3. Dia dan Kubangan Patah Hati

*
*
*
3. Dia dan Kubangan Patah Hati

Seorang pria dengan garis kerutan yang kentara di wajah tengah berdiri di depan pintu. Mata senjanya memperhatikan pria berperawakan lebih tinggi darinya yang sedang berdiri di hadapannya. Pria tua itu meneliti penampilan pria yang ada di hadapannya; rambut bergaya Tintin yang sama sekali tidak ada perubahan dari tahun ke tahun, kaos berkerah dengan motif horizontal terlihat sangat biasa di mata senjanya dan tidak ada satu orang pun yang berdiri di samping pria yang ada di hadapannya, sama seperti bertahun-tahun yang lalu.

Indra mengembuskan napas panjang saat melihat sorot mata ayahnya mengarah ke belakang tubuh. Pria tua ini masih saja mengharapkan seseorang berdiri di sampingnya.

"Cari siapa, Yah?"

Pria tua itu balik kanan. "Aku kira kamu ke sini malam-malam mau bawa teman."

Indra menghela napas. "Tahu gitu Indra bawa Irwan atau Arya."

"Teman hidup. Lagi pula mereka punya keluarga. Buat apa nemunin orang tua, lebih baik nemenin istri sama anak-anak mereka." Panca mulai melangkah masuk dan diikuti Indra yang sudah menutup pintu. "Ayah juga nggak keberatan kalau kamu lebih memprioritaskan pacar atau istrimu. Kamu itu lelaki yang nggak tegas. Masih aja ngurusi hal yang nggak jelas ...."

Indra mengorek telinga berkali-kali di belakang Panca. Setiap kali dia datang ke sini selalu saja mendengar ceramah yang itu-itu saja. Pasangan. Dia seperti ditagih debt colector tiap kali mengunjungi rumah sang ayah. Maka dari itu, dia enggan kalau ada orang yang meminta bantuan padanya untuk mencari tambahan peti kemas. Rayuan Pak Handoko kepadanya berlangsung begitu alot sehingga pertemuan tadi sore berlangsung begitu lama.

Ayahnya tidak pernah mengerti jalan pikirannya. Memang Indra memiliki darah yang sama dengan sang Ayah, tetapi bukan berarti soal hati bisa disamakan dengan sang Ayah. Hatinya masih terlalu sakit untuk mencoba kedua kalinya.

"Mas Indra!"

Indra merasakan hawa surga merengkuh tubuhnya saat melihat Ananta berlari menuruni tangga, menghampirinya. Dia menatap penuh syukur ke arah adiknya yang memotong omelan Panca. Ananta langsung memeluknya, sedangkan Panca hanya menoleh ke belakang lalu kembali masuk ke ruang makan.

Indra mencium pucuk rambut Ananta. "Makasih," bisiknya.

Ananta terkekeh. "Cepek dulu." Tangannya menadah.

Indra hanya menepuk tangan itu, kemudian melangkah mengikuti Panca. "Barusan pulang?"

Ananta mengangguk. "Iya, diantar Arif."

Indra hanya mengangguk. Sudah hampir lima tahun adiknya berpacaran dengan Arif tanpa ada tujuan yang berarti. Hal itulah yang membuat Panca terus menuntut Indra untuk segera menikah. Karena bagi Panca, seorang adik tidak boleh menikah terlebih dahulu dari kakaknya. Tidak boleh melangkahi. Beban yang dipikul Panca mempunyai seorang anak perempuan adalah bagaimana dia cepat-cepat menikahkan anak perempuannya sebelum menjadi perawan tua. Maka dari itu, dia terus mendesak Indra untuk segera menikah agar Ananta bisa hidup bersama dengan Arif.

Panca sudah duduk di ruang makan. Indra dan Ananta menyusul duduk di sana. Ananta membuka piring milik Panca yang tertelungkup, kemudian menyendokkan nasi dan meletakkan beberapa lauk juga sayur ke piring itu.

"Silakan, Ayah."

Indra baru saja akan mengambil nasi terhenti saat mendengar Panca berdeham. Dia melihat Panca dengan satu alis terangkat.

"Buat apa kamu ke sini? Makan? Nggak bisa beli makanan?"

"Ayah." Ananta paling tidak suka kalau Panca bersikap sinis kepada kakaknya.

Indra kembali meletakkan piringnya. "Aku ke sini mau pakai peti kemas Ayah." Panca berdecak kemudian menyendok makanannya. "Pak Handoko tadi ke tempatku, katanya dia nggak enak kalau meminta langsung sama Ayah."

"Karena dia selalu molor kalau bayar!" Panca tidak jadi memasukkan makanan ke mulutnya.

Ananta mengambil piring Indra dan mulai menyiapkan makanan untuk kakaknya.

"Terus kamu mau-maunya disuruh dia minta ke Ayah?" Panca mendengus kemudian memasukkan makanan ke mulutnya. "Kamu memang nggak tegas."

"Ayah ...," rengek Indra, "Aku hanya nggak enak aja. Dia nggak bakalan keluar dari kantor sampai aku bilang iya."

"Intinya kamu memang nggak tegas, toh?"

Ananta meletakkan piring yang sudah terisi penuh. "Sudah, Ayah. Mas Indra udah gede, pasti bisa memilih hidupnya sendiri. Bisa menimbang baik buruknya."

Panca menatap Ananta dengan raut kesal kemudian menatap Indra. "Minta berapa dia? Berapa feet?"

"Tiga kontainer, ukuran empat puluh feet, Yah."

"Aku yang nagih ke kamu. Dia urusanmu. Aku nggak mau nunggak berbulan-bulan."

Indra menghela lega. "Iya, Ayah."

Dan makan malam pun berlangsung dengan dentingan sendok yang membentur piring. Tidak ada obrolan atau perbincangan lagi selain Ananta yang berbisik untuk bebicara empat mata dengannya. Setelah makan malam yang penuh kecanggungan itu, Panca pergi ke kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ananta membereskan piring-piring dan bekas makanan bersama asisten rumah tangga yang sudah bekerja bertahun-tahun di sana. Dia menyuruh Indra untuk menunggu di balkon lantai atas.

Indra pergi ke lantai atas kemudian duduk di kursi besi bernuansa shabby. Kursi yang didudukinya adalah selera dari adiknya, termasuk lampu yang menghiasi taman kecil depan rumahnya. Kalau saja Ananta tidak memedulikan rumahnya, mungkin tempat itu gersang, hanya ada halaman beraspal tanpa rerumputan.

Terdengar langkah kaki mendekat ke arah Indra. Dia menoleh dari balik bahu, kemudian secangkir kopi disodorkan kepadanya. "Makasih."

Ananta duduk di kursi yang berseberangan dengan Indra. Dia terdiam sambil memandang langit gelap tak berbintang.

"Kamu mau ngomong apa?" Indra membuka percakapan.

Ananta menarik napas dalam-dalam. "Soal Arif."

"Kenapa dia?"

Mata Ananta berpindah menatap kakaknya. "Orangtuanya minta supaya aku sama dia cepet-cepet nikah."

Indra menundukkan kepala, melihat kopi pekat yang belum disesapnya. "Ya udah, nikah aja."

"Mas ...."

"Nanti biar aku ngomong sama Ayah."

"Nggak semudah itu ngomong sama Ayah, Mas. Dia bisa naik pitam kalau Ananta ngelangkahin Mas Indra. Aku pernah nyentil-nyentil dikit, tapi ya ... Mas tahu sendiri Ayah langsung tegas ngejawabnya."

"Kapan sih, rencananya?"

"Kalau Ayah setuju ya secepatnya, Mas."

Indra menyesap kopi buatan adiknya. Dia sendiri juga tidak tahu harus berbicara seperti apa dengan ayahnya agar meloloskan niat baik Ananta. Tidak mungkin juga dia asal nikah dan tidak mungkin juga dia harus jatuh hati dalam waktu yang dekat. Padahal rasa sakit yang ia cecap sudah lama berlalu, tetapi masih terasa baru di hatinya.

"Mas masih belum bisa move on? Udah hampir sepuluh tahun lho, Mas. Segitu cintanya sama dia?"

Indra meletakkan cangkir berukir itu ke atas meja. "Aku udah move on. Bahkan aku juga nggak peduli sama dia."

"Terus kenapa sampai sekarang belum dapat juga?"

"Kamu lama-lama kayak Ayah."

"Mas selalu ngehindar kalau kita bicara seperti ini. Mas mau hidup kayak gini terus?"

"Hidup indah itu nggak dinilai dari punya pasangan atau enggak, Ananta."

"Tapi punya pasangan itu bisa bikin hidup kita berwarna, Mas. Nggak monoton."

"Udah, aku males kalau kamu ngomong kayak gini." Indra bangkit. "Aku akan cari cara buat ngobrol sama Ayah tentang pernikahanmu. Kamu siapin aja. Toh, dia nggak akan nolak kalau persiapan udah matang, apalagi ada persetujuan dari orangtua Arif."

Indra melangkah pergi meninggalkan Ananta begitu saja. Dia paling enggan kalau harus menyangkutpautkan hidupnya mengenai pasangan. Dia sudah cukup tenang hidup seperti ini. Hidup tanpa guncangan di hati sudah cukup baginya. Indra tidak mau jatuh lagi ke kubangan patah hati yang dibentuk oleh cinta.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top