@raatommo's Life

Wattpad Malaysia open-heartedly presents raatommo, a Wattys winner, a Wattpad Ambassador, a talented Indonesian writer and she is known for her story 'Life'. She is going to share a special chapter of Life to all of you. 

...

Hi Wattpad Malaysia!
Suatu kebanggan bisa ikut merayakan peresmian akun ini.

Perkenalkan, nama saya Uwaraa Montgomery. Banyak orang panggil saya Raa saja.

Saya ambassador Indonesia tapi Malaysian user are welcome to ask anything to me since I know Melayu quite well.

Buku debut pertama saya berjudul LiFe dan nanti akan saya bagikan gratis untuk 2 orang pemenang.

I hope you enjoy my special chapter. Tapi bila kamu nak baca lebih banyak tentang Sam dan Felicia, you can visit my profile and maybe say hi :)

Summary:

Samuel Hyun pemuda keturunan Korea-Kanada yang kehilangan identitas telah jatuh hati kepada Felicia seorang gadis dengan kepribadian unik yang sangat hobi menukar warna rambut. Sosoknya yang ceria ternyata tidak menjamin seseorang memiliki masa lalu yang bahagia pula.

****

Aku sudah memeriksa segalanya. Dua kali.

Rambutku sudah rapi, disisir ke samping dengan belahan lurus disebelah kiri, mirip belahan laut merah oleh Musa. Bajuku sudah disetrika dua kali dengan pengharum yang banyak. Aku bahkan menggunakan bedak agar jerawat dikeningku tidak terlihat waktu aku duduk kembali di cafe yang sama, tempat bertemu gadis itu kemarin. Felicia, Fee. Nama yang unik untuk gadis secantik dia.

Sejujurnya aku tidak nyaman menggunakan semua ini, tapi aku ingin memberikan kesan terbaik jika kami bertemu lagi. Setelah kemarin dengan tenangnya mataku bertengger ke dada dan bokongnya, aku tidak mau dia berpikir kalau aku benar-benar hanyalah laki-laki mesum yang mengerikan. Aku tidak mau melewatkan kesempatan mengenal Fee, membuatnya nyaman mengobrol denganku adalah tujuanku hari ini.

Akhirnya setelah sampai di tempat ini, aku langsung memesankan kopi hitam untukku sendiri, dan Cappucino Latte untuknya. Sesuai dengan apa yang dia ingin kemarin.

Waktu bel pintu berdenting, aku tengah sibuk memperhatikan keluar jendela. Ke arah orang yang berlalu lalang dengan mantel dan payung mereka. Menerobos hujan agar bisa sampai ke tempat tujuan. Semua terlihat buru-buru agar tidak basah, sama seperti gadis berambut ungu dengan jeans dan kaos, yang tengah sibuk menepis air hujan dari kepalanya.

Refleks aku berdiri khawatir. Gerakanku menarik perhatiannya hingga dia menoleh kemari. Fee tersenyum, tapi aku tidak sempat membalas. Dia berjalan ke arah mejaku dan menarik kursi untuk duduk.

"Tidak kusangka kita akan bertemu lagi, Sam." Katanya pura-pura. Padahal seharusnya, dia memang sudah tahu akan bertemu aku disana. "Hujannya deras sekali, aku lupa membawa payung." Katanya mengibas-ngibaskan tangannya kedinginan.

"Kau basah." Kataku tanpa sadar. Fee menengadah ke arahku yang masih berdiri kaku, lalu tersenyum penuh arti. Awalnya aku tidak mengerti, tapi saat ku ulangi kembali dalam hati, aku langsung bisa menebak hal yang dia pikirkan.

You're getting wet. Bagus... sekarang dia pasti berpikir aku benar-benar mesum.

Dia mengedikkan bahu. Terlihat tenang membalas kalimat bermakna ganda tadi, "Oh iya... kenapa tidak duduk? Kau mau berdiri terus?"

"O-oh.."

Masih dengan ekspresi ragu, aku pun kembali menarik bangku dan duduk ditempatku. Memeperhatikannya seperti orang buta yang kembali bisa melihat matahari. Atau setidaknya seperti orang idiot yang memang idiot. Karena bahkan saat dia basah kuyup seperti ini, Fee masih terlihat cantik.

Dia bahkan tidak menggunakan polesan wajah apapun. Bibirnya sedikit pucat, wajahnya polos, berbeda denganku yang memakai bedak. Aku sampai malu sendiri, dan diam-diam mengusap keningku perlahan-lahan untuk menghapusnya.

Biarkan saja jerawatku berdarah karena ini, pikirku.

Ku perhatikan dia menarik tissu demi tissu keluar dari dalam tasnya untuk mengeringkan wajah. Ditemani Lagu Want To Break Free mengalun dari cafe ini, menjadi backsound saat aku sibuk mengagumi Fee di depanku.

I'm fallin in love for the first time...

Aku mendadak teringat, dan mengeluaran sapu tangan dari dalam saku jaketku. Ragu-ragu ke serahkan kepadanya yang menatap bingung.

"Lebih baik keringkan wajahmu pakai ini, daripada dengan tissue." Kataku akhirnya, setelah otakku bisa bekerja dengan lebih baik. Belum sempat dia mengeringkan wajahnya, aku sudah melepaskan jaketku dan menyerahkan kepadanya. "Dan pakai ini untuk mengganti bajumu."

Fee menerimanya, dia duduk diam dan terlihat tertegun dengan apa yang kulakukan sebelum akhirnya dia tersenyum lagi.

"Terima kasih." Katanya, "Aku ganti sebentar ya?" lalu dia bangkit ke arah counter sambil membawa jaket milikku.

Aku menunggu disana, menyesap kopi dengan gugup. Dia kembali dari toilet setelah beberapa menit, dengan jaket jersey tim basket yang ku miliki waktu masih bermain di sekolah dengan tulisan 'Hyun' di belakangnya.

"Terima kasih untuk jaketnya."

"Tidak masalah."

Lalu kami terdiam. Sungguh aku tidak tau harus mengatakan apa saat itu. Dan lagi, dia terus menatapku dengan senyum yang membuat semua kata-kata seakan menguap dari kepalaku. Aku yakin aku pasti terlihat sangat bodoh dimatanya saat ini. Saat tersadar yang berhasil kulakukan hanya mendorong Capuccino Latte miliknya ke tengah dengan satu tangan, sebelum kembali mengaitkan tanganku di bawah meja.

Dia terkikik. Satu tangannya bertumpu di atas meja, menutupi mulutnya dengan kepalan jari yang memutih karena kedinginan. Menghalangi senyum miliknya untuk terlihat jelas olehku.

Ingatan beberapa bulan lalu itu kembali mengisi pikiranku waktu tanpa sengaja aku melihat jaket itu di kamar Fee. Disampirkan dengan rapi di dalam lemari, harum seperti semua pakaian miliknya.

Ku belai jaket itu, dan tersenyum senang karena berkat dia dan semua usahaku akhirnya aku bisa memenangkan hati gadis tercantik yang pernah kutemui tiga bulan yang lalu.

"Kenapa lama sekali, ketemu tidak bajunya?" Fee menyusul ke dalam kamarnya, menggendong baskom popcorn dan mulut yang penuh. Rambut hijaunya digulung asal. Dia belum mandi.

"Aku ingat sesuatu, karena melihat ini." Kutunjukkan jaket milikku dan tersenyum.

Fee ikut tertawa, "Sudah lama dia ada disana. Kau mau memakai itu ke pesta pernikahan kakakku?"

Oh iya benar, hari ini kami di undang ke pesta pernikahan Fiona, kakak Fee dengan seorang pengacara yang tengah naik daun. Memikirkan datang ke acara formal begitu sebenarnya sudah membuat perutku sakit. Aku tidak terlalu mengenal mereka, dan sulit sekali menyesuaikan diri disana.

Kalau saja bukan karena Fee yang memohon, kurasa aku tidak akan pernah datang ke acara seperti itu.

"Tentu saja tidak. Mereka bisa mengusirku, seperti katamu." Aku kembali menggantungkan jaketku dan menarik Tux yang disewa Fee untukku kenakan di acara itu.

"Baguslah kalau kau ingat. Sebenarnya kalau bukan karena ini acara Fiona, aku juga akan lebih senang diusir. Tapi karena dia kakakku, dan aku sayang padanya. Kurasa ini sudah takdir."

"Lalu kenapa kau mengajakku juga?"

"Karena kalau aku akan mati bosan di sana, kau juga harus mati denganku."

Kepalaku menggeleng pelan, dan menghela napas.

Fee keluar dari kamarnya sebelum berseru ketas-keras untuk menjawab pertanyaanku. "Coba pakai Tux nya, aku mau lihat apa pas atau tidak. Penjaga tokonya bilang bisa ditukar jika tidak muat."

Aku mulai berpakaian sesuai keinginannya dan melihat bayanganku di cermin dengan Tux hitam yang sangat pas ke tubuhku. Seumur hidup aku baru mengenakan pakaian seperti ini hanya empat kali. Pernikahan kedua Papa, Prom, Halloween ketika aku sedang menjadi karakter Men In Black, dan sekarang ini ke acara pernikahan kakak dari kekasihku.

"Bagaimana? Pas?" Fee kembali dari luar dan menyandar di depan pintu. Senyumnya merekah lebar. "Aku berutung sekali."

"Kau suka?"

Fee mengangguk, "Suka sekali."

"Apa warna dress mu?"

"Toska. sama seperti kemejamu. Kita akan jadi pasangan norak yang pakai pakaian serasi di sana nanti."

"Aku tidak keberatan kalau denganmu." kataku mengangguk. Lalu memperhatikan bayanganku lagi. Fee juga memperhatikan dia terlihat bangga. Entah itu ditujukan kepadaku atau kepada pilihan Tux nya yang pas sekali. Aku tidak tahu.

"Kau tahu, rasanya baru kemarin kau meneriaki namamu waktu kita bertemu di Cafe. Dan sekarang kau pergi denganku ke pernikahan Fiona." Fee menyandarkan kepalanya d lenganku. "Kalau waktu itu aku tidak duduk di depanmu, kurasa kita tidak akan seperti sekarang."

Kepalaku menggeleng, "Aku percaya, pasti ada cara lain untuk kita agar bertemu."

"Aku senang dengan cara kita bertemu. Aku senang memilihmu, da kau memilihku." Katanya lembut.

"Kau bahagia denganku?" bisikku pelan di rambutnya.

Fee menengadah, dagunya menyatu dengan lenganku sebelum dia mengangguk dan membuat ikal rambut biru yang lepas dari ikatannya bergoyang.

"Kalau begitu... mungkin tidak suatu hari aku memakai Tux ini untuk acara lain. Acara kita?" tanyaku gugup.

Sebelah alis Fee terangkat, senyum separuhnya membuatku semakin gugup.

"Maksudku tidak sekarang, nanti tentu saja nanti."

"Kau sedang melamarku, Sammy?"


Aku bersumpah keringa dingin mulai mengalir dipunggungku saat ini.

Aku bergumam panjang sebelum menjawab, "Ya?" dengan nada tidak yakin dan membuat Fee terbahak.

"Lain kali, coba lamar aku dengan membawa cincin. Mungkin aku akan menjawab iya." katanya dan menarik belakang kepalaku agar bisa menunduk hingga dia bisa menekankan satu ciuman di bibirku.

"Ja...jadi kau akan menerimanya kalau aku membawa cincin?"

"Mungkin." Fee mengedikkan bahunya lalu berjalan keluar kamar.

"Bagaimana kalau ku beli sekarang?"

"Waktu lima menit kalau begitu."

"Aku serius! Fee? Tunggu dulu." panggilku sambil merogoh kantung. 

  Thank you for sharing such a creative chapter, Uwaraa. Terima kasih!

@raatommo will give an Ebook to 2 lucky winners.  Click here to enter.

Sample cover of the Ebook.



If you have any questions to ask her regarding Sam, Felicia, romance, science fiction or anything else, write in the comment below.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top