Miracle of Fate
Miracle Of Fate
Blue Lock © Muneyuki Kaneshiro, Yūsuke Nomura
Nagi Seishiro & Mikage Reo
Story © Nikishima Kumiko
Warning Heavy Spoiler!
.
.
.
"Tulip ungu, biasanya melambangkan cinta pada pandangan pertama. Meski begitu, bunga ini juga mempunyai makna lain seperti kesetiaan, royalti, dan kesempurnaan. Bunga yang sangat cocok untuk seseorang seperti Mikage Reo, bukan?"
***
Tak ada yang pernah tahu bagaimana masa depan itu. Begitu pula dengan Nagi Seishiro yang tak menyangka akan bertemu dengan sosok sehebat dan sesempurna Mikage Reo. Helaian rambut dan iris berwarna ungu, senyum ceria, disenangi banyak orang, kaya, serta pintar. Seluruh aspek darinya, bagaikan tokoh mimpi dalam sebuah kisah dongeng.
Siang menjelang sore kala itu, di anak tangga, ia sibuk menghabiskan waktu dengan bermain game. Tak banyak yang mendekati ia karena dianggap pembawa sial. Namun toh, ia tidak begitu peduli, selama kehidupannya tidak repot. Cahaya mentari mulai samar-samar, sinar oranye itu masih memasuki jendela. Hanya saja, tetap ia abaikan.
Waktu pulang atau apa pun itu, selama ia memenangkan satu ronde yang tengah ia mainkan di console game-nya tersebut, tak ada lagi yang ia pusingkan.
Lantas, senggolan tak sengaja mendarat di lengannya, membuat benda yang sedang ia pegang melayang menuruni tangga. Reo mengerjap, terkejut, "Ah, maafー"
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, pemuda berambut putih itu segera menangkap menggunakan kakinya, menendang benda tersebut ke atas, menangkap atau dalam artian menyelamatkan seraya berujar dengan datar, "Oh, aman. Aku tidak kalah."
Iris ungu itu terpana, menampakkan kilauan seolah telah menemukan sesuatu yang sangat berharga. Dengan antusias, Reo melemparkan berbagai pertanyaan yang menurut Nagi sangatlah merepotkan. Meski menunjukkan sifat aslinya, pemuda berambut ungu itu masih mengulas senyum lebar, tidak terpengaruh akan tingkah jeleknya.
"Menarik! Tak masalah, kau tetaplah seperti itu! Ayo, main sepak bola bersamaku!" ajak Reo sembari merangkul bahunya.
Untuk pertama kalinya, dunia abu-abu milik Nagi Seishiro mulau berwarna oleh kehadirannya yang secerah cahaya mentari. Nagi merasa sesuatu yang aneh berada di dalam dadanya. Tidak ada yang menarik, ia meyakinkan diri bahwa ia melakukan hal ini karena terpaksa.
Namun jauh di dalam lubuk hatinya, bagaimana bisa ia menolak ajakan penuh kilauan itu?
***
"Ini menyenangkan bersamamu."
Hening, Nagi membulatkan irisnya, tidak percaya akan kalimat yang didengarnya. Lalu, Reo kembali mengangkat suara seraya menoleh sejenak, "Hei, Nagi, bagaimana denganmu? Apa kau juga mulai menikmatinya?"
Tak ada angin, tak ada hujan, Reo tiba-tiba melontarkan pertanyaan. Nagi mengedipkan matanya, masih dalam posisi dirinya yang tengah digendong oleh Reo. Ia menyandarkan kepala di atas bahu Reo, melirik dengan enggan melalui iris kelabu yang ia miliki.
"Hmm, aku tidak begitu ingin main sepak bola. Tapi ...," Nagi memberi jeda, tatapannya yang biasa datar, mulai melembut, "bersamamu tidaklah merepotkan."
Mendengar balasan yang diberikan, Reo meloloskan kekehan kecil seraya berjalan membawa Nagi dalam gendongannya, "Setidaknya, beritahu aku kalau kau juga bersenang-senang."
***
Angin sepoi-sepoi berembus, menerpa kedua pemuda yang tengah menaiki sepeda. Reo menyunggingkan senyum lebar, tertawa seraya mengayuh pedal. Sementara Nagi, menikmati udara tersebut dengan santai, membiarkan Reo membawanya.
Sudah cukup lama mereka bersama, menghabiskan waktu dan mengenal satu sama lain. Namun, Nagi masih saja tidak mengerti, mengapa Reo tertarik padanya yang pemalas ini? Bahkan rela untuk melakukan apapun untuknya. Pasti, orang-orang pun berpikiran yang sama dengan ia, meski tidak mengatakan secara langsung.
"Oh, ya, Nagi, kau mau singgah ke toko bunga dulu tidak?"
"Eh? Tidak mau, merepotkan. Lebih baik pulang saja, Reo," rengek Nagi.
"Benarkah? Haha, ya sudah. Padahal aku ingin membelikanmu buket tulip ungu. Nanti aku minta tolong Baaya, saja, deh."
Ia tidak bertanya lebih jauh, hanya berandai-andai, mengapa sekali lagi sosok yang tengah berada di hadapannya saat itu membuang energi untuknya? Jika ingin menarik perhatiannya, Nagi merasa bahwa Reo sudah melakukan banyak hal sampai-sampai Nagi selalu menoleh tatkala mendengar nama Reo disebut atau suara pemuda itu yang khas.
"Hm, terserah."
***
Diundang dalam Blue Lock, ia menyuruh Reo untuk berjanji agar tidak meninggalkannya.
Alasan mengapa Nagi berlari sekuat tenaga saat itu, Nagi sendiri juga tidak mengerti. Hanya saja, tatkala melihat wajah Reo yang gelisah. Nagi merasa perlu untuk berinisiatif dalam mencetak gol.
Namun, meski hanya dengan mereka berdua saja, mereka tetap kalah dalam pertandingan. Kini, Nagi paham. Wajah murung Reo adalah hal yang paling tidak ingin ia lihat dalam hidupnya yang tidak mempunyai motivasi apa pun.
Karena itulah, saat Ego menitahkan kepada para partisipan Blue Lock untuk membentuk team beranggotakan tiga orang. Nagi memilih agar bisa bersama Isagi dan Bachira, ia ingin mengalahkan Isagi, membantu dirinya semakin kuat agar tidak ada yang bisa membuat Reo kembali murung.
"Aku akan ikut bersama mereka," ujar Nagi.
"Eh?"
Iris ungu Reo membelalak mendengar hal tersebut, seolah seketika kehilangan cahayanya seluruhnya. Jari-jemari itu bergetar, "A-apa maksudmu, Nagi?!"
Aku ingin menjadi lebih kuat, Reo.
"Kau bilang, kita berdualah yang terkuat. Kita kalah kalau hanya berdua saja."
"Tapi, bukankah kita berjanji untuk selalu bersama?"
Bukan seperti ini, ia tidak ingin melihat ekspresi itu semakin parah. Namun, mengapa Reo tidak bisa memahaminya saat ini? Padahal biasanya, tanpa ia ucapkan pun, Reo selalu pahan akan keinginannya. Lantas, Nagi membalikkan badan sembari berujar, "Kau merepotkan, Reo."
Bagai hancur berkeping-keping, Reo menahan napasnya. Lalu, menundukkan kepala, mengepalkan tangannya dengan erat.
"Ah, begitu, ya? Terserahmu saja."
Nagi tidak bermaksud untuk mengucapkannya seperti itu. Tetapi, ia tidak bisa menarik kembali perkataan yang telah ia lontarkan. Reo selalu melakukan semuanya sendirian, hanya untuknya. Kalau ia tetap menjadi sosok yang menerima, maka sekali lagi, ia dan Reo akan menerima kekalahan. Nagi tidak ingin mengalaminya lagi.
Iris abu-abu miliknya melirik, mendapati Reo yang duduk seraya memeluk kedua kakinya sendiri. Nagi memalingkan wajahnya, tak ada yang perlu ia sesali dari keputusan ini.
Oleh karena itu, ia harus menjadi lebih kuat agar bisa berdiri di samping Reo. Cahaya yang menuntunnya itu harus menampakkan sinarnya, lagi.
***
"Kau masih bisa mencetak skor, kan?" tanya Reo yang melemparkan botol air minum dan handuk saat sesi istirahat, melawan timnas Jepang. Nagi menoleh, mengerjap seraya menerima pemberian pemuda berambut ungu itu. Ia mengangguk malas.
"Ya, Reo. Aku masih bisa mencetak skor lebih banyak."
Iris ungu itu nampak sedikit meredup dan sendu, namun terlihat serius seraya menatap lekat padanya, "Yah, benar ... aku yang paling tahu. Karena ... aku yang selalu melihatmu."
Sejujurnya, Nagi ingin kembali mengangkat suara. Tetapi, ia urungkan. Hanya dengan memenangkan turnamen saja yang kini perlu ia pedulikan. Ia akan mencetak lebih banyak dan membuat Reo merasa bangga. Bukankah dari dulu memang seperti itu?
Ia tidak mengerti akan perasaan gelisah di dalam dadanya, maupun alasan Reo bertingkah seperti ini padanya. Ia hanya perlu mencetak skor lebih banyak seperti biasanya dan memegang kemenangan, bukan?
Nagi melangkah, keluar menuju lapangan untuk melanjutkan permainan sepak bola. Reo benar, dadanya yang tengah bergemuruh dan berdetak kencang saat ini, sangat ia nikmati. Apakah ia mulai menyukai sepak bola? Apakah Nagi Seishiro merasa hal ini menyenangkan?
Yang pasti, ia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Ia ingin lebih, lebih, dan lebih akan kemenangan. Nagi membenci kekalahan, terlebih ekspresi gelap yang Reo tunjukkan. Menurutnya, raut wajah itu tak cocok untuk Reo yang bersinar terang layaknya mentari. Berbanding terbalik dengan dirinya yang selama ini hidup dalam kegelapan.
Tak masalah, Nagi akan merasa baik-baik saja selama Reo bahagia. Karena itu, untuk mencapai keinginannya tersebut, Nagi perlu berjuang lebih keras dalam pertandingan ini.
***
Suasana yang hangat setelah latih tanding antara Bastard Munchen dan Manshine City. Dalam bathroom, Reo melompat ke dalam bathup, menyemprot air kepada Nagi yang sedang asik berenang. Mereka berdua menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama, dinding penghalang yang Nagi bangun sebelumnya telah rusak sempurna.
Tak ada lagi kantung mata hitam di wajah Reo, hanya ada senyum sumringah tiap kali melihat ke arahnya. Lihat, bahkan kali ini, Reo tak sungkan untuk mengeringkan rambutnya.
"Ini sudah lama, ya." Nagi memijat tengkuknya, melirik ke arah Reo, membuka mulut masih dengan suara malasnya yang khas.
Sosok dengan rambut ungu yang masih basah itu mengerjap, "Eh?"
"Mengingatkanku akan hari dimana kau mengajakku bermain sepak bola. Aku ... tidak pernah berpikir akan bersemangat seperti ini dalam sesuatu," jelas Nagi, memberi jeda, lalu melemparkan tatapan penuh tulus meski terlihat tak ada perubahan dari ekspresi datarnya, "karena itu, terimakasih, Reo. Terimakasih karena sudah memperkenalkanku dengan sepakbola."
Iris ungu tersebut melebar saat mendengar ucapan darinya. Terdiam untuk beberapa detik dan mengerutkan dahinya, kebingungan. Lantas, Reo mendekatkan diri dan memasang ekspresi panik, "Eh? Apa kau mau meninggal atau terjadi sesuatu padamu?"
Nagi mengembungkan pipinya, merasa kesal karena Reo yang tidak menerima perkataannya secara langsung, "Aku tidak mati."
"Kau punya penyakit yang parah?"
"Kan sudah kubilang, aku tidak mati."
Tawa lolos dari mulut Reo, kekehan itu semakin besar. Namun, rautnya nampak lega, "Itu tadi terdengar sangatlah bukan seperti dirimu sampai-sampai aku ketakutan sendiri! Kau sudah semakin dewasa, ya!"
"Eh, tidak tahu. Aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan," cibirnya.
Reo masih tersenyum, membuat Nagi masih terus saja menatapnya. Setidaknya, Nagi menikmati cahaya itu kembali lagi pada diri Reo. Benar, Nagi Seishiro akan menjadi player terbaik di dunia agar Mikage Reo dapat mencapai mimpinya.
Pertemuan kala itu, Nagi tidak bisa lebih bersyukur pada keajaiban yang diberikan kepadanya.
Bukankah waktu yang dihabiskannya bersama dengan Reo sampai saat ini, sudah lebih dari sebuket bunga tulip ungu saat itu yang diberikan oleh Reo padanya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top