Bab 10. Kata Gravi yang Dulu

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Ily terbaring memandang langit-langit kamar. Entah kenapa dirinya merasa sangat lelah hari ini, padahal ia tidak melakukan pekerjaan berat apa pun sejak tadi pagi. Hanya menyapu dan mencuci piring, itu saja. Seharian ini juga, dia tidak belajar sedikit pun untuk mempersiapkan UTBK dua hari lagi.

Ily berguling, meraih ponsel di meja belajarnya. Kembali telentang lalu menekan-nekan layar pipih itu. Dibukanya aplikasi pesan berwarna hijau. Ada satu pesan dari Gravi.

🖤💖
Gmn keadaanmu, Ily?

Lagi, Ily hanya membaca pesan Gravi tanpa mengetikkan balasan. Sudah satu minggu sejak Ily menginap di apartmen Gravi, sejak itu pula dia tidak pernah merespon pesan atau panggilan dari kekasihnya. Ily meletakkan ponsel disamping, lalu memiringkan badan.

Jangan-jangan kelelahan yang aku alami sama seperti kelelahan yang Anjani rasakan. Tidak-tidak, aku tidak akan mengalaminya, batin ily.

Dari luar pintu, Sinta mengetuk dan memanggil namanya. "Ratna jagain warung Ibu. Delia belum pulang, Ibu mau sholat dulu."

Ily bangkit dari tidurnya, terduduk di kasur lalu menjawab, "Iya Bu Ratna jagain warungnya."

"Ya udah, Ibu berangkat dulu."

Dengan tubuh lemas, Ily melangkah keluar kamar lalu bergegas menuju ke teras rumah. Ily meraba meja, lalu duduk di kursi yang ada dengan perlahan. Kelopaknya menyipit, di luar sini terlalu terang. Baru beberapa menit duduk, Ily sudah merasa sangat ingin kembali merebahkan diri di kasur. Rasa pening merambat dari dahi hingga kepala belakang.

Apa aku meriang gara-gara setiap malam nangis terus, ya, batin Ily dalam hati.

Tak tahan dengan rasa pusing yang menjalar di kepala. Ily melipat tangan di meja lalu meletakkan kepala di atasnya. Beruntung hari ini kafe tempat dia bekerja masih tutup, sehingga Ily tak khawatir akan bolos.

"Ratna kok tiduran di sini?" teguran Shinta membuat Ily kembali menegakkan punggungnya.

"Lagi nggak enak badan?" tanya Sinta lagi.

Gadis itu menganggukan kepala lantas berujar, " Kayaknya gitu, Bu."

"Kalo gitu itu Ratna makan dulu sana, habis itu istirahat lagi di kamar. Jangan terlalu dipaksain belajarnya, badannya juga perlu istirahat."
.

Ily pikir, pertemuannya dengan Bianca juga Gravi di cafe tempo hari adalah pertanda. Bahwa Gravi akan menjaga jarak dengan perempuan berdarah campuran itu. Namun, rupanya Gravi tidak berniat untuk melakukannya. Saat ini, di pinggir trotoar ketika Ily hendak berbelok ke jalan setapak di antara dua gedung, dengan mata kepalanya sendiri. Di sana Bianca juga Gravi yang baru keluar dari kafe sama-sama masuk ke dalam mobil.

Rasa sesak menyeruak di dada, kaki berbalut celana panjang kainnya berlari melewati mulut Gang. Apa itu, Gravi bahkan masih jalan dengan Bianca. Tetes demi tetes butiran bening meluncur di sepanjang pipi. Ily lantas masuk ke dalam bilik toilet, menangis tersedu di sana.

Gravi, apakah benar dia mencintai Ily. Gadis berkuncir kuda ini ingin percaya, tapi kenapa sangat susah rasanya. Keraguan yang dulu sempat mengganggu, kembali mendera pikiran Ily.

Tiba-tiba saja pintu bilik toilet nya di ketuk, "Ly, lo nggak apa-apa di dalem?"

Mata Ily melebar, ia segera menghentikan isak tangis lalu mengusap mata yang agak basah. Nada kembali menegurnya. "Iya, Nad. Gue gapapa."

"Ya udah, kalo gitu gue ke dalem duluan." Ily menghembuskan napas lelah, apa yang akan ia katakan jika Nada bertanya padanya.

Ily kembali duduk di kursi dapur. Tak banyak pengunjung yang datang. Jika dihitung ia hanya melayani sepuluh pelanggan sampai detik ini dan sudah sebanyak itu pula dia duduk di kursi ini. Tangannya memijat pelan kening yang terasa sedikit berat. Kelelahan ini, Ily yakin pasti karena terlalu banyak pikiran yang ada di kepalanya. Kelelahan yang ia alami bukan seperti Anjani.

"Kenapa lo, nggak enak badan?" Ily mengangguk saja. Tiba-tiba Nada menarik tangan Ily masuk ke dalam ruang pekerja, mendudukan Ily di bangku kayu panjang.

"Kalo ada masalah terus kudu nangis, jangan nangis di toilet umum napa, sih. Untung gue yang denger, kalau anak lain gimana?" Nada menghembuskan napas pelan.

"Gue nggak tahu masalah lo apa, tapi bukannya dua hari lagi lo mau UTBK kan? Lo harus fokus sama UTBK aja. Masalah lain jangan dipikirin dulu."

Masalah ini ini lebih dari sekedar utbk, batin Ily.

"Thanks, Nada."

Nada tersenyum sekilas disusul tangan yang menepuk dahinya sekali. "Gue sampai lupa. Sebenarnya, tadi tuh gue mau kasih tahu kalo HP lo bolak-balik berdering. Mending lo cek deh, siapa tau penting."

Nada melenggang pergi dari ruangan. Sedangkan Ily membuka loker, mengambil ponsel dari dalam tas. Ada banyak panggilan tak terjawab dari nomor Halim juga satu pesan darinya.

Halim: Gue tunggu lo di meja depan Cafe. Kalo udah pulang mampir ya. Bentar doang, gue mau ngomong sesuatu

Apa lagi yang mau Halim bicarakan.

Dan di sinilah Ily, untuk kesekian kalinya. Ia duduk berhadapan bersama dengan saudara tiri pacarnya. Sedangkan kencannya dengan Gravi, bisa Ily dihitung dengan jari. Miris sekali, semakin lama rasanya Ily seperti pacaran dengan Halim bukan dengan Gravi.

"Kenapa lemas lesu gitu?"

Halim memulai percakapan dengan pertanyaan yang saat ini sangat-sangat Ily hindari. Sekentara itukah wajah lelah Ily, sampai Nada bahkan Halim menanyakan hal yang sama hari ini.

"Cuma capek aja."

"Lusa UTBK nya bakal di mana?"

"Kepo," balas Ily disambung sebuah kekehan kecil.

Halim dengan segala keingin tahuannya mulai menanyakan banyak hal ini dan itu. Dengan gelengan dan anggukan pula Ily menjawab semuanya. Kadang Ily heran sendiri. Kenapa dulu, dirinya tidak jatuh cinta dengan Halim, malah kepincut Gravi. Gravi yang notabenenya memang tidak terlalu banyak meluangkan waktu untuk dihabiskan bersama Ily.

Ah, tapi memang itu yang membuat Ily jatuh hati pada dia. Ily masih ingat dengan detail, kalimat Gravi saat itu.

"Cinta dan cita-cita, dua hal itu berbeda. Cinta itu hal yang harus aku jaga, cita-cita itu ... hal yang harus aku kejar. Menjaga beda, ya, nggak sama dengan membiarkan. Aku akan tetep jaga cinta aku, sembari mengejar cita-cita. Kamu juga, harus begitu."

Ily tak hentinya berpikir. Apakah dekat dengan Bianca, salah satu bagian dari mengrjar cita-cita yang Gravi maksud. Teman kampus? Ily tertawa hambar dalam hati. Gravi berkilah seperti tak ada teman laki-laki saja.

"Ily, Ly~"

"Hm, eh iya apa, Kak?"

"Lo bentar lagi UTBK. Ga usah mikir masalah dulu. Rileks, kurang dua hari bukan buat belajar lagi. Buat istirahat sama netralin pikiran. Jangan dijadiin beban."

Ily terkekeh lagi. Ketimbang jadi seorang ayah, Halim lebih cocok menjadi seorang ibu. Kenapa gak jadi cewek aja, sih. Ily terbahak dalam hati.

Alis Halim menyatu, melempar tatapan aneh ke arah Ily. "Dih, dih, mau ngakak kan? Ga usah ditahan."

Ily malah menutup mulut dengan satu tangannya. "Bawel banget kaya cewe," komentar Ily.

"Biarin, gue bawelnya cuma sama lo ini."

Ily membulatkan mulutnya. "Jadi, Emaknya aku mau?"

Halim pura-pura berpukir, mengusapkan telunjuk dan ibu jari di bawah dagu. "Boleh, kalo gitu nanti kerokin Mak ya, nak. Emak masuk angin, nih."

Ily tertawa, kali ini lebih lebar dan lebih lepas. Dia tak peduli pada Halim yang diam-diam tersenyum memerhatikan. Sejak dulu Halim memang begitu, hobi sekali membuatnya tertawa.

"Lusa gue antar-jemput UTBK, ya." Halim tiba-tiba berceletuk.

Ily diam, menimang jawaban. Jadi, ini alasan Halim mengajak Ily berbincang. Kenapa bukam Gravi yang mengatakan itu.

***

Pukul 13.18 WIB

Cafe tempat Ily bekerja ramai pengunjung mengingat ini adalah hari minggu. Dengan langkah ringan Ily mendatangi meja customer. Tersenyum ramah pada dua orang pengunjung di meja itu.

"Mbak sama Masnya mau pesan apa?" tanya Ily dengan ramah. Satu dari Customer di meja ini menampakkan wajah yang nampaknya kesal.

"Lelet banget sih, pelayanannya," celetuk perempuan di meja itu dengan nada sewot. Sudah Ily duga.

"Mohon maaf atas ketidak nyamanannya. Untuk kedepannya, kami akan berusaha memperbaiki."

"Iya ga masalah," ujar pria di meja itu lalu kembali menenangkan pacarnya.

Setelah menulis pesanan, Ily bergegas menuju dapur, meletakkan kertas pesanan di wadah kotak. Lalu berlari menerobos ruang pekerja dan masuk ke bilik toilet.

Baru satu jam bekerja, sepertinya sudah hampir sepuluh kali dia bolak-balik ke kamar mandi untuk buang air kecil. Rasanya begitu mengganggu dan cukup melelahkan. Meski begitu Ily tak mengapa, hari ini cukup melegakan, UTBK sudah selesai Ily lewati.

Semua usahanya belajar mati-matian selama tiga tahun di SMA tak sia-sia. Empat jam berada di ruangan ujian itu, soal-soalnya cukup akrab dengan Ily. Ia sangat bersyukur bisa menjawab ke-80 soal itu dengan mudah.

Ily membuang napas pelan. Mimpinya tinggal di depan mata. Semoga saja, ia tak akan berakhir seperti Anjani.

Sore hari, sekitar pukul lima sore. Nada dan Ily, seperti biasa mereka duduk di kursi panjang dekat loker. Entah karena apa, jam tutup cafe menjadi pukul 9 malam. Maka dari itu Ily jam kerja Ily sudah selesai sejam lebih awal. Giliran Khansa dan lainnya yang bertugas.

Perempuan 23 tahun berambut pendek itu membuka percakapan. "Gimana UTBK lo? Lancar kan?"

Ily mengangguk semangat, senyum tak lupa menghiasi wajahnya. "Alhamdulillah lancar banget. Makasih buat doanya."

"Eh, BTW siapa sih cowo-"

"Bentar Nad, gue pengen ke toilet dulu, udah kebelet, nih," Ily memotong ucapan Nada lantas berlari ke toilet.

Kembalinya dari belakang. Nada memandang Ily dengan tatapan heran. "Lo kok jadi beser¹ sih, Ly? Gue perhatiin dari siang lo bolak-balik ke belakang mulu. Lo beneran gak apa-apa?"

Ada yang salah dengannya. Memang salah jika ia buang air kecil terlalu sering. Ily diam, tak menjawab pertanyaan Nada. Ily tak mengeri maksudnya.

"Emang kenapa?"

Nada diam, matanya melirik ke arah lain. "Gapapa, sih." Dia terkekeh, terkesan dipaksakan.

Kenapa sih, aneh.

Bersambung ....

Beser¹ : sebenta-sebentar kencing

10 Oktober 2020
00.07 WIB

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top