Run Away
.
Run Away
Mahoutsuka no Yakusoku © Coly
Original Character and Story © himuluci
.
Jam dinding berdetak. Jarum jam menunjukkan pukul 11 malam sementara mataku tertuju pada bongkahan kristal di depanku. Tanganku meraih palu dan paku yang tergeletak di atas meja dan aku mulai memahat bongkahan kristal itu.
Aku terbiasa kerja tengah malam. Selain karena tidak ada kebisingan, aku menyukai tempat gelap. Yah, walau ini tidak akan berpengaruh baik pada penglihatanku.
Tapi toh, selama seribu tahun aku bekerja di dalam ruangan gelap aku tidak dapat menemukan kesulitan saat membaca di tempat terang. Mungkin ini adalah hal yang bisa kusebut sebagai berkah. Lagipula, jika aku kekurangan cahaya saat bekerja aku dapat menggunakan sihir untuk menerangi tempatku bekerja.
Aku mengusap peluh dahiku dengan punggung tanganku. Pecahan kristal berhamburan di atas meja tapi itu bukan masalah besar. Aku menatap kristal yang baru selesai kupahat dengan seksama sebelum menghembuskan nafas dan kembali memahat. Bentuk kristal itu belum sampai ke bentuk yang kuinginkan.
Setelah kira-kira memahatnya selama kurang lebih 2 jam, aku dapat melihat bentuknya dengan samar-samar. Aku mengarahkan kristal itu ke cahaya bulan yang menelisik masuk ke dalam ruanganku dan pendar cahaya lembut mengenai wajahku. Aku sudah mendengar bahwa kristal ini memiliki kekuatan magis dimana pemakainya akan terlindungi dari bencana yang ditimbulkan bulan.
Meski aku sendiri tidak dapat membuktikannya tapi toh tidak masalah juga percaya dengan hal yang seperti ini. Aku tersenyum dan kembali memahatnya.
***
Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Aku–yang setengah tertidur karena terlalu capek setelah memahat kristal itu, terbangun dari tempat dudukku dan menggenggam kristal itu diantara jemariku.
Rumah ini terasa sepi.
Sudah beribu-ribu tahun berlalu tapi suasana rumah ini masih sepi seperti biasanya. Aku tertawa kecil dan menatap ke arah lantai kayu. Rasanya baru beberapa hari yang lalu ia melihat keluarganya mati terbantai dan tergeletak di lantai rumahnya. Rasanya juga baru-baru ini ia mengenal si kembar penyihir dan menjadi muridnya.
Tapi itu sudah beribu-ribu tahun tertinggal di belakang. Separuh dari kembar telah tiada dan yang tersisa darinya hanyalah sebuah arwah yang terikat oleh jiwa kembarannya.
Ah, ya. Kalau dipikir-pikir rasanya sakit. Bagaimana tentang perasaannya tentang separuh kembar yang masih hidup.
Aku tahu rasanya kehilangan keluarga, rasanya menyesakkan di dada dan sebagian dari diriku tidak dapat menerima fakta bahwa keluargaku telah tiada di dunia ini. Bahkan, sampai sekarang pun aku masih berharap di lubuk hatinya yang paling dalam jika mereka masih hidup sekarang. Tapi membangkitkan mereka adalah hal yang salah, aku tidak ingin mengganggu tidur tenang keluargaku hanya karena permohonan egoisku.
Meski begitu, aku tidak dapat menyalahkan Snow saat membangkitkan White. Bagi Snow, White adalah keluarganya satu-satunya, tentu berat jika harus berpisah dengannya terlalu cepat. Aku sudah meyakinkan dirinya berkali-kali bahwa yang dilakukan Snow itu tidak salah, meskipun begitu, pada akhirnya aku sama sekali tidak dapat menerima fakta itu.
Lebih dari itu, ada perasaan lain yang membuatku terluka lebih dari apapun, perasaan yang membuat hati bagai diiris sembilu, perasaan yang membuat hatinya terasa gundah gelisah, perasaan yang pernah membuatku menangis tidak karuan di tengah malam–perasaan ini adalah cinta.
Perasaan itu membuatku berdebar-debar kala aku menatap matanya maupun memegang tangannya. Perasaan itu terasa lembut namun juga menyakitkan. Perasaan itu juga yang mungkin menjadi penopangku untuk hidup selama ini.
Aku mencintai separuh kembar yang masih hidup itu. Meski aku tidak mengungkapkannya, beberapa penyihir lain menyadari tentang perasaanku ini. Salah satu contohnya adalah almarhum penyihir hebat yang tinggal di selatan, Chiletta.
Berkali-kali di masa hidupnya ia memberitahuku agar aku mengungkapkan perasaanku secepatnya tapi aku menolaknya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika ia menolakku, mungkin aku akan kalap dan membantai beberapa orang, yang lebih parah mungkin aku akan membunuh diriku sendiri.
Pada akhirnya karena aku tidak memiliki keberanian itu, aku hanya memendamnya dan mengunci mulutku seolah perasaan itu tidak pernah ada.
'Lebih baik begitu.' Aku meyakinkan diri dengan kalimat itu berulang kali.
Meski begitu, rasa sakit yang ditimbulkannya masih ada jadi aku mencoba melupakannya. Sial bagiku, melupakan perasaan tidak semudah yang kubayangkan. Perasaan itu hanya akan menghilang sejenak kemudian bersemi kembali ketika aku melihatnya tersenyum dan menatap matanya.
Pada akhirnya aku menyerah pada perasaan itu. Aku membiarkannya menetap di dalam hatiku sementara aku menyembunyikannya dari yang lain.
Mungkin suatu saat perasaan ini akan perlahan menghilang seperti yang kuharapkan tapi itu tidak masalah, karena aku bersyukur dapat merasakannya.
Jatuh cinta kepadamu dan merasakan kebahagiaan dan kepedihannya, serta dapat menghabiskan waktuku untuk tetap bersamamu. Aku bersyukur karena dapat merasakannya.
Ah, mungkin ini adalah sensasi yang dibilang oleh orang-orang sebagai sensasi 'hidup'.
Aku hidup dalam perasaan itu, pun perasaan itu hidup dalamku. Aku hanya dapat tersenyum saat merasakan perasaan yang lembut membelaiku. Kelihatannya bermalam sesekali di rumah bukan hal yang buruk. Lagipula tempat ini adalah tempat dimana semua bermula.
Aku berjalan keluar dari kamar, furnitur kayu memenuhi pandanganku sementara tanganku terangkat di depan seakan menunggu sesuatu.
Tak berapa lama, sebuah sapu terbang ke arah tanganku dan aku beranjak menaikinya.
Aku entah kenapa merasa tidak sabar melihat wajah khawatir yang akan ditunjukkan oleh si kembar, selalu menggemaskan untuk melihat wajah khawatir mereka berdua. Apalagi kali ini aku mengambil waktu yang lebih lama dari biasanya untuk kabur dari mereka.
Ah, tapi kelihatannya Kenja belum tahu mengenai kelakuanku yang seperti ini, aku akan meminta maaf kepadanya nanti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top