Unspoken

Unspoken

Rengoku Kyoujurou x Reader

Story © AtarashiHazuki
AtarashiHazuki


Kimetsu no Yaiba © Koyoharu Gotouge

Warningn! Mengandung spoiler untuk non-manga reader, alur super cepat dan mungkin ada typo.

.

.

.

.

"Nee, Kyou-nii. Bagaimana bisa ... kau sampai terluka-luka seperti ini?"

Gadis kecil berusia delapan tahun, menatap sayu pada sosok bocah yang berusia terpaut hanya dua tahun darinya. Rambut kuning dengan paduan merah milik bocah tersebut menari-nari diterpa angin.

Kedua bocah itu tengah duduk di bagian samping rumah tradisional Jepang tersebut, yang terkesan rapi dan khas milik penyandang marga Rengoku itu.

"Akan kupanggilkan Ruka-san, biar kubersihkan dahulu debu-debu yang menempel, Kyou-nii."

Gadis itu memandang cemas ke arah sang bocah. Ia mengulurkan tangannya, berusaha membersihkan debu yang ada pada bocah tersebut dengan lengan kimono yang ia kenakan.

Bocah tersebut spontan menepis lengan si gadis dengan pelan, sembari tersenyum lebar tanpa ragu. "Ah, jangan mengelapnya dengan kimono milikmu! Itu pasti akan kotor, bukan?"

Senyuman lebar tak kunjung memudar dari wajah bocah laki-laki tersebut, meski tampak jelas luka-luka yang ia dapatkan di sekujur tubuhnya pun tentunya terasa perih. Ia hanya tertawa pelan seraya tangan kanannya mengusap pucuk kepala gadis itu.

"Jangan khawatir, (Name)! Ini hanya luka kecil, kok!" Bocah yang diketahui bernama Rengoku Kyoujurou itu mengangguk dengan yakin, berupaya membuat gadis yang ia panggil dengan nama (Name) itu tak lagi menunjukkan ekspresi cemas. "Bagiku, luka ini tak seberapa! Lagipula, aku melakukan ini untuk melindungimu dari anak-anak nakal tadi, bukan?"

(Name) mengingat kejadian beberapa menit sebelumnya, saat dirinya diganggu oleh beberapa anak lelaki-yang tampak berusia sedikit lebih tua dari Kyoujurou. Mereka mengganggu (Name) hanya karena ia meminta mereka untuk tak terlalu berisik di dekat sana, karena putra termuda keluarga Rengoku-Rengoku Senjurou sedang tidur.

Setelahnya mereka mulai mendorong (Name) dan mencela (Name). Beruntung saat itu Kyoujurou baru saja kembali dari luar, dan Kyoujurou segera meminta (Name) untuk masuk dan membiarkan Kyoujurou menangani anak-anak itu.

"Tapi, Kyou-nii. Aku ... merasa bersalah." (Name) terlihat muram, ia menundukkan kepala guna menghindari kontak mata dengan Kyoujurou.

Tawa kecil disuarakan oleh Kyoujurou, "Ahaha! Tak perlu merasa bersalah, (Name)! Aku seperti ini karena keputusan yang kubuat, bukan? Tenanglah! Ini sama sekali bukan kesalahanmu."

"Kyou-nii, kau terluka seperti ini karena aku yang duluan mencari masalah dengan anak-anak tadi." (Name) tak kunjung pula melepas ekspresi khawatir di wajahnya. "Bagaimana kalau sampai Shinjurou-san ... mengetahui hal ini? Ia pasti akan marah pada kita berdua ... ."

"Oh, itu mudah! Aku akan mencari alasan supaya ayah tak marah nantinya." Kyoujurou menyunggingkan senyum untuk kesekian kalinya, tanpa beban atau rasa khawatir mendengar nama ayahnya yang diucap oleh (Name).

Atas perkataan Kyoujurou yang terkesan sangat yakin itu, setidaknya (Name) merasa lebih lega. Akhirnya, sebuah senyuman (Name) pun terulas samar, meningkatkan kesan manis pada wajahnya itu.

"Terima ka-"

"Ssh! Tak perlu berterima kasih, (Name)!" Kyoujurou meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibir (Name), spontan membuat gadis itu memenggal kalimat yang akan ia ucapkan. "Sudah sering kubilang, jangan berterima kasih padaku! Ini adalah tugasku-sebagai keluargamu!"

(Name) menghela napas pelan sesaat sebelum tertawa ringan. Ini adalah perkataan yang selalu ia dengar setiap kali ingin mengucap 'terima kasih' di depan penerus keluarga Rengoku itu.

"Baiklah, Kyou-nii!"

 
***
 

(Surname) (Name) adalah nama gadis itu, yang kini telah berusia delapan belas tahun. Sebuah kepingan masa lalu tiba-tiba saja terlintas dalam benaknya, kala ia melamun di bawah gelapnya langit malam.

Sepuluh tahun telah berjalan, tetapi ingatan ini masih terus membekas. (Name) takkan pernah bisa lupa, lantaran sampai saat ini pun, sosok Rengoku Kyoujurou tak pernah mau mendengar kata 'terima kasih' dari (Name) terucap untuknya.

Aneh, memang. Namun, (Name) tak akan menyangkalnya.

Sudah cukup lama pula sejak ia diasuh di bawah naungan keluarga Rengoku, mengingat bahwa kedua orangtua (Name) sudah tak ada lagi di dunia-terbunuh oleh iblis yang ada di suatu kereta. Iblis tersebut tak ditemukan, begitu juga para korban dalam kereta tersebut. Hanya tersisa (Name) seorang diri yang diketahui melompat paksa untuk keluar dari kereta tersebut.

Beruntungnya, Rengoku Shinjurou yang semasa itu menyandang gelar sebagai pillar api bersedia menerima (Name) sebagai anggota keluarganya. Dalam lubuk hati, ia menyesali bahwa ia tak bisa menyelamatkan mereka yang ada di dalam kereta itu.

Entah kebetulan atau takdir, tetapi itulah yang mempertemukan Kyoujurou dengan (Name).

(Name) masih mengingat jelas wajah kegirangan Kyoujurou kecil yang tampak berseri-seri dan mengatakan bahwa ia bahagia karena memiliki seorang adik perempuan.

Tanpa sadar, gadis muda itu tertawa pelan, mengundang rasa penasaran dari lelaki yang duduk tepat di sampingnya ini. Sang lelaki spontan memandang (Name), dengan senyum khas yang terlukis di wajah.

"Hmm? Mengapa kau tertawa, (Name)?" Lelaki itu-Kyoujurou memandang lurus ke arah (Name), menciptakan sebuah kontak mata di antara keduanya.

(Name) hanya memasang senyum tipis di wajahnya. "Ahh, tidak. Aku hanya mengingat kenangan masa kecil, Kyoujurou-san."

Semenjak (Name) berusia enam belas tahun, (Name) tak pernah lagi memanggil Kyoujurou dengan sebutan Kyou-nii. Sejujurnya, Kyoujurou pun merasa kecewa, tetapi ia tak berminat menyangkal keputusan (Name). (Name) memutuskan hal tersebut-lantaran ia merasa agak aneh jika terus-terusan memanggil Kyoujurou dengan sebutan itu.

"Oh, kenangan masa kecil, ya." Kyoujurou membeo atas perkataan (Name) sembari menyilangkan kedua tangannya. "Apakah aku termasuk dalam kenangan masa kecilmu itu? Tentu benar, bukan~!"

Kyoujurou menyambung pertanyaannya dengan tawa pelan, guna mencairkan suasana sekaligus menggoda sang gadis yang sudah ia anggap 'spesial' baginya.

"... ya, benar. Aku tengah memikirkan masa kecilku yang selalu bersamamu."

Alih-alih mencairkan suasana dan membuat pembicaraan akan berlanjut dengan lebih lama, sebaliknya mereka berdua kemudian diselimuti kecanggungan.

Rasanya, sewaktu kecil mereka bisa membicarakan apa saja tanpa rasa canggung. Namun ... semakin mereka beranjak dewasa, keduanya selalu hati-hati memilih topik obrolan, berusaha membuat suasana menjadi tak canggung seperti ini.

Seperti ada suatu perasaan, mungkin.

"Ah, ngomong-ngomong, Kyoujurou-san. Bagaimana pekerjaanmu sebagai seorang pemburu iblis akhir-akhir ini?" tanya (Name). Meski ini hanya sekadar basa-basi, setidaknya-ia yakin bisa mencairkan kembali suasana.

Kyoujurou bergumam pelan, sesaat sebelum menjawab (Name) dengan rasa yakin, "Hm, sejauh ini baik-baik saja, (Name)!"

"Hoo. Apa ada kejadian yang menarik lagi?"

"Oh, beberapa hari yang lalu, aku berhasil memburu iblis yang meresahkan warga di desa tetangga, mereka sangat berterima kasih padaku. Kepala desa mereka pun menghadiahkanku banyak ubi manis, lho!"

Hanya karena hal itu saja, (Name) bisa menemukan raut wajah kegirangan yang tercipta di wajah Kyoujurou. Tanpa sadar, (Name) pun turut mengulas senyum di wajahnya yang tampak cantik itu.

"Selamat, Kyoujurou-san. Aku ikut senang mendengarnya."

"Ahaha! Terima kasih sudah ikut senang atas keberhasilanku! Aku sangat menghargainya, (Name)!"

"Emh ... sama-sama."

(Name) melamun sejenak. Dalam benaknya, ia kembali memikirkan hal yang sama, tentang ucapan 'terima kasih' di antara keduanya. Kyoujurou selalu berterima kasih padanya, meski untuk hal kecil sekalipun. Namun, ia tak pernah membiarkan (Name) untuk berterima kasih padanya.

Apalagi ... ia semakin terbebani karena dalam beberapa hari ini, (Name) berencana untuk pergi dari kediaman Rengoku. Ke suatu tempat yang cukup jauh, di rumah kecil peninggalan orang tuanya. Bukan, ini tak berarti (Name) sudah bosan menempati kediaman Rengoku yang berbaik hati mengurus dirinya sejak kecil, akan tetapi-ia tak mau lagi merepotkan orang lain di usianya yang sudah dewasa ini.

"Kyoujurou-san ... kau sudah dengar bukan kalau aku akan pergi beberapa hari lagi?" tanya (Name) dengan raut wajah yang sukar dimengerti, beragam emosi tersirat dalam ekspresinya.

"Mengapa tiba-tiba kau membicarakan hal itu, (Name)?" Alih-alih menjawab, Kyoujurou membalas dengan pertanyaan. Ia telah mengetahui hal ini dari adiknya, akan tetapi ia selalu enggan membahas topik ini.

"Meski aku akan pergi sebentar lagi ... apakah kau tetap tak mengizinkanku berterima kasih padamu?"

Satu pertanyaan lagi ditanyakan oleh (Name). Senyuman yang menyiratkan kesedihan terulas di wajah, sebagai cermin yang menggambarkan isi hati sang gadis. Senyumannya tak bermakna, hanya sebagai simbol untuk kebiasaan tersenyum semata.

"Untuk apa?" Kyoujurou membalas disertai tatapan sendu, ia memandang lurus gadis yang duduk di setelahnya ini.

"Untuk segalanya."

Keheningan kembali tercipta di antara kedua insan tersebut. Kejadian ini sering terjadi, mengangkat topik 'terima kasih' dan diakhiri dengan keheningan dan kecanggungan.

Namun, kali ini seharusnya berbeda.

Bisa saja ... ini adalah terakhir kalinya mereka berdebat atau berdiam diri karena kata 'terima kasih'. (Name) akan pergi, sebentar lagi.

Kyoujurou hanya diam. Ia beranjak dari posisi duduknya dan mengambil beberapa langkah dan membelakangi (Name). Rambut dwi-warna miliknya teracak-acak diterpa angin malam.
"Kyouju-"

"Sebenarnya, lusa nanti aku ditugaskan memburu iblis di suatu wilayah." Kyoujurou memotong ucapan (Name) tanpa membalikkan badannya. "Iblis itu ... berada di kereta, kabarnya kereta itu menghilangkan semua orang yang ada di dalamnya."
"... Kereta?"

"Benar. Itu adalah kereta yang sama dengan kereta yang kau tumpangi dulu, (Name)." Kyoujurou menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Aku bertekad untuk mengalahkan iblis itu, (Name)."

"Lalu, setelahnya ..." Kyoujurou menoleh ke arah (Name) seraya memasang senyum percaya dirinya yang terkesan sangat lembut. "... kau boleh berterima kasih padaku."

(Name) spontan berlari kecil ke arah Kyoujurou dan memeluknya, rasa bahagia penuh haru membekas dalam lubuk hatinya, membuat air mata turun begitu saja dan mengalir pipinya.

Kyoujurou memasang tatapan mata yang lembut, tangannya membalas pelukan gadis yang bertubuh lebih mungil darinya itu dan membelai pelan pucuk kepala (Name). "Aku akan sering mengunjungi rumahmu nanti, sempatkan dirimu untuk berterima kasih padaku sebanyak yang kau mau, oke?"

"Baiklah, Kyoujurou-san. Aku pasti akan meluapkan semua rasa terima kasih yang terbendung selama ini. Aku ... akan menunggumu."

"Aku pasti akan kembali. Sambutlah aku dengan senyum bahagiamu nanti, (Name)."

Kyoujurou kembali mengusap pucuk kepala (Name), seraya membiarkan gadis itu menangis sepuas mungkin di dalam pelukannya. Setidaknya, itu akan menjadi caranya untuk menenangkan gadis yang ia sayangi itu.

'Bersamaan dengan itu, aku akan mengungkapkan perasaanku padamu, (Name).'

.

.

.

.

"Pembohong."

Sudah belasan atau bahkan puluhan kali (Name) mengulang kata tersebut dengan isak tangis tanpa henti bagai kaset pita yang rusak. Suaranya semakin parau, menandakan ia telah menangis dan menjerit dalam waktu yang lama.

Beberapa jam telah berlalu sejak jasad seorang Rengoku Kyoujurou dimakamkan-akan tetapi sang gadis tampak tak akan beranjak dari sana dalam waktu dekat.

"Kyoujurou-san bilang akan kembali. Namun ... aku tak mengharapkan yang seperti ini!"

Isakan tangis dan teriakan penuh keputusasaan, serta jeritan pilu sebagai tanda penderitaan tak henti-hentinya disuarakan oleh (Name), meski ia tahu jeritannya takkan mengubah apapun.

"Aku senang kau berhasil melindungi semuanya, juga berhasil membunuh iblis itu. Namun, bukan berarti kau boleh pergi tanpa mengucap apapun padaku!"

Langit turut berduka atas kepergian sang pillar api, Rengoku Kyoujurou. Hujan rintik-rintik turun dan membuat (Name) terguyur. Namun, itu tak memengaruhi (Name) sedikitpun.

"Kau kejam ... Kyoujurou-san."

"Seharusnya ... aku tak usah mendengar perkataanmu. Seharusnya saat itu aku langsung meneriakkan bahwa aku sangat berterima kasih padamu!"

"Kau harus mengetahui seberapa menyesalnya diriku ini, Kyoujurou-san!"

Hari itu, Rengoku Kyoujurou telah kembali dari misinya. Ia telah gugur dengan terhormat sebagai seorang pahlawan ... akan tetapi (Name) tak bisa menerimanya begitu saja.

Ia tak sempat mengatakan apa yang ada di hatinya.

Ia tak mengucap salam perpisahan padanya.

Dan yang terpenting ... rasa terima kasihnya tak pernah terucapkan.

Sampai detik ini juga, hanya ada rasa penyesalan yang tersisa.

 
***
 

Waktu kembali berlalu.

Daun oranye berguguran, musim gugur telah menggantikan musim sebelumnya. Seorang wanita dewasa berusia puluhan tahun tengah berjalan di suatu pemakaman dengan sebuket bunga di tangannya. Ekspresi wajahnya terkesan biasa, hanya ada senyuman sendu yang mencerminkan isi hatinya.

"Wah, onnanoko! Kau selalu datang ke sini setiap hari!"

Tampaklah seorang penjaga pemakaman yang tampak membersihkan suatu area pemakaman. Wanita tadi mengangguk pelan untuk menyapa sang penjaga makam tersebut.

"Oh, anda mengenal saya, tuan?" tanya wanita tersebut.

"Ya! Semua orang di sini termasuk aku mengenalmu. Kau selalu datang ke sini setiap hari, tak pernah absen meski semisal hari sedang hujan." Pria penjaga makam itu menjelaskan dengan nada riang dan menatap wanita tersebut.

"Apakah dia yang kau kunjungi adalah orang yang penting dalam hidupmu? Jika iya ... aku rasa dia orang yang sangat beruntung, memiliki dirimu yang baik ini untuk selalu ada di sisinya."

Wanita tersebut menghela napas dan memejamkan matanya, sesaat sebelum kembali menatap pria tersebut dengan senyum yang kembali terpasang. "Ya, dia orang yang sangat penting di hidupku."

"Aku ... selalu mengunjungi dan menemaninya. Karena ... hanya dia seorang yang kucintai di dunia ini."

Ya. Wanita tersebut adalah (Surname) (Name). Waktu telah berjalan, usianya mungkin sudah tak cocok disebut muda lagi. Belasan tahun telah berlalu, akan tetapi perasaannya takkan pernah berubah.

Rasa penyesalan di hari itu.

Rasa berterima kasih di hari itu.

Semuanya tak bisa dilupakan oleh (Name). Itu semua akan terkenang, jauh dalam lubuk hatinya.

'Aku takkan pernah melupakanmu. Aku akan selalu mengingatmu, mengunjungi dan menemanimu di sini."

'Setidaknya ... inilah caraku untuk berterima kasih padamu, Kyoujurou-san.'

 

End

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top