4. Ranah yang Mulai Tersentuh
*
*
*
4. Ranah yang Mulai Tersentuh
Sebuah motor ojek online berhenti di depan rumah bergaya modern minimalis. Seorang wanita memakai celana angkle puff dengan kemeja cokelat muda turun dari motor itu. Rambut tebal sebahunya terurai dari kungkungan helm berwarna hijau. Dia menyerahkan sejumlah uang kemudian masuk ke dalam. Ada sebuah motor matic hitam terparkir di halaman rumah itu, Rara sudah datang. Dengan langkah mantap, dia masuk ke dalam rumah itu. Dapat didengarnya suara orang sedang berbincang dari ruang belakang. Citra meletakkan tas jinjingnya ke atas meja kemudian membuka pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan ruang belakang.
Citra langsung terlonjak kaget saat bola matanya menangkap penampakan seorang pria bertelanjang dada dengan boxer yang masih melekat. "Maaf." Kepalanya menunduk begitu dalam hingga surai rambutnya menutupi wajah.
Indra melongo untuk sesaat, lalu langsung berlari menuju kamar saat menyadari tampilan buruknya di depan pegawai baru. Rara yang masih ada di dapur langsung cekikikan.
"Makanya, mandi sono!"
Perlahan Citra mengangkat kepala dan bernapas lega saat melihat Indra sudah masuk ke dalam. Dia masuk ke dapur, menghampiri Rara dengan muka tersipu.
"Ya begitu itu bos barumu. Bangunnya telat, suka kesiangan, nggak pakai baju dan berantakan." Rara mengedikkan dagu. "Itu kamar pribadinya. Kamu tahu kalau dia yang punya rumah ini, sudah pasti ini kayak rumahnya sendiri." Ekor matanya menangkap kehadiran Indra yang sudah memakai kaus dan celana pendek. "Dan sebentar lagi kamu nggak bisa kayak gitu, Ndra!"
Seperti pria lainnya yang baru bangun tidur, Indra mengacak rambut kemudian duduk di undakan yang ada di depan dapur. "Sori. Aku lupa kalau ada karyawan baru."
Citra memutar tubuh kemudian tersenyum tanpa berani menatap Indra. Dia lebih nyaman menatap lantai cokelat yang dipijak bosnya. Rara mendekati Indra sambil membawa mok berisi kopi.
"Kamu juga jangan sungkan-sungkan masuk ke dapur. Saya akan membiasakan diri dengan kedatanganmu." Indra menerima mok itu dengan anggukan.
"Iya, Mas." Citra masih saja enggan menjatuhkan pandangan ke arah Indra.
Rara menampakkan tawa yang tertahan kepada Indra, mengatakan bahwa pegawai itu masih malu.
Indra menggelengkan kepala melihat tingkah temannya ini. "Hari ini ada berapa dokumen?" tanyanya kepada Rara.
"Dua, nggak banyak. Si Irwan ke Singosari, mau muat di sana. Terus si Arya dia masih di Dermaga Jamrud Utara. Ada kapal yang mau berangkat."
"Kalau nanti jam tiga aku ajak dia keliling ke sana, bisa?"
"Bisa aja, sih. Kemungkinan udah selesai buat dokumen tinggal print sama jilid."
Indra melihat Citra yang masih berdiri kaku. "Kamu nanti ikut saya ke sana. Biar tahu cara kerja kita."
"Iya, Mas."
Hari ini pekerjaan berjalan seperti biasa. Kantor begitu lengang, tidak ada tamu yang datang. Suara jemari yang menari-nari di atas keybord menjadi musik yang dominan di ruang tengah rumah ini. Ruangan Indra tertutup rapat dan tidak bergerak sama sekali sejak pagi tadi. Dia masih sibuk dengan pembukuan, orderan, dan jadwal survei. Mengerjakan dengan teliti dan sempurna adalah ciri khasnya. Dia juga sanggup mengerjakan semuanya dalam sehari, termasuk pembuatan dokumen. Akan tetapi, Arya dan Irwan melarangnya. Kedua sahabatnya itu hanya ingin Indra memiliki ruang untuk bersenang-senang, meskipun sebenarnya itu tidak perlu baginya.
Pukul dua sore, Indra mulai membereskan dokumen-dokumen yang memenuhi meja. Dia mengambil sebatang rokok untuk diisap kemudian keluar dari ruangan. Dia melihat Rara menata dokumen yang telah dicetak.
"Citra, kamu siap-siap, ya. Saya tunggu di depan."
"Iya, Mas."
Indra melangkah keluar dan menyiapkan mobil yang terparkir rapi di garasi. Mobil yang ia kendarai telah siap berada di depan gerbang. Mulutnya tidak berhenti mengisap rokok sembari menunggu munculnya Citra. Satu menit, Indra melihat lewat kaca tengah, tidak ada kemunculan Citra. Lima menit, pintu rumah masih saja tidak menampakkan kedatangan wanita itu. Dan hingga rokoknya habis, Citra masih belum keluar. Merasa tidak sabar, dia mulai membuka seat belt. Akan tetapi, Citra sudah keluar dari rumah dengan tas jinjing. Indra menganggukkan kepala—mempersilakan wanita itu masuk masuk—ketika Citra membungkuk.
"Maaf lama, Mas. Abis dari toilet."
Mulut Indra hanya membentuk bulatan. Mobil sedan hitam itu keluar dari rumah modern minimalis. Lagu Randy Pandugo menguar dari radio mobil, mengiringi kecanggungan di antara mereka berdua. Indra sudah lama tidak membawa seorang wanita selain Rara dan Ananta di mobilnya. Citra adalah wanita pertama yang duduk dengannya di dalam mobil setelah sepuluh tahun hubungan dengan kekasihnya berakhir. Lalu, sebuah pesan WA masuk dan membuyarkan kilasan kenangan tentang mantan kekasihnya.
Rara: Jangan ngerokok, dia punya penyakit asma.
"Oh." Mulut Indra spontan berucap setelah membaca pesan Rara.
Citra menoleh dengan wajah penuh tanya.
"Kenapa nggak bilang?" tanya Indra yang menatap Citra sekilas.
Dahi Citra berkerut. "Bilang apa?"
"Asmamu."
Kepala Citra menunduk. "Mbak Rara yang bilang, ya?"
"Nggak usah sungkan sama saya. Anggap saya ini teman barumu."
"Iya, Mas."
Indra tersenyum tipis. "Nggak ada kata lain selain 'iya, Mas'?"
Citra tersenyum canggung.
"Saya nggak seberapa bisa berbasa-basi dengan orang baru terutama wanita. Jadi, kalau sepanjang perjalanan saya diam aja, kamu jangan merasa nggak enak." Indra memindah kopling dan menambah kecepatan setelah keluar dari kompleks perumahan. "Dan kalau ada yang ingin kamu tanyakan, tanya aja. Jangan sungkan."
Seperti sebuah pencerahan, wajah Citra terlihat lega. "Ng ... ada yang ingin saya tanyakan." Indra menoleh sekilas. "Kita ke sana mau apa, Mas? Kenapa Mbak Rara nggak ikut?"
"Selain hamil, Rara sudah tahu sistem kerja kita kayak gimana. Kurang lebih dia tahu di lapangan kayak apa. Nah, saya ngajak kamu ke sana cuma ingin tahu gimana, sih, tugas seorang surveyor. Di lapangan kita kepanasan kehujanan demi sebuah laporan barang agar selamat sampai tujuan. Apalagi di dermaga, di sana kita harus mengukur ketinggian air dengan kapal untuk sebuah kelayakan pengangkutan barang."
"Jadi ketinggian air juga diukur?"
"Ya, bener. Kalau beban kapal kelebihan, tidak boleh berangkat dan harus mengurangi muatan. Apalagi kapal tongkang yang muatnya lebih sedikit dan biasanya pihak pabrik selalu memaksakan barangnya harus sekali angkat. Nanti aku tunjukkan indikator yang ada di kapal untuk melihat ketinggian air. Aku cuma pengen kamu ngerti dan nggak hanya buat dokumen aja."
"Selain ketinggian air, apa aja yang bisa menyebabkan pengiriman batal?"
"Cuaca. Paling susah itu masuk musim penghujan. Kamu tahulah gimana cuaca akhir-akhir ini. Angina kenceng, hujan deras dan ombak yang tinggi. Kadang kapal bisa bertahan tiga minggu di dermaga hanya karena cuaca. Dan di situ pusingnya, bahan seperti kopi dan teh kan nggak bisa bertahan lama, ya ... pinter-pinternya kita aja beradu mulut dengan pihak pabrik." Indra menoleh dengan senyuman tipis, kemudian kembali menatap jalanan.
Wanita itu hanya terdiam setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari atasannya. Dia mulai mengerti bagaimana tugas seorang surveyor yang bergerak di bidang pengiriman. Jadi, semua barang yang dikirim dari satu tempat ke tempat lain, apalagi untuk komoditi alam harus ada pengawasan dari pihak surveyor demi keselamatan barang dalam perjalanan.
Suasana kembali lengang. Kali ini lagu Randy Pandugo berjudul Don't Call Me Baby mengalun, mengantikan I Don't Care yang melantun lebih dulu. Benak Citra mengatakan bahwa atasannya ini sedang patah hati atau baru patah hati.
"Suka Randy Pandugo, Mas?"
Indra menoleh sekilas kemudian tersenyum. "Nggak juga, cuma suka aja sama lirik lagunya."
Dugaan Citra benar. Biasanya orang yang patah hati akan mendengarkan lagu-lagu bertema patah hati juga. Indra memindah kopling dan berhenti ketika lampu merah menyala.
"Pasti kamu mengira kalau saya lagi patah hati?"
"Iya."
"Patah hati itu lagu lama buat saya."
"Berarti sekarang udah enggak?"
"Enggaklah. Nggak lagi."
"Pacarnya anak mana, Mas?"
Indra menoleh. "Pacar?"
"Iya. Kan, udah nggak patah hati lagi."
Indra tertawa renyah mendengarnya. "Emangnya nggak patah hati itu harus punya pacar, gitu?" Citra tersenyum canggung. "Saya nggak ada waktu buat mikirin itu. Pekerjaan aja udah menyita semuanya."
"Nggak ada waktu dan enggan itu beda tipis, Mas."
Bola mata Indra bergulir menangkap sorot bening itu. Tepat di mata bulat sempurna itu.
"Patah hati itu memang sakit dan membekas. Tapi, semua akan kembali indah kalau keengganan itu digantikan dengan keberanian. Berani untuk beranjak dari rasa sakit."
Dari kalimat itu, ada sebuah ranah yang berhasil disentuh Citra. Bukan sebuah pertanyaan dan juga bukan sebuah penyataan menyudutkan. Ada sebuah semangat yang berhasil disulut dari diri Indra melalui kalimat itu. Hanya menunggu satu pemantik yang akan membakar seluruh keengganan itu menjadi keberanian yang membara.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top