Sorry
Sorry
Tokyo Revengers © Ken Wakui
Haitani Ran x Mitsuya Takashi
Story © sachandez
.
.
.
.
.
.
[]
Rindou memperhatikan kakak laki-lakinya yang sibuk membenamkan kepalanya pada kebun bunga di halaman rumah mereka. Kakaknya selalu seperti itu, ia mencintai kebun bunganya lebih dari apapun. Ia akan selalu berada di sana, setiap waktu, bahkan ketika matahari tergelincir dan pergi ke sisi belahan dunia yang lain. Kalau Rindou tak memaksanya untuk makan dan tidur, ia barangkali akan tetap di sana, tidur dengan bunga-bunganya yang memancarkan warna ungu layaknya rambutnya. Tetap di sana, hingga dunia bakal berakhir dengan sendirinya.
Sejujurnya Rindou tak mengerti sejak kapan obsesi itu dimulai, kalau dipikir-pikirkan lagi kakaknya tak pernah sesuka itu pada bunga. Tak pernah ada di kepalanya, bahwa kakaknya itu akan menanam bunga sebanyak itu, apalagi yang membuat paling aneh, bunga yang ditanamnya hanya satu jenis dan satu warna saja. Purple Hyacinth. Itu yang dikatakan internet kepadanya.
Terkadang ia akan mengajak kekasihnya untuk berbagi kebingungan bersamanya, namun reaksi kekasihnya selalu sama. Ia akan selalu menepuk kepalanya, dan mengeluarkan pertanyaan serupa. "Sudahkah kau bertanya?"
Rindou takut untuk bertanya.
Sejujurnya, ia cuma khawatir.
Bukan hanya itu saja sebenarnya hal yang selalu membuat Rindou bertanya-tanya, hal lain itu adalah tentang kakaknya yang selalu pergi ke suatu tempat yang tak pernah ia tahu. Ia akan selalu pergi di saat beberapa hari tertentu, bahkan ketika perayaan-perayaan sepele seperti valentine, natal dan tahun baru. Kakaknya tak pernah mengatakan apapun, dia tak pernah membicarakannya, ia akan hanya pamit pergi kepadanya dan mengambil beberapa tangkai hyacinth dari kebun bunganya. Di sana, Rindou hanya akan diam, mengamati kakaknya dan berusaha untuk memberi tahunya bahwa ia harus pulang.
Selain itu, beberapa kali Rindou kerap memergokinya berbicara dengan seseorang di telepon. Itu bukan hal yang aneh, tetapi melihat nada suara yang digunakan kakaknya dan postur hati-hatinya ketika ia membalas, Rindou tahu yang ada di balik telepon bukanlah cuma orang lewat. Kakaknya tak akan pernah sehati-hati dan selembut itu, tidak kepada orang lain, Rindou hanya akan pernah melihat kakaknya bersikap seperti itu jika hanya dengannya.
Ia teramat tahu kakaknya telah menyimpan rahasia besar dengannya, barangkali bertahun-tahun, barangkali sudah terlalu lampau (sebab ketika Rindou baru menyadari, sifat dan kelakuan kakaknya telah berubah sedikit demi sedikit belakangan ini, namun keahlian berpura-puranya menyembunyikan semua). Tetapi Rindou bahkan tak dapat mengeluarkan satupun frasa dari tenggorokannya, ia bahkan tak tahu apakah ia punya hak meminta penjelasan atau tidak.
Barangkali saja ...,
Barangkali saja, kakaknya ingin menyimpan rahasia itu hanya untuk dirinya sendiri. Atau, memendamnya di tempat paling terdalam. Atau, entahlah.
Jadi ketika kakaknya kembali pamit untuk pergi, Rindou lagi-lagi hanya dapat menutup mulut. Ia hanya dapat melambaikan tangan, ketika punggung kakaknya yang perlahan-lahan menghilang dengan beberapa tangkai hyacinth di pelukannya.
Rindou harap, kakaknya akan dapat bahagia.
Ia memang tak dapat membantu apapun, tetapi ia barangkali dapat membantu mendoakan kebahagiaan untuknya. Kalaupun semesta tidak menerima permohonannya, ia akan memaksa bagaimanapun caranya.
Rindou menghembuskan napas, dunia dan isinya mengapa selalu rumit? Ia melirik ke arah barisan purple hyacinth yang menari di tengah sinar keemasan matahari, ada beberapa kelopak lagi yang mekar, mungkin kakaknya baru saja menanam lagi kemarin. Dengan lelah, tungkainya bergerak maju, bersiap-siap untuk pergi bersama kekasihnya di siang yang cerah ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
[pertemuan itu barangkali cuma hukuman, untuk pendosa sepertinya]
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ia tersesat.
Oh, sebentar, memangnya dia punya rumah?
Haitani Ran berdiri terpaku di tengah tangisan semesta. Rintik-rintik air membasahi seluruh kemejanya, mencoba menyusup ke dalam pori-pori kulitnya, atau barangkali sekalian saja ke jantungnya yang tengah berlubang. Semuanya basah, tak ada yang tersisa, pun dengan kelopak matanya yang perlahan-lahan terbuka, mencoba melihat kekosongan yang disamarkan oleh rintik-rintik air yang membekukannya.
Rintik-rintik air melewati jantungnya yang berlubang, Ran meringis kesakitan.
Ia tak tahu berapa lama ia di sini, oh ia bahkan sudah tak pernah peduli pada waktu yang terus berputar. Hal terakhir yang Ran ingat, ia berputar-putar mencari penambal jantungnya yang berlubang, telah kosong melompong, dan seperti yang ditebak tak ada yang memiliki apa yang dia inginkan.
Pada akhirnya ia berakhir tersesat—
"Ah, memangnya aku punya rumah?"
Ia tak tahu darimana asal mula jantungnya yang berlubang, ia tak tahu. Mendadak ia tak ingat apa-apa, hanya potongan kecil tentang adik kesayangannya yang terluka karena misi, serta namanya, julukan pendosa dan tujuannya mencari penambal jantungnya yang berlubang. Tanpa ia sendiri sadari, ia sudah berdiri di sini, tersesat—ah barangkali ia sudah tersesat sejak awal, apakah ia punya rumah untuk kembali? Tak membawa apa-apa, hanya lubang di jantungnya yang melebar, dan Ran mencoba melebur dalam rintikan hujan.
Apakah jantungnya menjadi seperti ini karena dosa-dosanya yang terlalu banyak?
Tidak tahu.
Tidak mengerti.
Yang Ran tahu sekarang ia hanya ingin mencari penambal jantungnya, barangkali semua ingatannya bakal kembali juga.
—sebuah suara percikan membuat telinganya berkedut.
Mendongak, Ran menatap hampa sekitar. Tidak ada apa-apa, ataukah suara tadi hanya imajinasinya belaka? Barangkali memang kewarasannya sudah di ujung tanduk, ah apakah kewarasannya masih ada?
Ran kembali terdiam.
Namun sebelum ia mengalihkan atensinya, mendadak sepasang sepatu terlihat di penglihatannya.
Perlahan-lahan Ran menggerakkan kelopak matanya ke atas. Sebuah jas hujan berwarna ungu? Oh, leher? Apakah itu manusia? Dan ketika Ran mencapai wajah sosok di depannya, kali ini ia benar-benar membeku terdiam.
Itu wajah yang amat familiar.
Sebuah nama mendadak terlintas di kepalanya.
Mitsuya Takashi.
Siapa?
"Hujan membuatmu sakit."
Serangan itu benar-benar mendadak, Ran kelimpungan, ingatan-ingatan yang berbeda membanjiri kepalanya secara bersamaan. Terlalu banyak! Terlalu banyak! Dan ketika Ran menatap ke bawah, sepasang matanya melebar melihat lubang di jantungnya yang sedikit demi sedikit mencoba menyatu kembali.
Ah, Ran menemukannya.
Penambal jantungnya.
Oh, dan Mitsuya Takashi.
"Lama tak bertemu, Mitsuya."
.
.
.
"Tunggu di situ."
Ran berdiri diam, seluruh tubuhnya benar-benar basah, seolah sehabis merangkak keluar dari lautan luas. Sepasang matanya melihat sekeliling, tampak penasaran, pun juga bertanya-tanya. Sebab untuk apa Mitsuya Takashi membawanya ke rumahnya?
Seharusnya saat ini Ran tengah berdiri di tengah hujan, sampai benar-benar menyusut, atau barangkali langit sudah terlalu lelah melihatnya dan memusnahkannya dengan tangisan langit yang merayapi seluruh tubuh. Ah, ini sudah kemana-mana. Ran mengerjap, berusaha kembali memusatkan atensi ke sekelilingnya. Tanpa sengaja, sepasang matanya jatuh ke tempat jantungnya berada.
Itu masih berlubang, ya apa yang diharapkan?
Tetapi Ran menyadari, bahwa lubang jantungnya tak seperti biasa. Itu menutup sedikit, seolah telah diisi oleh sesuatu, namun itu juga berhenti, dan Ran tak tahu mengapa. Ia melemparkan pemikirannya, ketika Mitsuya datang kembali kepadanya.
Dan oh, dia membawa handuk.
Untukku?
"Kemari." Ran tak bergerak, jadilah Mitsuya yang mendekat kepadanya.
Handuk putih itu menyelimuti kepalanya, membiarkan kepalanya yang basah tenggelam dalam benda lembut itu. Ran masih terdiam, ketika kedua tangan Mitsuya menggosok kepalanya dengan handuk secara lembut. Saat ini ia benar-benar diserang kejutan, dan otaknya pun masih berusaha menyesuaikan. Ran membeku sepenuhnya.
Ketika ia mengerjap barulah ia menyadari, bahwa Mitsuya telah selesai menggosok seluruh tubuhnya dengan handuk. Sepasang matanya menatap sosok Mitsuya yang menarik kembali tubuhnya darinya, dan tanpa banyak bicara menyeretnya paksa untuk masuk ke dalam.
Baru ketika ia dipaksa untuk duduk di sofa, Ran mencoba bersuara. "Tidak perlu repot-repot."
Namun Mitsuya mengabaikannya. Sosoknya berjalan menjauh untuk masuk ke sebuah ruangan di seberang, barangkali kamar?
Ran kembali terdiam. Sepasang matanya berkeliaran, melihat sekeliling kembali dengan penasaran. Itu sepi, sunyi, tidak ada suara anak-anak, seingatnya bukankah Mitsuya mempunyai dua adik? Dan yah, juga tidak ada tanda-tanda bocah Shiba yang suka menempel dan berisik. Sejujurnya Ran lebih suka seperti ini, akan lebih canggung jika orang lain tahu bahwa Mitsuya membawanya ke sini, layaknya membawa teman lama. Apalagi jika bocah Shiba menyebalkan itu tahu, jangan sampai.
Mitsuya kembali terlihat, ketika ia selesai melihat-lihat seluruh perabotan ruangan. Kali ini Mitsuya membawakan pakaian untuknya, dan meletakkan pakaian itu ke kedua tangannya yang menganggur. Sebelum Ran menanyakan sesuatu, tubuhnya diseret kembali untuk memasuki ruangan yang tadi dimasuki Mitsuya.
Oh benar, itu kamar.
Pandangannya jatuh ke seluruh ruangan, perabotan kamar, tembok, lantai tempat ia berdiri, langit-langit, bahkan debu di sudut ruangan. Ran menatap, menatap, dan terus menatap hingga ia bosan. Pada akhirnya ketika kebosanan jatuh, ia baru mengganti pakaiannya dengan pakaian yang diberikan Mitsuya.
Pakaian itu sedikit terlalu kecil untuknya, namun kainnya begitu lembut (ia jadi penasaran, barangkali nanti ia bisa menanyakannya pada Mitsuya), dan sebab Ran nyaman-nyaman saja menggunakannya, maka ia sendiri tak masalah. Ditumpuklah pakaian basahnya dan dibentuk buntelan besar asal-asalan. Ran kembali keluar dari kamar pribadi sang tuan rumah.
Ketika ia kembali menginjakkan kakinya ke ruang tamu, Mitsuya sudah duduk di salah satu sofa. Terlihat sedang fokus dengan sesuatu di ponselnya, pakaiannya yang basah telah diganti dengan hoodie dan celana baru, helai-helai rambut keunguannya terlihat berantakan, dan kelopak matanya menurun untuk menatap ponselnya.
Barangkali saja langkahnya terlalu keras, sebab Mitsuya mendadak mendongakkan kepalanya. Sepasang matanya yang teduh dan hangat menatapnya untuk waktu yang cukup lama, sebelum kemudian mendadak saja sebuah senyum ringan diberikan. Di bawah lampu yang memercikkan cahayanya, untuk pertama kalinya sosok Mitsuya Takashi tersenyum kepadanya.
Ran terdiam, dan oh mungkin juga terpukau.
Kepalanya mendadak kosong, dan seolah ada sesuatu yang menggeliat di jantungnya yang berlubang. Tanpa ia sadari, ia sudah jatuh, jatuh, dan jatuh. Dan ketika ia mengerjap, menginjakkan kakinya kembali di dunia, seolah-olah ada yang mengisi penuh kembali jantungnya, menambalnya dengan sesuatu yang ia tak ketahui hingga jantungnya menutup kembali sepenuhnya, dan menit-menit berlalu, untuk pertama kali dalam hidupnya Ran kembali mendengar suara degup jantungnya. Jantungnya hidup. Itu berdegup terlalu kencang dan memuja, meneriakkan satu nama yang tiba-tiba membuatnya berantakan hanya karena sebuah senyuman. Ran dibuat kacau total.
Itu semua terlalu mendadak, terlalu banyak hal yang terjadi, hingga otaknya yang pintar bahkan harus memprosesnya secara perlahan-lahan. Ketika kepalanya memproses sepenuhnya, Ran akhirnya menatap ke tempat jantungnya yang tak lagi berlubang. Tangannya meraba-raba tempat jantungnya yang kembali hidup, kembali berdegup, tak ada lagi kehampaan yang menyebalkan. Itu semua digantikan oleh perasaan hangat dan nyaman yang tak pernah ia rasakan.
Untuk waktu yang cukup lama Ran dalam keadaan linglung, hingga ia tak menyadari pandangan bertanya-tanya dari pihak lain. Sentuhan hangat tiba-tiba saja melingkupi tangannya, Ran ditarik kembali ke dunia dan mengerjap. Buntelan pakaiannya telah hilang dari tangannya.
Mitsuya ada di hadapannya. Kebingungan terpancar dalam tatapannya. Lalu sebuah suara terdengar, "Sakit?"
Ran menggeleng, tiba-tiba kehilangan kemampuan berbicara. Atau barangkali karena degup jantungnya yang lagi-lagi memuja sebuah nama dengan terlalu keras, hingga membuyarkan fokusnya.
Mitsuya menatapnya lagi, hingga akhirnya ia menarik diri dan kembali ke sofa. Kembali fokus ke pekerjaannya, setelah memastikan tamunya tidak menderita demam atau semacamnya.
Oh, betapa bercandanya semesta dengannya. Ran—yang sudah sadar sepenuhnya—kini ingin mengumpat dan menembak semesta yang terlalu keparat. Dari semua makhluk hidup di dunia ini, semesta mengirimkan Mitsuya Takashi untuk menjadi penambal jantungnya. Dan baiklah,
mungkin juga sosok yang ia harapkan cintanya. Yang dipuja jantungnya dalam setiap detak. Yang memberinya kenyamanan dan kehangatan yang tidak pernah dimilikinya.
Dan yah, sekali lagi itu adalah Mitsuya Takashi. Mantan musuh bebuyutannya.
Ran menatap pihak lain, Mitsuya sudah menyingkirkan ponselnya, sosoknya kini sibuk mengaduk sesuatu di cangkir. Lalu tiba-tiba waktu berhenti, dan Ran tidak tahu harus apa.
Beruntunglah sepertinya Mitsuya tahu isi pikirannya, jadi sosoknya kembali ke dalam kamar dan datang kepadanya dengan selembar selimut, lalu menunjukkan sebuah ruangan lain di seberang kamarnya. Ran menggangguk, dan tanpa membuang waktu masuk ke dalam ruangan yang ditunjukkan.
Itu pemahaman diam-diam. Tanpa membuang frasa, keduanya tahu bahwa Ran akan menginap semalaman dan esok pagi akan keluar dari sini.
Ran pikir kamar yang ditempatinya akan menjadi kamar adik-adik Mitsuya, namun tidak, ia tidak tahu bahwa Mitsuya memiliki kamar tamu. Ran merebahkan dirinya di ranjang, menyelimuti dirinya dengan selimut dan menutup sepasang matanya.
Ini akan menjadi pertama, dan juga terakhir.
Ran tahu, ia tak memiliki harapan sejak awal. Lalu apakah jantungnya akan kembali berlubang setelah itu? Semesta benar-benar bercanda dengannya, bukan? Mengirim seseorang yang jalan hidupnya saja sudah berbeda dengannya, huh? Dan bagaimana dengan esok? Ah apakah dia punya rumah? Ah yah dia masih punya adik, tapi bukan rumah.
Dalam kesunyian, Ran berusaha membuang semua pemikirannya, dan menit-menit terbuang, akhirnya ia jatuh ke dalam mimpi yang panjang.
Esoknya, Ran pergi tanpa menoleh ke belakang.
Dan esoknya lagi, ia menemukan sepasang kakinya membawanya kembali, Ran menemukan dirinya kembali berdiri di rumah Mitsuya. Dan ketika ia membeku dengan apa yang dilakukan tubuhnya kepadanya, pintu di hadapannya tiba-tiba terbuka.
Mitsuya Takashi menatapnya. Lama.
Ran membalas tatapannya. Tidak tahu harus apa.
Ia sudah membayangkan bermacam-macam reaksi Mitsuya di kepalanya, barangkali akan mengusirnya, menatapnya tajam atau menyeretnya keluar dari rumahnya. Namun yang tak Ran sangka, ia menemukan Mitsuya menarik pintunya lebih lebar, dan sebuah suara terdengar. "Masuk."
Keduanya tahu, itulah awal dari semua kesalahan tercipta.
.
.
.
"Kenapa kau menyukai bunga itu?"
"Apakah kau pernah mendengar kisah, tentang Hyacinthus dan Apollo?"
"Tidak, memangnya bagaimana?"
"Sedikit rumit, dan sangat menyedihkan. Aku akan meminjamkanmu bukunya nanti."
"Baiklah." Senyum terbentuk hingga mencapai mata, Ran menatap Takashi dengan memuja, penuh cinta, penuh kehangatan.
Dan Takashi pun juga membalasnya dengan tatapan yang sama, membuat degup jantungnya kembali berisik di tempatnya.
"Ran."
"Iya?"
Takashi mengembangkan senyumnya, kepalanya perlahan jatuh pada pundak Ran. Dengan posisi mereka yang terlalu malas untuk bergerak, Takashi berbisik. "Apakah ini kesalahan?"
"Tidak," bisik Ran balik dengan kelembutan. Salah satu tangannya mengusap perlahan surai light lilac Takashi yang membuatnya ketagihan, sementara punggungnya dengan nyaman bersandar pada sofa yang ditempati keduanya. "Kita hanya sepasang manusia yang jatuh cinta, apa salahnya?"
"Ya, apa salahnya?"
"Benar sayang, tidak ada salahnya?"
Ya, apa salah mereka?
Apa kesalahan mereka pada semesta?
Mereka cuma sepasang manusia yang jatuh cinta?
"Janji jangan meninggalkanku, oke Taka?"
"Ya, aku berjanji. Kau juga jangan meninggalkanku, ya?"
"Janji. Kita akan selalu bersama. Tidak ada siapa yang meninggalkan siapa. "
Keduanya saling melempar senyum, sebelum kemudian menyatukan kedua ranum untuk sebuah ciuman ringan. Tawa bahagia dan penuh cinta terdengar keras. Begitu nyaman, begitu hangat.
Namun keduanya lupa, bahwa mereka masihlah manusia biasa. Yang tak berdaya, yang dapat musnah begitu saja tanpa perlawanan, ketika semesta menyerang.
Sebenarnya, apa kesalahan mereka pada semesta?
Tidak tahu, atau barangkali tidak ada jawabannya.
Semesta barangkali hanya sesuka itu, melihat mereka menderita.
.
.
.
Ran pikir, semesta memang sangat membencinya. Atau barangkali karena ia pendosa, karena dosa-dosanya, semesta akan selalu memberinya hukuman. Seolah-olah ia menunjukkan kepadanya, mencengkram bahunya dan meneriakkan sebuah kalimat. "Hei lihat! Kau kira orang sepertimu pantas bahagia?"
Oh, mengapa tidak pantas?
Namun, semesta tak menjawabnya.
Ran menatap hampa. Sekelilingnya terlalu berisik; kerumunan, suara mobil, dan sirene ambulans. Ran mencoba untuk tuli, ah ya, ingin menjadi tuli. Rintik-rintik air kembali menghujaninya, mencoba menyusup, dan yah jantungnya perlahan-lahan kembali menganga, lebih lebar dari awal, dan terlalu kosong.
Dan membuat mati rasa.
Ran masih menatap, menatap, menatap. Ia memaku tatapan sepenuhnya pada kekasihnya, pada kekasihnya yang berlumuran warna merah, pada kekasihnya yang berbaring tidur sejenak. Ya, sejenak.
"Takashi, bangun."
"Jangan berbaring di tanah, itu kotor."
"Haruskah aku menggendongmu?"
"Sudah kubilang warna merah tidak cocok untukmu. Oh, lihat kau kedinginan. Tubuhmu dingin sekali, sebentar. "
Ketika Ran menyelimuti tubuh kekasihnya dengan jas yang ia pakai, seseorang menepuk bahunya. Ran tidak mengenalinya, orang itu mungkin saja sekedar orang lewat. Jadi Ran kembali menatap kekasihnya yang kini di pelukannya.
"Sst ..., jangan berisik, kau bisa membuatnya terbangun." Dengan tangan kiri memeluk kekasihnya, dan tangan kanan mengisyaratkan pihak lain untuk diam, Ran memperingatkan secara tajam.
Pihak lain terlihat takut dan ragu-ragu, Ran tidak peduli dengannya. Ia kembali memusatkan atensi kepada kekasihnya yang tertidur di pelukannya. Kekasihnya tetap cantik, meskipun warna merah telah menodai seluruhnya. Itu menganggu, Ran berusaha menghapus warna merah yang menodai tubuh kekasihnya. Dengan lembut, ia menggosok helai-helai rambut kekasihnya yang ternoda warna merah.
"Permisi." Itu masih dari orang asing di belakangnya.
"Ada apa lagi?"
"Maaf menganggu, tapi umm, dia sudah pergi. Umm, maaf tapi—tolong sadarlah. Kami harus membawa mayatnya secepatnya."
Ran terdiam membeku.
Kepalanya kembali menoleh untuk menatap kekasihnya. Kekasihnya yang terlalu cantik, yang sangat dipuja dan disayanginya, kini terbaring tanpa degup jantung yang terdengar. Kekasihnya telah mendingin sepenuhnya, benar-benar meninggalkannya.
Ah yah, dia sudah pergi.
Dia pergi-ah tidak, semesta mencurinya dariku.
Dan dengan jantungnya yang semakin menganga, tangis keluar dalam kesunyian. Tangisnya penuh kepedihan, pilu, luka, amarah, dan ketakutan, namun tak ada yang peduli.
Tak ada yang peduli dan mengerti, layaknya kekasihnya. Ketika ia kelimpungan dan butuh pegangan, tak ada yang menggenggam tangannya.
Hari itu, untuk pertama kalinya Haitani Ran menangis begitu deras, tanpa melepaskan pelukannya di kekasihnya yang sudah mendingin.
.
.
Sebelumnya Takashi sempat membisikkan sesuatu kepadanya. Sebelum kekasihnya itu pergi, sebelum ia tidur untuk selamanya. Sebelum tangannya yang mengusap rahang Ran, jatuh dan tak pernah bergerak lagi.
Dengan wajah kekasihnya yang penuh warna merah, tatapannya masih teduh dan hangat. Namun Ran tahu dalam lavender itu ada banyak kesedihan yang disembunyikan. Kekasihnya bahkan tak ingin menunjukkan semua rasa sakitnya, tak ingin menambah sakitnya, bahkan di saat terakhir mereka saling menatap. Terlalu baik, Ran memuja dan tersiksa. Ranumnya berusaha untuk terbuka, membisikkan sesuatu kepadanya, dan Ran mencoba menghentikannya. Jangan bicara lagi, warna merahnya semakin banyak, jangan bicara lagi, sayang.
Tetapi Takashi menolak, dan suaranya yang terbata-terbata terdengar.
"Aku ... mencintaimu."
Sesuatu memukul kewarasannya. Dan Ran, lagi-lagi terdiam.
"Juga ... Mana ... Luna ... Jangan menangis ... Ya?"
Dan saat Ran mencoba merespon dengan cepat, kekasihnya menutup sepasang matanya. Kekasihnya tertidur, terlalu lelah barangkali, ya dia lelah, dia akan bangun lagi. Ran menatap kekasihnya yang menutup mata. Ia mengeratkan genggaman tangan mereka, dalam hampa.
Ketika kepalanya kembali memutar ingatan itu, Ran menghentikan tangisannya. Menatap tanpa daya, membiarkan tubuh kekasihnya yang sudah mendingin diambil dari pelukannya.
Dan hari berlalu, ia mengerjap, menemukan warna merah yang sama di seluruh lengannya. Melepaskan genggamannya pada pisau, saat lagi dan lagi kepalanya memutar bisikan kekasihnya. Ran menangis, lagi dan lagi, hingga emosinya benar-benar musnah seluruhnya.
Lalu saat itulah ia memutuskan, berpura-pura. Membuat banyak topeng untuk raganya, menyembunyikan jantungnya yang berlubang semakin lebar, kembali menjalani hidup dengan bisikan kekasihnya yang membayanginya tiap waktu. Meramalkan mantra pada dirinya sendiri setiap saat, "untuk Rindou, untuk Luna dan Mana."
Haitani Ran baik-baik saja, tidak ada yang aneh, ia sangat sehat.
.
Tidak ada yang mengetahui, bahwa ia sudah mampus sejak lama. Sejak hari itu, sejak kekasihnya dicuri darinya. Raganya masih ada, untuk adik kesayangannya, untuk bunga-bunganya, dan juga adik-adik Takashi. Berpura-pura baik-baik saja, menciptakan panggung sandiwara, lakonnya hanya ia dan penontonnya adalah kekasihnya yang telah lama pergi. Raganya masih bertahan, untuk berusaha melindungi mereka dari semua kekejaman semesta, untuk membayar semua rasa bersalah yang mengendap dalam kepalanya.
Dan jantungnya telah lama berlubang, lubangnya terlalu lebar dan penuh kekosongan, dan Ran yang paling tahu tidak ada yang akan bisa menambalnya kembali seperti hari itu. Penambal jantungnya telah lama dicuri darinya.
Sementara jiwanya, telah lama terpecah belah, berceceran dan mengendap di seluruh bunga hyacinth yang raganya telah tanam. Dan setiap waktu akan membisikkan kalimat yang sama, berharap angin yang berhembus membawa pesannya ke tempat kekasihnya berada, tak akan pernah berhenti hingga raganya telah habis daya dan jiwanya akan dapat bertemu kembali dengan kekasihnya.
Di malam itu, raganya ikut menyanyikan hal yang sama, dengan jiwa-jiwanya yang telah mengendap di seluruh bunga hyacinthnya.
Maafkan aku, oh sayangku.
Maafkan aku, oh sayangku.
Maafkan aku, oh sayangku.
Maafkan aku, oh sayangku.
Maafkan aku, oh sayangku.
[;I'm sorry, please forgive me]
-fin-
.
.
.
.
.
.
.
.
Bonus :
"Rin."
"Ya Haruchiyo?"
"Masih memikirkan kisah mitologi, yang kau temukan kemarin?"
"Hum."
"Kemari."
"Apakah kakakku telah mengalami hal itu juga, Chiyo?"
"Entahlah, siapa yang tahu, mungkin iya, mungkin tidak."
"Dia menyimpan semuanya sendiri."
"Mungkin dia ingin memendamnya, selamanya."
"Bagaimana jika dia pergi?"
"Kita harus merelakannya, jika itu untuk kebahagiaannya."
"Ya, aku tahu. Aku ingin dia bahagia."
"Kita akan mendukungnya, jika itu untuk kebahagiaannya."
"Uhm."
"Chiyo."
"Ya?"
"Bagaimana jika itu terjadi terhadap kita?"
Haruchiyo mengerjap, dengan perlahan ia menarik kekasihnya ke pelukannya. Menenggelamkannya dalam pelukannya sepenuhnya, sepasang matanya berkilat-kilat berbahaya. "Aku tak akan membiarkannya, kau tak akan membiarkannya. Kita tak akan. Jika semesta ingin merebutmu, maka aku akan merebutnya balik. Kau tak akan pernah lepas dariku, dan aku tak akan pernah lepas darimu."
Rindou mengangguk. Sepasang matanya bersinar tajam, dan ketika ia menoleh ke kekasihnya, senyumnya otomatis melebar. "Aku tak akan membiarkan semesta merebutmu juga Haruchiyo, kau tak akan pernah lepas dariku, aku tak akan juga. Dan kita akan selalu bersama, selamanya."
Haruchiyo mengangguk, tertawa sesaat, sebelum kemudian mengecup ranum kekasihnya secepat kilat. "Lalu sekarang?"
"Kita hukum semesta, sebab melukai kakakku."
"Menarik. Musnahkan semua?"
"Musnahkan semua."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top