No Judgement
Story © itsxzee
---
When you're with me, no judgement
You can get that from anyone else
You don't have to prove nothin'
You can just be yourself.
-No Judgement, Niall Horan.
---
Kaeya Alberich telah bersumpah untuk tidak pernah peduli dan percaya pada siapa pun lagi. Setelah kejadian yang menjungkirbalikkan hubungannya dengan Diluc, ia memutuskan untuk menyembunyikan dirinya dibalik ratusan lapis topeng.
Senyum menawan nan karismatik, godaan dan candaan, hingga kalimat penuh simpati yang ia berikan tidak lain dan tidak bukan hanyalah beberapa bagian dari topeng tersebut.
Obrolan, percakapan, dan upaya-upaya dirinya dalam menjalin "persahabatan" dengan ditemani wine di Angel's Share, adalah kepalsuan semata. Semua itu dilakukan hanya untuk mengorek informasi, baik untuk kepentingannya sendiri, maupun untuk tugasnya sebagai seorang Cavalry Captain.
Kebohongan demi kebohongan dalam bentuk verbal maupun non verbal bagaikan makanan sehari-hari bagi Kaeya. Dan ia bersyukur tidak ada warga Mondstadt yang menyadari rasa kesepian dan berbagai macam perasaan negatif dalam dirinya dibalik kebohongan-kebohongan tersebut.
Setidaknya, itulah yang ia pikirkan sebelum mendengar sebuah kalimat tidak terduga yang keluar dari mulut seorang gadis dengan helai rambut sewarna tanah.
---
Mimpi buruk bukan hal aneh lagi bila itu terjadi setiap malam bagaikan sebuah rutinitas. Biasanya, ketika ia terbangun akibat mimpi buruk, Kaeya hanya akan mengambil segelas air-atau wine, tergantung seberapa buruknya mimpi tersebut- sebelum memaksakan dirinya untuk kembali terlelap, yang seringkali, berakhir dengan sinar mentari menembus tirai dan dirinya yang masih terjaga.
Akan tetapi, mimpi buruk kali ini membuat dinding-dinding kediamannya terasa menyesakkan. Sangat menyesakkan, hingga membuat pemuda bersurai biru tua tersebut memilih menghabiskan waktu diluar untuk menghirup udara malam di tempat tersembunyi.
Atau begitulah pikirnya.
"Kaeya?"
Sebuah suara membungkam pikiran-pikirannya dalam seketika. Setelah memasang topeng "Kaeya Alberich ; sang Cavalry Captain yang Karismatik", ia menolehkan kepala kearah sumber suara tersebut, dan mendapati gadis berkacamata dengan beberapa buah beri segar di tangannya.
"Wah, wah, jarang-jarang aku mendengarmu memanggilku menggunakan nama," Kaeya berujar seraya menyunggingkan senyum jenaka, "apa kau mulai menyadari pesonaku, Sunshine?"
"Tutup mulutmu, Kapten." Pungkas Wilde, sepasang manik sewarna madu memutar jengah mendengar godaan tersebut.
Terkekeh, pemuda itu mengangkat kedua tangannya dalam konotasi mengejek.
"Dingin seperti biasanya. Aku mulai mempertanyakan siapa yang mempunyai vision cryo dan pyro disini."
Pernyataan tersebut hanya dijawab oleh helaan nafas.
"Apa yang seorang Cavalry Captain dari Knights of Favonious lakukan di tempat tersembunyi jam segini, hm? Merencanakan pencurian wine dari Angel's Share?"
"Ah, rencanaku tertebak," balas Kaeya seraya berakting sedih lalu memajukan bibir bawahnya, "karena rencanaku tertebak, maka aku akan mengurungkannya dan kembali memandangi langit saja."
"Ha ha, lucu sekali." Wilde tertawa sarkas, sementara tangannya membungkus buah beri yang baru dipetik menggunakan kain. "Biar kutebak, mimpi buruk?"
Kaeya terdiam. Ia menelan saliva untuk menahan mulutnya membeberkan hal yang ia kunci rapat-rapat selama beberapa tahun belakangan.
"Aku tidak bilang apapun soal mimpi buruk." Sanggahnya seraya melemparkan senyuman paksa yang pasti akan membohongi orang lain.
Tapi tidak dengan Wilde.
"Yeah, whatever floats your boat, Captain. Sebentar lagi akan turun hujan, kau bisa pilih ingin meratap dibawah hujan, atau di hadapan perapian ditemani dengan segelas teh dan jeli dengan buah beri."
Menyipitkan mata yang tidak tertutup eyepatch, Kaeya memberikan gadis tersebut pandangan sugestif.
"Apa kau baru saja mengajakku, ke rumahmu? Kalau-kalau kau lupa, Sunshine, aku seorang pria."
"Lalu?"
"Aku bisa saja melakukan sesuatu padamu, hm?"
"Duh, kalau-kalau kau lupa, aku mempunyai vision, dan aku akan membakarmu hingga menjadi abu terlebih dahulu sebelum kau bisa menyentuh sehelai rambutku."
"Touchè. Tunjukkan jalannya kalau begitu, Sunshine."
---
"Ini."
Gadis berkacamata tersebut mengulurkan sebuah gelas kepada Kaeya yang tengah memandangi kayu di perapian. Ia mengambil gelas tersebut sebelum mengendusnya.
"Wine? Kukira kau tidak minum?"
"Memang tidak," balas Wilde singkat seraya menuangkan teh dari teko ke gelasnya sendiri, "hadiah dari seseorang yang commissionnya melibatkan dua ruin guard dan beberapa mitachurl."
Meneguk wine di gelasnya, Kaeya menatap gadis itu, seringai kecil menarik kedua ujung bibirnya.
"Apa kau sedang menyogokku agar aku mau berbicara?"
"Tidak juga. Tapi kalau kau menganggap seperti itu, terserah."
Menghela nafas, Kaeya kembali meneguk winenya. Jemarinya yang tidak tertutupi oleh sarung tangan mengetuk gelas secara bergantian.
"Sudah kubilang aku tidak mimpi buruk."
Wilde menaruh sepiring jeli buah beri di hadapan pemuda tersebut, sebelum mendudukkan dirinya di sofa, tepat di sebelah Kaeya.
"Dengar, aku tidak tertipu dengan senyuman palsu ataupun kata-kata manismu, Kaeya. Tumbuh belasan tahun bersama seseorang dengan sifat sepertimu memberiku pelajaran penting."
"Seperti?"
"Iya berarti tidak, dan tidak berarti iya. Well, tidak sesederhana itu juga, tapi aku tahu mana senyum dan ucapan tulus dan mana yang palsu. Dalam kasusmu, keduanya palsu dan hanya menjadi topeng untuk menutupi sesuatu yang kau kunci rapat."
Kaeya terdiam untuk kedua kalinya. Instingnya berkecamuk untuk membeberkan segalanya pada gadis tersebut, setidaknya agar ia bisa merasakan kelegaan yang semu. Sementara pikirannya memutar kilasan balik ketika ia berkata jujur pada pemuda dengan helaian rambut berwarna merah. Hasilnya? Tidak bagus.
"Tebakanku tepat sasaran, huh?"
Tidak ada jawaban untuk pertanyaan yang dilontarkan Wilde. Ia mengangkat gelasnya sebelum meniup uap panas dari teh dan meneguknya.
Satu tegukan.
Dua tegukan
Tiga tegukan.
Pemuda di sebelahnya masih terdiam. Pandangannya melekat pada gelas berisi wine di tangan.
"Apa yang akan kau lakukan, jika kubilang aku merupakan seorang mata-mata yang diutus oleh musuh."
Pertanyaan yang dilontarkan Kaeya secara tiba-tiba, mengejutkan Wilde yang tengah meneguk tehnya. Terbatuk sedikit, ia kemudian menaruh gelas tersebut diatas meja.
"Tergantung. Kalau kau melakukannya dengan sukarela dan tidak terpaksa, maka aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri sebelum kau sempat berbagi informasi dengan siapapun yang mengutusmu."
"... kalau kubilang aku tidak melakukannya dengan sukarela, dan bahkan merasa kalau tugas itu malah menjadi beban ... apa yang akan kau lakukan?"
Memposisikan badannya untuk menghadap kearah Kaeya, Wilde mengangkat satu tangannya.
"Ini."
Pemuda tersebut membatu kala melihat tangan dan tubuh Wilde bergerak kearahnya. Pikirannya kembali memutar kilas balik pertarungan di hari itu.
"Sudah kuduga ini pasti terja-"
Satu manik mata berwarna lilac melebar kala kehangatan menyebar di wajah dan tubuhnya. Ketika ia memproses apa yang terjadi, Kaeya menyadari bahwa gadis di hadapannya tengah merengkuhnya di dalam dekapan.
Bau sabun dan buah beri yang berasal dari pundak gadis itu memenuhi penciumannya. Sementara, ia dapat merasakan satu tangan Wilde bergerak mengelus rambutnya dengan perlahan. Seolah gadis berkacamata tersebut tengah menenangkan seekor kucing yang ketakutan.
"Kaeya," ujar Wilde, suaranya sepelan bisikan dan sesejuk angin sepoi-sepoi di siang hari yang tidak terlalu panas, "aku memang tidak tahu cerita lengkapnya, tapi aku yakin kau bukanlah orang yang jahat."
Mendengus, Kaeya membalas dengan nada yang pahit.
"Apa kau tidak dengar apa yang baru saja kukatakan? Aku seorang mata-mata, Wilde. Bagian mana yang meneriakkan bahwa aku bukanlah orang yang jahat?!"
"Meskipun senyum dan ucapanmu seringkali merupakan sebuah topeng, aku bisa melihat kau benar-benar menyukai Mondstadt, sama seperti aku dan warga lain yang menyukai kota ini."
"Itu bukan jaminan kalau aku tidak akan membawa petaka pada kota ini."
"Biar kutanya ini," balas Wilde, "apa kau pernah memberikan informasi soal Monsdtadt pada mereka yang kau bilang sebagai 'kaummu'?"
Kaeya terdiam, sebelum menggumamkan sanggahan yang nyaris tidak terdengar.
"Lihat? Kaeya, dengarkan aku ... kau selalu bersikeras meyakinkan bahwa kematian ayah, ibu, dan kakakku bukanlah salahku. Maka, aku juga akan bersikeras meyakinkanmu kalau kau bukanlah orang yang jahat, ataupun mata-mata musuh. Kau, adalah Kaeya Alberich. Cavalry Captain dari Knights of Favonious yang menyukai kota ini sama sepertiku dan yang lainnya."
"Smooth. Apa kau belajar dari caraku berbicara sehingga kalimatmu bisa semeyakinkan itu?"
Wilde memutar mata setelah mendengar balasan dari Kaeya. Namun, senyum kecil perlahan menarik kedua ujung bibirnya kala mendengar pemuda itu mengucapkan terima kasih dengan suara bergetar dan desibel sepelan bisikan.
"Diamlah Captain, atau kau akan merusak suasananya."
---
Ketika ia merasakan kantuk mulai menariknya ke dalam buaian kegelapan, Kaeya dapat merasakan selimut menutupi sebagian tubuhnya, sementara pendengarannya mendengar bisikan pelan penuh kepedulian.
"When you're with me, no judgement. Sweet dreams, Captain."
Untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun, Kaeya Alberich dapat tertidur pulas dengan perasaan lega, tapi tidak sebelum ia berpikir untuk membeli beberapa tangkai bunga cecilia dan makan siang dari Good Hunter untuk gadis itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top