The Divine Messages

Yarrow - The Divine Messages

Fandom: For All Time otome game by Netease
Pair: Ayn x Yerin

Written by: Candy-Yerin

.

'Sudah berapa lama dia mengurung diri di kamarnya?' Benak Ayn selagi mematung di hadapan papan pintu kamar papan bertuliskan 'Yerin'. Sorot pandang iris kemerahannya pun memandang kecewa pada sebuah piring saji, lengkap dengan hidangan laut dan camilan, yang tidak tersentuh sejak siang. Ayn sontak mengacak-acak rambut hitam legam setelinganya frustrasi, sebab tidak hanya mengurung diri, tetapi Yerin benar-benar enggan mengisi tubuhnya dengan makanan.

Kemudian pandangan Ayn mengedar pada sebuah papan lukis dengan kanvas yang berdiri kokoh. Cahaya keemasan senja hari menyinari permukaan kosong kanvas berukuran potret tersebut. Pemuda yang telah menginjak usia 25 tahun itu menghela napas. Dia tahu persis melukis adalah hal yang sangat penting bagi Yerin. Dan kini sudah genap dua bulan sang pujaan hati belum mengangkat kuas lukisnya.

Ayn beranjak menghampiri meja kayu di samping kanvas itu demi merapihkan kuas-kuas yang berserakan. Setiap jemari Ayn menyentuh permukaan kayu kuas yang keras, dia kembali teringat masa pertemuan pertamanya dengan Yerin. Seorang gadis dengan senyuman ceria layaknya langit cerah di siang hari--yang senada dengan warna rambut dan iris matanya. Kedatangan Yerin dalam lembaran kisah Ayn bagaikan pertanda awal kepergian kehidupan monotonnya.

Ayn tertawa kecil mengingat pertemuan tersebut. Terutama ketika Yerin bersikukuh menggambar Ayn sebagai pangeran ksatria di sebuah adegan berlatar medieval. "Kau pikir aku artist murahan? Kalau kau bilang aku tidak pantas menonton pertunjukkanmu, maka akan kubuktikan dengan gambaranku!" Atau begitulah respon Yerin saat Ayn mengusirnya yang telah menganggu aktivitas rehearsal Sang Pianist Jenius. 

Saat itu Yerin hanyalah seorang adik kelas kurang ajar yang baru menginjakkan kaki di Kampus St. Shelter. Mungkin dia cukup terkenal melalui buah bibir bahwa orangtua asuhnya adalah Profesor Emerald—pelukis tersohor seantero dunia. Berbeda dengan  Ayn yang mendapat ketenaran berkat usahanya sendiri. Akan tetapi, buah bibir tetaplah rumor belaka. Seiring berjalannya waktu, cinta pun bersemi kala Ayn mengenal gadis yang menjadi topik panas di seantero kampus tersebut.

Lalu apa alasan Ayn bertekuk lutut padanya? Sederhana saja. Yerin adalah perempuan yang tidak akan menyerah di kondisi tersulit apa pun. Dan kelemahan di mana gadis itu sering memaksakan dirinya dalam menolong orang lain--hal itu membuat Ayn semakin jatuh cinta. Untuk kali pertama, akhirnya Ayn paham cinta semacam apa yang diinginkan sang mendiang ibu padanya.

'Saat kau mencintai seseorang—termasuk sisi lemahnya—maka kau harus memperjuangkannya, Anakku.' kutip surat dari peninggalan mendiang ibu yang Ayn dapat di ulang tahun sweet seventeennya. Bahkan sampai detik itu, Ayn tidak pernah melepaskan kesempatan membiarkan Yerin pergi dari dunianya.

Setiap hari yang dihabiskan bersama gadis tersebut, selalu berhasil mengundang senyum tawa dari Ayn. Meski tidak jarang pula dia gemar menggoda Ayn sampai tidak sanggup menuturkan kata saking malunya. Apakah Ayn membenci hal itu? Tidak. Yang dia tidak suka hanyalah ketika dia tidak sanggup melakukan hal yang sama—menuturkan kalimat manis sampai Yerin ikut salah tingkah.

Lalu mengapa Yerin bisa sampai mengurung dirinya di kamar seperti ini? Dia tidak lagi melakukan kegiatan yang disukainya. Apakah ada suatu hal yang mengguncang gadis itu? Ayn tidak tahu, tapi dia tidak akan menyerah begitu saja membawa Yerin keluar dari sana, mengingatkannya pada hal-hal yang ia sukai.

"Yerin ... boleh buka pintunya? Aku ingin bicara denganmu sebentar," panggil Ayn.

Awalnya perkataan dia tidak dijawab. Sampai berselang beberapa menit, barulah pintu kayu tersebut dibuka. Yerin mengintip dari balik pintu. Mata gadis itu terlihat sembab, ada juga jejak air mata berlinang di sepanjang garis wajahnya. Belum lagi rambut yang terurai hingga pinggul itu terlihat berantakan, seakan tidak pernah disisir.

Ayn mengulas senyum tipis, bertutur lagi, "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Sudah lama kita tidak jalan sore berduaan, kan?" ajaknya.

Yerin pada awalnya terlihat ragu. Namun Ayn paham gadis itu tidak akan pernah tega menolak ajakan kekasihnya. Sambil menyeka air mata yang turun, Yerin bertutur, "Berikan aku waktu sebentar untuk bersiap-siap."

Ayn mengangguk paham, menatap lekat gadis di balik pintu tersebut, "aku akan menaktrirmu makanan apa pun yang kau mau. Aku sedang bosan dengan makanan yang disajikan Tukang Masak di sini. Makan bersamamu lebih menyenangkan."

Yerin tertawa kecil dibuatnya, "Maaf, hari ini mood makanku sedang kacau. Tapi kalau sambil cari camilan di luar ... kurasa aku bisa makan sedikit," tuturnya, sebelum menutup lagi pintu yang membatasi diri dengan Ayn.

Ayn pun beralih ke kamar miliknya di apartemen kecil tempat mereka berpindah tempat tinggal sejak bertunangan tersebut. Sebuah kaos putih bercampur gambar desain cetak siluet kucing, yang dibalut dengan kemeja  hitam kasual berpola garis tipis kotak-kotak. Ayn juga tidak lupa untuk mengambil topi tenis kasual hitamnya.

Setelah merapihkan diri, Ayn beranjak ke ruang tamu. Jujur saja dia cukup terkejut melihat Yerin tiba lebih dulu darinya. Gadis itu menggunakan make up agar menutupi bekas kemerahan sehabis menangis. Ayn hanya tersenyum, berharap dalam perjalanan nanti Yerin akan menceritakan apa yang mampu membuat gadis itu murung sampai enggan berani mengangkat kuasnya lagi.

***

"Angin sore memang yang terbaik!" pekik Yerin, tangan kecilnya memeluk pinggang Ayn dari kursi belakang sepeda. Gaun kasual selutut dengan lengan balon yang dikenakan Yerin, ikut tertiup angin selagi mereka bersepeda sepanjang jalan pinggiran taman kota.

Ayn tidak sadar ikut tertawa, "Bagaimana perasaanmu? Sudah membaik?" tanyanya setelah mereka berhenti di hadapan toko bunga.

"Bagaimana bisa aku tidak senang jika disemangati olehmu?" balas Yerin lalu tertawa kecil lagi--mengundang Ayn menyunggingkan senyum manisnya. Dia rindu melihat tawa dari gadis itu.

"Jadi apa yang mengganggu pikiranmu akhir-akhir ini?" tanya Ayn sambil memakirkan sepedanya.

Yerin terdiam. Gadis itu hanya mengulas senyum penuh sesal, "Aku tidak tahu harus menjawabnya bagaimana ...."

Akan tetapi Ayn tidak menyerah. Dia berpikir Yerin masih perlu waktu untuk mengatakan kebenaran dari tjndakan mengurung dirinya akhir -akhir ini. Ayn menjulurkan tangannya, lalu bertutur, "Ya sudah. Ayo kita masuk lihat-lihat bunga di dalam. Sekaligus menyapa Alkaid."

"Setuju!" pekik Yerin lagi, langsung menyambut uluran tangan Ayn.

Mereka pun masuk ke dalam toko bunga itu, disambut oleh pemuda dengan apron hitam. Dia bertubuh cukup tinggi, sekitar 180an yang tentunya lebih dari Ayn. Rambut pirang bermodel wolf-cut Alkaid dikuncir satu ke belakang. Sorot pandang sepasang netra mata sehijau batu zambrud itu langsung beralih pada sejoli yang mengunjungi toko bunganya. "Yerin! Ayn! Senang akhirnya bisa bertemu dengan kalian lagi," sapa Alkaid, melepaskan tawa rindu dengan suara lembutnya.

"Senpai! Lama tidak berjumpa!" sapa Yerin balik.

"Kau baik-baik saja, Yerin?" tanya Alkaid menyadari make up tebal di sekitaran mata gadis itu yang membengkak.

Yerin tertawa canggung, "I'm okay, for now," balasnya lalu menyibukkan diri melihat-lihat bunga di toko itu. Ayn menyadari tingkah ini, sebenarnya Yerin tidak ingin ditanya hal-hal yang terlalu, makanya dia melakukan hal tersebut. Demi mencegah orang lain bicara dengannya.

"Bagaimana pesananku?" tanya Ayn langsung, dibalas anggukan singkat dari Alkaid.

"Dia mungkin belum bisa menyampaikan kegundahannya padamu. Tapi aku harap, setelah mendengar kekhawatiranmu, dia akan menjadi lebih terbuka," tutur Alkaid agak berbisik sambil menyerahkan sebuket bunga Yarrow dengan paduan warna putih, merah muda, dan kuning.

Ayn mengangguk singkat, "Aku kekasihnya. Jadi menghibur dirinya adalah tugasku," balas pemuda itu membuat Alkaid tersenyum gemas.

Bertepatan dengan hal tersebut, Yerin kembali menghampiri. Dia pun menyadari besarnya buket bunga yarrow yang ada dalam dekapan Ayn. "Bunga ini cantik sekali dan—buket yang cukup besar," komentarnya.

"Tolong pegangi untukku," tutur Ayn dengan wajah yang agak merona. Dalam hati dia merutuk diri karena gagal menyampaikan kalimat manis saat memberikan bunga itu. Kenapa? Ayn terlalu malu.

Alkaid jadi tertawa, "Dia memesan itu untukmu, Yerin."

"Eh?" ujar Yerin cukup terkejut.

Ayn mengalihkan pandangannya tidak berani bertemu pandang dengan Yerin. Apalagi dia bisa merasakan wajahnya yang semakin memanas.

"Dia cukup khawatir karena kau mengurung diri terus akhir-akhir ini," ujar Alkaid lagi berniat membantu mendorong Ayn untuk memiliki percakapan serius dengan Yerin. Ayn memang buruk dalam memulai percakapan serius.

"Ayo kita bicara sebentar di luar," tutur Ayn sebelum berpamitan pada Alkaid.

Kemudian Ayn menuntun Yerin menuju kursi taman yang kosong. Mereka juga sempat membeli eskrim berlapis roti dari penjual di dekatnya. Akan tetapi, tidak ada dari mereka yang berani melahap eskrim tersebut.

"Maaf sudah membuatmu khawatir," tutur Yerin menundukkan kepalanya. Pegangan tangan Ayn menjadi lebih erat, berharap dapat membuat gadis itu merasa lebih tenang.

"Aku tidak menyalahkanmu. Hanya saja ... aku juga kesepian karena kau selalu mengurung diri," balas Ayn memberanikan diri beradu pandang dengan Yerin. "Kau tahu kita sudah bertunangan, kan? Aku juga ingin menjadi sosok yang kau andalkan di masa-masa sulit," jujurnya.

Yerin meremas ujung gaunnya gelisah. "Maksudku—ini bukan sesuatu yang harus kau khawatirkan—"

"Tentu saja aku khawatir. Kau berhenti melakukan semua kegiatan yang kau suka," sela Ayn tidak sabaran.  Tatapannya berubah serius, meski begitu masih tersirat kepedulian dari sorot pandangnya. "Kau memilikiku, jadi ... tidak ada salahnya untuk bersandar padaku."

Ketika Ayn menyadari pandangan Yerin yang kembali berkaca-kaca. Tanpa pikir panjang Ayn menarik gadis itu ke dalam dekapannya, mencoba menyalurkan keinginannya menenangkan badai di hati Yerin dengan sentuhan kasih di pucuk kepala.

"Tidak apa-apa, menangis saja. Aku ada di sini dan tidak akan pernah meninggalkan sisimu," bisik pemuda itu sepanjang tangisan Yerin. Ayn tidak mempedulikan lagi kemejanya yang akan basah karena air mata. Yang dia inginkan hanyalah membuat Yerin merasa lebih tenang. Dia ingin tahu apa penyebab belahan jiwanya menangis seperti ini.

Setelah Yerin cukup tenang, gadis tersebut langsung melahap eskrim yang dibeli tadi. "Sejujurnya aku takut," balas Yerin.

Ayn memfokuskan pandangannya pada Yerin. "Aku mendengarkan."

"Aku tidak tahu apa pilihanku sudah benar," tutur Yerin mulai bercerita. "Menulis, menggambar, dan melakukan semua pekerjaan yang kubisa. Aku tahu kalau akhir-akhir ini sudah terlalu memaksakan diri. Tetapi jika aku tidak melakukannya," gadis itu siap untuk menangis lagi, "aku merasa bersalah. Seakan tidak ada yang bisa dibanggakan dariku. Bagaimana pun juga, aku ingin menjadi sosok pasangan yang dapat dibanggakan."

Kemudian tatapan Yerin beralih menatap Ayn lagi—kini pemuda tersebut bisa melihat jelas ketakutan dari pandangan kekasihnya. "Aku tahu kalau aku bukanlah orang hebat. Pencapaianku biasa saja, aku bahkan tidak memiliki kemampuan cukup untuk menjadi perempuan idaman. Atau sosok yang bisa dibanggakan ayahmu," ujar Yerin lagi, lalu menyembunyikan wajahnya di balik telungkup tangan.

"Aku hanya tidak ingin hubungan kita diledek orang-orang karena aku belum mencapai sesuatu yang bisa membuatku pantas jadi pasanganmu," jujurnya, dilanjutkan dengan tangisan yang pecah.

Kini Ayn paham. Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga waktu berlalu sampai menjadi genap dua bulan, jawaban dari kesedihan Yerin berhasil Ayn temukan. Seharusnya bisa menyadari kegelisahan Yerin sepanjang waktu yang telah berlalu.

Dimulai dari Yerin yang kesulitan membuka percakapan, berbeda jauh dari biasanya. Kegelisahan Yerin setiap kali dihadapkan dengan kanvas kosong—padahal jika sudah memegang kuas, fokus gadis itu pasti akan terserap sepenuhnya seakan dunia hanya milik berdua dengan si kanvas. Pola makan yang tidak beraturan dengan porsi yang semakin menurun. Tatapan sendu akhir-akhir ini yang selalu tanpa sadar dia arahkan setiap kali merenung memandangi Ayn. Lalu ritme napas pendek dan pelan gadis itu seolah ia sedang tercekat selama mereka tidur bersama, dalam seminggu terakhir ini.

"Aku minta maaf," tutur Ayn, dengan perlahan menarik tangan yang menutupi wajah Yerin. Kini gadis itu dapat melihat pandangan sedih bercampur khawatir dari sepasang netra merah pasangannya.

"Kau tahu Yerin? Menurutku kau tidak perlu mengkhawatirkan hal-hal semacam itu," tutur Ayn sambil menangkup wajah lawam bicaranya.

"Aku bangga bisa menjadi salah satu orang spesial dalam hidupmu. Kau tidak perlu menjadi orang terpintar, terhebat, atau memenangkan penghargaan apa pun untuk menjadi pasanganku," ujar Ayn mencoba mengutarakan kesungguhannya di setiap kata. "Karena yang aku inginkan itu dirimu. Yerin. Bukan sembarang gadis yang memiliki prestasi tinggi."

"Maksudmu apa?" tanya Yerin lagi bersuara serak. "Aku—aku tahu pencapaian itu hal yang sangat penting di pandangan ayahmu, keluargamu. Aku tidak ingin menjadi sosok yang memalukan untuk kalian," lanjutnya.

Ayn terkekeh pelan sambil menyeka air mata yang mengalir turun dengan sapuan lembut ibu jarinya. "Kau tahu, Yerin ... di mata Ayah, kau itu seseorang yang hebat."

"Aku tidak paham," balas Yerin lagi siap untuk menangis. "Tolong jangan katakan hal-hal manis hanya untuk menghiburku. Aku ingin kebenaran, bukan kebohongan."

Aaah, Ayn tidak sanggup menahan debaran hatinya melihat sisi rapuh Yerin. Setiap sisi Yerin tidak pernah gagal membuatnya jatuh cinta. "Tentu saja itu bukan kebohongan. Kalau kau ingin tahu kenapa ...."

Sensasi lembut yang hangat menyentuh permukaan di bibir  Yerin—refleks membuat gadis itu melebarkan matanya terkejut. Tangan besar Ayn kemudian menyelip ke balik kepala gadis tersebut, menarik gadis itu ke dalam dekapan demi memperdalam ciuman manis mereka.  Semua kegundahan dan kegelisahan di hati Yerin seketika lenyap.

Berselang beberapa menit, Ayn memutuskan ciumannya. Betapa terpananya Yerin melihat wajah rupawan sang kekasih yang diselimuti cahaya kuning keemasan—membuat jantung Yerin berdebar cepat. Senyuman tipis yang Ayn sunggingkan tidak pernah gagal mengirim desiran panas ke sepanjang tubuh Yerin.

"Karena kau berhasil membuatku menjadi diriku sendiri—itu pencapaian yang tidak bisa dilakukan orang lain, termasuk ayahku," tutur Ayn menjelaskan lalu memberikan lagi buket bunga Yarrow pada Yerin.

Pemuda itu pun kembali berujar, "Dan bunga Yarrow ini, menyimbolkan cinta yang murni. Di cina, bunga ini merupakan simbol pengobatan suci. Jadi ... aku berharap ... cintaku dapat menjadi kekuatan untuk mengobati segala kesedihanmu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top