"Thanks."

'Terima kasih.'

Satu kalimat dengan dua kata sederhana, bentuk rasa syukur yang diatur untuk mudah diucapkan siapa pun dan diutarakan pada siapa pun.

[First name] tentunya tau hal dasar macam itu. Dia sendiri adalah satu dari sekian banyak orang yang selalu bersyukur dan mengucap terima kasih pada setiap orang yang membantunya. Ia selalu membalas budi, walau biasanya hanya lewat untaian kata.

Tapi meski begitu, terkadang–

"[Surname], pulpenmu jatuh."

–beberapa orang adalah pengecualian.

"Sudah kubilang untuk tidak menyentuh barangku, kan?"

Grateful feeling ✧‧˚

5th Fragments project
Boku no Hero Academia‪ © Kohei Horikoshi
Story © PolarisF

"[First name]-chan, bukankah kau agak terlalu kasar pada Todoroki-chan belakangan ini? Kero." Asui memandang [First name] ragu, raut tidak nyaman tercetak jelas di wajahnya yang manis. Ia agak khawatir dengan teman sekelasnya yang sibuk membersihkan pulpennya dengan sapu tangan, seolah baru saja terjatuh di kubangan penuh bakteri.

"Hah? Apa maksudmu?" [First name] memandang Asui tidak mengerti, tangannya masih bergerak mengusap seluruh batang pulpen. Alisnya saling bertaut kebingungan.

"Kau tau aku membencinya," Bola mata berhiaskan warna [Eyes color] itu berpindah menatap pria bersurai dwi warna yang berbincang dengan siswa yang lain.

"Dan dia juga tau aku membencinya."

Asui tau itu. Bukan jadi rahasia lagi jika [First name] membenci Todoroki ketika [First name] sendiri bahkan tidak berusaha menyembunyikan ketidaksukaanya. Dari tatapan, suara dan gestur tubuhnya akan berubah sinis jika sudah berhadapan dengan Todoroki. Rasanya seisi kelas pun sudah tau tentang hal ini.

Tapi Asui tak benar-benar mengerti mengapa teman kesayangannya itu membenci Todoroki.

[First name] memang pernah beberapa kali berbicara tentang betapa sombong dan dingin Todoroki saat masa-masa semester pertama tapi jika benar itu alasannya, bukan kah Todoroki sekarang sudah mulai membuka diri? Jadi tidak ada alasan lagi untuk [First name] membenci pria malang itu. Terutama ketika Asui ingat bahwa [First name] adalah orang yang pemaaf.

Asui agak kasihan melihat Todoroki yang bingung dan berusaha bersikap baik pada [First name] namun selalu berujung ditolak mentah-mentah. Kadang Asui dibuat tak tega karenanya.

Ketika Asui dibingungkan oleh ketidak tahuannya. Sebenarnya hanya ada satu alasan simpel kenapa [First name] membenci Todoroki:

Iri.

Orang yang selalu bersyukur pun bisa menjadi orang yang paling tidak bersyukur ketika dihadapkan sebuah kemegahan yang tak ia miliki, kau tau?

Wajahnya, garis keturunannya, quirknya. Mengapa dia begitu sempurna?

Melihat orang seperti Todoroki benar-benar membuat [First name] panas. Tentu saja, untuk orang yang dilahirkan dengan serba biasa, melihat keajaiban seperti Todoroki membuatnya iri hingga ke tulang sumsum.

[First name] tau, harusnya ia tidak membenci Todoroki dengan alasan kekanak-kanakan macam itu tapi ia tak bisa menahan diri menahan gejolak kedengkiannya.

Dia benci bagaimana semua hal terlihat begitu mudah di tangan putra bungsu pahlawan nomor 2 itu. Terutama saat turnamen olahraga, Todoroki benar-benar mencuri spotlight.

Lihat saja! Bagimana wajah tampan Todoroki yang terpahat sempurna nampak berkilau di bawah sinar matahari dan rambut indah sehalus suteranya terbang mengikuti irama angin. Sial! [First name] bahkan tidak bisa menghina Todoroki tanpa memujinya.

"[Surname], ada apa?" Tanya Todoroki. Sudah hampir 6 menit, [First name] terus memandangi wajahnya intens tanpa mengucap sepatah kata pun. Itu cukup menakutkan.

Todoroki bisa saja langsung berjalan pulang menuju asrama tanpa menghiraukan [First name] tapi rasanya agak ganjil jika ia pergi begitu saja. Siapa yang tau apa yang ada di kepala gadis itu, mungkin saja dia sedang merencanakan cara untuk membunuhnya. Todoroki tau seberapa gadis itu tidak menyukainya. Sedikit sedih rasanya.

Tersentak dari lamunannya, [First name] mengalihkan pandangannya tanpa menjawab. Duh, ketahuan kan.

Todoroki yang tidak mengerti hanya mengira-ngira, hingga kemudian ilham datang menghampiri.

Ia melirik ke sesuatu yang ada di genggamannya.

Dengan wajah polos, Todoroki datang menghampiri [First name] dan menyodorkan sekotak susu strawberry.

"Hah?" [First name] mengernyit tidak mengerti.

"Kau ingin itu, kan? Kuberikan. Belum kuminum, tenang saja." Tanpa menunggu jawaban [First name], Todoroki meletakkannya di tangan [First name] yang kosong kemudian berlalu pergi sambil melambaikan tangan kecil.

"..... hah?"

Meninggalkan [First name] dengan wajah yang bersemu merah.

J-jangan harap [First name] akan berterima kasih yah!

Dia tak semudah itu digoyahkan.

Dia hanya lengah.

....

[First name] banyak alasan ya?

Ini hari minggu, siswa diizinkan keluar asrama tapi tentunya dengan batas-batasan tertentu. U.A tidak ingin mengambil risiko dengan lama-lama membiarkan anak didiknya di luar pengawasan.

Di saat sepeti ini, [First name] akan memanfaatkan hari liburnya sebaik mungkin. Berleha-leha di kasur bukan hal yang ingin ia lakukan minggu ini, jadi ia menggantinya dengan kegiatan yang lebih produktif.

Seperti menjenguk neneknya di rumah sakit.

Jadi di sini dia sekarang, berjalan di lorong rumah sakit sambil meneteng bingkisan juga secarik kertas bertuliskan nomor kamar.

Melihat ruangan dengan nomor yang sama, [First name] tidak membuang waktu dan membuka pintu tanpa permisi.

Masa bodo jika neneknya terkena serangan jantung, toh neneknya terlalu tuli untuk bahkan mendengarkan gebrakan pintunya.

"Nenek–"

Apa ini? [First name] mengharapkan untuk melihat wanita tua berambut putih tapi kenapa malah yang muncul wanita berambut–
oke, wanita itu juga berambut putih tapi bukan kah dia terlalu muda untuk menjadi neneknya?

Hanya ada satu penjelasan.

'Gawat, salah kamar.'

[First name] membaca tulisannya terbalik. Ruangan neneknya masih jauh.

[First name] itu sebenarnya pintar tapi jika sudah berurusan dengan yang namanya ingat-mengingat, [First name] sama bodohnya dengan ikan koi.

Wanita bersurai perak itu terlihat cukup kaget dengan suara keras yang bedengung tiba-tiba di telinganya, sebelum akhirnya menatap [First name] dengan tatapan bertanya, seolah mengatakan:

'Kau siapa?'

"A-anu!" [First name] segera membuka mulut, mencoba menjelaskan tapi suara lain mengintrupsi.

"[Surname]?"

Suara itu.

"T-Todoroki!?"

APA LAGI INI!?

S-situasi macam apa ini?

[First name] diam membeku.

"Shoto? Apa dia temanmu?"

"... ya." Jawab Todoroki ragu. Kedua iris mata berbeda warnanya menatap [First name] curiga.

"Apa yang kau lakukan di ruangan ibuku?"

IBUNYA?!

Oh astaga, lupakan tentang neneknya. [First name] yang kena serangan jantung.

2 menit berlalu setelah situasi tidak terguga yang mengguncang [First name], sekarang ia berakhir duduk bersebelahan Todoroki, berhadapan dengan tepi ranjang nyonya 'Todoroki Rei'.

"Sebodoh apa kau hingga tidak mengingat ruangan nenekmu sendiri?" Adalah hal pertama yang Todoroki ucapkan ketika mendengar penjelasan [First name].

"Shoto." Tegur Rei.

[First name] tertawa kikuk, menahan diri untuk tidak melempar Todoroki ke luar jendela.

"Ha. Ha. Kau tau quirkku mempengaruhi daya ingatku kan, Todoroki?"

Todoroki tidak menjawab dan memilih fokus mengupas apel untuk ibunya.

Rei tersenyum dan menatap [First name] lembut.

"Jadi kamu temannya Shoto?"

"Eh? Ah, i-iya. Bisa dibilang begitu." Mungkin.

"Sekali lagi maaf yah, bibi. Aku benar-benar salah kira jika ini ruangan nenek."

Kau masuk ke ruangan nenekmu yang sedang sakit sambil membanting pintu?

Nyonya Todoroki menggeleng, "tidak apa-apa."

"Oh, dan kau bilang sebelumnya namamu [Surname]?"

[First name] mengangguk, memang kenapa?

"Shoto sangat sering membicarakanmu, loh."

APA YANG ANAK ITU BICARAKAN TENTANGKU!?

[First name] berkeringat dingin, jika Todoroki menceritakan semua perlakuan buruk [First name] pada ibunya dan sampai ke telinga ayahnya Endeavor, [First name] pasti jadi daging panggang.

"Dia bilang ingin dekat denganmu."

Eh?

"Ibu."

Rei terkekeh, senyumnya melebar melihat anak laki-lakinya mengerutkan kening malu.

"Katanya kau sulit didekati dan mudah marah ketika di dekatnya."

"Ibu." Rei tidak menghiraukan Todoroki yang mulai panik. Ia hanya tertawa kecil. Tangannya yang kurus kemudian terjulur menggapai kedua telapak tangan [First name].

[First name] bisa merasakan udara sejuk menyentuh kulitnya.

"Terima kasih karena sudah menjadi teman Shoto. Anak itu tak begitu pandai dalam bersosialisasi jadi dia tak begitu punya banyak teman." Jelas Rei.

"Tolong terus berteman dengannya, yah."

[First name] tak berkutik.

Pada akhirnya, [First name] harus menunda niatnya untuk mengunjungi neneknya. Bingkisan yang ia bawa, [First name] titipkan pada salah satu perawat. Ia sedang tak ingin berbicara pada siapa pun, bahkan neneknya sekali pun. Sedikit yang dia tau, neneknya menyumpahi [First name] di ruangan sebelah.

Langit berubah menjadi oranye, sayup-sayup suara keramaian kota mulai berkurang setiap kali [First name] melangkah semakin jauh.

Tepat di sebelahnya, Todoroki berjalan berdampingan dengannya.

Permintaan Rei terus terngiang di kepalanya.

Kemudian ia teringat alasan [First name] membenci Todoroki, baginya Todoroki terlalu sempurna. Tapi kemudian ia juga teringat,

bahwa [First name] tau itu tidak benar.

Selama ini [First name] hanya menutup mata dan telinga tentang bagaimana ia sebenarnya selalu tahu tentang masa lalu Todoroki yang suram. Ia hanya ingin melampiaskan kekesalannya pada seseorang, keputus asaanya tentang bagaimana ia tak dianugerahi banyak hal spesial.

[Surname] [First name], quirk: Psikometri. Ia memiliki kemampuan yang memungkinkan membaca pikiran dan ingatan seseorang yang tertinggal dalam suatu objek. Sekali dia pernah menyentuh barang pribadi Todoroki dan ingatan tentang masa lalunya langsung memenuhi isi memori kepala [First name].

Sepertinya [First name] harus mulai berhenti menjadi egois.

"Anu–"

"Hei–"

Todoroki dan [First name] saling memandang.

Tawa kecil terdengar dari [First name], membuat Todoroki syok sesaat. Ini pertama kalinya gadis itu tersenyum padanya.

"Kau duluan."

Todoroki mengangguk dan berbisik,

"Maaf."

[First name] menatap Todoroki tidak mengerti, "maaf untuk apa?"

"Entah lah, maaf untuk membuatmu selalu kesal?"

Tidak ada jawaban dari [First name] untuk sesaat.

"Kupikir kau bukan orang yang memikirkan hal seperti itu."

"Harusnya begitu. Tapi denganmu agak berbeda." Ucap Todoroki, membuat wajah [First name] memanas sepersekian detik.

"Apa itu semacam kode pernyataan cinta?"

"Tentu saja bukan." Sahut Todoroki cepat.

"Caramu yang mengatakannya dengan santai agak membuat itu menyakitkan."

[First name] melirik Todoroki, sebelum akhirnya memilih menatap bebatuan jalanan, "tapi kau tau? Yang seharusnya minta maaf itu aku."

"Aku bertingkah kekanak-kanakan dan selalu kasar padamu hanya karena alasan konyol."

Todoroki mengangguk, tidak jelas apa artinya itu.

"Aku selalu penasaran, apa yang membuatmu benci padaku?"

[First name] tersentak, mana mungkin dia mau bilang soal itu.

"K-kau tak perlu tau soal itu!"

"Kenapa?"

"J-jangan banyak tanya."

"....."

Keduanya saling menatap dalam diam sampai [First name] berceletuk,

"Kau mau jabat tangan?"

Todoroki mengangguk, menautkan jemarinya pada tangan kanan [First name] yang halus. Meski ia tidak tau mereka berjabat tangan karena apa.

Todoroki hanya suka jabat tangan.

"Dengan ini artinya kita berteman. Dan kau sudah memaafkanku." Ucap [First name] tiba-tiba. Terkesan cukup memaksa.

"Tapi aku tak bilang aku memaafkanmu."

"Kau tidak mau memaafkanku?"

"Bukan begitu."

"Kalau tidak mau memaafkan, ya sudah."

"Tidak, bukan begitu. Aku memaafkanmu."

"Kalau tidak ikhlas, tidak usah."

"Aku ikhlas."

[First name] berjalan mendahului Todoroki. Memalingkan wajah, berusaha menahan senyum lebar yang memaksa tampil.

"Todoroki."

"Aku sudah memaafkanmu, [Surname]." Sahut Todoroki, mengejar [First name].

"Bukan itu."

"Lalu?"

"Terima kasih."

Fin.





Saiki, aku pinjam salah satu kekuatanmu.

Alurnya kecepetan hshshshshs.

Ya, terserahlah. Pokoknya,

SELAMAT ANNIVERSARY  FRAGMENTS YANG KEDUAAA!!💛💛✨

UHUHUHUHUHUHU

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top