9. Bertukar Rasa Nyaman



*

*


9. Bertukar Rasa Nyaman

Citra mencium punggung tangan Panca sebelum berjalan mengekor mengikuti Inrda menuju mobil. Dia sangat yakin sebentar lagi bosnya akan marah besar dengan kelancangannya. Sungguh, Citra sama sekali tidak punya niatan apa pun selain meredam amarah orang tua itu. Dia tidak suka melihat pertengkaran dan dia tidak suka melihat orangtua yang dikecewakan anaknya.

Wajah Indra masih terlihat kesal saat mobil yang ia kendarai keluar dari halaman rumah Panca. Tertahan dalam waktu yang cukup lama dengan ayahnya membuatnya harus sering-sering menarik napas dalam-dalam. Pasalnya, semua yang dikatakan Panca hanya bisa mempermalukannya di hadapan Citra, yang notabene karyawannya! Mau ditaruh mana wajahnya saat bekerja esok hari!

"Maaf ya, Mas."

Indra hanya menoleh sekilas kemudian kembali menatap jalanan.

"Saya nggak bermaksud apa-apa. Saya hanya nggak mau melihat ayah Mas Indra marah-marah."

"Orang tua itu memang sukanya marah-marah."

Lagi-lagi Citra dibuat heran dengan kelakuan bosnya. "Kayaknya masalah Mas dengan ayahnya serius banget."

"Iya. Sampai salah satu dari kita harus keluar dari rumah!"

Kepala Citra mengangguk. Cukup. Dia sudah cukup mendengar perkataan Indra tentang sang ayah. Dia tidak akan menanyakannya lagi karena itu sudah masuk ke ranah pribadi.

Suasana di dalam mobil itu kembali hening. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut masing-masing. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing hingga suara dering ponsel milik Citra berbunyi. Dia melihat layar ponsel itu kemudian menatap Indra.

Indra yang melihat gelagat itu langsung berbicara, "Angkat aja. Nggak usah sungkan."

Citra langsung menggeser tombol hijau. "Iya, Mas." Dia terdiam sejenak kemudian tersenyum.

Diam-diam, Indra mencuri pandang ke arah Citra. Melihat ekspresi itu, dia bisa menebak yang menelepon pasti suaminya.

"Ini ... mau pulang." Mata Citra melirik ke arah Indra.

Indra menghindari mata itu dan menatap ke depan.

"Kok, belum tidur, Mas?" Tidak lama kemudian Citra tertawa kecil. "Mas bisa aja. Sama dong kalau gitu."

Entah kenapa Indra begitu risi mendengar perkataan itu. Mendengar orang asing berbiacara semesra ini membuatnya juga ikut salah tingkah. Ingatannya kembali mengenang masa-masa kebersamaannya dengan kekasihnya yang dulu. Tiba-tiba Indra merindu kehangatan itu, merindu bagaimana istimewanya diperhatikan dan merindu mantan kekasihnya.

Sudah lama dia melupakan rasa itu. Sudah lama dia meninggalkan kenangan itu di belakang. Akan tetapi, rasa ini datang begitu tiba-tiba. Dia seperti seorang yang sulit berpindah padahal dia mati-matian mengenyahkan rasa itu dan berjanji untuk tidak memasuki area itu.

"Iya, iya, Mas. Aku mau naik ojek, nih. Udah dulu, ya."

Perkataan Citra membangunkannya dari lamunan. Citra menutup panggilan itu.

"Kok, cuma sebentar?"

"Saya nggak enak, Mas."

"Nggak enak sama siapa?"

"Sama Mas."

Indra terkekeh dengan gelengan kepala. "Kenapa kamu mudah sekali mengalah?"

Citra mengulas senyum. "Saya sendiri juga nggak tahu, Mas." Dia menatap lurus. "Bahkan saya sendiri sulit untuk mengutarakan apa yang saya inginkan."

Indra langsung menoleh. "Jangan-jangan kamu terpaksa membantuku?"

Kepala Citra langsung menggeleng. "Nggak, Mas. Saya ikhlas bantu Mas Indra."

"Saya nggak yakin."

"Sungguh, Mas. Saya ikhlas. Saya hanya nggak tega lihat Mas Indra kelimpungan kayak gitu."

Lagi, Indra kembali tersentuh. Ah, kenapa dia begitu sentimentil begini?

"Ah ... saya sampai lupa nggak ngucapin makasih. Maksih sudah bantu saya, makasih sudah meringankan hari yang melelahkan ini."

"Jadi Mas Indra nggak marah sama saya?"

Indra tertawa kecil. "Untuk apa? Aku hanya sedikit jengkel dengan Ayah. Aku nggak mau lama-lama sama dia. Apalagi dia ngomong aneh-aneh soal saya."

Mendengar hal itu membuat Citra terbahak.

"Nggak ada yang lucu."

"Saya nggak nyangka kalau orang sekeren Mas Indra ini juga sama kayak manusia kebanyakan."

Indra berdecih mendengarnya. Dia benar-benar sukses dipermalukan. Dalam acara makan malam itu, Panca menceritakan seluruh kelakuan buruknya. Dari dia yang nggak pernah mandi kalau sedang libur kerja, kentut sembarangan dan hobinya yang selalu bangun kesiangan. Semua diutarakan dengan begitu terang-terangan seperti anak kecil yang tidak memilah bahan pembicaraan.

"Saya juga manusia."

"Manusia yang ideal untuk dijadikan seorang suami."

Wajah Indra berubah datar dan Citra menyadari hal itu.

"Maaf saya nggak bermaksud menyinggung."

"Nggak perlu meminta maaf. Perkataanmu membuat saya sedikit nggak bersyukur dengan apa yang terjadi dalam hidup saya." Dia terdiam sejenak. "Bahkan sampai sekarang saya masih juga bergumul dengan kesendirian."

Citra hanya terdiam.

"Terkadang saya iri saat melihat Irwan, Arya dan Rara jalan-jalan dengan keluarga. Kapan saya bisa memiliki keluarga kecil seperti itu? Jujur, saya benar-benar punya keinginan untuk membangun rumah tangga, tetapi kembali lagi bahwa mencari pendamping hidup nggak semudah kita memilih baju di toko. Kita harus benar-benar teliti, paling tidak memiliki tujuan yang sama dalam hidup."

"Menikah itu nggak segampang yang ada di bayangan." Mata Citra menerawang. "Dulu, saya kira saya akan bahagia jika menikah dengan suami saya. Tapi ... lambat laun saya merasa keputusan saya ini terlalu terburu-buru, sampai-sampai saya tidak bisa menikmati hidup yang saya lalui. Sejak menikah, saya merasa semakin jauh dengan dia. Jauh sekali bahkan sulit untuk dijangkau."

"Jadi kamu nggak memikirkannya matang-matang saat memutuskann menikah?"

Citra terkekeh. "Bisa dibilang begitu. Apalagi setelah saya melewati hari ini."

Dahi Indra berkerut. "Maksudnya?"

"Entah kenapa saya merasa sedikit tenang bisa mengenal Mas Indra."

Satu alis Indra terangkat, tangannya memindah kopling kemudian berhenti ketika lampu merah menyala.

"Paling nggak, saya punya satu orang yang mengingatkan untuk menjalankan ibadah. Kewajiban umat manusia."

Mulut Indra terbuka, memahami yang dimaksud Citra.

"Ya begitulah, Mas. Suami saya jarang ... hampir nggak pernah mengingat Tuhannya. Jadi, saat Mas Indra mengajak saya salat, saya sedikit tersentil."

Indra tertawa. "Saya nggak bermaksud menyinggung, lho. Itu sudah kebiasaaan.

"Iya, saya tahu."

Lampu merah berubah menjadi hijau. Indra mulai melajukan mobilnya lagi, berjalan perlahan seolah-olah ingin lebih lama berada di dalam mobil bersama Citra. Dia ingin sekali mendengar wanita ini berbicara tentang kehidupannya, tentang kehidupan yang tidak diketahui Indra. Entah kenapa dia begitu tertarik. Tiba-tiba sebuah ide terlintas untuk bisa berlama-lama dengan wanita ini.

"Semoga pertemuan saya dengan Mas Indra bisa membawa kebaikan dalam hidup saya."

"Amin. Semoga kita sama-sam memperbaiki diri. Tapi ngomong-ngomong, kita mampir ke mini market dulu, ya. Aku mau beli kopi instan dulu." Kepala Citra mengangguk. "Satu lagi, mulai sekarang ganti kata 'saya' menjadi 'aku'. Anggap aku teman barumu."

"Ah?"

"Iya, di kantor juga seperti itu. Kita sekarang teman. Seperti Irwan, Arya dan Rara yang juga temanku." Dia memutar kemudi ke kiri kemudian mobil itu memasuki parkiran mini market. "Kita turun dulu, oke!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top