Bridge Between Worlds
Bridge Between Worlds
Mobile Legends: Bang Bang x Honor of Kings crossover fanfiction
about Hanzo x Hanabi
Mobile Legends: Bang Bang © Moonton
Honor of Kings © TiMi Studio Group
Story © notalicekingsleigh
***
Hanabi cukup yakin bahwa ia tidak menerima luka yang terlalu serius ketika melawan Hanzo tadi. Hanabi sangat yakin bahwa penyerapan kekuatan Higanbana oleh jiwanya hanya akan menyebabkan halusinasi, bukan rasa sakit sampai hilang kesadaran. Tetapi tidak jadi soal apa yang Hanabi yakini sebab hal terakhir yang dilihatnya sebelum kegelapan menyelimuti adalah cahaya terang membelakangi Hanzo dan raut panik Hayabusa.
***
"Hanabi? Hanabi! Jawab aku, Hanabi!"
Suara Hayabusa samar-samar memasuki pendengarannya. Kepala Hanabi rasanya pusing sekali. Apa yang terjadi?
Terdengar suara yang lebih berat menimpali Hayabusa. "Diamlah. Hal terakhir yang orang pingsan butuhkan adalah suara keras dan guncangan. Kau sama sekali tidak membantu."
"Diam kau pengkhianat! Gara-gara kau, semua jadi kacau!"
"Aku hanya menyalakan kembali api lama yang hampir padam. Kalau bukan karena jurus terlarang yang digunakan leluhur kita untuk meraih puncak dari ninjutsu, semua ini tidak akan terjadi." Nada itu terdengar bosan. "Sekarang, lebih baik kau fokus untuk mencari tahu di mana kita sekarang. Kau jenius, bukan?"
Hanabi mengerutkan dahinya merasakan pegangan Hayabusa di bahunya mengencang. "Jangan pernah memerintahku, jangan sekali-kali bicara denganku, bedebah pengkhianat. Tidak sudi aku berhubungan darah denganmu."
Hanzo mencemooh. "Ya, ya. Lebih baik kontrol emosimu itu, jenius, sebelum kau melukai temanmu lebih lanjut."
Hanabi mengerjapkan matanya merasakan sentuhan Hayabusa menjauh. Ia mengerang pelan, lelah dan puas. Kini merasakan kekuatan penuh Higanbana di dalam jiwanya, bersatu selamanya. Hanabi tidak menyukainya, tetapi ia dapat memahami Hanzo lebih baik sekarang.
Keduanya sama-sama menambatkan hidup mereka pada kekuatan yang dapat menjadikan mereka yang terkuat. Hanabi dengan Higanbana dan Hanzo dengan Ame no Habakiri. Mereka berasal dari sisi mata pedang yang sama diacungkan oleh dua pihak yang berbeda.
Hayabusa... Hayabusa tidak akan bisa mengerti, Hanabi yakin itu. Memang benar ada banyak hal di dunia ini yang lebih penting dari kemenangan, tetapi orang-orang seperti Hanabi dan Hanzo ditakdirkan untuk kekuasaan. Mereka hanya mengambil apa yang seharusnya milik mereka.
"Hanabi, maaf! Kau baik-baik saja? Butuh minum?"
Hayabusa membantu Hanabi duduk dan menyodorkannya botol minum sebelum mendapat jawaban. Hanabi menegaknya sampai setengah, merasa lebih haus dari biasanya, kemudian mengangguk terima kasih kepada Hayabusa. "Tadi kau bilang 'mencari tahu di mana kita sekarang'," Hanabi menatap Hanzo, "apa sesuatu terjadi beberapa saat yang lalu?"
Hanzo tidak langsung menjawabnya, menatap Hanabi dengan raut wajah datar. Kemudian, ia mengalihkan pandangan dan menganggukkan kepalanya ke arah belakang Hanabi. "Saat kau pingsan, entah darimana muncul cahaya terang membutakan lalu kita bertiga entah bagaimana terseret arus dan terdampar di sini. Tidak terlihat seperti pulau manapun yang ada di peta."
"Begitulah katanya." Hayabusa memutar matanya. "Dari semua perkataannya, dia bisa saja pelaku yang membawa kita ke sini dan berpura-pura tidak tahu."
"Tidak percaya sekali. Aku tidak akan repot-repot melakukan hal tidak berguna seperti itu, keponakan. Aku mungkin pengkhianat, tetapi aku bukan orang yang luang."
Raut wajah Hayabusa menampakkan perasaan jijiknya ketika diingatkan bahwa Hanzo adalah pamannya. "Jangan panggil aku begitu seolah-olah kita dekat sebelum ini, bedebah."
"Kalian bisa melanjutkan reuni mengharukan ini setelah kita tahu tempat apa ini." Hanabi bangkit dari posisi duduknya dan dalam waktu singkat kedua tangannya sudah menggenggam erat kunai miliknya.
Hayabusa menatap Hanzo penuh kejijikan dan Hanzo balik memandang Hayabusa merendahkan. Bahkan sebelum segalanya menjadi kacau, Hanzo dan Hayabusa tidak pernah dekat sebagai keluarga sedarah dan sebagian besar waktu berpura-pura yang lain tidak ada.
Mengabaikan luka-luka yang didapatnya dari pertarungan melawan Hanzo, Hanabi terus berjalan ke satu arah mengikuti panggilan dari Higanbana di dalam dirinya, tidak memedulikan kedua laki-laki di belakangnya. Tidak sampai semenit kemudian Hanabi dapat mendengar suara langkah kaki lain menyusul di belakangnya beserta ayunan pedang Ame no Habakiri yang siap menebas.
"Hanabi? Kau mau ke mana?" Hayabusa buru-buru menyusul Hanabi dan Hanzo yang tumben-tumbennya menurut begitu saja. Hayabusa mengeluarkan shurikennya. "Ada apa di sana? Apakah kau merasakan sesuatu?"
Hanabi bergumam pelan, melangkah lebih cepat. "Higanbana memanggilku ke sana."
Tanpa komentar apapun dari Hanzo, Hanabi curiga bahwa laki-laki itu merasakan hal yang sama dengannya dan Ame no Habakiri memandunya ke sana.
***
Sepanjang mata memandang, hanya ada gurun di tempat ini. Beberapa kali pula mereka bertiga melewati reruntuhan bangunan yang tampak baru. Kemungkinan besar pemukiman di gurun tersebut hancur belum beberapa lama ini, sekitar sepuluh sampai dua puluh tahun sebelumnya.
Langkah mereka akhirnya terhenti setelah sekian lama di hadapan istana megah yang terbengkalai. Beberapa bagian istana tampak sudah hancur dan menjadi reruntuhan yang terkubur di bawah pasir. Dilihat dari kemegahannya, tidak dapat dipungkiri bahwa dahulu istana tersebut merupakan rumah dari keluarga kerajaan yang berkuasa.
"Perang pasti telah terjadi beberapa tahun silam." Hayabusa menggerakkan tangannya di permukaan dinding. "Perang yang besar sampai bisa menghancurkan satu kerajaan dan meninggalkan reruntuhan semata."
Hanabi berpikir sejenak. Seingatnya tidak ada perang besar yang terjadi dalam kurun waktu dua puluh tahun. Kalaupun ada, dampaknya pasti akan masih terasa sampai saat ini setidaknya di bidang perdagangan. "Apa kita yakin kita tidak sedang berada di dunia lain?"
Hanzo menyandarkan punggungnya. "Terdengar menggelikan, tetapi juga merupakan kemungkinan terbesar saat ini. Sebagai ketua faksi Shadow sebelumnya, aku yakin tidak pernah mengurus hal-hal yang berkaitan dengan peperangan dan sejenisnya."
Cahaya terang dan terseret arus? Saat mereka bertarung, bulan memang sedang bersinar terang dan genangan air mengelilingi mereka, tetapi tidak sampai menenggelamkan. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Hanzo," panggil Hanabi, "sebenarnya apa yang sedang kau lakukan saat itu dan tempat apakah itu?"
Hanzo memiringkan kepalanya dan sekilas Hanabi merasa kesal terhadap kemungkinan bahwa Hanzo akan pura-pura tidak tahu. "Pulau Yomi." Hanabi merasa kekesalannya mereda dan setiap perhatiannya tertambat pada setiap perkataan Hanzo. "Legenda mengatakan bahwa ketika Izanami mati, ia kemudian tinggal di dunia bawah tempat orang-orang mati berada dan menjadi sosok Dewi Kematian."
Legenda Izanami dan Izanagi sudah dihapal di luar kepala oleh orang-orang di Scarlet Shadow. Dikatakan bahwa Izanami dan Izanagi adalah anak dari Yin dan Yang serta dewa dan dewi pertama sebelum kemunculan yang lain seperti Amaterasu, Tsukuyomi, dan Susanoo. Yang menjadi pertanyaan di kepala Hanabi adalah, apa hubungannya dengan Hanzo?
Tidak menunggu respons, Hanzo melanjutkan. "Pulau tempat Izanami tinggal juga disebut Pulau Yomi. Beberapa minggu lalu, aku menemukan bahwa Pulau Yomi tempat kita berada tadi tidak tergambar dalam peta manapun, tetapi disebutkan dalam gulungan milik Akakage. Izanami juga disebut lumayan sering sementara Izanagi hampir tidak ada. Melalui gulungan tersebut, aku mencari cara untuk pergi ke Pulau Yomi itu.
"Lalu, kau sadar tidak? Hawa di pulau tersebut sangat berbeda dengan pulau lainnya. Sebuah kuil besar didirikan di tempat itu, tetapi tidak satupun kehidupan terlihat. Seperti..."
"Seperti ada sesuatu yang memisahkan pulau tersebut dengan dunia luar, dunia yang kita kenal," sambung Hanabi. "Memang benar, pertama kali aku menginjakkan kaki di pulau itu rasanya seperti ada tirai yang menghalangi kontak dengan dunia luar. Apa itu alasan kita terbawa ke sini?"
Hanzo menggelengkan kepalanya. "Tidak cukup. Pulau Yomi memang memiliki kekuatan tersendiri tetapi tidak cukup kuat untuk bisa membawa kita ke dunia lain. Tebakanku sosok yang jauh lebih kuat tengah ikut campur."
Seketika Hanabi mengerti maksudnya. "Izanami maksudmu? Kenapa kau bisa yakin?"
Alih-alih menjawab, Hanzo melipat tangannya. "Apakah Higanbana tidak memberitahumu? Lihat aku dengan jiwamu, Hanabi."
Hanabi tidak paham maksudnya berkata seperti itu, tetapi Hanabi menuruti Hanzo dan mendengarkan Higanbana lebih seksama. Ia memejamkan mata, merasakan kekuatan dari pemimpin faksi Scarlet pertama menyelimutinya hangat. Hanabi membuka mata dan ia hampir terkesiap memandang Hanzo.
Kegelapan yang pekat mengelilingi laki-laki itu, seakan-akan ingin mencekiknya tetapi juga memeluknya erat. Hanabi sempat melihat sinar merah di antara kegelapan itu dan seketika ia tersadar bahwa itulah kontrak hidup dan mati Hanzo dengan Ame no Habakiri. Tetapi bukan itu maksud Hanzo ketika menyuruhnya melihat. Lalu apa...?
Hanabi mengerjap beberapa kali. Rambutnya yang telah melayang tanpa disadari kembali terjuntai lembut dan api merah menghilang dari kedua tangannya menyisakan asap.
Tidak mungkin... Masa sih?! Kegelapan, Izanami. Mungkinkah Hanzo mendapatkan berkah dari Izanami itu sendiri? Sejak kapan? Hanabi tidak ingin percaya tetapi apa yang baru saja ditunjukkan Higanbana adalah nyata. Kematian menyelimuti Hanzo bersamaan dengan berkahnya.
Hanabi membasahi bibir bawahnya. "Oke kalau begitu, apa kau tau apa yang diinginkannya dengan mengirimmu—mengirim kita ke sini?"
Hanzo mengangkat kedua bahu, tetapi Hanabi yakin ia tidak berhalusinasi bahwa postur Hanzo terlihat lebih rileks dari sebelumnya. Entah kenapa, Hanabi tidak yakin. "Itulah yang belum aku pahami. Aku merasakan panggilannya sedari tadi tapi tidak terasa mendesak. Akan kukatakan kalau ini adalah sebuah kesalahan, tetapi dewa tidak membuat kesalahan. Entahlah, mungkin iseng?"
Hanabi menatap datar Hanzo. "Sekarang bukan waktunya bercanda, Hanzo. Tidak mungkin kau benar-benar berpikir begitu."
Kali ini Hanzo tertawa kecil, masih dengan nada merendahkannya yang khas, tetapi Hanabi berani bersumpah Hanzo benar-benar santai sekarang tanpa ada ketegangan ketika berhadapan sebelumnya. Hanabi terkejut menyadari bahwa dia merasakan hal yang sama. Hatinya terasa lebih ringan sekarang.
"Memang tidak. Menurutmu sendiri bagaimana, Scarlet?"
Keterkejutan yang dirasakan Hanabi sebab Hanzo memanggilnya 'Scarlet'—gelar yang hanya dimiliki pemimpin faksi Scarlet—tidak menghentikan mulutnya yang spontan menjawab Hanzo. "Untuk menyadarkan kita akan adanya dunia lain? Dunia yang berjalan bersisian tetapi tidak pernah menyadari keberadaan satu sama lain. Mungkin saja dewa menginginkan penghubung antara dua dunia ini."
Hanabi melihat kedua mata Hanzo menyipit. Karena muzzle yang digunakannya, Hanabi tidak bisa melihat mulut Hanzo tetapi ia yakin kalau pelaku pembantaian klannya itu tengah tersenyum. "Kata per kata. Tidak buruk, Nona Scarlet."
Hanabi dapat merasakan kedua sisi mulutnya ikut terangkat, membalas senyuman sang pengkhianat.
Untuk saat ini, Hanabi memutuskan untuk mengabaikan Hayabusa yang sedari tadi memandangi mereka berdua dengan intens. Hanabi percaya Hayabusa tidak akan berpikir kalau Hanabi melunak terhadap Akakage Pengkhianat, Hanzo—mereka sudah kenal satu sama lain bukan baru beberapa bulan, Hayabusa tahu Hanabi loyal terhadap faksi Scarlet, atau lebih tepatnya lagi, posisinya sebagai pemimpin faksi Scarlet di masa depan—tetapi laki-laki itu pasti tetap merasa curiga.
Hanabi sendiri tidak bisa memberikan penjelasan yang pasti, tetapi untuk saat ini ia yakin bahwa tidak ada yang dapat sepenuhnya memahami Hanabi dan Hanzo selain satu sama lain.
***
"Berhenti di sana! Turunkan senjatamu! Siapa kau?!" Suara melengking seorang wanita memasuki pendengaran Hanabi, Hanzo, dan Hayabusa. Mereka bertiga menghadap sumber suara dan mendapati wanita berambut merah membara seperti api dengan pedang di satu tangan dan belati di tangan lainnya. "Jawab aku!"
Hanabi menangkap pergerakan dari sisi lain wanita itu. Kehadiran laki-laki di samping wanita itu hampir luput dari mata fana Hanabi tetapi jiwanya yang sudah bersatu dengan Higanbana mustahil melewatkan hal sekecil apapun.
Dilihatnya wanita itu melirik pembunuh di sampingnya, tampak tidak terlalu khawatir. "Temanmu?"
Laki-laki itu melipat tangan di depan dadanya. "Kau mengejekku? Tidak, aku tidak punya teman, kau tahu itu."
"Heh. Emo."
"Mulan, aku tidak keberatan kita duel satu ronde lagi."
"Siap-siap untuk kembali makan pasir, pangeran."
"Jadi, adakah dari kalian yang bisa menjelaskan di mana kita berada sekarang?" Melihat kedua orang itu mulai asik sendiri, Hanabi cepat-cepat bersuara sebelum mereka benar-benar dilupakan.
Mulan menatap Hanabi, Hanzo, dan Hayabusa dengan aneh. Matanya bergerak menilai mereka bertiga dari ujung kepala sampai kaki. "Pakaian dan logat kalian aneh. Orang luar?"
"Kurang lebih," Hanzo menjawab. "Sekarang, bisa jawab pertanyaan kami?"
Mulan dan pangeran saling tatap-tatapan. Kemudian, Mulan menyarungkan belatinya, melemparkan senyum yang berbanding terbalik dengan sikap skeptisnya tadi. "Aku Mulan, Komandan dari Great Wall Guardians, dan kalian sedang berada di Central Plains. Siapa nama kalian?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top