu terus. Capek banget ya kerjanya.”
Ily berusaha tersenyum. Bukan hanya Shinta yang curiga, ternyata Disti juga. Sehebat itu efek dari mualnya, tidak hanya melelahkan di saat muntah. Tetapi ternyata meninggalkan jejak setelahnya. Seperti yang Ily alami sekarang ini.
“Na, kok diem aja?”
Ily tersentak tersadar dari lamunan. “Gapapa, Mbak cuma capek aja.”
“Tapi setiap hari, loh.” Ily menyengir menanggapinya.
“Ya udah, banyakin istirahat. Jangan lupa makan dulu.”
Ily mengangguk kemudian masuk ke kamar mandi. Semua orang di rumah sudah curiga. Bagaimana Ily harus menutupinya.
Rambut panjang Ily yang masih basah meneteskan air. Di depan cermin ia berdiri memandangi tubuhnya sendiri. Tangan Ily perlahan terulur menyentuh perut, merabanya. Masih rata. Namun, sampai kapan akan bertahan. Kalau Ily biarkan, lama-lama akan membesar sampai seukuran bola basket bukan.
Tidak, Ily tidak akan membiarkannya. Dia tidak mau dicemooh, tidak mau mengecewakan orang tua, dan Ily tidak mau mendapat kemurkaan dari ayahnya. Tidak akan.
Air mata merebak, bersamaan dengan itu otot kakinya melemas. Ily terduduk di lantai yang dingin dengan gemetar. Ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika orang tuanya tau. Diusir, lalu hidup terlunta-lunta seperti ... teman SMP Ily. Kalau pun orang tuanya tidak sekejam itu, pasti Ily juga akan berakhir seperti Nada yang dibenci keluarganya.
Menghembuskan napas pelan, tekad Ily sudah bulat untuk melakukan itu. Tinggal Ily cari tahu bagaimana caranya.
Keesokan hari, saat Ily berangkat bekerja. Ia menyempatkan diri ke toko kosmetik tepat dua bangunan dari cafe tempatnya bekerja.
Memasuki toko, Ily diberikan tabel warna lisptiknya. “Lipstik nomer 39, kalo blush onnya yang nomer 37. Eum ... bedaknya yang nomer 9 aja.”
Semoga aja semua ini bisa nyamarin muka pucat itu, batin Ily.
Di halte biasa tempat Ily menunggu bus. Di sana dirinya sekarang, duduk sambil memegang plastik es juga menyantap buah nanas. setengah keresek kecil, sekitar 10 buah nanas sebesar kepalan tangan.
Saat akan menghabiskan potongan kelima. Halim tiba-tiba muncul, lantas duduk di sampingnya. Mau apa lagi saudara tiri Gravi yang satu ini.
“Gila, itu lo makan nanas di lahap sendiri? Terus apa nih, es tebu?” Pertanyaan Halim seolah hanya angin lewat.
“Gue ingetnya lo suka es krim vanila, kalo gak gitu choco banana. Sekarang kenapa jadi minun es tebu? Terus makannya nanas lagi.” Ily hanya melirik sekilas, Halim sibuk tertawa seakan Ily sedang melawak.
Ily harus makan ini setiap hari. Setidaknya sebanyak ini agar sesuatu yang ada di rahimnya itu luruh. Iya, cara tradisional yang katanya bisa menggugurkan kandungan. Makan nanas dan minum es tebu. Seharusnya kedondong juga, karena sedang tidak musim ya sudahlah, Ily beli nanas saja.
“Eh, bentar.” Ily ikut menoleh, mengerutkan kening. Ada apa.
“Lo kenapa jadi cakep gitu kalo pake make up.” Lagi, Ily melontar tatapan malas.
“Jadi pacar gue mau? Kita selingkuhin Gravi.”
Lelaki di samping Ily tertawa kencang. Begitu juga Ily, terkadang tingkah Halim bisa seabsurd itu. Tiba-tiba tawanya terhenti.
“Minggu lalu, lo kenapa muntah pas abis di peluk Gravi? Keteknya dia bau, ya?” Lagi-lagi Ily tertawa karna ucapannya.
“Tuh ada bis,” Halim menunjuk ke arah timur.
Ily bergegeas berdiri melambaikan tangan. Dimasukkannya nanas yang tersisisa ke dalam tas. “Aku pulang dulu, Kak. See you.”
Halim melambaikan tangannya seraya melempar senyuman. Hari ini Halim datang, sedangkan Gravi dia mengabari pun tidak. Ily sadar, Gravi tidak seperti Halim. Terkadang Ily heran, kenapa cowo sweet modelan Halim itu bisa gak punya pacar.
Sejujurnya Ily mulai putus asa menunggu Gravi. Sepertinya memang tak ada tindakan yang akan diambil lelaki itu. Lagi pula, Ily juga yakin. Gravi pasti berat mengakui kehamilan Ily di depan orang. Apalagi di depan orang tuanya.
Ily anggap, diamnya Gravi adalah ketidak inginan Gravi bertanggung jawab. Artinya Gravi ingin janin itu lenyap, sama seperti keinginan Ily. Ily hanya perlu menyembunyikan tanda-tanda kehamilan sembari dia berusaha menggugurkannya.
Bersambung ....
12 Oktober 2020
04.42 WIB
[Revised]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top