Promise? Promise.
Promise? Promise.
Persona 3 © Atlus
Mochizuki Ryoji x Male Persona 3 Protagonist
Story © sachandez
.
.
.
.
.
[]
"Minato, dia lagi?"
Minato mengangguk dalam diam, sepasang matanya jatuh pada buket bunga di hadapannya. Sudah berhari-hari, ia telah disambut buket bunga di dalam lokernya, tanpa keterangan apapun, seolah-olah sang pengirim tak ingin Minato menemukannya. Yang lebih membuat bertanya-tanya, bunga yang dikirimkan tetaplah sama, dengan kelopak biru yang telah menjadi familiar baginya. Forget-Me-Not, itulah yang dikatakan Hamuko kepadanya, ketika pertama kali kembarannya menemukan bunga itu di dalam lokernya.
Minato meraih buket bunga itu, menatap kembali indahnya bunga-bunga mungil yang disusun rapi, dan dihiasi pita biru mencolok. Ia dapat merasakan kembarannya mendekatinya, tak sengaja membuat kepala keduanya menempel, untuk melihat bunga itu lebih dekat.
"Kau akan menyimpannya lagi?" Hamuko bertanya, melempar senyum cerah ke arahnya. Tatapan yang diberikan penuh binar-binar, seolah-olah mengharapkan jawaban positif dari Minato.
Mau tak mau, Minato pada akhirnya mengangguk. Awalnya ia ingin membuang semua buket bunga ini, namun entah mengapa ia tak menemukan keinginan itu, ketika sudah berhadapan dengan tempat sampah. Jadilah Minato sekarang menyimpannya, terutama ia masih penasaran dengan tujuan dari sang pengirim. Jika pengirim itu gadis-gadis di sekolahnya, mereka tak akan seniat ini untuk melakukan sesuatu.
Ia merasakan genggaman Hamuko di lengannya, kembarannya memberinya senyum secerah matahari seperti biasa. "Aku masih penasaran, siapa yang mengirimkan itu! Apakah kau masih tidak mau Aigis membantu?"
Minato menggeleng, seraya menutup pintu loker. Ia menimpali dengan singkat, "Tidak perlu. Nanti juga muncul sendiri."
Hamuko hanya menggumamkan pemahaman, sebelum kemudian menarik lengannya menuju kelas mereka. Minato hanya mengikuti kembarannya dalam diam, menatap datar siswa-siswi yang disapa kembarannya dengan riang.
"Oh! Itu dia, akhirnya kalian berdua datang juga!" Seruan Junpei menampar gendang telinganya, ketika ia dan kembarannya akhirnya menginjakkan kaki di kelas.
Minato memperhatikan Yukari menghela napas, kemudian memberikan pukulan ke kepala Junpei tanpa aba-aba, yang langsung menyebabkan protes darinya. Hamuko tertawa mendengar pertengkaran keduanya, sebelum melepas genggamannya di lengan Minato.
Minato mengabaikan mereka, menutupi kedua telinganya dengan headphone, segera bergerak untuk duduk di kursinya. Ia dapat membayangkan perdebatan ketiganya, bahkan tanpa mendengar suara keras mereka.
Menutup sepasang matanya, kepalanya kembali mengingat buket bunga yang masih bertahan di lokernya. Diam-diam Minato masih mempertanyakan, kelakuan aneh dari sang pengirim.
.
Minato sering memimpikan hal-hal aneh. Itu bukan pertama kalinya baginya, untuk memimpikan sosok asing yang bahkan tak pernah Minato lihat dengan jelas wajahnya. Mengejutkannya Hamuko juga mengalami hal yang serupa dengannya, berbedanya Hamuko memimpikan monster-monster mengerikan dan kacaunya dunia, bukan pemuda asing yang bahkan tak diketahui rupanya.
Minato membuka sepasang matanya, merasakan keringat yang menempel. Tanpa sadar ia menahan napas, merasakan mual yang tertahan di kerongkongan, serta degup jantung yang berdebar terlalu cepat. Ia mencoba bergerak, sejenak mendengar suara jatuhnya benda, namun ia mengabaikannya dan fokus untuk merasakan seluruh tubuhnya.
Butuh waktu beberapa menit untuk menenangkan dirinya, sampai akhirnya Minato mencoba bersandar. Ia menghela napas dengan berat, menatap langit-langit kamarnya.
Lagi-lagi, ia memimpikan pemuda asing itu.
Minato tak mengerti. Setiap memimpikan sosok itu, ia selalu merasakan sakit di dadanya, seolah-olah sebuah tangan telah meremas jantungnya. Ia sudah merasakan hal itu berkali-kali, tetapi Minato masih tak terbiasa. Perasaan itu begitu aneh dan menyakitkan, tak dapat didefinisikan.
Hal-hal di dunia ini menjadi semakin aneh, begitupun dengan dirinya.
Minato menyeka selaput air yang menempel di sepasang matanya, sebelum tatapannya menyapu sekeliling kamarnya, dan berakhir jatuh pada kumpulan buket bunga yang disimpannya di atas meja. Ia merasakan tubuhnya bergerak, tangannya meraih salah satu dari kumpulan bunga-bunga mungil itu, sebelum kembali ke tempat tidurnya.
Minato menatap Forget-Me-Not di genggamannya. Tatapannya menusuk langsung ke kelopak biru, yang terlihat bersinar di bawah percikan cahaya dari lampu kamarnya. Dengan perlahan Minato mendekatkan wajahnya ke bunga itu, menghirup aroma yang menenangkan, dan entah mengapa membuatnya nyaman.
Setiap melihat bunga ini, Minato akan merasakan perasaan yang aneh, seolah-olah sesuatu telah melilit jantungnya. Ia juga merasakan perasaan familiar, setiap melihat bunga itu. Bahkan sejak pertama kali ia menemukan buket bunga itu, ia sudah merasakan perasaan familiar yang lekat. Itu sangat aneh, Minato tidak bisa mengingat apa perasaan itu, sama seperti mimpi yang baru saja dilaluinya. Ia tak dapat mengingatnya, tetapi perasaan itu tetap membekas di tempurung kepalanya. Barangkali itu juga alasan Minato, tetap menyimpan bunga-bunga itu sampai sekarang.
Minato tetap menggenggam setangkai Forget-Me-Not, hingga kantuk kembali hinggap, mengundang sepasang matanya kembali menutup perlahan. Ia kembali tertidur, dengan aroma menenangkan yang melingkupinya.
.
"Arti dari bunga itu, cinta, hormat, kenangan. Biasanya diberikan kepada seseorang, yang berjanji tidak akan melupakanmu dan akan selalu menyimpan dirimu di ingatannya."
Itu pagi yang murung, langit kelabu telah menyambut semenjak Minato membuka mata. Ia hanya menatap datar, ketika Hamuko datang ke kamarnya dan menjelaskan hal itu tiba-tiba.
Kembarannya bersandar di pangkuannya, menatap langit-langit kamarnya dengan sepasang matanya yang selalu bersinar. Minato menunggunya selesai mengoceh, hingga akhirnya ia membuka mulutnya. "Darimana kau tahu itu?"
"Kemarin aku bertanya pada Goro-kun."
"Kekasih sepupu kita?"
"Mm. Kebetulan sekali, Ibunya memiliki toko bunga."
Minato terdiam, menatap langit kelabu dari jendela. "Kau terlihat dekat sekali, dengan kekasih-kekasih sepupu kita."
Hamuko membalas dengan tawa, Minato merasakan lengan kembarannya yang melingkari tubuhnya. "Aku hanya ingin akrab dengan mereka, lagipula mereka orang yang baik."
"Kau akrab dengan siapapun, Hamuko."
Lagi-lagi kembarannya hanya membalas dengan tawa, sebaliknya mempererat pelukannya pada Minato. Minato membiarkannya, tangannya bergerak mengelus kepala Hamuko dengan perlahan.
Keduanya tetap diam di posisi, menikmati suasana yang ada, sampai akhirnya Hamuko melepaskan pelukannya dan melompat bangkit.
"Ah! Aku harus siap-siap kencan dengan Aigis! Sampai nanti lagi, Minato."
Minato hanya melambai, menatap punggung Hamuko sebelum perlahan menghilang di balik pintu. Ia baru saja akan kembali tidur, namun mendadak terdengar ketukan di pintunya.
Mengerjap, Minato menggerakkan tubuhnya dengan malas, bergerak untuk menarik kenop pintu. Ia mengharapkan wajah Hamuko yang ceria, namun ia tak dapat menahan kejutan, ketika dihadapkan dengan wajah Aigis yang penuh jejak keseriusan.
"Aigis?"
"Minato-san, aku ingin berbicara denganmu."
.
Penuh, terlalu penuh.
Itu benar-benar serangan mendadak, Minato tak mengharapkannya.
Ia ingin berteriak, namun mulutnya bahkan tak dapat membuka. Kepalanya terlalu penuh, dengan perlahan semua ingatan-ingatan yang berbeda membanjiri kepalanya secara bersamaan, membuatnya kelimpungan.
Ketika ia mengerjap dan kembali menjajak ke dunia, ia masih dihadapkan dengan wajah Aigis yang dipenuhi jejak kelegaan, serta cincin azure yang bersinar terlalu terang.
Minato mengingatnya, ia mengingat semuanya.
Bunga itu.
Ah, Mochizuki Ryoji.
.
"Aku tahu, kau akan datang."
"Ryoji."
Minato menatap sosok pemuda, yang telah lama hinggap dalam mimpinya. Kali ini ia dapat melihat dengan jelas, rupa pemuda yang telah lama mencuri jiwanya sejak lama.
Mochizuki Ryoji berdiri di bawah kelamnya langit malam, dan kumpulan bintang-bintang yang bersinar terang. Sepasang birunya menatapnya dengan bersinar, sementara jejak kebahagiaan terlihat jelas di wajahnya. Ia masih menggunakan syal kuning kesayangannya, yang berkibar bersama helai-helai hitamnya, kala angin berhembus menerjang.
Ryoji melemparkan senyum kepadanya, sementara Minato hanya mengerjap, menatap langsung sepasang biru yang memikat. Genggamannya mengerat pada salah satu buket bunga, yang telah lama ia simpan.
Minato menurunkan pandangannya, menunjukkan Forget-Me-Not yang ia bawa kepada pihak lain. "Sejak kapan?"
"Apakah kau akan percaya, jika aku bilang aku tak mengingat apapun ketika mengirimkannya?"
"Lalu bagaimana bisa?"
"Aku juga tidak tahu. Entah kenapa aku harus mengirimkan bunga itu, seolah-olah itu sudah menjadi tugas permanen di kepalaku."
"Kenapa harus loker sekolah?"
"Aigis-chan membantuku, sebelum aku mengingat semuanya."
Minato mengangguk, tak tahu lagi harus mengucap apa. Semua kejadian ini benar-benar memukul seluruh kewarasannya. Ia tetap diam, memilih menatap buket bunga digenggamannya, kelopak biru masih terlihat indah, mengingatkannya pada Ryoji. Ia tetap tak mendongak, bahkan saat ia dapat mendengar suara langkah pihak lain yang mendekatinya.
"Minato."
"Hm?" Baru saat itulah Minato mendongak, sepasang biru menyambutnya dengan lembut, membuat jantungnya mulai berdegup kencang.
Lagi-lagi Ryoji mengulas senyum, lengannya direntangkan, sementara angin berhembus meniup helai-helai hitam dan syal kuningnya. Ia terlihat lembut di bawah kelamnya langit malam, lebih bersinar daripada bintang-bintang di atas.
Minato menatap, sejenak merasakan jantungnya kembali berdebar kencang. Tanpa sadar ia melepas genggamannya pada Forget-Me-Not, dan melangkah lebih dekat ke arah Ryoji, melingkarkan lengannya di sekitar leher pemuda itu.
Ryoji balas memeluknya, kekehan kecil lolos darinya. Minato mengabaikannya, sebaliknya membenamkan wajahnya pada bahu pihak lain. Ia dapat merasakan tangan Ryoji yang mengelus surainya, serta bagaimana ia menyematkan ciuman ringan pada dahinya. Ia merasakan lengan Ryoji yang melingkari pinggangnya, untuk mempererat pelukan mereka.
Minato dapat merasakan dirinya sendiri menghembuskan napas lega, ketika mendengar jantung pihak lain yang sama berdegupnya.
"Aku pulang, Minato."
"Selamat datang, Ryoji."
.
"Dengarkan aku Makoto, aku akan selalu bersamamu, oke? Di kehidupan manapun, aku akan mengikutimu."
"Bagaimana aku bisa tahu, kau akan ada di sana?"
"Aku akan mengirimkan bunga ini setiap saat, tanda dimana aku akan selalu bersamamu."
"Janji?"
"Janji."
[;true love, memories]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top