26. Paradoks
Temaram.
Hanya terdengar isak lirih yang sengaja disembunyikan. Catra bergerak sehingga isak itu terhenti sejenak. Pria itu duduk tepekur memandangi punggung istrinya yang tertidur di bankar. Dia tidak tahu harus berbuat seperti apa agar istrinya bisa kembali kepadanya. Malam ini adalah malam terakhir mereka menginap di rumah sakit. Esok atau entah kapan, yang pasti secepatnya ia akan mendengar permintaan Citra. Sebuah permintaan yang sangat sulit untuk ia kabulkan.
"Tolong berhentilah menangis."
Samar, Catra melihat istrinya bergerak, mungkin sedang membersihkan air mata.
"Aku mohon berhentilah. Sudah beberapa hari ini kamu menangis diam-diam. Sudah cukup, Yang."
Citra masih diam dan membelakangi suaminya.
"Kalau kamu memang mencintainya, aku ikhlas, Yang. Aku nggak akan mencegah, aku nggak akan mempersulit. Aku akan mengurus surat perceraian kita."
Suasana menjadi begitu hening.
"Kamu nggak perlu memikirkanku dan merasa bersalah kepadaku. Aku tahu, kebersamaan kita begitu menyakitimu. Aku sadar kalau aku bukan yang terbaik untukmu dan kamu berhak mendapatkan lebih."
Lirih, Catra mendengar Citra menangis.
"Aku begitu mencintaimu, Yang, Selama bertahun-tahun kita bersama aku nggak pernah rela kehilanganmu, bahkan dalam keadaan seperti ini. Manusia mana yang rela kehilangan seseorang yang dicintai."
Catra melepas kacamata.
"Maafkan aku nggak bisa menjadi sosok suami yang kamu inginkan. Maafkan aku yang terlalu banyak berubah setelah pernikahan kita. Ya ...mungkin Indra adalah pria yang tepat untukmu dan bukan aku. Jadi, berhentilah berpikir terlalu rumit yang pada akhirnya semakin menyiksa dirimu. Tapi, aku mencintaimu terlepas dari kamu istriku atau bukan, kamu tetap orang yang kucinta."
Tangis Citra langsung terhenti mendengar kalimat itu. Sebuah kalimat yang membawanya pada kenangan indah, pada dimensi yang lalu.
"Hiduplah bersama Indra."
Tubuh Citra bangkit, matanya menatap sang suami dengan pandangan berbeda. Selama empat tahun menikah dengan Catra, baru kali ini Citra merasakan kehangatan di balik kalimat itu. Kalimat itu tidak mengandung ego, tetapi kalimat itu mengandung cinta.
Catra kebingungan saat Citra berusaha turun, lalu berjalan ke arahnya dan memeluknya. Untuk sesaat Catra tidak mengerti arti dari pelukan Citra. Seiring berjalannya detik waktu, dia tahu dan mengerti bahwa pelukan itu adalah pelukan seseorang untuk kembali.
****
My precious: Mas, aku sudah balik dari rumah sakit. Keadaanku baik-baik aja. Mas nggak perlu menjemputku atau menemuiku lagi.
My Precious: Tidak ada yang mudah untuk mengakhiri hubungan yang begitu dalam. Tidak ada yang mudah untuk melupakan perasaan indah yang pernah kita lewati. Tapi, aku yakin mas pasti ngerti.
My Precious: Maafkan aku, Mas. Berlari kepadamu adalah egoku, tapi kembali kepada Catra adalah cinta. Aku akan merawat anak kita dengan baik, Mas, terlepas dari janji Catra kepadaku.
My Precious: Terima kasih sudah memberi kehangatan untukku dan aku pasti mengingatmu karena buahmu selalu bersamaku.
Indra tertegun membaca rentetan pesan dari Citra pagi ini. Apakah ini mimpi?
Beberapa detik kemudian dia tertawa. Pasti ini mimpi, tapi kenapa begitu nyata?
Indra terus tertawa hingga tubuhnya jatuh di atas ranjang.
Dia seperti melihat dramatisasi kehidupan yang penuh kekonyolan sehingga tidak bisa membedakan mana tawa dan tangis.
Tidak ada air mata yang menetes, bahkan tawa pun tak ada bedanya dengan tangis.
Sekali lagi, dia terjatuh pada kubangan yang disebut patah hati.
***
Terima kasih untuk informasinya, meskipun terlambat, tapi aku masih bisa memperbaikinya.
anonim
Terima kasih juga karena kamu sudah meyakinkan istrimu. Kerja sama kita berjalan dengan baik.
Karina menutup laptop, lalu membuka layar ponsel, dan melihat beberapa foto Citra dengan Indra. Hatinya mendidih melihat kemesraan itu. Satu per satu jemarinya menghapus deretan foto itu. Inilah saatnya dia memasuki Indra. Dia akan mendapatkan Indra kembali dan tak akan melepaskannya lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top