❥6 : Perjalanan

Tittle : Perjalanan
Focus : 97Fuckboy's & Ansel.

• • •

• • •

Mereka nggak jadi ngejemput Fariz, karena Fariz bilang nanti dia nyusul aja. Soalnya kosan dia paling jauh.

Tapi, akhirnya mereka berangkat melenceng dari jadwal. Baru berangkat jam sebelas siang.

Pokoknya hal yang pertama Ansel inget sepanjang perjalanan adalah bacotan temen-temennya Agra.

Misalnya kaya Revalka atau Rev.

"MAJUIN AJA GOBLOOK! SUSUL TREKNYA!"

"SEREMPET AJA GILA! NAEK MOTOR KOK DI TENGAH!"

"NAEK KORA-KORA GUA NIH."

"SALIP GILA TRONTON! SENGGOL AJA PAKE SPION!"

Kenzie yang emosi mukul kepala Rev.

"MENTAL NANTI GOBLOK! GUA BELUM WISUDA!"

Rev, dia yang teriak paling kenceng. Sumpah, Ansel ga ngerti kenapa Agra bisa bawa mobil segila ini. Temen-temennya lebih goblok karena ngomporin.

Ansel sendiri duduk di depan rasanya udah mau mabok, ini mereka masih di jalan utama, jalan gede biasa belum sampe di tol.

Yang duduk di kursi tengah ada Revalka, Kenzi, dan Fadeel. Fariz? Dia di kursi belakang karena mau rebahan, bawa bantal. Niatnya mau tidur, tapi ujung-ujungnya malah teriak sana-sini karena Agra bawa mobilnya edan, bikin dia mau muntah mana ga enak badan.

Trio berisik—Kenzi, Rev, dan Fadeel yang tadinya paling ketakutan sebelum berangkat justru paling heboh sekarang.

"Gila cok ini bukan kora-kora lagi, ini mah rollercoaster!" Teriak Fadeel heboh, dia duduk di tengah, di apit Rev dan Kenzi di kanan kiri.

Mobil menyalip terus-menerus—supirnya tuh kaya ngejar setoran. Agra sendiri cuma ketawa-ketawa. Di tambah waktu Agra nyalip truk gandeng padahal di lawan arah ada truk juga. Untungnya gatau sejago apa, Agra bisa nyalip.

Coba kalau nggak, udah rata ini mobil kelindes. RATA.

Astagfirullah, Ansel ngelus dada sabar.

"Santai aja kenapa sih!" decak Ansel yang akhirnya bersuara setelah berteriak kaya orang liat setan. Setiap Agra ngerem, tanpa sadar kaki Ansel juga ikut nginjek kuat lantai mobil di bawahnya. Terbawa situasi, reflek.

"Agra bawa mobil emang kaya orang gila, tapi itu yang bikin rame," kata Rev sambil nyengir lebar. Beda sama Fariz di belakang yang udah pegang kresek, siap-siap kalau aja lahar perutnya meledak.

"Plis guys ga kuat lagi gua..." Fariz berujar lemah di kursi belakang, Agra yang emang bejat ketawa ngakak. Sebelum akhirnya mereka bisa sampe tol.

Agra berkata santai, "Tenang aja Riz, kalau nabrak paling yang duduk berdua yang mati duluan. Bener kata Kenzi."

Ansel melotot, "Sompral banget si! Kalo mati jangan ngajak-ngajak!"

Akhirnya satu mobil ketawa waktu denger Ansel ngomel. Baru kali ini Ansel ngomong sepanjang itu di mobil, dari tadi cuma diem dan teriak beberapa kali doang.

Tapi, satu masalah tiba-tiba muncul.

Agra nempelin kartu e-Toll di gardunya. Tapi palang pintu tol ga bergerak sedikitpun. Di tambah tiba-tiba ada suara-

"Mohon maaf saldo anda tidak mencukupi silahkan—"

Semua orang yang di mobil diem. Ngeliatin Agra yang tiba-tiba keringet dingin, mana banyak mobil di belakang lagi.

"Goblok," gumam Fadeel.

Ansel yang duduk paling depan langsung nepuk jidat, nutupin wajahnya pake jaket, takut ada orang yang liat mukanya. Malu, padahal kaca film mobil tebel banget.

"Gua lupa belum isi..."

"Tenang-tenang," kata Revalka, mengabaikan klakson mobil di belakang. Padahal dia dag dig dug serrr.

Aduh malu-maluin banget, mobil bagus tapi gada saldo e-Toll. Emang Tolol.

Nggak lama petugas gerbang tol datang nyamperin mobil mereka saat situasi mulai panas gara-gara mobil belakang udah klakson semua.

"Mas, habis saldo?"

"Iya pak."

"Bisa isi ulang kok, boleh pinjam kartunya?"

"Oh siap pak!" Agra ngasihin kartu e-Tollnya dan ngasih uang tiga ratus ribu. Hilih bangsat, dia bakal nagih temen-temennya nanti.

Tekor lagi, padahal lagi kere.

Bajingan emang liburan di saat ga punya duit.

Agra bener-bener pol nyetir sampai Bandung. Tapi sesudah keluar dari tol, dia mulai nyetir santai gara-gara perutnya lapar.

"Sumpah ye lu nyetir ga ada akhlak!" cerocos Fariz di belakang, dia udah agak mendingan tapi masih puyeng.

Agra ketawa keras, mereka udah jalan menuju Lembang.

"Suruh siapa lo sakit ah."

"Siapa yang tau gua sakit ah, dodol lu," marah Fariz, dia cuma tidur sekitar setengah jam. Emosi.

Sekarang giliran Kenzi sama Rev yang tepar-Fadeel gak di bolehin tidur gara-gara cuma dia yang tau jalan.

"Pantat gua tepos lama-lama nyetir dari Depok ke Bandung," keluh Agra.

Ansel meliriknya sinis, sepanjang perjalanan dia gak bisa tidur cuma bisa berdoa kalau dia gak bakal mati muda.

"Lurus aja, nanti ada papan arah ke Lembang," kata Fadeel.

Agra ngangguk, sesekali melirik Ansel yang wajahnya murung.

"Gak tidur lo?"

Ansel meliriknya, jengkel. Emang gara-gara siapa dia gak tidur?!

"Gak!" katanya jutek, Fadeel cuma jadi penonton di belakang, Fariz udah tepar lagi setelah tahu kondisi kalau Agra gak bakal ngepot-ngepotan lagi bawa mobilnya.

"Tidur aja, gak bakal ngebut gua nih."

Ansel ga percaya, dia ngebuka kaca jendela mobil. Suasana kota Bandung ramai seperti perkiraannya. Kota yang memiliki plat kendaraan huruf D itu tidak berbeda jauh seperti Depok, macet.

Setelah menempuh sekitar satu jam menuju Villa, akhirnya mereka sampai.

Tapi, semua orang kecuali Agra dan Fadeel tampak terkejut saat melihat betapa mewahnya Villa itu.

"Buset, om lo sekaya apa?" celetuk Kenzi.

Fadeel merasa malu, "Ga sekaya itu ah. Mirip kaya Agra lah."

Ansel menoleh cepat, ga sekaya itu? Tapi di samain sama Agra? Waras ya ini orang?

Ansel melangkah masuk dan menarik kopernya. Tidak tahan saat melihat sesuatu yang mewah. Bukannya materialisme, tapi dia hanya kagum dengan interior bangunan itu. Kedua matanya berbinar.

Kelima pemuda yang masih berdiri di balik Ansel justru terpikat hal lain.

Mengagumi sosok Ansel yang kini tampak lebih indah daripada bangunannya.

Kenzi menepuk pipi Rev dan Agra kuat-kuat, karena mereka yang paling tidak sadar sekarang.

"Sehat ari kalian teh?" kata Kenzi, tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit.

Fariz berkedip, "Astagfirullah!"

"Masyaallah! Indah banget!" kata Rev dengan senyuman lebar. Soalnya sosok Ansel yang sekarang tuh udah kaya malaikat gara-gara kena sinar matahari. Sosoknya kaya bersinar terang dengan efek bling-bling alay kaya filter Instagram.

Berbeda dengan Agra, dia menatap Ansel dalam diam, tidak ada yang menyadarinya namun satu yang pasti.

Dalam waktu dekat mungkin Agra bisa jatuh hati. Apa ini sebuah karma? Dia akan menjilat ludahnya sendiri?

Agra tidak tahu.

Setelah sekian lama berdiam diri di depan Villa, mereka akhirnya beranjak masuk. Ruang utama itu memiliki banyak lampu yang di gantung di langit-langit, tampak seperti hiasan.

"Om gua arsitek, jadi bikin sendiri semuanya."

"Itu yang bikin lo mau jadi arsitek juga?" tanya Agra, Fadeel mengangguk. Kenzi yang juga jurusan Arsitek berdecak kagum.

"Sadis sih ini mah, ini villa rasa rumah."

"Apa gue pindah jurusan ke arsitektur aja ya?" celetuk Ansel. Kenzi yang lagi minum air mineral langsung tersedak, tenggorokannya jadi sakit.

"Sumpah! Jangan mau!"

"Kenapa?"

Fadeel berdecak sombong, "Lo ga bakal bisa tidur Sel. Deadline menggila, ospeknya juga bajingan banget!"

Agra yang sudah duduk di sofa melempar sebuah majalah, "Lebay lo ah."

Fadeel menangkap majalah itu. Menggerutu.

"Pembagian kamar gimana nih?"

Kenzi menatap teman-temannya, "Emang bisa tidur? Inimah bakal main terus woi."

"Bukan tidurnya dodol, ganti baju juga, nyimpen barang gimana."

Fadeel bersidekap, berpikir.

"Ada tiga kamar di sini. Satu di atas, dua di bawah. Sekamar dua orang."

"Gua sama Ansel ya," kata Rev santai, mengedipkan matanya pada Ansel yang di balas dengan tatapan, Apaan sih ga jelas.

Agra yang awalnya diam kini justru memberikan sebuah saran.

"Hompimpa aja, biar adil."

"Nggak, nggak. Gua sama Ansel," kata Fariz.

Ansel kebingungan, ini kenapa tiba-tiba banyak orang yang mau sekamar bareng dia?

"Eh ga bisa gitu dong," kata Kenzi.

Agra memasang wajah jengkel, tidak tahu kenapa.

Ansel yang merasa di perebutkan hanya terdiam sambil menatap sekitar, masih kagum dengan interiornya.

Sekarang mereka berempat berdebat-kecuali Ansel dan Agra. Agra sebenarnya gemas sekali, mau ikut debat akbar juga tapi harga diri sama egonya tinggi banget.

Tenang Agra, lo harus pikir gimana caranya supaya Ansel bisa sekamar sama lo tanpa heboh.

"Dek, sama gua ya?" Fadeel tiba-tiba membujuknya, Ansel duduk bergeser menjauh karena posisinya bersebelahan dengan Fadeel.

"Ini kenapa pada rebutan? Gue mah siapa aja."

Kenzi mengacungkan tangan, "Kalo gitu sama gue."

"Ya.. ga gitu juga.."

"Udahlah hompimpa aja."

Agra mendengus, dia juga sebenarnya agak malas untuk berbicara. Capek, kakinya dari jempol sampe kepala pegel.

"Yaudahlah gas."

Akhirnya mereka hompimpa sesuai rencana awal. Tapi, tiga kali udah ngulang gara-gara ga setuju. Hompimpa pertama, Ansel sama Fadeel. Tapi Rev sama Fariz ngamuk.

Yang kedua Ansel sama Fariz. Fadeel ngancam kalo Ansel nggak sama dia, temen-temennya harus tidur di luar.

Terus yang ketiga, Rev sama Ansel-kalo yang ini Ansel yang nolak. Soalnya Rev berisik banget, dia ga suka.

Yang terakhir ini kalau sampai ngulang, saking jengkelnya mungkin Agra bakal balik ke Depok.

Keadaan menjadi tegang.

Fadeel dan Kenzi keluar, mereka satu kamar.

Fariz keluar.

Sisa bertiga.

Agra diam-diam berdoa semoga dia mendapatkan jackpot.

Tapi, saat hompimpa itu di mulai, Agra tahu bahwa keberuntungannya hari ini berlangsung buruk.

"Gua makin ga rela kalo Ansel sama Agra anjir," kata Fadeel, panas.

Ansel udah lirik Rev takut-takut, asli dia gak mau sama Rev. Dia ga suka orang berisik.

Tapi, setelah lirik Agra. Dia lebih gamau lagi!

Ansel menarik nafas sebelum berkata hal yang membuat mereka semua terdiam-

"Gue tidur sendiri aja di ruang tamu deh, di sini gapapa?"

"HAH?"

Udah Agra bilang 'kan, ini hari sialnya.

• • •

To Be Continued

• • •

Agra banyak saingan woi wkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top