24. Porak-Poranda

"Mana tangamu, Yang!"

"Mau ngapaian"

Catra menunjukkan spidol boardmaker.

"Enggak mau. Tanganku pasti dicoret-coret."

Catra membuka tutup spidol itu. "Kalau gitu ... aku coret-coret wajah kamu." Dia meraih waja Citra, tetapi wanita itu berusaha memberontak. Tawa mengurai dari bibir mereka, saling tarik, dan saling gelitik.

"Ampun, Yang. Ampun."

Catra berhasil mengurung tubuh Citra dalam pelukan. "Cuma pinjem tangan aja."

"Nggak mau, Yang."

"Nanti aku bersihin."

"Bener?"

"Janji."

Citra mengulurkan jemarinya dengan tatapan curiga. Senyuman Catra mengembang, dia memilih jari manis, lalu menggambar dia garis horizontal di jari itu.

"Aku bisa bermain sulap."

"Gombal! Emang jadi apa garis kayak gitu?"

Catra tersenyum miring. "Tutup mata dulu."

"Mencurigakan."

"Tutup mata dulu."

"Awas macam-macam!" Citra menutup mata setelah Catra menggeleng. Catra menghitung sebanyak tiga kali, lalu menyuruh Citra membuka mata.

Lelaki itu tersenyum dengan sebuah cincin teracung. "Will you marry me?"

Kilasan masa lalu itu mencabik-cabik hati Catra. Hubungan mereka dahulu berjalan begitu mulus, tetapi sekarang rintangan itu begitu besar di hadapannya. Mata Catra memandangi istrinya yang tengah tergolek lemas di atas bankar. Selang infus memanjang tertancap di tangan kiri istrinya. Selang oksigen masuk ke lubang hidung wanita berambut tebal itu. Semalam hingga pagi ini, Catra tidak tidur sama sekali. Dia menunggu istrinya siuman dengan hati yang kacau balau.

Matanya beralih ke ponsel Citra yang bergetar, hatinya begitu sakit melihat pesan singkat yang muncul itu. Oh Tuhan, Catra tidak tahu harus bagaimana. Ponsel yang tergeletak di sofa itu bergetar tanpa nada dering. Amarah dan kecewa berkecamuk hebat dalam kepala dan hatinya.

Catra menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Dia mengangkat panggilan itu. "Halo."

Suara Indra menguar dari ujung sana. Catra mencoba untuk setenang mungkin.

"Dia ada di rumah sakit. Kamu bisa ke sini, menemui suaminya terlebih dahulu."

Catra menatap ponsel itu cukup lama hingga tak sadar Citra telah bangun. Kepala pria itu terangkat ketika mendengar suara isak yang lirih. Catra mengembuskan napas kasar, dia bangkit dari sofa dan berdiri di hadapan istrinya. Citra hanya mengeluarkan air mata tanpa bisa berkata-kata.

Tangan Catra terulur, membelai rambut itu. "Istirahat aja dulu."

Tangis Citra semakin menjadi. "Maafin aku, Yang ... maafin aku ...."

Catra menggeleng, lalu menggenggam tangan istrinya. "Aku yang minta maaf. Aku benar-benar terlambat."

"Aku nggak tahu kalau akan berakhir seperti ini ...."

"Kamu tahu, beberapa minggu yang lalu aku sering dapat email tak dikenal. Aku mendapat email ini setelah pengajuan cutiku. Aku seperti punya firasat yang tepat. Aku pikir ini belum terlambat, tapi ternyata ...."

Catra membuka layar ponsel dan memilih galeri, lalu memunculkan beberapa foto. Tenggorokan Citra langsung tercekat ketika fotonya dengan Indra ada di dalam sana. Sebuah foto ketika mereka berkunjung di hotel, di penginapan, dan di rumah Indra.

"Awalnya, aku ingin marah, tapi aku yakin kalau istriku nggak seperti ini."

Citra kembali menangis.

Kaki Catra melemas, dia langsung melorot. "Aku benar-benar bodoh. Aku suami yang nggak becus. Seharusnya aku menuruti keinginanmu untuk tinggal bersamaku. Aku terlambat, benar-benar terlambat! Rumah tanggaku hancur!" Tangannya meremas tepi bankar. "Aku ... aku ... aku yang salah."

Citra menangis tergugu. "Kamu nggak salah. Aku yang salah. Aku yang mengkhianatimu."

Catra tak sanggup berucap. Keterangan dokter yang menyatakan janin tumbuh di rahim istrinya sanggup membuat Catra benar-benar hancur.

***

Indra yang masih memakai kaus oblong dan celana pendek itu berlarian di dalam rumah sakit, mencari kamar inap Citra. Matanya dengan cermat meliha-milah ruangan dan nomor, lalu sampailah ia di depan kamar VIP yang masih tertutup rapat. Tanpa tedeng aling-aling dia membuka pintu dan menemukan Citra tengah disuapi oleh suaminya.

"Cit, kamu nggak apa-apa?" Dia merangsek masuk, tetapi Citra langsung membuang muka. Sikap Citra membuatnya tersadar akan kehadiran Catra.

"Tolong jangan sentuh istriku."

Indra mengangkat kepala angkuh. "Aku nggak mau kita berselisih di hadapan Citra."

Catra meletakkan sendok. "Ayo keluar." Dia melangkah terlebih dahulu.

Indra melihat Citra yang begitu pucat. "Kamu yang tenang."

Citra hanya bisa mengangguk dan menahan air mata yang meluruh. Pintu kamar inapnya tertutup rapat. Mereka meninggalkan Citra sendirian di dalam kamar. Citra menegakkan duduknya, lalu mengusap wajah. Dia teringat ucapan Catra beberapa menit yang lalu. Ucapan yang semakin membuatnya merasa bersalah.

"Aku marah dengan semua ini. Tapi, aku nggak sepenuhnya menyalahkanmu. Di sini kita berdua salah dan aku sebagai kepala keluarga tidak bisa mendidik istriku dengan baik." Catra mengusap cincin pernikahan di jari manis Citra. "Kembalilah kepadaku. Kita perbaiki ini semua. Kita mulai dari nol. Apa pun yang kamu minta dan ucapkan akan aku pertimbangkan. Yang, aku nggak rela harus kehilangan kamu."

"Tapi ... Yang, anak ini?"

Catra tersenyum, lalu beralih mengusap perut Citra. "Kamu istriku, berarti ini anakku. Aku tidak peduli anak ini berasal dari siapa. Dia tetap anakku. Aku yang akan bertanggung jawab."

Citra menggigit bibir. Dia ragu dengan ucapan Catra. "Ini adalah titik balikku sebagai manusia."

Sedangkan di luar ruangan, Indra mengikuti langkah Catra yang menuju ke halaman depan rumah sakit. Dia berhenti di depan bangku besi, di depan taman. Dia menatap Catra tanpa gentar, Indra merasa dia harus membantu Citra mengakhiri ini semua sekarang juga.

"Tinggalkan Citra."

"Maaf, kamu nggak punya hak untuk itu."

Indra mendengkus. "Aku sekarang punya hak untuk itu. Citra mencintaiku dan dia mengandung anakku."

Tangan Catra mengepal. "Dia masih istriku. Apa kamu yakin kalau yang dilakukan Citra berdasarkan hati? Atau itu cuma pelariannya aja?"

Perkataan Catra membuat Indra sedikit meragu. "Lalu bagaimana kamu bisa menerima istrimu yang mengandung anak dari orang lain? Mampukah kamu menahan amarah yang nggak pernah bisa dikontrol?"

"Kamu nggak perlu khawatirkan itu."

"Tentu aku khawatir. Aku nggak mau Citra terus sakit hati dengan tempramenmu, dengan sikap egoismu. Ingat, dia wanita yang baik. Dia wanita yang penurut. Kamu ... tidak pernah menghargainya!"

Rahang Catra mengeras. Dia ingin sekali memukul Indra. Dia ingin sekali memuntahkan amarahnya. Membayangkan pria ini menyentuh tubuh istrinya membuat Catra ingin menusukkan pisau. Akan tetapi, itu bukan penyelesaian yang baik.

"Aku nggak akan melepaskan Citra. Dia tetap istriku dan anaknya adalah anakku."

"Ingat, dia mengandung darah dagingku."

"Baik, kita buktikan, dia memilih siapa?"

"Dengan keadannya yang seperti ini kamu masih memaksa dia untuk berpikir?"

"Lalu harus dengan keadaan yang seperti apa? Dia harus tetap memilih. Citra harus rawat inap selama seminggu. Dalam kurun waktu itu, kita buktikan dia memilih siapa."

Indra mendengkus, lalu melenggang pergi menuju kamar inap Citra.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top