❥9 : Sakit alergi, gatal!

Tittle : Sakit alergi, gatal!
Focus : Agra & Ansel

• • •

• • •

Tadinya hari ini mereka mau main ke Hutan Pinus Cikole—tapi, mendadak ada masalah karena salah satu dari mereka jatuh sakit.

Ansel, anak itu kini demam. Agra nggak tau daya tahan tubuh Ansel selemah ini, padahal kemarin yang capek banget sampai nyaris flu itu dia.

"Gimana dong? Bawa ke dokter dulu?" tanya Fariz dengan wajah khawatir.

Agra menoleh, menatap Fadeel.

Mereka rencananya mau sekitar lima hari di sini sebelum libur semester selesai. Kapan lagi main bareng keluar kota 'kan.

"Dokter paling deket dimana?" tanya Agra pada Fadeel.

Fadeel menggeleng tidak tahu, "Nanti gua tanyain ke si bapak yang jaga. Gua beli bubur dulu, si bapak Aep punya motor, mau minjem punya dia."

"Gua juga ikut, cari sarapan," celetuk Fariz. Akhirnya mereka berdua pergi.

Meninggalkan Agra, Ansel, Rev, dan Kenzi.

"Ini yang tidur di luar gua, tapi yang sakit dia, ga paham," kata Agra. Kenzi pemuda chindo itu menarik selimut Ansel hingga dadanya. Anak itu tidur dengan keringat dingin.

Mereka sekarang di kamar lantai dua, tadi Agra sempet rebus aer anget buat kompres Ansel. Kalo gini repot juga.

"Gua ga enak sama kalian nih," kata Agra, "Soalnya gua yang bawa dia."

"Santuy," kata Rev menenangkan.

"Lo pada kalo siang mau main, main aja. Biar gua yang jaga ini bocah," sambungnya, Rev menggeleng.

"Gua juga ikut jagain dah, lo cape juga dari kemarin. Nanti kalo ikut tumbang repot."

"Ungpusing..." Suara Ansel membuat ketiga orang itu menoleh cepat, saat ini Kenzi duduk di ranjang di samping Ansel. Sementara Agra dan Rev berdiri di samping ranjang.

Ansel ngebuka matanya, ingusnya meler, di tambah kulitnya yang tiba-tiba memerah dan gatal. Mukanya pucet banget.

"Maaf, gue alergi dingin," gumam Ansel sembari mengeratkan selimutnya. Agra berdecak, jelas merasa bersalah karena semalam membiarkan Ansel naik motor.

"Bilang dari awal, udah tau kita jalan-jalan ke daerah dingin."

Rev nyenggol Agra, "Lo jangan ngomel mulu napa, kasian anak orang."

"Biar mikir," kata Agra tajam. Ansel meringkuk, merasa tidak enak. Kepalanya pusing parah mana idung meler. Gatel-gatel juga, ah alergi sialan.

"Bawa obatnya?" tanya Kenzi, di balas gelengan kepala lemah. Ketiga orang yang lebih tua dari Ansel itu menepuk dahinya.

Mereka berasa punya adik bayi sekarang.

"Coba aja gua masuk FK, gua obatin lu sel," kata Rev, prihatin.

Kenzi meliriknya sadis, "Di industri aja ga kuat, sok bener ye mau ke FK."

"Bacot."

Agra menatap Ansel, anak itu memejamkan matanya. Pemuda itu tiba-tiba merasa khawatir.

Selain karena dia yang bawa Ansel ke Lembang, di tambah sama kejadian semalem udah double kill, bakal jadi triple kill kalau Azriof tahu, dan bakal jadi maniac kalau Azriof bilang ke Anton.

Savage? Iya, itu bakal terjadi kalau  Anton bilang ke keluarga Ansel. Hadeh pusing dah.

Setelah sepuluh menit, akhirnya Fadeel dan Fariz datang. Bawa bubur.

"Gatel bangetttt," kata Ansel, dia ga kuat pengen garukin kulit lengannya. Udah merah-merah banget. Kulitnya gatel sama panas.

"Merah banget anjir, bawa ke dokter aja kasian gua," ujar Kenzi. Fariz membawa satu mangkuk bubur untuk di berikan kepada Ansel.

"Gua gatau lu tim aduk apa nggak dek, jadinya ga gua aduk dulu," kata Fariz dan memberikan cengiran khasnya. Ansel sekarang udah duduk di atas tempat tidur, pake hoodie semalem.

"Udah jangan di garuk, luka nanti," Agra menahan jemari Ansel yang hendak menggaruk kulitnya. Gemas karena rasanya gatal.

"Eh bray, ini tapi gimana ya kita udah bikin janji buat dateng ke galeri sodara gua. Ga enak kalo ga datang."

Iya, niatnya jam sembilan nanti mereka mau ke galeri pameran omnya Fadeel. Udah di undang.

"Yaudah lo pada pergi aja, gua jagain Ansel, gua titip salam aja sama om lo ya," keukeh Agra, Revalka atau Rev menatapnya gusar.

"Lo tumbang nanti ahh."

Setelah melalui perdebatan akbar yang singkat, akhirnya Agra memenangkannya. Dia bakal jagain Ansel. Tapi kali ini Ansel ga protes, terlalu pusing buat ngebacot.

Ansel memasang wajah murung, "Maaf ya, harusnya gue bilang dari awal."

"Kalem kali ah kaya sama siapa aja," kata Kenzi lembut.

"Maaf bangg!" katanya ngerasa bersalah karena harus merepotkan mereka. Ansel melakukan gestur maaf, Fariz mengusap rambut anak itu sebelum keluar kamar.

"Cepet sembuh biar bisa jalan-jalan," Fadeel menjepit kedua pipi anak itu hingga bibirnya maju beberapa senti.

Diam-diam Agra membuang wajah, ada yang terasa panas tapi apa ya?

Masa dia cemburu?

"Udah sana lo pada pergi, kesiangan nanti."

Rev menarik nafas, melambai kecil dengan sedih kepada Ansel.

"Dadah adek bunny, abang pergi dulu. Kalau ini iblis nakal bilang ya," katanya dan menunjuk Agra seraya mengedipkan matanya. Agra merasa tidak terima dan segera mengusir Rev dengan menendangnya.

"Bajingan."

"WKWKWK."

• • •


• • •

Jam sembilan lebih sepuluh mereka udah berangkat kecuali Agra sama Ansel. Ansel pake jaket dobel, satu jaketnya Agra yang warna abu-abu. Untungnya ukurannya ga jauh beda cuma lebih besar dikit doang.

Mereka berdua lagi nonton tv di ruang utama, demamnya udah agak turun tapi Ansel ga kuat sama rasa gatelnya.

Diam-diam anak itu mencuri pandang kepada Agra yang sibuk dengan ponselnya. Merasa Agra sibuk, Ansel segera menggaruk punggung tangannya.

Tapi, sial seribu sial. Agra menoleh cepat dan memelototinya.

"Mau lecet?"

"Tapi gatel..."

Gua garukin pake kasih sayang sini, maunya sih Agra bilang gitu.

"Perlu gua iket tangan lu supaya diem hm?" Kalo yang dengernya orang lain pasti pikiran mereka melenceng kemana-mana. Dari otak yang bersih sampai otak kotor sekalipun.

Orang-orang berotak kotor pasti mikirnya, Oh ternyata ini orang doyannya main pake iket-iket segala ya. Nakal juga.

Agra juga sempet kepikiran sih.

Tapi yang ada, Ansel menggertakkan giginya, kesal.

Anak itu mengulurkan kedua tangannya yang memerah dan sedikit bengkak.

"Liatt!! Gatel tau! Iket aja nih, nanti gue garuk pake gigi!"

"Pft—" Agra memalingkan wajahnya. Membayangkan Ansel menggaruk tangannya menggunakan gigi kelinci.

Kulit Ansel seputih susu, warna kulitnya pucat. Jadi kalau ada luka atau memerah karena alergi pasti keliatan jelas.

"Ketawa?" tanya Ansel, matanya yang bulat menajam. Menatap Agra jengkel.

Dari kemarin dia marah-marah terus semenjak kenal sama Agra. Argh!

"Berisik, nanti siangan gua anter ke dokter."

"Gak!"

Agra meliriknya, "Ngambekan lu ya, dasar anak kecil."

"Bodo amat. Capek banget tau debat sama lo terus."

Agra tertawa ringan, merasa lucu. Ngomong-ngomong, Ansel kenapa nggak manggil dia abang ya? Kalo ke yang lain manggil Abang, terus sopan. Kalau ke dia kenapa nggak?

Agra menoleh, menatap Ansel yang kini sibuk dengan ponselnya.

"Sel," panggil Agra, tapi Ansel menghiraukannya.

Dalam sekali tarikan, ponsel berwarna hitam itu sudah berada di tangan Agra. Ansel menoleh jengkel.

Keseeel banget! Kenapa ganggu teruuuus? Lama-lama dia darah tinggi!

"Kalau ada orang manggil itu nyaut."

"Emang lo orang? Bukannya setan, iblis, demit—"

Dasar anak kecil! Ansel ternyata lebih nyebelin daripada mantannya.

Sabar Agra.

"Terserah nganggep gua apa, tapi kenapa lo ga sopan cuma sama gua?" ponsel milik Ansel masih berada di tangannya. Agra mengangkat tangannya tinggi yang memegang ponsel waktu Ansel mau ngerebut balik.

"Emang kenapa? Gak boleh?"

"Gak boleh, gak sopan, dan gak adil."

Ansel menatapnya sombong, "Tapi, gue gamau. Gimana dong?"

Agra senyum lebar, entah kenapa dia jadi melunak. Menarik satu tangan Ansel dan memberikan ponselnya.

"Nggak apa-apa, tapi kamu bakal nyesel."

Setelah itu Agra beranjak pergi, gak tahu kemana. Tapi, satu kalimat itu berhasil membuat Ansel bergidik ngeri.

Agra pake aku-kamu? Seriusaaaan?

"Gak jelas banget jadi orang," dengus Ansel dan kembali sibuk sama ponselnya.

Ugh, geli banget kalo diinget lagi.

• • •

Dari dulu karena Ansel itu anak bontot alias anak bungsu, dia paling di manjain di rumah. Kalau sakit dia itu sebenarnya paling gak bisa di kasarin.

Ansel agak cengeng kalau lagi sakit.

Kaya sekarang. Ansel nggak nangis—tapi, cuma hampir nangis gara-gara kulitnya merah dan makin gatal, mana pusing sama ingusan lagi. Dia kira Lembang ga bakal sedingin ini.

Anak itu udah ada di kasur lagi, Agra lagi di bawah gatau lagi ngapain.

Tapi, sumpah. Ansel ga kuat, mana kepalanya makin sakit. Alerginya kumat lagi, tadi Ansel cuci kaki sama cuci muka pakai air dingin marena ga betah.

LINE
Anseeel unblocked Agraftr

Anseeel : p
Anseeel : p
Anseeel : woi read ngapa

Agraftr : hm

Anseeel : ke sini bentarr

Agraftr : ga baca

Anseeel : abanggg
Anseeel : atau kakak?
Anseeel : tolong anter ke dokter lahh

Agraftr : knp

Anseeel : gatel bgt kulitnya anjir
Anseeel : ga kuat gueee
Anseeel mengirimkan pesan suara

"Udah merah banget kulitnyaaaaa."

Agraftr : bntr

Setelah membaca pesan itu Agra akhirnya memilih untuk menyusul Ansel. Suara anak itu udah gak enak di denger banget.

Manggil kalo ada butuhnya doang. Sedih.

Sesampainya di kamar dia menemukan Ansel yang sedang menggaruk lengannya.

"Di bilang jangan di garuk!"

"Sumpah baru kali ini gatelnya minta ampun."

"Mereka masih lama baliknya, naek grabcar aja."

Ansel nurut-nurut aja. Soalnya dia udah ga kuat banget.

"Kenapa kumat lagi?"

"Tadi cuci kaki sama cuci muka pake air dingin."

Agra memijit pangkal hidungnya, merasa pusing.

"Ada air anget malah pake air dingin."

Ansel gak jawab, Agra segera saja memesan grabcar, dia gatau mau ke dokter mana. Jadi, asal cari alamat dokter umum yang ada di grab atau nggak klinik sekalian.

Agra melemparkan jaket hoodie tambahan dan sepasang kaus kaki bersih miliknya untuk di gunakan Ansel.

"Pake dulu, gua mau siap-siap."

"Oke."

Hmm, seumur-umur dia baru ngerawat orang sakit. Agra ngerawat Azriof yang waktu itu kena campak aja udah nolak mentah-mentah di tambah campak itu nular.

Sekarang dia harus ngerawat anak kelinci ampun dah.

LINE
Sunda Empire (5)

Agraftr : gua mau ke klinik dlu
Agraftr : kunci villa gua bawa aja

Fadeel : makin parah?

Agraftr : iy
Agraftr : merah bgt kulit dia

Fadeel : yaudah kita balik malem juga. Mau nitip makanan gak?

Agraftr : nnti aja gua pc
read by 3

Jam dua belas sehabis duhur mereka pergi ke klinik yang letaknya sekitar tiga kilo meter dari Villa. Kata dokter, Ansel emang alergi dingin. Setelah di kasih obat sesuai resep dan minum vitamin, dia agak baikan. Makanan juga harus di jaga.

"Makasih," kata Ansel pelan. Mereka duduk bersebelahan di kursi klinik.

Agra menoleh, tersenyum tipis dan menepuk kepala anak itu lembut.

"Cepet sembuh."

Kadang Ansel ga ngerti sama kepribadian Agra itu kaya gimana. Keliatannya dia kaya random banget.

Pemuda itu menggunakan jaket denim hitam, kaus hitam sebagai dalaman, dan juga denim. Tampak seperti cowok hits Bandung. Udah kaya mau main padahal nganter orang sakit.

Beda banget sama Ansel yang sekarang kaya buntelan kelinci gara-gara pake triple jaket.

"Bang—" Ansel segera mengatupkan bibirnya saat Agra beranjak pergi ke luar klinik.

Ah, nyebelin banget.

Di sisi lain Agra menggeser tanda hijau di ponselnya tanpa melihat namanya. Malas.

"Halo?" katanya singkat.

Agra melangkah keluar klinik, mereka masih menunggu obat yang masih di proses.

Agra mendekatkan ponsel itu ke telinganya.


"Agra, kamu dimana?"

"Bandung."

Suara cewek, Agra sebenernya males buat angkat teleponnya. Tapi, di sisi lain dia juga belum terlalu bisa move on.

"Sama siapa?" tanyanya lagi. Agra melirik Ansel yang duduk di dalam klinik dengan triple jaket.

"Temen-temen, kenapa?"

Nevy—mantannya itu terkadang masih meneleponnya. Mereka putus dengan baik-baik, Agra yang bosan dan Nevy yang posesif. Apalagi Agra itu tipikal cowok yang lumayan friendly yang jelas temen-temennya banyak.

"Nggak papa. Lusa bisa ketemu?"

Agra menarik nafas, gemas ingin memustuskan sambungan karena kasihan melihat Ansel sendirian di dalam.

"Nggak, masih di Bandung. Kuliah aja ketemunya, aku tutup ya?"

"Tunggu!" katanya di seberang, tampak buru-buru, "Jangan dulu di tutup. Aku lagi butuh bantuan—"

"Apalagi?

"Kamu lagi gak deket sama orang lain 'kan?"

Agra memutar kedua bola matanya malas, "Ngapa emangnya?"

"A-aku, mm nanti aja deh. Kayanya lagi sibuk kamu."

Agra paham, tapi dia tampak tidak terlalu tertarik. Agra mengusap bibir bawahnya dengan jarinya. Berpikir sejenak.

"Lain kali aja ngomongin ini Nev, aku tutup ya."

"Agra—"

Pip! Sambungan seketika langsung terputus. Agra bergegas saat melihat Ansel di dalam yang tampak kesakitan. Agra bukannya ga menghargai cewek, tapi dia emang lagi ga mood buat bahas topik itu. Mereka putus juga udah lama sekitar dua bulan.

Udah males.

Agra bisa melihat anak itu melenguh, meremas perutnya saat Agra mendekatinya. Tiba-tiba kesakitan.

"Sel! Kenapa lagi?"

"Perut gue sakit banget."

Agra menghela nafas, tadi kata dokter Ansel juga lambungnya kumat. Dia makannya jelek gara-gara pilih makanan.

"Habis nebus obat kita makan dulu."

"Gamaaauuu!"

"Makan, kalo ga gua tinggal lagi?"

Ansel akhirnya mau tidak mau diam. Merengut. Tidak rela tapi tak kuasa dengan rasa sakitnya.

Huh, mungkin lain kali dia bakal berterimakasih sama Agra.

Kalau di lihat-lihat sebenarnya Agra itu perhatian dan baik dengan caranya sendiri.

"Suka nasi Padang?"

Ansel menggeleng.

"Mau makan apa?"

"Gak mau!"

Astaga. Udah persis anak sekolah dasar.

"Oke, warteg."

"GAMAU!"

Agra mengabaikannya dan menyeret anak itu menuju warteg yang tidak jauh dari klinik. Kaya induk ayam yang nyeret anaknya.

Pokoknya, Agra bakal bikin Ansel sehat hari ini. Ansel harus sehat supaya dia ada temen cekcok lagi.

Supaya dia ga khawatir lagi.

"AGRA BRENGSEEEKKK!"

"GAMAU WARTEEEEGG! MAU KFC!!!!"

Huh, dasar KFC lovers. Beda haluan sama dia, McD lovers.

• • •

To Be Continued!
Aku nepatin janji double update! Love you all!
Jangan lupa tinggalkan komentar supaya aku semangat lagi buat update. HAHAHAH.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top