Until Forever, I Will Always Love You

Until Forever, I Will Always Love You

.

.

Violet Evergarden x OC

A fanfiction by VinnyRaph_

.

Happy reading!


***


"Kau mau belajar bermain piano, Licth?"

Cahaya matahari menelusup masuk melewati celah dedaunan tanaman rambat yang ditata rapi sepanjang dinding rumah kaca. Sedang Diana Ainsley, seorang wanita berambut pirang yang tengah duduk di sebuah bangku berwarna putih memanjang  bersama putra kesayangannya yang tersenyum lebar.

Litch Ainsley, anak laki-laki berusia delapan tahun yang mempunyai warna rambut dan mata yang sama dengannya itu mengangguk. Mata hijaunya yang sewarna dengan permukaan danau di musim panas itu berbinar gembira.

"Aku ingin menjadi pianis hebat seperti Ibu!" Litch berseru dengan senyuman manis yang masih mengembang. "Bukan hanya di Leiden, tapi aku akan melakukan pertunjukkan di berbagai tempat dan menjadi pianis yang paling hebat dan membuat Ibu bangga! "

Wanita itu tersenyum, begitu bahagia mendengar keinginan putranya. Tangannya membelai pelan wajah manis Litch dengan hangat. “Kau tidak perlu membuktikan apa pun, karena sejak dulu Ibu sudah bangga padamu.”

Litch, anak laki-laki itu tersenyum sambil menampilkan deretan gigi putih yang masih belum sempurna. Mata hijaunya yang cerah beradu dengan mata berwana hijau milik ibunya yang terlihat sendu sebelum tubuh mungilnya masuk ke dalam dekapan sang Ibu.

“Apa pun yang terjadi, Ibu selalu menyayangimu, Litch.”

 

***


Terik matahari yang menyelusup masuk melewati celah tirai membuatku menyipitkan mata. Tubuhku masih terbaring lelah di atas ranjang, meski sudah terjaga sejak tadi. Bagaimana tidak, mimpi buruk yang selalu menyiksa setiap malamku tak pernah bosan menghantui. Kali ini, ia datang dalam bentuk kenangan masa lalu yang sangat menjijikkan.

Membutuhkan tenaga yang lebih untuk menarik tubuhku dalam posisi duduk. Tanganku terpaksa harus menekan kuat salah satu bagian di kepalaku yang terasa sakit akibat terlalu lama berbaring. Perlahan, kubiarkan semua indraku mulai beradaptasi dengan suasana pagi hari yang sunyi, seperti biasa.

Tubuhku bergerak beranjak dari ranjang, pada saat itu kudapati sebuah nampan berisi semangkuk makanan sudah terpatri rapi di atas meja kecil tepat di samping ranjang. Sayangnya, mimpi buruk telah menurunkan nafsu makanku. Maka aku memilih untuk mengabaikannya. Membiarkan makanan itu dingin dengan sendirinya sampai wanita yang meletakkan itu di sana datang dan mengambilnya kembali. Toh, selama ini aku tidak pernah makan dengan teratur. Dan sampai saat ini, aku tak punya pemikiran untuk mengubah kebiasaan itu.

Tidak, wanita yang meletakkan makanan itu di sana bukanlah wanita yang selalu menyiksaku dalam mimpi burukku. Mereka jelas berbeda. Karena wanita itu ... sudah lama mati.

Kusibak tirai dan membiarkan cahaya matahari masuk dengan bebasnya, lantas aku berjalan ke arah balkon. Membuka pintu balkon kamar yang terbuat dari kaca, dan dalam sekejap, angin dingin langsung menyapa.

Dari atas sini, sebagian kota Leiden dapat terlihat dengan jelas. Ini adalah aktivitas pagi yang kulakukan setiap hari. Memandang jauh tanpa tujuan yang berarti. Membiarkan desiran angin pagi meniup lembut wajahku sehingga membuatku terbuai, dan mungkin dapat membantuku sejenak untuk menghapus setiap bayangan masa lalu yang tak pernah berhenti menyesakkanku.

Kata orang, berlama-lama di ruangan yang sempit dapat membuatmu sesak. Tapi kenapa rumah sebesar ini malah membuatku tak bisa bernapas?

Aku masih berdiri di sana, sampai kemudian bunyi derit kereta kuda mengalihkan perhatianku. Kuarahkan pandang ke arah bawah, tepatnya pada sebuah kereta kuda yang berhenti tepat di depan gerbang.

"Sudah datang rupanya."

Aku hanya membasuh wajah dan merapikan rambut. Lantas mengganti pakaian tipis berwarna putih yang saat ini kukenakkan menjadi pakaian yang sedikit lebih sopan sebagaimana seharusnya dalam menyambut seorang tamu.

Tak perlu membutuhkan waktu lama, aku segera turun untuk membuka pintu. Aku mulai menuruni beberapa anak tangga, setelah itu berjalan melewati ruang duduk yang luas, sampai akhirnya mencapai pintu kembar yang mengarahkan langsung ke arah luar.

Tanganku menarik gagang dan membuka pintu. Setelahnya kudapati seorang gadis bak boneka kini berdiri di hadapanku. Gadis berambut pirang itu berekspresi datar, hanya dihiasi sebuah senyuman yang terkesan palsu. Namun, bola mata birunya meneduhkan.

"Apakah Anda yang bernama Litch Ainsley-sama?" Gadis itu bertanya dengan raut wajah yang tak berubah.

Aku mengangguk, "Benar."

Mendengar jawabanku, gadis itu lantas membungkuk, memberi hormat dengan anggun dan memperkenalkan diri setelah itu.

"Auto memories doll. Violet Evergarden."

***

Aku menyesap secangkir teh hangat lantas meletakkannya kembali ke atas meja. Sedang gadis bernama Violet itu bahkan tak menyentuh teh yang disajikan sama sekali. Ia malah telah bersiap dengan sebuah mesin ketik di hadapannya. Sepertinya gadis itu tak berniat untuk berbasa-basi.

Tak apa. Memang itu yang kubutuhkan.

"Surat seperti apa yang ingin Anda tulis?" Gadis itu bertanya.

"Ucapan terima kasih."

Aku hampir tak percaya dengan ucapanku sendiri. Ucapan terima kasih, huh?

Yang benar saja.

"Dan kepada siapa surat ini akan disampaikan?"

Aku tak langsung menjawab. Jariku sempat bergerak mengetuk-ngetuk meja dengan pelan beberapa kali sampai kemudian menjawab, "Diana Ainsley."

Mengucapkan namanya saja sudah membuatku muak. Tapi terpaksa kuucapkan untuk segera menyelesaikan semua urusan ini. Semua urusan tentang wanita itu.

Gadis bernama Violet itu mengangguk pelan. Kemudian ia bertanya lagi. "Ucapan terima kasih seperti apa yang Anda ingin sampaikan?"

Tanganku bergerak untuk memijat pelan kepalaku yang mulai terasa sakit. Jika gadis itu bertanya lebih banyak lagi, kurasa mimpi buruk itu akan muncul bahkan di saat aku terjaga. Dan membunuhku dengan perlahan.

"Benarkah ucapan terima kasih dapat menenangkan orang yang sudah mati?" Bukan menjawab, aku malah balas bertanya.

Gadis itu tak langsung menjawab. Mungkin dia bingung dengan pertanyaanku barusan. Tak apa. Aku juga tak mengharapkan dia menjawab yang satu itu. Hanya sekadar ingin memastikan, bahwa usaha terakhir untuk menghentikan semua mimpi buruk ini tidak akan berakhir dengan sia-sia.

"Kurasa tidak."

Aku menghentikan kegiatan memijat kepalaku yang sebenarnya masih terasa berdenyut, lantas memandang kembali gadis itu saat mendengarnya bersuara.

"Ucapan terima kasih tanpa ada perasaan apapun di dalamnya, kurasa tidak akan ada gunanya." Gadis itu berujar. Manik birunya menatapku dengan ekspresi yang masih sama sejak tadi, tak berubah.

Bukan aku, tapi bibirku mendecih begitu saja. Apa dia sadar bahwa jawabannya berbeda dengan apa yang kutanyakan barusan? Lagipula, perasaan seperti apa yang ia maksud? Hidup dengan perasaan hanya membuat seseorang menjadi lemah, bagaikan helaian tipis yang sangat mudah terluka.

Aku tidak membutuhkan sesuatu yang lemah seperti itu.

"Tuliskan saja suratnya, lalu tunjukan padaku."

Aku beranjak dari tempatku. Dadaku mulai terasa sesak. "Panggil saja aku jika sudah selesai," ucapku datar lantas beranjak ke luar. Berusaha mendapatkan udara segar.

Kepalaku sudah berdenyut sejak tadi, dan hampir membuatku gila jika ini terus berlanjut.

🕗🕗🕗


Bau obat-obatan menusuk indra penciuman. Namun itu tidak seberapa. Tidak seberapa dengan hujaman ribuan jarum tak kasat mata yang menusuk hati ini sampai hancur tak tersisa.

Sudah kubilang, mempunyai perasaan hanya akan membuat seseorang menjadi lemah. Inilah buktinya.

Kudapati diriku terduduk lemas tepat di samping ranjang putih tempat seorang wanita terbaring tak bernyawa. Tubuh pucatnya begitu kurus, tak seperti terakhir kali aku melihatnya. Sedangkan rambut pirangnya yang ikal telah kusut dan mulai pudar.

 

Aku terpaku di sana. Tak bersuara. Sesuatu telah hilang dari diriku.

 

🕗🕗🕗


Tubuhku tersentak samar, kala mimpi buruk yang sama membangunkanku. Kudapati diriku berada dalam posisi duduk pada bangku memanjang di tengah taman kecil halaman rumahku. Terakhir kali kuingat, aku sedang bersama seorang gadis doll yang akan membantuku menulis surat. Setelah itu keluar sebentar karena napasku mulai terasa sesak.

Sejak kapan aku tertidur?

"Anda sudah bangun?"

Aku menoleh ke arah samping, tempat di mana suara itu berasal. Gadis yang kuketahui bernama Violet Evergarden itu kudapati telah duduk di sisi kosong bangku yang kududuki.

"Maaf, seharusnya kau membangunkanku."

"Meski dalam posisi seperti itu, Anda bisa tertidur sangat pulas. Saya merasa membangunkan Anda bukanlah ide yang baik," sahut gadis itu, lantas ekspresinya sedikit berubah. Manik birunya menatapku tak bergerak. "Litch-sama, apa Anda menangis?"

"Apa?" Tanganku bergerak menyentuh pipi. Cairan bening membasahi jemariku. Dan pada saat itu aku baru menyadari bahwa mataku sedikit basah.

Sial.

"Tidak, aku baik-baik saja." Aku membersihkan cairan yang tersisa dengan mengusap wajah dalam gerakan cepat. "Bagaimana suratnya?"

Gadis itu menampilkan secarik kertas yang dibawanya, namun sebelum membaca, ia menatap sesaat ke arahku. "Saya tidak tahu apa hubungan Diana Ainsley dengan Anda, tetapi melihat Anda memiliki nama keluarga yang sama, saya menyimpulkan bahwa dia mungkin Ibu atau saudari Anda. Karena itu, saya membuat dua surat untuk kedua kemungkinan yang ada."

Gadis itu mulai membaca surat pertama, "Kepada Diana Ainsley. Dengan surat ini, saya ingin mengucapkan terima kasih karena telah membesarkan saya dengan baik sebagai Ibu saya. Saya harap, semoga Anda tenang di sana. Salam, Litch Ainsley."

Baru saja gadis itu hendak membacakan surat kedua tapi aku sudah menyela.

"Tunggu sebentar." Aku menghela napas sambil memijat kening meski sebenarnya rasa sakit di sana telah hilang. "Kau sebut laporan seperti itu adalah surat?"

Aku tak mengerti mengapa gadis itu masih tak berekspresi. "Seperti yang saya katakan, ucapan terima kasih tanpa ada perasaan apa pun di dalamnya, tidak akan ada gunanya."

Rahangku mengeras. Gadis ini benar-benar membuatku muak akan ocehannya.

"Aku memanggilmu untuk menulis surat, bukan untuk mengajariku."9 Kupastikan tatapan tajam kuarahkan pada gadis itu sebelum beranjak dari tempatku duduk. Aku menghela napas. "Pergilah, aku sudah tidak membutuhkanmu."

Sia-sia aku melakukan semua ini.

***


"Sensei, bagaimana cara menuliskan namaku?"

Seorang anak perempuan berambut merah menarik ujung bajuku, memaksaku yang sedang mengajari anak lain mengeja namanya untuk memperhatikannya.

"Seperti ini. D-A-I-S-Y." Aku menuliskan satu per satu huruf secara perlahan dan menuliskan nama anak itu di atas secarik kertas di hadapannya, lalu ia mengikutinya.

"D-A-I-S-Y." Ia ikut mengeja. "Daisy! Sensei, aku berhasil!"

Aku mengacak rambut anak itu pelan. Ia menuliskan kembali namanya meski tangan kecilnya tak bisa menarik garis salah satu huruf dengan bentuk yang sempurna, tapi tak masalah. "Benar, seperti itu."

Di dalam ruangan itu, cukup banyak terisi oleh anak-anak. Sebagian besar mereka adalah anak-anak yang telah kehilangan orang tuanya akibat perang. Dan sebagian lagi, mereka di bawa di panti asuhan ini sejak bayi tanpa pernah tahu siapa orang tuanya.

Setiap dua hari sekali, aku datang ke panti asuhan untuk mengajari anak-anak di sini membaca dan menulis. Setidaknya, ini pekerjaan yang kulakukan untuk bertahan hidup, meski aku tak mengerti alasan mengapa aku harus melakukan itu.

Selagi menunggu anak-anak mengerjakan tugas yang kuberikan—yaitu menuliskan nama mereka masing-masing sebanyak sepuluh kali—, aku berjalan ke arah pintu. Menikmati desiran angin dari luar yang meniup wajahku lembut.

Pada saat itu, mataku menangkap dua sosok wanita dari jauh yang tengah berbincang. Aku mengenali  kedua sosok wanita yang mempunyai perbedaan umur cukup jauh itu. Wanita yang pertama, merupakan seorang wanita paruh baya yang kuketahui sangat menyukai anak-anak. Holly Holtcher, atau yang lebih sering kupanggil Bibi Holly. Ia adalah pemilik panti asuhan ini sekaligus wanita yang selalu menjagaku sejak kematian Ibuku. Ia juga yang sering merepotkan diri hanya untuk datang membawa senampan sarapan di samping tempat tidurku setiap pagi.

Dan wanita yang satunya lagi, ia jauh lebih muda. Dan aku yakin memoriku tidak salah dalam mengingat namanya. Violet Evergarden.

Sedang apa dia di sini?

Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, ketika mata kedua wanita itu beralih ke arahku. Kulihat bibi Holly tersenyum dan mengucapkan sesuatu pada gadis itu, membuat gadis itu balas berbicara dengan alis terangkat seolah terkejut dengan apa pun yang dibicarakan mereka.

Setelahnya, mereka kemudian berpisah dengan berjalan ke arah yang berbeda. Bibi Holly memasuki salah satu ruangan tempat mempersiapkan makanan untuk anak-anak, sedang gadis itu, ia berjalan ke arahku.

"Litch-sama, apa kabar?" Gadis itu berbasa-basi ketika telah berdiri di hadapanku.

Aku hanya mengangguk, tak berniat untuk mengembangkan percakapan.

"Saya mendengar dari Holly-sama bahwa Diana Ainsley adalah ibu Anda." Namun gadis itu malah membuka obrolan ke arah yang salah. "Katanya dia adalah seorang pianis hebat pada jamannya."

Aku berdecak, "Wanita itu selalu mengocehkan hal yang tidak penting."

"Dia juga mengatakan bahwa Anda dulu bercita-cita menjadi pianis seperti Ibu Anda."

Kini rahangku mengeras. Kucoba untuk menarik napas agar tidak membuat keributan di sini. Setidaknya tidak di depan murid-muridku.

"Jika urusanmu di sini telah selesai, kusarankan jangan menambah masalah yang tak perlu."

Gadis itu baru saja hendak membuka mulutnya, tapi tiba-tiba saja kembali terkatup. Pandangannya teralihkan ke arah kiriku namun sedikit ke bawah. Tanpa sadar, aku mengikuti arah pandangnya.

Aku tidak tahu kapan anak perempuan berambut merah itu, Daisy, telah berdiri di sampingku. Ia mendongak menatapku dengan mata berbinar. "Sensei bisa bermain piano?" tanyanya antusias.

"Aku ingin melihat sensei bermain piano!" Anak lain yang juga telah berdiri di belakangku ikut berseru. "Tolong mainkan untuk kami!"

Tentu saja, aku menolak dengan tegas dan menyuruh mereka untuk kembali mengerjakan tugas yang kuberikan. Tapi mereka malah berseru semakin keras. Mereka menarik-narik tangan dan ujung pakaianku dan membawaku pada sebuah piano tua yang berada di sudut ruangan.

Aku menghela napas, menyerah pada akhirnya. "Baiklah. Hanya satu lagu."

Aku menarik tempat duduk dan duduk di sana. Jariku menekan salah satu tuts putih dan menghasilkan sebuah nada rendah yang sempurna. Pianonya sedikit berdebu, tapi dapat berfungsi dengan baik.

Setelahnya, aku menarik napas sejenak lantas kubiarkan jemariku bergerak di atas tuts-tuts piano dengan bebasnya.

Mulmed di sini : https://youtu.be/6T4qdndPUW8

🕗🕗🕗


Tempat itu tampak begitu hangat. Sinar matahari menerangi sebagian  dari taman rumah kaca yang tidak tertutupi oleh beberapa tumbuhan gantung dan tanaman rambat.

Pandanganku tearah pada sebuah bangku putih memanjang yang berada di tengah taman. Tepatnya pada seorang wanita yang tengah duduk di sana. Rambut pirang ikalnya yang panjang dibiarkan terurai terlihat seiras dengan gaun coklat keemasaan yang dikenakannya.

Tiba-tiba dia mengangkat wajah, menoleh ke arahku. Mata hijaunya yang serupa dengan warna bola mataku terlihat indah saat terpantul oleh cahaya matahari.

"Litch."

Dia memanggil namaku. Dan pada saat itulah aku menyadari bahwa aku tidak baik-baik saja. Sesuatu yang tak kuketahui baru saja menyesakkan hatiku.

Wanita itu sudah mati. Lalu kenapa dia ada di hadapanku?

Tiba-tiba, Seorang anak lelaki berlari melintasiku. Anak laki-laki berambut pirang dengan mata hijau berbinar yang sama indahnya. Ia merentangkan tangan dengan lebar sebelum akhirnya masuk ke dalam dekapan wanita itu.

Tidak ada yang menyadari keberadaanku di sana. Diriku lebih tampak seperti bayangan tak kasat mata yang hanya bisa menyaksikan kehangatan antara ibu dan anak yang berada di hadapanku saat ini. Mereka tertawa, saling berbagi kebahagiaan bersama.

Aku bergeming di sana. Sangat jauh ... di suatu tempat terdalam pada bagian hati yang tersembunyi, kesadaran itu menyiksa batinku.

Aku merindukannya.

🕗🕗🕗


Seharusnya aku tidak menerima permintaan itu sejak awal. Kumasuki ruangan gelap dari salah satu ruangan panti yang tak terpakai. Ruangan itu berdebu. Hanya dipenuhi oleh perabotan tua yang sudah rusak. Beberapa perabot yang cukup besar terbungkus oleh kain putih yang juga sudah berdebu.

Bukan karena aku menyukai tempat kotor seperti ini, tapi setidaknya tidak ada yang akan menggangguku di tempat ini.

Sesaat sebelum permainan pianoku berakhir saat itu, wanita itu kembali menghantui mimpi burukku. Seolah udara di sekitarku menghilang saat itu juga, dadaku terasa sesak. Permainanku terhenti begitu saja.

Aku tahu, akhirnya kutemukan alasan mengapa wanita itu tak pernah berhenti mengganggu setiap mimpiku. Namun, kenyataan tetap saja tidak akan berubah. Wanita itu sudah mati. Dan aku yang telah menyiksa detik-detik terakhirnya dengan semua kebodohanku.

Setelah itu, sebelum mimpi buruk itu menghancurkan diriku lebih jauh lagi, aku segera beranjak pergi dari sana dan berakhir di tempat ini. Saat ini, aku butuh tempat yang tenang untuk menenangkan pikiran.

Aku menyibak tirai putih yang menutupi jendela, lantas menarik sebuah kursi tua dan duduk di sana sambil memandang keluar. Langit di atas sana tampak begitu cerah. Bahkan terlalu cerah.

Aku mengambil napas sedalam-dalamnya, mengisi setiap ruang di rongga dadaku yang sesak untuk dipenuhi udara, lalu menghembuskannya perlahan.

"Ternyata benar, Anda ada di sini."

Kepalaku menoleh begitu mendengar suara yang tak asing. Di saat yang sama, kudapati seorang gadis serupa boneka berdiri di ambang pintu.

Sayangnya, suasana hatiku sedang tak mengingini kehadiran seseorang saat ini. "Sedang apa kau?" tanyaku dengan nada yang tidak bersahabat.

"Mencari Anda," sahut gadis itu tenang. Tentu saja, dengan ekspresi datar yang tak berubah. "Holly-sama mengatakan bahwa jika suasana hati Anda sedang buruk, kemungkinan besar Anda berada di ruangan ini. Dan ternyata benar." Ia berjalan mendekat menghampiriku lantas bertanya. "Litch-sama, apa Anda baik-baik saja?"

Aku menghela napas. "Aku baik-baik saja. Pergilah."

Tetapi, gadis itu malah mengabaikan perkataanku. Nyatanya, ia tetap berdiri pada tempatnya tanpa bergerak sedikit pun. Jika melihat gadis itu diam tak bergerak seperti ini, dia benar-benar tampak seperti boneka.

Tepat pada saat itu, manik biru gadis itu bergerak menatap langit yang seiras dengan warna matanya. "Apa saya boleh menanyakan sesuatu?" tanyanya kemudian.

Aku hanya bergumam menanggapi. Lebih cepat ia bertanya dan mengisi rasa keingintahuannya, maka semakin cepat gadis itu dapat pergi dari sini.

"Bukankah rasanya sangat sakit?"

Keningku mengernyit, tak mengerti maksud pertanyaannya.

Gadis itu menoleh, mata birunya beradu tepat dengan pandanganku. "Membenci orang yang Anda cintai, bukankah itu sangat menyakitkan?"

Sempat membuatku bertanya-tanya, bagaimana cara gadis itu memandangku. Namun kuakui, manik birunya cukup pandai menemukan sisi menyedihkan seperti itu.

"Untuk ukuran gadis tanpa ekspresi, kau cukup pintar," sahutku tertawa kecut.

Bibir gadis itu bergerak membentuk senyuman tipis, namun aku ragu karena pujianku barusan. "Saya hanya menyimpulkan ketika melihat reaksi Anda saat menyebutkan nama Diana Ainsley, begitu juga ketika Anda mendengar nama itu," katanya dengan wajah yang kembali pada ekspresi semula. "Setiap kali itu terjadi, Anda terlihat gusar dan selalu ingin mengakhiri pembicaraan."

Keningku mengernyit, namun masih tak mengatakan apa-apa. Gadis itu masih ingin melanjutkan ucapannya.

"Tapi setelah mendengar permainan piano Anda sebelumnya, pandangan saya berubah. Bukan membenci, Anda lebih tampak sedang merindukan seseorang."

Untuk beberapa detik, aku hanya menatap gadis itu dalam diam. Suasana ruangan yang memang terasa sunyi semakin menjadi-jadi.

Merindukan, huh?

Satu kata itu entah kenapa berhasil membuatku tak bisa berkata-kata.

Setelah beberapa detik yang bagaikan selamanya, kuputuskan untuk menghentikan topik perbincangan ini dengan helaan napas kasar. "Violet, apa  sebenarnya yang kau inginkan?"

Merespon pertanyaanku, gadis itu lantas mengangkat sebuah kotak kecil selebar telapak tangan berwarna hitam pudar. "Saya ingin Anda menerima ini," jawabnya. Aku baru menyadari ternyata dia membawa benda seperti ini.

Sedikit enggan, tapi tanganku bergerak begitu saja menerimanya. Kotak itu terbuat dari kayu dengan beberapa ukiran  di sepanjang tutupnya. Setelah bagian tutup terbuka, kudapati beberapa tumpuk kertas berupa amplop surat yang masih tersegel di dalamnya. Surat itu tidak tampak baru, bagian sudut amplopnya sedikit menguning dan berdebu.

Aku melirik ke arah gadis itu. Ia menatapku seolah menginginkan aku membaca surat itu saat ini juga. Meski tak mengerti, kubiarkan tanganku membuka salah satu surat, lantas mulai membacanya.

Dan apa yang tertulis di sana, berhasil menyesakkan hati ini, untuk ke sekian kali.

Litch, Bagaimana kabarmu?

Ibu harap kau selalu sehat dan menjalani setiap waktumu dengan bahagia.

Maaf jika harus mengomelimu begitu memulai surat ini, tapi Ibu harap agar kau jangan lupa untuk makan dengan teratur. Jangan  melewatkan sarapan dan selalu menjaga kesehatanmu.

Oh, bagaimana dengan latihanmu? Melatih diri menjadi seorang pianis memang tak bisa dikatakan mudah, tapi Ibu yakin kau pasti bisa menjadi pianis yang lebih hebat dariku.

Maaf, karena tak punya cukup waktu untuk selalu berada di sisimu.

Maaf, karena selama ini tak bisa menjadi Ibu yang terbaik untukmu.

Mungkin akan terdengar sedikit egois, tapi Ibu harap kau dapat melanjutkan kehidupanmu dengan bahagia.

Litch,

Terima kasih.

Di semua kekuranganku, terima kasih karena telah menjadi putra terbaik yang pernah ada.

Apa pun mimpimu, Ibu selalu bangga dan mendukungmu.

Apa pun yang terjadi, Ibu selalu mencintaimu.

Dari, Ibumu yang tak pernah berhenti menyayangimu, Diana Ainsley.


Dadaku sesak. Dinding pertahananku tak bisa lagi kulindungi. Masa bodoh gadis itu masih berdiri di hadapanku atau tidak, cairan bening yang membuat mataku memanas itu terjatuh begitu saja. Sebagian cairannya membasahi kertas yang kugenggam. Sedang sisanya tertumpah bersamaan dengan semua perasaan yang menyesakkan hati ini.

Aku merindukannya.

Ya ... aku selalu merindukkannya. Kebencian yang selama ini kupendam hanyalah sebuah pelarian dari rasa bersalah yang tak pernah berhenti menyiksa. Rasa bersalah karena telah membuat wanita itu melewati sisa-sisa terakhir hidupnya dengan kehampaan dan kesendirian. Dan semuanya hanya karena kebodohanku.

Dalam tangis, kesedihan seakan menarik semua kekuatanku. Aku jatuh terduduk dengan tangan yang mencengkeram dada dengan kuat. Napasku seakan tercekat. Masa bodoh dengan ungkapan masyarakat tentang seorang pria yang tak seharusnya menitikkan air mata. Aku menangis sejadi-jadinya.

Hati ini, seakan hancur tanpa sisa.


***

Aku tak bisa mengatakan diriku saat ini baik-baik saja. Apalagi setelah membaca semua surat yang dikirim oleh pengirim yang sama, Ibuku. Saat itu, diri ini seakan kehilangan sebagian jiwanya, sekali lagi.

Aku masih berada di ruangan yang sama. Kembali duduk di kursi kayu tua sambil memandang keluar jendela. Tentu saja, dengan gadis doll yang masih berada di sisiku. Anehnya, kali ini aku tak terganggu dengan kehadirannya.

Sempat kutanyakan padanya, bagaimana ia mendapatkan semua surat-surat itu. Ia mengatakan bahwa surat itu telah ditulis sekitar lima tahun lalu oleh doll yang juga bekerja di tempatnya bekerja. Namun sesuai dengan peraturan yang berlaku di sana, surat yang tak diterima akan dikembalikkan ke tempat para doll bekerja. Dan di tempat itulah, gadis itu menemukannya.

Sentuhan pelan kurasakan menepuk pundakku. Tangan gadis itu terasa dingin, tapi menenangkan.

"Dia wanita terhebat yang pernah kutemui." Aku membuka suara, tersenyum sambil memandang birunya langit di atas sana. "Aku masih ingat jelas bagaimana ia tersenyum saat kubilang akan menjadi pianis hebat sepertinya dan membuatnya bangga. Tapi dia katakan, bahwa ia sudah bangga padaku jauh sebelum itu." Aku tersenyum kecil, kejadian itu masih tergambar jelas di ingatanku.

"Seperti yang kukatakan, Ibuku adalah pianis terkenal pada jamannya. Kesibukkannya dalam melakukan pertunjukkan di berbagai kota, tidak pernah menghambatnya untuk pulang. Dia selalu ada di sisiku. Selalu ada menemaniku.

"Sampai entah sejak kapan, ia tak pernah kembali. Aku menunggunya. Namun, menunggu tak semudah mengatakannya. Alih-alih kedatangannya, ia hanya mengirimkan surat sebagai pengganti dirinya. Kuakui, saat itu aku terlalu bodoh untuk mencoba memahami. Membencinya begitu saja tanpa pernah mengerti dan mengabaikan surat-surat yang dikirimnya untukku. Bahkan, ketika ia benar-benar kembali, aku  juga mengabaikannya." Ucapanku terjeda sejenak. Mengambil waktu untuk memejamkan mata sambil menarik napas singkat sebelum melanjutkan.

"Ibuku selalu tampak pucat setiap kali aku melihatnya. Awalnya kukira akibat kelelahan karena kesibukkannya, tapi aku salah. Sebuah penyakit menggerogoti kehidupannya dan mengikis waktu hidupnya." Aku tertawa kecut. "Sayangnya, hal itu malah mendorongnya bekerja lebih keras. Ia rela membuang semua waktu berharga bersama putranya sendiri, semua itu demi mencukupkan kebutuhan putranya—yang saat itu masih berusia remaja—setelah nanti ia tiada."

Napasku semakin terasa berat. "Aku yang tak mengetahui alasan dibalik semua itu, dengan bodohnya tak ingin menemuinya bahkan ketika ia jatuh sakit. Yang kuinginkan saat itu adalah, membuatnya merasakan apa yang kurasakan: menunggu kehadiran seseorang sampai kehabisan harapan untuk menunggu." Pertahananku kembali hancur. Mengingat kesalahan bodoh itulah yang sangat kusesali seumur hidup. "Tapi Ibuku ... ia tak pernah kehabisan harapan. Ia hanya kehabisan waktu untuk bisa menunggu lebih lama. Aku membuat sisa hidupnya berada dalam harapan yang sia-sia."

Tangisku pecah. Perasaan bersalah beserta penyesalan menyiksa hati ini sejadi-jadinya. Entah sudah berapa lama aku menangis, sampai kemudian, kudengar gadis itu bersuara.

"Saya yakin, Diana-sama akan sangat senang mengetahui seberapa besar Anda juga menyanginya. Karena itu, harapannya tidak sia-sia. Karena Anda selalu mencintainya."

Aku tertawa samar, begitu miris terdengar. "Tapi pada akhirnya dia tidak mengetahuinya. Aku sudah terlambat untuk mengatakan apa yang dulu ingin kukatakan. Dia sudah tiada."

Ya ... bahkan sangat jauh dari kata terlambat.

"Tidak, Anda belum terlambat."

Tanpa sadar aku tersenyum setengah mendengus. "Kau tidak perlu menghiburku sampai sejauh itu."

Tapi gadis itu malah bergerak meletakkan tangannya di atas kotak berisi surat yang ada di tanganku. Bola mata birunya yang meneduhkan menatapku lembut. "Seperti surat ini yang masih bisa menyampaikan perasaan Ibu Anda meski ia sudah tiada, saya yakin Anda juga masih bisa menyampaikan perasaan Anda yang sebenarnya padanya." Ia lantas mengakhiri ucapannya dengan senyuman.

 "Litch-sama, apa Anda masih ingin menulis surat?"

***


Aku melangkahkan kakiku memasuki area pemakaman. Ini kali keduaku datang ke tempat ini setelah kematian Ibuku lima tahun yang lalu. Kakiku berjalan melewati beberapa makam yang ditumbuhi rumput yang rapi tersusun, sampai berhenti tepat di mana nisan yang bertuliskan nama seorang wanita, Diana Ainsley.

"Ibu, aku datang."

Kubiarkan diriku duduk di samping makam. Meletakkan sebuah bunga berwarna putih di atasnya beserta sepucuk surat. Surat yang menyampaikan perasaanku padanya. Surat yang menyampaikan kata-kata yang belum sempat tersampaikan padanya.

Teruntuk wanita yang paling hebat dan selalu kukagumi.

Mungkin membutuhkan waktu lama untuk menungguku sampai menyampaikan surat ini, juga banyak hal yang harus kulewati untuk memberanikan diri.

Untungnya, saat itu aku bertemu gadis bodoh yang suka mencampuri urusan orang lain, dan meyakinkan diriku untuk menyampaikan perasaan melalui surat ini.

Aku di sini baik-baik saja. Dan aku telah memutuskan untuk bahagia. Untuk selanjutnya, aku akan kembali berjuang untuk meneruskan mimpiku yang sempat tertunda.

Maaf karena sempat membuatmu kecewa.

Maaf karena terlambat untuk mengatakannya, tapi aku ingin Ibu tahu bahwa apa yang selama ini kukatakan adalah,

Terima kasih.

Terima kasih karena telah melahirkanku dan mengizinkanku menjadi putramu.

Terima kasih karena telah menjadi ibu terbaik yang pernah ada.

Sejak dulu, sekarang, dan sampai waktu yang cukup untuk menggambarkan selamanya, aku selalu menyayangimu. Dan akan terus menyayangimu.

Dari, putramu yang juga akan menjadi pianis hebat sepertimu,

Litch.

 

***

.

The End.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top