Yesterday Once More
Yesterday Once More
“Dia ingin mati saja, dia benar-benar merasa konyol sendiri terhadap refleknya. Sungguh itu sebuah ketidak sengajaan, atau barangkali Chuuya sendiri yang sering lupa bahwa nama Sachi bukan lagi Kumako.”
• • •
Yesterday Once More; diambil dari lagu kesenanganku yang dinyanyikan The Carpenters
Bungou Stray Dogs © Asagiri Kafka
Story © Sachan
sachandez
Nakahara Chuuya x Kumako Sachi/Sachan (OC)
Warn : OOC! Soft Chuuya, Alternatif Universe, OC! sedikit little kissing tapi tidak bahaya, EYD yang tidak disempurnakan, typo(s), sudut pandang yg berubah-ubah, dll.
[kupersembahkan untuk ulang tahun SFragment yang sudah memperkenalkanku dengan kalian kenalan-kenalan tersayangku]
*DLDR*
• • •
[chuuya]
Rasanya baru kemarin ia menemukan Sachi di pekarangan belakang sekolahnya. Baru kemarin, Chuuya lebih dari terkejut mengira bahwa yang dilihatnya adalah makhluk halus yang iseng mengganggunya. Baru kemarin, mereka bercakap-cakap, hanya berdua, membicarakan apapun yang dapat dibicarakan; bumi itu bulat, cuaca hari ini atau tujuan manusia diciptakan. Semuanya terasa baru kemarin, dimana ia memanggil Sachi dengan sebutan 'Kumako' dan Sachi yang memanggilnya dengan 'Nakahara-senpai'. Dan hanya perlu memangkas beberapa waktu saja, panggilan itu berubah cepat menjadi 'Sachan' dan 'Chuuya'. Tak ada embel-embel, semuanya terasa lebih akrab untuk sekarang.
Chuuya sendiri sering tak percaya, mereka dapat menjadi sedekat ini. Ia sering memikirkan hal ini, dimanapun, mandi, sebelum tidur, saat makan dan mengerjakan apapun yang bisa dikerjakan. Bahkan ketika ia insomnia, dan mengeluarkan unek-unek itu ke Osamu yang kebetulan menemaninya selepas lembur dari pekerjaan yang diberikan tanpa simpatik oleh bosnya.
Osamu sendiri waktu itu hanya membalasnya dengan kalimat yang tersimpan rasa letih, terlihat tak ingin meladeni, tetapi anehnya Chuuya melihat senyum di wajahnya. "Kau bodoh Chuuya. Mengapa dipikirkan terus menerus sih? Itu namanya jodoh, chibi." Dan ia bodo amat dengan ejekan yang diselipkan Osamu, tetapi ia mengakui ucapan Osamu ada benarnya.
Ia tidak perlu memikirkannya, benar juga. Chuuya sangat ingin mekakukannya jika bisa. Namun setiap kali ia tak ingin memikirkan seberuntung apa dia dapat menjadi dekat dengan Sachi, pikiran itu seperti telah menancap permanen di tempurung kepalanya.
Ia tak pernah seperti ini, Chuuya sendiri sering heran terhadap dirinya sendiri. Apakah jatuh cinta dapat membangkitkan kepribadian lain di setiap manusia? Ia tak pernah mendapat jawabannya, bahkan hingga saat ini, dimana dia tengah melahap omurice hasil mengantri di restoran sebelah dan Sachi yang ada di hadapannya. Dimana mereka telah menjadi sepasang kekasih untuk sekian lamanya.
"Hei Chuuya."
Chuuya kembali menapak masa kini. Ia menoleh ragu, memandang Sachi yang balas menatap dengan matanya yang selalu datar. Chuuya sempat kehilangan fokus sejenak, jika dia tidak terus-terusan mengingatkan kepada dirinya sendiri untuk tetap fokus.
"Apa?" Chuuya tahu suaranya terdengar bodoh, ia berusaha untuk tak memperdulikannya.
Tapi tawa Sachi mengudara dengan tiba-tiba. Satu alis Chuuya terangkat, bertanya-tanya mengapa Sachi mendadak tertawa-tawa sendiri. Mulutnya membuka, baru akan menanyakan otak kekasih nya ketimpa sesuatu atau bagaimana, namun pikirannya lebih dulu bekerja dan menyimpulkan sendiri. Chuuya mendengkus, tentu saja gadis itu menertawakan suaranya dan raut wajahnya yang kelewat konyol. Apa yang diharapkannya? Jadi untuk menghilangkan rasa malu yang membakar pipinya, Chuuya melahap semua omurice yang tersisa.
"Jangan tertawa!" Dan ia melempar sendok ke arah Sachi, setelah menelan habis makanannya.
Sachi mengerang sejenak. Tetapi ia kembali tertawa, tak memperdulikan peringatan kekasihnya. "Kamu lucu," balasnya di sela-sela tawa.
Chuuya merasa jantungnya turun ke dasar perut, ketika ia melihat Sachi yang tertawa seperti itu. Ini aneh, ia tidak tahu mengapa ia selalu terpesona terhadap semua hal yang berada dalam diri Sachi. Ia selalu merasa gugup, tersipu, hanya karena melihat gadis-yang kata banyak orang itu tak pernah punya pesona sama sekali-tertawa. Padahal semua orang bisa tertawa seperti itu, tetapi Chuuya merasa hanya tawa Sachi-lah yang dapat memikat ketertarikannya.
Ah... Sepertinya ia memang sudah bucin mampus terhadap Sachi. Perkataan Osamu memang ada benarnya. Untuk sekarang mengapa harus ia pikirkan, menambah beban stress saja. Jika memang dirinya dan Sachi ditakdirkan, Chuuya tak perlu repot-repot memikirkannya. Selama Sachi bahagia dengannya, ia tak perlu bertanya-tanya apa kebaikan yang dilakukannya di masa lalu hingga dapat memiliki Sachi.
Toh, bukannya pusing memikirkan harusnya ia menikmatinya, bukan? Chuuya sendiri juga sudah merasa usaha yang dilakukannya tidak sia-sia, ketika ia setiap hari mencoba latihan di depan kaca hanya untuk mengajak Sachi menjadi kekasihnya, atau ketika ia memohon restu dari kembaran Sachi yang sister complex-nya kelewat batas.
Jika ini memang hadiah Tuhan untuknya terhadap semua kerja keras yang ia lakukan, tentu ia tidak boleh menyia-nyiakannya.
"Hei."
Chuuya kembali menapak ke masa kini. Sachi telah berhenti tertawa, menatapnya kembali.
"Besok mau datang ke pesta yang diadakan SMA BSD? Kita yang alumni diundang juga loh." Sachi menunjukkannya sebuah gambar undangan dari gawainya. Chuuya sempat menaikkan satu alisnya, saat ia membaca gambar undangan yang ditunjukkan.
"Kau mau?"
Chuuya sendiri merasa jengah jika mengikuti pesta untuk sekarang, tetapi ketika melihat ekspresi Sachi yang mengajaknya, ia tak mau memutuskan harapan kekasih nya. Biarlah ia diterjang hari lembur dan pekerjaan yang belum selesai. Selama Sachi senang, dia juga akan senang. Kebahagiaannya hanya berdasar ketika melihat Sachi yang bahagia juga.
Sachi mengangguk. "Sebenarnya aku tak suka keramaian, tetapi aku ingin bertemu yang lain juga." Sesaat Chuuya baru ingat, bahwa Sachi adalah pribadi tertutup yang tak menyukai pesta dan semacamnya (bahkan gadis itu tak pernah punya teman, ketika mereka bertemu pertama kali).
"Baiklah. Kalau begitu...." Chuuya melirik gawainya, ada beberapa notifikasi dari group chat alumni kelasnya saat SMA dulu, ia membalas cepat lalu kembali memandang Sachi. "Aku akan cuci piringnya, kau mandilah."
"Oke."
Rasanya baru kemarin mereka berkenalan, Chuuya tersenyum. Ia membawa piring mereka ke tempat cuci piring, setelah memerhatikan Sachi yang masuk ke dalam kamar mandi.
Ya, semuanya terasa baru kemarin saja.
[sachan]
Ia merasa diperhatikan, jadilah Sachi menoleh untuk melihat siapa yang menancapkan pandangan ke arahnya hingga membuat bulu kuduknya berdiri.
Hampir, benar-benar hampir saja ia menyemburkan susu coklat yang barusan ia masukkan ke dalam mulut, ketika ia mendadak mendapati setatap abu-abu kebiruan yang berada tak jauh dari tempatnya duduk.
Siapa dia? Sachi bertanya-tanya. Sebenarnya ia ingin mengabaikan keberadaan hawa asing itu, tetapi tatapan yang menancap tajam kepadanya terlihat tak bisa diabaikan. Lagipula mengapa dia melihat seperti itu? Apakah ia ada salah? Tunggu—
Sachi menelan salivanya. Ia menggeser duduknya dan pura-pura tidak membalas pandangan orang asing itu, setelah ia mendapati dasi merah yang dipakainya. Oh mampus saja, dia kakak kelas! Ini salahnya! Salahnya! Sachi semakin kelewat gugup saat ini. Ia merasa tangannya sudah melebihi kebas yang wajar dan batinnya berkomat-kamit ketakutan.
"Hoi."
Bahu Sachi sempat meloncat, ketika ia mendengar suara bariton kakak kelas asing itu memanggilnya (atau menyapa?). Ini lebih menyeramkan daripada kembarannya marah. Sachi ingin menghilang saja, ditelan bumi atau apapun yang bisa menghilangkan eksistensinya. Sebentar, itu sepertinya terlalu dramatis.
"Hoi."
Panggilan itu mengudara untuk kedua kali.
Sachi merasa tenggorokannya mendadak kering. Ia tidak menatap si kakak kelas, namun ia dapat mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat.
Sebentar, dia mendekat? Gawat, ia bisa merasakan jantungnya semakin bertalu-talu keras di tempatnya.
Tenang Sachan, dia bukan siapa-siapa. Ini bukan salahmu. Kau tak buat masalah kok, mungkin. Barangkali dia cuma ingin mengambil sesuatu. Tenang, tenang, tenang—
Semuanya terasa mendadak. Sebuah tangan asing menyentuh pucuk kepalanya. Sachi reflek mendongak, memperhatikan 'kakak kelas bertopi yang sama sekali tidak ia kenal’ itu mengusap kepalanya dengan lembut. Ia sempat kehilangan napas, ketika menyadari situasi yang terjadi.
"Hoo, maaf. Kupikir kau hantu tadi. Ternyata kau bisa disentuh." Tangan ditarik dari sebuah kepala coklat. Sachi masih terheran-heran, bahkan setelah tangan itu tak bersarang ke kepalanya lagi. "Kau tak punya teman?" Dia melanjut, "siapa namamu? Aku akan menemanimu di sini sampai jam istirahat berakhir."
Siang itu, Sachi merasa hilangnya keberadaan kembarannya yang membuat ia menyendiri di pekarangan belakang sekolah tak buruk juga. Kadang ia mempertanyakan cara kerja alam semesta yang mengasal seperti ini.
"Kumako ... Sachi. Senpai bisa memanggilku Sachan."
[chuuya]
Chuuya mendapati banyak orang yang familiar di sana. Pesta yang diadakan di aula memang terlihat sangat meriah, tentu saja hampir semua kemeriahan itu disebabkan oleh alumni yang turut diundang. Sachi berada di sebelahnya, ia mengenggam tangannya terlalu erat, rasa-rasanya Chuuya juga jadi ikut gugup melihat Sachi yang bersembunyi di balik tubuhnya.
Sebenarnya ia sendiri sudah menduga bahwa pesta ini bakal membosankan (juga menduga bahwa Sachi akan gugup seperti ini sebab tak terbiasa dengan keramaian). Chuuya bisa saja menyeret Sachi untuk pulang, tetapi mereka baru sampai dan rasanya tidak sopan juga kalau mereka kembali pulang. Lagipula dipikir-pikir lagi itu terlihat konyol.
Chuuya melirik Sachi dari sudut matanya. "Kau baik-baik saja? Mau pulang saja?"
"Tidak."
Jawaban itu kelewat cepat, tanpa aba-aba. Butuh dua kerjapan, Chuuya baru bisa mengerti situasi. Sebaliknya Sachi sendiri juga terkejut dengan balasannya yang kelewat cepat, seolah bukan dirinya yang menjawab, melainkan akal sadarnya.
"Uh ... Maaf."
"Tidak perlu kau tahu...." Chuuya menyarangkan tangannya ke pucuk kepala Sachi, mengacak-ngacaknya sejenak kemudian tersenyum lebar. "Kita di sini setengah jam, kemudian kita pulang oke?"
Sachi mengangguk, terlihat ragu. Chuuya tahu, Sachi benar-benar nyaman jika hanya bersama kembarannya dan juga dirinya. Ia juga tahu, Sachi mengajaknya ke sini bukan hanya untuk melihat yang lain (yang dimaksud adalah Osamu dan beberapa kenalan Chuuya) tetapi juga untuk memberi Chuuya waktu reuni bersama teman-temannya.
Padahal semua itu tidak perlu, sebab Chuuya sendiri merasa bahwa dunianya berpusat hanya pada Sachi. Sachi adalah hidupnya, gravitasinya, bahkan jika perlu dibuat semakin hiperbola oleh penulis, tanpa Sachi, Chuuya merasa bahwa hidupnya tak akan seberwarna ini.
"Hai! Hai! Kalian!"
Keduanya menoleh bersamaan. Osamu ada di hadapan. Osamu menyapa mereka berdua, dengan jas terkancing rapi dan poni rambut yang disampirkan ke kanan. Chuuya sempat merasa kesal, bersungut-sungut mengapa harus Osamu yang datang. Bukan Atsushi, Fyodor atau yang lainnya.
"Kenapa kau ke sini, Dazai Sialan?!"
"Sachan, apa kabar? Aku tidak melihat kembaranmu, dimana dia?"
Sial, Osamu sialan, sekarang Chuuya merasa terabaikan. Ia mendengkus, ingin menjauh dan tidak berada di tengah-tengah kedua orang yang bercakap-cakap dan menjadi nyamuk. Namun naasnya, Sachi masih bersembunyi di balik tubuhnya dan menahan pundaknya untuk tetap di tempat.
"Ein-san sedang sibuk, jadi tidak dapat ke sini. Osamu-san apa kabar?"
"Hum~ baik kok!" Tanpa memberi respon dari pihak lain, Osamu telah menyambung secepat kereta. "Di sana ada Kyouka-chan dan Yosano-san. Mereka ingin bertemu denganmu, mau ikut?"
Chuuya merasa Sachi meliriknya. Ia menghembuskan napas dan mengangguk, seolah mengerti apa yang ingin dipertanyakan Sachi. Meski ia sedikit kesal—oh tidak sangat kesal lebih tepatnya—jika Sachi ikut bersama Osamu. Ia tidak mengerti mengapa harus kesal, tetapi entah mengapa instingnya buruk saja kalau Sachi menerima tawaran Osamu (atau dia saja yang terlalu sensitif oleh semua hal yang berhubungan dengan Osamu), tapi ia tetap membiarkannya saja mau bagaimana lagi. Toh mereka di sini cuma setengah jam, bukan?
"Aku ikut Osamu-san, tetapi Chuuya harus ikut juga."
Hening.
Chuuya menutup mulutnya, merasa bagian belakang kepalanya mendadak nyeri.
Ia tidak menyalahkan semua anxiety Sachi terhadap sosial, ia juga senang Sachi ingin selalu bersamanya, dan ia juga dengan senang hati bersama Sachi selama pesta. Tetapi Chuuya merasa bagaimana yah. Ini Sachi tak bermaksud mengejeknya 'kan?
Apalagi setelah itu wajah Osamu terlihat ingin ditendang, seolah mengejeknya.
"Oh tentu saja, kau boleh membawa anak kecil maniak topi ini bersamamu."
"URUSAI DAZAI!"
Menyebalkan, sungguh menyebalkan orang di hadapannya ini.
Kadang Chuuya bertanya-tanya, mengapa dia bisa bersahabat-iyuuh-dengan yang namanya Dazai Osamu ini?
[chuuya]
"Sachan, berhentilah memeluk anak itu dan ayo kita pulang."
Lama.
Ini sudah lebih dari setengah jam. Bahkan lebih dari itu, pestanya sudah selesai. Chuuya tak habis pikir rencana mereka berubah cepat seperti ini, akibat Osamu yang mempertemukan Sachi dengan Kyouka. Memang betul insting buruknya patut dipuji. Kekasihnya itu masih asyik memeluk Kyouka hampir dua jam seolah pasangan yuri, Chuuya tak habis pikir dengan sifat gemas Sachi yeng keluar saat melihat hal-hal imut.
Sebenarnya Chuuya sedikit tak enak sih terus menerus mengajak pulang, tetapi mereka sudah ada janji dengan bibinya untuk mengambil sesuatu dan itu tidak bisa ditunda.
"Sachan—"
"Sebentar lagi, Chuuya."
Oke sudah berapa kali Sachi terus menerus mengatakan sebentar lagi tetapi tidak ingin beranjak. Chuuya hanya bisa berusaha sabar dan menunggu sebentar lagi yang ia maksud.
Tetapi ternyata ‘sebentar lagi’ yang terakhir tidak datang juga.
Makin lama Chuuya jengah.
Jadi, ia menarik kerah Sachi dan berteriak reflek. "Oi Kumako Sachi! Ayo kita pulang!"
Semua orang yang masih berada di sekitar mendadak diam.
Osamu menatapnya, Kyouka, Akiko, Ranpo, Ryunosuke dan beberapa orang yang ada di sana. Sachi juga menatapnya, ekspersinya tidak datar, seperti semua orang di sana, melainkan geli yang tertahan. Ketika semuanya tertawa, barulah Chuuya merasa konyol dan malu di saat bersamaan. Dia ingin mati saja, dia benar-benar merasa konyol sendiri terhadap refleknya. Sungguh itu sebuah ketidak sengajaan, atau barangkali Chuuya sendiri yang sering lupa bahwa nama Sachi bukan lagi Kumako.
Melainkan Nakahara Sachi.
Rasanya memang seperti baru kemarin mereka bertemu, tetapi sekarang Sachi sudah menyandang marganya—
"Maaf, maaf, ayo. Kita harus jemput Sachiko, Machiko dan Seiko."
—dan memberinya tiga harta yang berharga.
[sachan]
Sachi memandang Sachiko dan Machiko yang duduk di kursi belakang. Kedua anak kembarnya sudah tidur pulas, bahkan sebelum ia menjemput mereka dari rumah Ane-san. Kemarin keduanya meminta menginap di rumah bibinya, dan Sachiko juga meminta Seiko-anak bungsunya-ikut menginap. Sachi dan Chuuya sendiri tidak dapat ikut menginap, karena mereka banyak pekerjaan, jadinya mereka baru bisa menjemput ketiganya selepas pesta. Ah, entah mengapa rasanya sudah rindu saja dengan anak-anaknya, padahal hanya tidak bertemu satu hari. Sachi kembali menghadap depan, mengelus kepala Seiko yang tertidur di pangkuannya.
"Hei Chuuya." Ia melirik Chuuya yang mengemudi dalam diam. "Aku masih bertanya-tanya, mengapa Sachiko meminta menginap di rumah Ane-san. Tumben sekali."
Chuuya balas meliriknya, sesaat, kemudian kembali fokus ke jalanan di depan. "Entahlah." Suaranya terdengar ringan.
Sachi berbalik memandang jalanan di depannnya. Ia baru menyadari bahwa yang ada di hadapan bukan jalanan yang biasanya dilewati menuju rumah mereka. Ketika pemikiran itu masuk ke tempurung kepalanya beberapa saat, barulah Sachi terang-terangan menoleh ke arah Chuuya dengan pandangan curiga.
"Kita … Mau kemana?"
"Diam dan tidur. Nanti juga tahu."
Hah? Jawaban macam apa itu?
Tapi Sachi tetap saja menuruti perkataan lelakinya.
[yesterday once more]
Sachi terbangun, ketika ia merasakan Seiko menggeliat di pangkuannya. Sepasang coklatnya yang sedikit berair perlahan membuka, ia butuh waktu beberapa kerjapan hingga benar-benar sadar sepenuhnya. Ketika nyawanya sudah benar-benar terkumpul, ia baru menyadari bahwa mobil sudah tak bergerak. Saat itu juga ia reflek menoleh ke sampingnya, dan ia benar-benar hampir melompat kaget mendapati setatap abu-abu kebiruan yang menancap tajam sedari tadi ke arahnya.
Ini deja vu.
Hatinya menyengat.
Sachi dengan reflek memukul kepala senja itu tanpa main-main, membuat Chuuya mengerang sejenak dan memprotes dengan sarkas ‘sambutan yang hangat.’ Bodoh amat juga.
"Sudah sampai? Kenapa mobilnya mati?" Waktunya pengalihan topik.
Chuuya masih memandang Sachi yang sibuk menata tidur Seiko di pangkuannya. Ia masih dalam pose seperti itu (duduk bersandar, tangan dilipat dan menoleh ke samping) hingga Sachi kembali balas memandangnya. Tunas Sachi yang bergerak-gerak, membuat Chuuya tahu bahwa dia menunggu jawabannya. Ah ngomong-ngomong ahoge nya lucu sekali, Chuuya selalu ingin mencabut ahoge itu, tetapi ketiga anaknya malah ikut mempunyai ahoge persis seperti Ibunya.
"Chuuya?"
Chuuya mengerjap. Dua kali. Tersadar dari lamunannya terhadap ahoge—ah kenapa juga dia memikirkan ahoge orang lain sih?! "Sudah," balasnya rendah.
Ia bangkit dari posisinya. Sachi masih memperhatikannya, ketika Chuuya membuka pintu dan memutari mobil untuk membuka pintu Sachi. Sebelum Sachi sempat merespon, Chuuya lebih dulu mengambil alih Seiko, meletakkannya bersama kedua kakak kembarnya di kursi belakang, kemudian mengambil alih tangan Sachi untuk mengikutinya. Sachi menurut saja, meski sempat terheran-heran. Ia baru akan bertanya, ketika setatap coklatnya lebih dulu jatuh pada pemandangan di hadapan.
"Ini ... Taman bermain anak-anak?"
Chuuya mengangguk di sisinya. Ia kembali menariknya kali ini ke tempat ayunan, menyuruhnya duduk di sana, sementara Chuuya pergi ke arah mobil untuk mengambil sesuatu.
Tak lama Chuuya kembali, ketika Sachi menoleh ia dikejutkan dengan sepiring kue coklat yang bertuliskan—
Tunggu! Tunggu! Tunggu!
ADA APA INI?!
Sachi berdiri dari duduknya. Menghadap Chuuya yang mengalihkan pandangan sambil membawa kue. Ekspresinya yang tidak bisa ditahan keterkejutan, membuat perasaan Chuuya sedikit membaik. Sedikit. Tapi gugupnya masih menggelayuti kakinya.
"Chuu—"
"Kau tahu sendiri." Chuuya lebih dulu memotong respon Sachi. Salah satu tangannya menggaruk tengkuk, terlihat salah tingkah, dan pipinya terbakar hebat. "Dazai billang aku cemen oke, kalau aku tak bisa menyelesaikan ini. Kembaranmu juga bilang seperti itu, bahkan repot-repot memberi waktunya untuk bersamamu kepadaku."
Sachi terdiam. Otaknya bertanya-tanya, kemudian tak lama merespon lambat setelah loading selesai. Ah sial, ia lupa kalau sekarang tanggal 4. Bagaimana bisa ia melupakannya?
Satu tarikan napas menjeda. Kali ini Chuuya terlihat lebih tenang dan memandang Sachi. "Kau tahu, kau sangat berharga di kehidupanku. Aku tidak tahu harus membalasnya dengan apa perlakuanmu terhadapku selama ini. Kau tahu sendiri juga, aku tidak bisa memilih tempat yang baik untuk malam ini. Yah, awalnya aku ingin mengajakmu menaiki kereta atau kembali ke sekolah, tetapi tidak ada yang menjaga mereka bertiga di mobil. Kau tahu sendiri waktu kita berdua sangat sedikit setelah memiliki mereka bertiga, jadi Sachiko mengerti dan memberi waktu untuk kita berdua."
"Sachan—ah tidak Nakahara Sachi. Happy Birthday dan Happy Anniversary. Terima kasih telah menjadi gravitasiku selama ini, terima kasih telah menjadi penompang hidupku, terima kasih terhadap afeksi yang kau berikan selama ini, terima kasih selalu bersamaku dan memberikan tiga harta itu kepadaku. Terima kasih telah memutuskan untuk bersamaku sampai babak kehidupan kita dihabisi oleh alam semesta. Mohon kerja samanya hingga semesta memutuskan apa yang terbaik untuk kita dan—" Pipinya semakin terbakar, ketika mendengar suara tawa. "—jangan tertawa, sialan!"
Sachi menghentikan tawanya. Ia balas memandang Chuuya, menatap lebih lama dengan perasaan yang tak dapat lagi didefinisikan. Aneh, ia merasa aneh, sebab tak dapat berhenti untuk tersenyum.
Ia kemudian melirik sekitar, memandang ayunan, jungkat-jungkit, dan semua permainan anak-anak yang ada di sana. Ketika tatapannya kembali tertuju pada Chuuya, ia menggumam pelan. “Pilihan tempatmu memang unik sekali. Bahkan sampai membawaku ke Ikebukuro hanya untuk menuju tempat bermain.” Ia tertawa pelan sejenak. Chuuya di hadapannya baru sempat protes, tetapi Sachi lebih dulu menyambung cepat. “Tapi terima kasih, jujur aku tak pernah benar-benar ke sini, bahkan ketika aku kecil.”
“Oi kau ini ingin bicara apa sebenarnya-“
"Chuuya, terima kasih banyak. Kau tahu kau tidak perlu melakukan ini. Perumpamaanmu dengan balas budi jelek tahu, aku tidak melakukan semuanya untuk mendapat balas budi. Lagipula aku yang seharusnya membalas budi terhadapmu. Tetapi...." Sudut bibirnya tertendang kembali begitu saja ke atas. Sachi menunduk, mengambil jemari lelakinya. Dan tanpa aba-aba menyarangkanh gigitan di jari manis berhias cincin suaminya. "Ini sangat mahal Chuuya. Terima kasih. Mohon kerja samanya sampai semesta memutuskan yang terbaik untuk kita, Nakahara-senpai."
Chuuya pikir jantungnya benar-benar sudah hampir meledak sekarang.
Dan Sachi pikir semua terjadi begitu cepat, begitu mendadak. Chuuya terburu-buru meletakkan kue ke bawah, dan ketika ia mengerjap, ia sudah dihujani berbagai kecupan. Kecupan itu lembut, tidak terburu-buru dan sangat manis. Sachi sendiri sudah setengah sadar, ketika Chuuya berbalik menggigit jari manisnya dan kembali menyarangkan kecup tepat di bibir.
Ketika pagutan itu terlepas, Chuuya memeluknya, begitu lembut dan seolah takut kehilangannya. Ia berbisik pelan tepat di telinganya, "Berisik sekali kau, aku benar-benar mencintaimu.”
Sachi menggigil dalam sentuhan hangatnya. Ia mengangguk, meletakkan kepalanya di bahu Chuuya. "Aku juga sangat mencintaimu.”
"Mari kita selalu bersama sampai semesta menghabis babat jiwa kita suatu hari nanti.”
[nakahara]
“Papa sama Mama kenapa duduk di ayunan gitu?"
"Hwaaa! Ada kue! Machiko mau!"
"Ah berisik. Kapan kita pulang? Aku lapar."
"Hei Sachan."
"Ya?"
“Kau tidak mengunci pintunya?”
“Kau sendiri juga kenapa bisa lupa?”
"Mama! Papa! Kuenya kenapa ditaruh di tanah?!"
“Ah aku ngantuk ... Berisik kakak cerewet!”
“Seiko jangan memanggil Machiko seperti itu! Dia kakakmu!”
“Baik Sachiko-nee.”
“KAU PILIH KASIH SEKALI TERHADAP KAKAKMU?!”
“Ah sudahlah kita lanjutkan nanti. Ayo kita ke sana, sebelum salah satu dari mereka menangis.”
"Haah... Baiklah. Iya kami ke sana!"
“Rasanya baru kemarin mereka masih ingin disuapi.”
~Fin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top