25. Arti Sebuah Pernikahan
My Preciuos: Aku butuh kamu, Mas, tapi aku nggak enak dengan suamiku.
My Precious: Satu jam aja, Mas. Catra balik ke rumah ambil baju. Kita nggak bisa lama-lama.
Indra memasukkan ponselnya ke kantong celana, lalu keluar dari mobil. Dia harus bisa menjaga hati Citra hanya untuknya. Waktu seminggu terasa begitu lama baginya. Sudah tiga hari ini Citra menjalani rawat inap, kondisi asma, dan hamil muda, memaksa kekasihnya itu untuk istirahat penuh selama satu minggu. Dia sebagai ayah dari bayi di rahim Citra tidak bisa tenang. Sebisa mungkin dia menemui Citra, walaupun hanya sebentar karena Catra terus menjadi penghalangnya.
Wajah Indra melembut saat melihat Citra tersenyum ke arahnya. Wanita itu duduk di atas bankar dengan selang oksigen yang menempel. Dia menghampiri kekasihnya, lalu memeluk tubuh itu dengan penuh kasih sayang. Mereka berpelukan begitu lama, menikmati aroma tubuh masing-masing.
"Aku butuh kamu, Mas." Bagi Citra, berada di pelukan Indra mengalahkan kenyamanan selang oksigen yang menempel di hidungnya.
Indra merasa begitu hangat mendengar ucapan itu. Dia seperti mempunyai arti di dalam hidup. Hanya Citra yang selalu mengucapkan kata itu. Pelukan mereka terurai, tangan Indra membelai lembut rambut Citra, lalu beralih mengelus perut kekasihnya.
"Bagaimana kabarnya?"
Citra tersenyum. "Masih susah masuk makanan, Mas."
Indra duduk di tepi bankar. "Aku udah siapin kebutuhanmu di rumah."
Mata Citra kembali kosong. Entah mengapa dia merasakan sebuah ketidaksiapan.
"Cit, aku nggak mau kamu berubah pikiran. Aku mencintaimu. Apa yang kamu ragukan lagi, Cit?"
"Mas masih ingat dengan ucapanku mengenai pernikahan?"
"Kamu ragu denganku? Atau kamu ragu dengan dirimu?"
Citra menundukkan kepala. "Dua-duanya."
Tangan Indra mengelus pipi itu. "Nggak ada yang perlu kamu ragukan dariku, Cit. Bagiku, cinta tetap cinta. Aku sendiri juga nggak tahu jawaban apa yang tepat, tapi aku akan selalu berusaha menjaga cinta itu tetap ada di hatimu. Kamu tahu aku bagaimana, kamu tahu ketika aku berucap pasti aku tepati." Indra menangkup tangan Citra. "Cit, aku akan memelihara semua itu hingga kamu nggak meragukan dirimu sendiri."
Citra menatap Indra begitu dalam. Pria tampan berwajah lembut ini selalu membuatnya merasa hangat.
"Segera putuskan."
Keputusan, kata-kata itu membawa Citra pada banyak kondisi dan kemungkinan yang seolah menantangnya.
"Aku akan ngomong sama Catra sepulang dari rumah sakit," ucap Citra.
Bibir Indra mengembangkan senyum dengan sempurna. Dia merasakan kedamaian yang luar biasa. Ucapan Citra memberinya harapan akan kehidupan baru yang indah. Dia seperti di awang-awang yang tak pernah ia jangkau sebelumnya.
Catra melihat pemilik punggung itu menangkup tubuh istrinya dengan penuh kelembutan. Dia mengerti betul bagaimana hati bila saling tertaut. Istrinya telah menautkan hatinya pada pria yang baru dikenal, melepaskan tautan yang ia pasang selama bertahun-tahun. Tak ada lagi arti kehadirannya di mata istrinya. Dua insan itu tak akan terpisahkan.
***
Malam ini, Indra menghabiskan satu bungkus rokok. Dia tidak akan bisa tenang tanpa kehadiran Citra di sampingnya. Malam ini, Indra memutuskan untuk mengunjungi ayahnya. Sebenarnya dia enggan, tetapi dia butuh Ananta mendengar segala keluh kesah. Sayangnya, adiknya itu pulang malam karena harus mempersiapkan pernikahan yang dilaksanakan sebulan lagi.
Cangkir kopi kedua itu menambah lengkap malam Indra. Dia tengah duduk di balkon, menatap langit malam sambil memutar lagu-lagu kesukaannya. Musik, rokok, dan kopi sekarang bukan menjadi perpaduan yang sempurna untuk mengusir kegundahannya.
Citra telah menjadi candunya.
Citra telah menjadi rumahnya.
Dan Citra akan menjadi jalan pulangnya.
"Mas Indra?"
Indra menoleh dan mendapati Ananta berjalan ke arahnya. Kini, Ananta telah duduk di sebelahnya dan melepas jilbab panjang yang dipakai.
"Aku nggak nyadar kalau kamu udah datang."
"Padahal di balkon, masa nggak lihat mobil Arif masuk halaman rumah."
Indra tersenyum, lalu mengisap rokoknya sekali lagi.
"Tumben ke rumah Ayah? Jarang-jarang."
"Lagi males sendirian."
"Ananta bantu cariin, ya?"
Indra menatap adiknya. "Pasti ngenalin sama yang alim-alim. Tahu sendiri aku kayak gimana."
Ananta berdecak. "Mas nggak nerusin sama itu, kan?" Dia tidak mau menyebut nama Citra, takut kalau Panca mendengar obrolan mereka, ya walaupun lelaki tua itu tidak mungkin ke lantai dua.
Indra mematikan rokoknya. "Masih."
"Serius, Mas?"
Indra mengangguk. "Kapan aku nggak serius?"
"Mas dia—"
"Istri orang. Aku tahu itu." Indra berdesis. "Aku pengen cerita sama kamu."
"Apa?"
Indra terdiam sejenak. "Aku akan menikahinya."
Mata Ananta membulat. "Mas bikin dia cerai, ya? Dosa tahu, Mas!" Tangannya memukul lengan Indra.
"Bukan cuma itu."
Ananta masih menunggu dengan rasa penasaran.
"Dia mengandung anakku."
Ananta menutup mulutnya. Jantungnya seperti lepas. "Mas Indra gila! Mas hamilin istri orang!"
"Psst!"
Ananta berdiri dan menutup pintu balkon, meminimalisir agar tidak satu orang pun mendengar. Tangan Ananta langsung memukul-mukul lengan Indra. "Mas Indra nggak punya otak, ya!"
"Apaan, sih?!" Indra mengelus lengannya.
"Mas, aku sesama wanita aja kesel. Mas kok segitu teganya? Mas nggak menghargai wanita! Beneran, deh! Coba pikir kalau Ananta yang digituin!"
"Itu beda, Ananta!"
"Beda? Sama aja, Mas. Ya Allah, astaghfitullah, Mas." Mata Ananta seketika berair, tangannya gemetar tak keruan. "Bener feeling aku. Ananta udah bilangin jangan macem-macem. Ingat Allah. Salat yang rajin!"
"Nggak ada hubungannya!"
"Ada, Mas. Selama ini Mas nggak ingat Allah, makanya nggak takut sama dosa!"
Indra mengorek telinga. Dia nggak menyangka reaksi Ananta akan seperti ini. Niatnya untuk bercerita dan membuang gelisah, malah semakin disudutkan.
"Coba bayangin perasaan suaminya kayak gimana kalau tahu itu bukan anaknya?"
"Dia bakalan cerai sama suaminya."
Ananta memasang wajah gemas. "Terus?"
"Ya aku nikahin dialah."
"Haduh!" Ananta nggak menyangka kalau tingkah kakaknya benar-benar kelewatan. "Mas, pernikahan itu bukan sebuah permainan. Pernikahan itu perjalanan panjang tanpa jalan keluar. Mas memaksa dia mencari jalan keluar, tapi Mas nggak sadar kalau pernikahan itu nggak ada jalan keluar, yang ada mempertahankan pernikahan"
Indra terdiam. Mendengar itu Indra teringat Catra yang berusaha mempertahankan.
"Mas, pernikahan itu bukan permainan yang asal cerai lalu kawin lagi. Pernikanan itu perjalanan panjang, pernikahan itu rumah. Memang ada rintangan, tetapi semua itu bisa diatasi jika ada satu rasa yang ingin mempertahankan. Mas yakin, dia bakal bahagia sama Mas?"
Indra hanya terdiam, tak bisa berkata-kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top