Bab 11. Kamu Masuk Angin
Ily mengumpulkan rambut menjadi satu, kemudian mengikatnya. Jari-jari lentik milik gadis bersurai panjang itu meraba, merapihkan seragam kerja yang melekat di tubuhnya. Kini, setelah tiga minggu berlalu. Serangan lemas dan lelah itu mulai terbiasa Ily rasakan. Dia mencoba untuk tidak berpikir yang bahkan belum terjadi.
Mulai hari ini, Ily bertekad akan kembali menjadi dirinya yang selalu tersenyum. Tak ada alasan lagi yang bisa membuatnya berlarut dalam kesedihan. Toh, apa yang selama ini ditakutkan tak pernah terjadi, dia masih baik-baik saja sampai saat ini.
Ily menganyunkan kaki ke dapur. Meja saji kosong, tak ada pesanan yang bisa di antar. Maniknya menyapu ke seluruh penjuru meja pengunjung. Tak ada customer yang belum dilayani. Sepertinya semua sudah teratasi.
Bagaimana Ily bisa tahu. Mudah saja, nomor meja yang menghadap searah dengan pintu cafe pertanda kalau meja itu belum di kunjungi oleh pramusaji. Tugas pramusaji di sini, selain mencatat pesanan juga harus bisa memastikan nomor meja sudah di balik arahnya. Sehingga nomor meja bisa terlihat dari dapur.
"Ly, cowok yang di pojokan itu siapa, sih? Pacar lo, ya? Perasaan sering banget kesini," ujar Nada saat dia tiba di dapur.
Ily kontan menoleh pada ke arah manik Nada tertuju. Halim, sepertinya memang Halim yang ada di sana. "Bukan, itu kakak kelas SMA gue. Cuma temen aja."
"Masa sih, semenjak lo kerja di sini. Dia jadi pelanggan yang rutin datang ke sini. Buat apa coba kalo nggak demi deketin, Lo."
Ily menerawang jauh ingatan-ingatannya. Nada orang kedua yang mengatakan itu setelah Gravi. Mengapa begitu, padahal Ily tak merasakan apa yang mereka ucapkan. Perhatian Halim juga masih wajar jika disebut sebatas teman.
"Gue rasa, itu cowok naksir sama lo."
Ily langsung memijat kening. kalimat asal-asalan Nada, entah kenapa malah memantik denyutan-denyutan di dahi. Ily tak ingin dirinya jadi bersikap Canggung karena hal ini. Hembusan napas panjang Ily menarik perhatian Nada.
"Kenapa?"
"Eeengh ... bentar-bentar gue kebelet pipis."
Ily berlari meninggalkan dapur kalau masuk ke pintu lain. Dari banyak kegiatan yang dilakukan, yang sangat mengganggu dan menguras tenaganya tak lain adalah karena kebiasaan sering buang air kecilnya ini.
Sekembalinya Ily dari toilet, Nada sudah tidak ada di tempat. Dan sepertinya, pengunjung sudah mulai berdatangan. Begitu juga dengan pesanan yang sudah siap untuk disajikan.
Ily mendekat pada meja saji mengambil satu nampan berisi pancake vanilla juga milkshake vanilla. Mengantar nampan itu kemeja nomor 24. Aroma manis vanilla yang lembut menusuk, melekat ke rongga hidung. Rasanya sangat menggugah selera. Koki baru yang Rendi cari bahkan lebih berbakat daripada Anjani.
Di tengah-tengah langkah membawa nampan, tiba-tiba saja perut Ily mendadak terasa kembung, bergejolak, seperti ada sesuatu yang ingin naik ke permukaan. Dia menahan mati-matian rasa mual itu.
Setelah berhasil mengantarkan sajian ke meja pelanggan. Ily mengatupkan bibir, kedua tangannya menutup rapat mulut. Lantas berlari, melewati meja-meja juga dapur. Tak peduli dengan pertanyaan dari Nada ataupun pengunjung yang bisa saja melihat aksinya. Yang terpenting sekarang adalah dia tidak mengeluarkan muntahannya di sana.
"Hoek, hoek ...."
Memuntahkan keluar semuanya di kloset. Tak ada apa pun kecuali cairan bening. Ily membasuh mulutnya, berkumur menghilangkan rasa pahit di mulut.
Aku kenapa, batin Ily meratap.
Manik gelap Ily memandang kosong sekitar. Ia tak pernah mual dengan aroma vanila, dirinya bahkan sangat suka. Mata Ily kontan melebar, kaki dengan flat shoes hitam itu melangkah mundur sampai punggungnya menempel dinding.
Enggak, enggak mungkin.
Dirinya tidak mungkin hamil. Ily pasti hanya masuk angin. Mengingat pola hidup selama hampir satu bulan ini tidak begitu sehat. Tidur malam, stress, makan tidak teratur. Kelopak Ily terpejam.
Aku gapapa.
Menghembuskan napas pelan, telapak Ily menangkup wajahnya. Berulang kali merapalkan mantra bahwa tak ada yang terjadi pada dia. Ily putuskan untuk keluar dari bilik toilet. Ia masih harus bekerja, kakinya bergegas melangkah masuk ke dapur.
"Ly, ke mana aja? Itu loh meja saji penuh, Nada keteter," celetuk Alya, rekan kerja Ily yang bertugas menata sajian di piring.
Gadis yang kuncir kudanya di cepol itu mengangguk, megantarkan pesanan pada meja pengunjung. Berusaha mengenyahkan semua ketakutan juga kegelisahan yang semakin menjadi-jadi.
Seperi biasa, Ily pulang kerja di waktu menjelang maghrib. Di dalam gang, Ily melangkah pelan sambil kembali memikirkan semua ucapan Nada.
"Gue beneran gapapa, Nad. Cuma masuk angin biasa," ujar Ily untuk yang kesekian kali, berusah meyakinkan.
"Gak ada Ly orang masuk angin terus muntah gara-gara abis nyium bau perasa vanila."
Ily terdiam, kepalanya menunduk dalam. Sebenarnya apa yang ingin Nada coba sampaikan.
"Dari awal, sebulan lalu, yang lo alami tuh kelelahan, terus beser, abis itu mual. Udah mirip kaya tanda kehamilan tau."
Seolah ada ribuan volt listrik yang menyengat di sekujur tubuhnya, Ily tergugu membatu tak merespon sedikit pun.
"Amit-amit lah, lo gak bakalan kaya gitu. Lagian mau hamil ama siapa? Pacar aja kagak punya, masa iya ama kucing tetangga." Nada tertawa kecil mendengar kalimatnya sendiri.
Di dalam gang sempit itu, Ily melangkah pelan memikirkan perkataan perempuan bersurai pendek itu. Beser, Ily tak pernah tahu ada tanda kehamilan yang seperti ini. Dada Ily bergemuruh, seluruh telapak tangan dan kakinya mendadak berselimut keringat dingin. Bagaimana jika yang dikatakan Nada benar.
Langkah kaki Ily terhenti, bersamaan dengan kelopak yang terpejam. Artinya ada benih di dalam tubuhnya. Satu tangannya mendarat di kening, memijit sekilas, lalu telapaknyaengusap wajah hingga ke dagu.
Ketika hendak menyebrang jalan, betapa kagetnya Ily, mendapati seorang laki-laki berdiri di sebrang sana. Di halte tempat ia biasa menunggu bus. Alih-alih tersenyum menyapa, sambil melintasi jalan raya Ily memilih melihat ke arah lain.
Mau ngapain lagi, sih, batin Ily.
Ily langsung duduk di bangku halte. Seolah tak kenal, ia tak menegur atau tersenyum sekadar menyapa pada laki-laki berkemeja kotak-kotak. Dalam hati, Ily tertawa pelan. Dia selalu datang menemui Ily, entah di cafe atau di halte ini. Namun, saudara tiri lelaki itu, yang notabenenya adalah kekasih Ily, bisa dihitung dengan jari kedatangannya menemui Ily.
"Gimana UTBK-nya, lancar?" Halim bertanya membuka percakapan.
"Iya"
"Lo puas sama jawaban lo?"
"Puas." Lagi-lagi Ily menjawab singkat, bahkan tanpa sekali pun melirik Halim.
Ily tak tau harus kesal dengan siapa. Tidak mood, itu saja yang membuatnya malas berbincang dengan siapa pun. Melihat Halim, selalu membuat Ily jadi teringat Gravi.
Sepasang mata bulat terpejam, jari-jari tangannya terlipat, saling menggenggam. Berusaha menghalau ketakutan yang bersarang di kepalanya. Tak bisa dibayangkan, akan seperti apa nasib Ily nanti jika sampai ada bagian dari Gravi yang tumbuh di dalam rahimnya.
"Kalo gitu ayo pulang." Pergelangan Ily ditarik sampai-sampai perempuan itu sontak berdiri.
"Enggak," sentak Ily kembali duduk.
"Denger gak yang gue bilang barusan?"
Alis Ily menyatu, ia tak mendengar satu kalimat pun yang Halim ucapkan selain pertanyaan seputar UTBK-nya tempo hari.
"Gak dengerkan pasti."
Ily masih mengatupkan bibir. Maniknya melihat sekilas Halim yang berdiri menjulang di hadapannya. Kenapa Halim mendadak jadi menyebalkan begitu.
"Kebanyakan bengong, sih. Bis terakhir udah lewat tadi."
Hah, masa sih. Dari tadi aku melek ya, gak liat ada bis lewat.
"Yakin mau nunggu sampe Isya?"
Halim menarik lagi pergelangan Ily. "Kelamaan bengong." Halim sempat terkekeh kecil sebelum akhirnya ia tiba-tiba tersungkur ke tanah.
"Udah berapa kali gua bilang, jangan deketin Ily!"
Garvi datang dengan bogeman di tangan. Kejadian berlangsung begitu cepat. Ily yakin, Halim tak bisa melawan. Bahkan Ily yang cuma menonton saja megap-megap tak karuan. Gravi terlalu gesit. Hanya dalam hitungan 60 sekon, Ily melihat darah segar mengalir dari hidung Halim.
Tersadar, Ily langsung menarik hoodie navy yang Gravi pakai. "Berhenti, Gravi berhenti."
Pergerakan terhenti, Ia mundur menjauh dari Halim. Dengan napas terengah, Gravi menyambut cekalan tangan Ily lalu mengahadap pada gadisnya. Meneliti setiap lekuk wajah Ily. Ditariknya bahu mungil Ily dalam dekapan. Menghirup dalam-dalam setiap bau khas keringat Ily bercampur parfume yang seolah-olah menjelma jadi candu bagi Gravi.
Tangan Gravi mengusap pelan punggung Ily. "Aku kangen kamu."
Sudah hampir sebulan memang, Ily tidak berkontak dengan Gravi. Dalam dekapan Gravi, Ily bisa dengan jelas mencium harum tubuhnya. Yang entah kenapa malah membuat perut Ily seperti diaduk-aduk. Mual.
Kontan Ily mendorong kuat-kuat dada Gravi. Melangkah mundur, sambil menutup rapat mulutnya. Tak tahan, ia ingin memuntahkan semua sampai lega di samping tiang halte dekat pohon cemara. Ily meludahkan semua cairan bening.
"Hoeeek. Hoeeek ...."
Tangan Ily menepis Gravi yang mencoba memijiti tenguknya. "Jangan deket-deket." Ily mengacungkan tangan, "kamu bikin aku mual."
"Apa, kenapa? Badan aku bau?"
Halim berjalan melewati Gravi, mendekat pada Ily. "Ayo, pulang."
"Ily biar gue yang anterin pulang."
Ily berjalan mengekori Halim. Hari itu untuk pertama kali, Ily pergi meninggalkan Gravi. Saat tubuhnya berpapasan dengan Gravi, Ily menghentikan langkah sejenak.
"Aku harus segera pulang, kamu juga pulang ya."
"Jangan pulang sama Halim. Aku pesenin kamu Grab, ya." Gravi mencekal tangan gadis itu saat ia hendak melangkah.
***
"Mbak Na ... nih, ada bakso. Ibu baru beli."
Ily bangun dari rebahannya. Melihat jam yang masih kenunjukkan pukul setengah empat sore. Dengan pening yang bersarang di kepala, Ily keluar kamar. Di ruang tamu, di sana Delia duduk dengan mangkuk baksonya. Ily menelan saliva, bakso itu terlihat sangat enak.
Ia duduk di samping Delia. Uap bakso mengepul dari mangkuk milik adiknya. Aroma daging bulat itu kini tidak hanya menggugah selera Ily, tapi juga rasa mual persis seperti yang kemarin. Dengan gerakan biasa, Ily meninggalkan adiknya dan lari menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur.
Ily memuntahkan semuanya, kali ini makan siangnya juga keluar. "Hoek, hoeeek."
Berulangng kali begitu. Dan berulangkali pula ia memuntahkannya di dalam gayung, berharap bisa membendung suara agar tidak menggema di kamar mandi. Meski belum pasti, apa ini mual hamil atau masuk angin. Ily hanya tak mau orang rumah menaruh curiga.
Apalagi ibunya.
Ily membuang cairan perutnya ke kloset. Mengambil air dengan gayung lain untuk mencuci gayung bekas muntahannya tadi. Ily teringat dengan ucapan Gravi kemarin sore. Iya, akhirnya,l Ily pulang dengan Grab yang Gravi pesankan. Ketika sedang menunggu, Gravi tiba-tiba menanyakan hal yang jawabannya belum Ily ketahui dengan pasti.
"Kamu lagi masuk angin kan, Ly?" Diujung bangku Gravi sedikit berteriak mengatakannya.
Ily tak tahu harus menjawab apa. "Aku belum pastiin."
Gravi sedikit menggeser duduk mendekat pada Ily. "Aku yakin. Karena sekali pun, aku gak naro itu di dalem. Aku buang keluar semuanya."
"Kamu gak akan hamil, Ily."
Ily paham dengan maksud kalimat Gravi. Sama seperti dirinya, Gravi juga tak ingin ada kehamilan Ily. Lagi, detak jantungnya betalu kencang. Bagaimana jika Ily hamil. Gravi, apa lelaki itu mau bertanggung jawab.
"Ratnaaa, ibu beli bakso buat Ratna kok gak dimakan?"
Sepertinya Shinta ada di dapur. Tangannya mengusap sekitar pipi dengan baju. Ily hanya bisa berharap suara muntahnya tadi tidak didengar sang ibu.
"Ily baru selesai makan nasi, Bu. Udah kenyang," jawab Ily sekeluarnya dari kamar mandi
"Ibu denger, tadi kamu muntah. Masuk angin lagi?"
Ily mengangguk, menjawab setenang mungkin, "Kayanya gitu, Bu. Soalnya semalem Ratna gak bisa tidur, kepikiran sama hasil UTBK nanti sore."
Ibunya tersenyum. "Setelah hasil UTBK keluar, gak boleh masuk angin lagi."
Dada Ily berdegup kencang, telapaknya mendingin. Apa kalimat Shinta yang tadi adalah pertanda bahwa Ily sudah mulai dicurigai. Tidak, Ily tidak akan hamil.
"Gimana hasilnya, Ly?"
Semua orang yang ada di ruang tamu terdiam, sementara Ily menunggu halaman LTMPT di chrome terbuka. Detik selanjutnya halaman muncul, hasilnya. Ratna Ilya Puspitasari ....
"Lulus Bu, Ratna lulus UTBK."
Semua yang ada di ruang tamu mengucap syukur bersamaan. "Bapak dukung kamu ikut SBM. Kamu harus kuliah, Nak."
Ibunya mengangguk lantas menyahut, "Ibu sama bapak akan usahain uangnya."
"Kak Disti juga bakal bantu, jangan khawatir, Na," kakak satu-satunya juga turut mendukung.
Ily tersenyum, padahal dalam hati dia menjerit keras. Berharap semoga Tuhan mengabulkan doanya. Doa yang selalu ia inginkan. Dia tidak hamil. Itu saja.
Bersambung ....
10 Oktober 2020
15.00 WIB
[Revised]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top