5. Permintaan Ayah

*

*

*

5.  Permintaan Ayah


Rara memeluk Indra cukup lama, kemudian membisikkan kata-kata untuk segera memberinya undangan pernikahan. Pria bertubuh jangkung itu hanya mendengus geli. Masih bisa-bisanya Rara mengharapkan hal yang begitu mustahil darinya, apalagi di saat pamitan untuk tidak bekerja lagi di sini. Sahabatnya itu lebih cerewet dari ayahnya. Setiap hari, setiap jam, dan setiap menit selalu ada saja hal yang membuat Indra tersindir. Akan tetapi, Indra tetap menyayangi sahabat wanita satu-satunya itu.

Sudah dua minggu Rara membimbing Citra dalam pengerjaan dokumen. Waktu yang diberikan Indra selama sebulan ternyata bisa diselesaikan karyawan barunya dalam dua minggu saja. Wanita itu lebih cekatan, jarang bicara, sopan dan lebih banyak bekerja. Harus diakui kalau sikap Citra dengan Rara beda jauh, mungkin karena Rara adalah sahabat lamanya sehingga bisa lebih santai. Meskipun begitu, kerjaan Rara selalu beres dan tidak ada yang menghambat kinerja perusahaan.

Wanita berbadan dua itu keluar dari rumah dengan diantar Indra dan Citra. Dua teman Indra lainnya masih berada di lapangan dengan pekerjaan yang menumpuk. Sebenarnya dia ingin sekali membantu teman-temannya di lapangan, tetapi karena pekerjaannya sendiri tidak bisa ditinggal, terpaksa dia harus mendekam di kantor seharian.

Sayup-sayup, Indra mendengar ponselnya yang berada di ruang kerja berdering. Dia langsung berlari masuk, meninggalkan Citra sendirian di ruang depan. Dahi pria itu berkerut ketika nama Arif terpampang di layar tipis itu.

"Ya?" jawab Indra. Tidak biasanya Arif menghubunginya. Paling-paling Ananta yang selalu menyampaikan apa pun tentang Arif kepadanya.

"Assalammu'alaikum, Mas."

"Wa'alaikumsalam. Ada apa, Rif?"

"Lagi sibuk, Mas?"

Indra menghela napas. Jujur dia sedikit khawatir kalau Arif yang menghubunginya langsung. "Nggak. Ada apa? Ananta kenapa?"

Terdengar deheman dari seberang sana. "Ananta baik-baik aja, Mas. Ini aku lagi nungguin di depan kantornya, mau jemput."

"Terus?" Indra semakin tidak sabaran.

"Habis ini Mas bisa pulang?"

"Langsung aja, deh, Rif. Kamu mau ngomong apa?"

Arif bergumam sebentar, "Begini, Mas. Aku mau ngomong sama Ayah tentang rencana pernikahan. Kapan hari Ananta pernah ngomong soal ini sama Mas, kan? Aku kok nggak enak, ya Mas, kalau nyiapin pernikahan tanpa dapat kata 'ya' dari Ayah. Jadi, habis ini Mas Indra bisa pulang? Aku mau ngomong sama Ayah dan minta tolong bantuan Mas Indra."

Tubuh Indra langsung terduduk. "Iya, aku akan ke sana setelah maghrib."

"Makasih, Mas. Assalammu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," balas Indra lemas.

Ini yang paling ia benci dari sang Ayah. Sifat keras kepala masih melekat dengan erat dalam kepribadian pria baya itu. Sangat sulit bagi Indra maupun Ananta untuk membengkokkan sedikit pendiriannya. Andai saja ibunya masih ada, mungkin Panca masih bisa meluluh. Namun, kepergian sang ibu semakin membuat Panca memiliki pribadi yang keras. Sebagai anak, mereka tidak bisa berbuat apa pun dan hanya bisa menurut. Indra mulai membereskan barang-barang dan mematikan layar komputer. Dia keluar dari ruangan dan melihat Citra yang masih sibuk.

"Hari ini lembur, ya. Aku tinggal dulu ke rumah Ayah. Kalau kamu pulang duluan, ini kunci cadangannya." Indra meletakkan dua kunci yang digabung dengan gantungan ke atas meja.

"Iya, Mas."

Indra tersenyum tipis. "Selalu bilang begitu."

*****

Lampu penerangan jalan menyala dengan redup. Jalanan di kompleks perumahan terlihat cukup ramai. Beberapa mobil dan motor berlalu-lalang di area kompleks perumahan itu. Sebuah mobil hitam metalik masih terparkir di depan rumah tingkat dua dengan balkon yang dihiasi pot bergantung. Mata hitam legam di balik kemudi mobil itu masih memandangi rumah besar dan sederhana yang ada di depannya. Ada sebuah keengganan yang memacu dirinya untuk berdiam diri di sana. Ada sebuah ketenangan yang memaku kakinya untuk tidak menginjak gas.

Kelopak mata itu menutup sesaat, kemudian embusan napas keluar. Mau tidak mau Indra harus menemui ayahnya, menghadapi amukan ayahnya, membuat ribuan argumentasi dan menjadi kakak yang baik untuk adiknya. Dia memindah kopling, kemudian memutar kemudi dan mobilnya masuk ke pelataran, terparkir di sebelah mobil Arif.

Pelan tapi pasti, kakinya memasuki rumah besar itu. Suara orang bercakap-cakap terdengar dari pintu depan. Matanya menangkap Arif, Ananta dan ayahnya berada di ruang tengah dengan televisi menyala. Panca menyipitkan mata ketika melihat kehadiran anak lelakinya tanpa menghubunginya terlebih dahulu. Ditambah lagi ada Arif yang mau berlama-lama mengobrol dari maghrib hingga isya.

"Malam, Ayah."

"Malam. Udah salat?"

"Udah. Tadi di jalan." Indra mengambil duduk di seberang ayahnya, berhadap-hadapan.

Panca melihat Arif, Ananta, dan Indra secara bergantian. "Ada apa?"

Arif menegakkan tubuh, menarik napas dalam-dalam. "Ada yang ingin saya bicarakan, Ayah." Kedua tangan Arif menggosok paha masing-masing. Ananta menangkap kegugupan itu dan langsung menangkup tangan kekasihnya. Arif memandang Ananta dengan senyuman lega.

"Apa?"

"Saya ingin secepatnya menikah dengan Ananta, Ayah."

Pandangan Panca beralih ke arah Indra yang menatapnya tanpa gentar. Anak lelakinya ini tidak pernah secuil pun takut dengannya.

"Saya nggak mau kalau membawa Ananta ke mana-mana tanpa hubungan yang jelas. Saya hanya ingin ketenangan di dalam hidup dengan menikahi Ananta."

Panca masih terdiam dan memandang anak lelakinya. Arif dan Ananta dapat melihat bara perang dari mata itu, seolah-olah saling menyulut satu dengan yang lain.

"Izinkan saya melangsungkan pernikahan dengan Ananta. Paling lama enam bulan, Ayah."

Dagu Panca mengedik ke arah Indra. "Kamu mau nikah tiga bulan lagi?"

Indra terenyum geli. "Sama siapa?"

Panca mengangkat bahu. "Aku malas mencarikan calon untukmu."

"Dan aku nggak berminat menikah, Ayah."

Wajah Panca menegang mendengar perkataan yang menurutnya kurang ajar. "MAU KAMU APA?!"

"Ananta menikah lebih dulu." Tidak ada rasa takut sedikit pun di diri Indra ketika mendengar nada tinggi dari Panca.

"KAMU YANG NIKAH DULU!"

"Nggak bisa secepat itu, Ayah. Menikah itu nggak kayak orang pilih baju. Menikah itu berarti mengabdi seumur hidup dengan pasangan."

"Berarti kamu nggak mau?"

"Bukannya aku nggak mau, aku belum siap!"

Ananta dan Arif seolah-olah berubah menjadi bayangan. Hanya Panca dan Indra yang ada di ruangan itu. Mereka berdua melihat perdebatan itu dengan saling menggenggam, berharap akan mendapat jalan keluar, berharap kakaknya bisa membantu meloloskan niat baik itu.

"Kamu memang pria nggak tegas. Belum siap? Belum siap menghidupi anak gadis orang? Jadi perempuan aja kalau gitu. Ganti kelamin sekalian!"

Kedua tangan Indra mengepal. "Bukan itu!"

"Terus apa? Belum siap karena kamu masih cinta sama wanita yang ninggalin kamu gitu aja?! Kalau mikir itu yang logis! Nggak usah berelebihan. Kamu pria. Pria menang memilih, wanita hanya menerima."

Kuping Indra terasa panas, rahangnya mengeras dan napasnya satu-satu.

"Apa susahnya milih? Nggak tahu lagi kalau kamu udah nggak suka wanita!"

"AYAH!"

Panca meninggikan dagu, menantang anaknya. "Tunjukkan sama Ayah kalau kamu masih normal!"

"Aku sudah punya calon istri!"

Tiba-tiba Panca terkekeh. "Kamu mau bohongi orang yang udah hidup puluhan tahun? Kalau sudah punya kenapa nggak kamu kenalin ke Ayah? Kenapa nggak datang ke rumah untuk sekadar makan malam? Kenapa nggak segara kamu nikahi, hah? Kamu pikir Ayah anak kemaren sore, hah!

"Dia masih belum siap, Ayah. Dia beda tujuh tahun dengan aku!"

Mata Panca menyipit, mencari setitik kebohongan yang akan ia tangkap lalu ia lemparkan kembali kepada anaknya. Sedangkan Ananta dan Arif saling berpandangan penuh tanya.

"Aku nggak bohong. Dia masih ingin mengejar karier. Dia hanya siap saat umurnya menginjak kepala tiga."

Panca terbahak. "Nggak usah bohong."

"Aku nggak bohong." Mata Indra menyalang.

Panca terdiam dan berpikir, kemudian menatap Ananta. "Kalau kamu nggak bohong, bawa ke sini besok! Ayah ingin tahu. Setelah itu, aku menyetujui Ananta menikah."

Mata Ananta berkaca-kaca mendengar keputusan sang Ayah. Dia memandang kekasihnya penuh dengan kelegaan. Paling tidak, masih ada harapan untuk menikah dalam waktu dekat. Sedangkan Indra langsung terduduk lemas. Otaknya memikirkan tentang apa saja yang dilontarkan mulutnya barusan. Calon istri? Astaga ... jangankan calon istri, orang yang ia sukai saja tidak ada. Dia harus mencari wanita di mana?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top