22. Perubahan

Mata bulat itu membuka dengan sempurna saat sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Tangannya meraih ponsel yang sedang di-charge di atas nakas.

Bos: Pagi :)

Citra langsung bangkit dan menghapus satu baris chat itu. Dia tidak mau ketahuan. Tubuhnya berbalik dan tidak mendapati Catra di sana. Ke mana keberadaan suaminya? Semalam Citra benar-benar menjadi pembohong sepenuhnya. Dia mengucapkan ribuan rindu dan memeluk suaminya dengan erat, seolah-olah dia merindukannya. Padahal, hatinya tak keruan mendapati Catra pulang tanpa pemberitahuan dahulu. Lebih parahnya lagi, dia menolak permintaan Catra untuk bercinta dengannya. Dia masih belum siap dengan kedatangan suaminya.

Citra bangkit dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar. Betapa terkejutnya Citra saat mencium bau masakan. Kakinya melangkah menuju dapur dan mendapati Catra memasak sesuatu. Citra termenung dan memperhatikan suaminya memasak.

"Pagi, Sayang," sapanya sambil menggoreng sesuatu. "Aku masak nasi goreng. Nanti cicipin, ya. Ini menu makananku pas lagi di Irian Jaya kalau lagi males keluar pagi-pagi.

Ini tidak seperti biasanya.

Catra memutar tubuh, lalu tersenyum. "Mandi dulu, gih. Habis itu makan, terus aku anterin kerja."

Citra mengangguk tanpa berkata-kata. Dia meletakkan ponsel di atas meja dapur, lalu masuk ke kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Catra masih sibuk dengan nasi goreng yang hampir tercampur dengan sempurna. Telor dan tempe goreng tersaji di atas meja. Hari ini Catra akan menyenangkan Citra dan mulai hari ini dia akan berubah untuk istrinya. Catra merasa sikapnya selama ini tidak baik untuk diteruskan. Egonya harus diturunkan.

Saat Catra menletakkan nasi goreng ke atas piring, ponsel Citra berdering. Nama Bos terlihat di layar tipis itu. Catra meletakkan menghentikan kegiatannya dan mengangkat panggilan itu.

"Iya, waalaikumsalam," jawabnya.

Suara di seberang sana terdengar begitu hening.

"Maaf, Pak. Ini dengan suaminya. Ada pesan yang perlu disampaikan untuk Citra?" Terdengar suara tersendat-sendat dari seberang sana, tetapi Catra berusaha mengerti maksudnya. "Baik, Pak. Nanti saya sampaikan. Waalaikumsalam."

Terdengar pintu kamar mandi terbuka, Citra hampir mati saat melihat Catra memegang ponselnya. "A-ada apa, Yang?"

"Oh, Bos kamu telepon katanya dokumennya udah diletakkan di atas mejamu. Dia juga nggak ngantor hari ini." Catra meletakkan ponsel itu, lalu kembali memindah nasi goreng. "Ayo kita sarapan dulu."

Dengan dada yang berdebar, Citra duduk dan melihat Catra meletakkan sepiring nasi goreng dengan senyuman. "Nggak usah heran begitu."

Citra terenyum kaku. Suaminya sudah duduk di hadapannya.

"Aku pengen berubah, Yang."

"Maksudnya?"

Catra meraih tangan Citra, lalu menggenggamnya. "Baiklah, aku akan buat pengakuan dosa."

"Apa, sih?!"

Catra tergelak. "Aku kangen masa-masa kita pacaran dulu. Aku tahu selama kita menikah aku terlalu fokus dengan pekerjaan padahal aku sudah mendapatkan kebahagiaan itu, yaitu kamu, Yang."

Citra mengelus tengkuk. Entah kenapa Citra yang merasa bersalah. Dia ketakutan setengah mati.

"Aku akan memperhatikanmu sepenuhnya. Aku ingin selalu bersamamu. Aku ingin menjadi pria romantis seperti saat kita SMA dulu dan satu lagi, aku ingin kamu keluar dari pekerjaanmu."

Citra melepaskan genggaman itu. "Lalu aku nggak ngapa-ngapain seperti beberapa bulan yang lalu?"

Catra menggeser kursi, lalu merangkul bahu istrinya. "Kamu ikut aku bekerja di sana. Rumah ini kita kontrakkan. Aku nggak masalah kalau rumah ini harus bobrok karena dikontrak. Aku hanya nggak mau rumah tangga kita yang bobrok."

Citra merasa tersentil dengan ucapan itu, tetapi dia tidak bisa berkata-kata.

"Aku sengaja meminta cuti selama satu bulan ini untuk menyelesaikan semua urusan kita. Termasuk dengan pekerjaanmu."

"Tapi, aku baru aja bekerja, Yang. Aku nggak tahu harus ngomong apa sama bosku."

Catra tersenyum dengan lembut. "Kamu punya aku."

Lagi, Citra dibuat terkejut oleh sikap Catra. Tidak biasanya suaminya bersikap seperti ini. Suaminya selalu maksanya untuk melakukan apa pun sendiri. Dia semakin takut kalau suaminya mengetahui hubungan terlarangnya dengan Indra.

"Ayo dimakan."

Citra menurut dan mulai menyendokkan nasi goreng. Baru saja mulutnya menyentuh nasi goreng, perutnya bergejolak tak keruan, tenggorokannya seolah-olah ingin mengeluarkan sesuatu. Tanpa berkata-kata, Citra lari ke kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya yang masih kosong.

***

Sepanjang pertemuannya dengan pelanggan, konsentrasi Indra terpecah. Otaknya memikirkan Citra, lebih tepatnya pulangnya suami Citra yang begitu mendadak. Melalui info yang diberi Citra, suami Citra akan pulang bulan depan dan bulan depan dia akan mempersiapkan diri untuk membantu Citra mengakhiri pernikahan itu. Akan tetapi, semua perkiraan itu meleset. Suami Citra pulang lebih cepat dan tanpa kabar. Indra hanya takut kalau suami Citra mengetahui hubungan ini dan memarahi Citra habis-habisan.

Kekasihnya itu tidak bisa dihubungi sejak pagi hingga siang, bahkan tidak meminta izin untuk tidak masuk. Lalu, di manakah Citra berada? Indra semakin kalut dibuatnya. Setelah pertemuan dengan pelanggan, dia langsung menancap gas ke kantor. Dia ingin memastikan Citra ada di sana. Jika kekasihnya itu tidak ada di sana, dia akan datang ke rumah Citra dan membawanya kabur. Persetan dengan hubungan yang terikat janji suci itu. Indra tidak mau Citra tersakiti.

Dengan langkah lebar, Indra memasuki ruangan. Dia tidak mendapati Citra di ruang tengah. Indra melangkah ke dapur, tetapi Citra juga tidak ada. Samar, dia mendengar suara Citra muntah di kamar mandi. Indra semakin dibuat panik melihat kekasihnya berjongkok di depan closet.

"Astagfirullah." Dia langsung masuk dan mengurut leher bagian belakang Citra. Wanita itu hanya diam sambil memuntahkan isi perutnya. Setelah melihat Citra berhenti muntah, Indra menekan tombol flush. Dia membantu Citra berdiri dan membawa wanita itu ke kamarnya. Citra duduk bersandar di sandaran kasur.

"Aku buatin teh anget, ya."

Citra hanya terdiam sambil memejamkan mata. Seharian ini dia dihajar dengan perut yang selalu memberontak hingga tubuhnya lemas. Tidak lama kemudian Indra masuk sambil membawa secangkir teh. Citra perlahan meminum teh hangat itu.

"Minum lagi, Cit.'

"Kalau aku minum lagi malah muntah, Mas."

"Kamu nggak sarapan? Aku beliin makanan, ya?"

Citra menggeleng. "Nggak bisa makan, Mas. Muntah terus."

"Kalau gitu kita ke dokter."

"Mending minum obat mag, Mas."

"Ayo kita ke dokter. Suamimu emang nggak bisa urus kamu."

"Mas, aku tadi udah ditawari Catra ke dokter, tapi aku yang nggak mau."

"Terus dia nurut gitu aja?"

"Aku alasan ada kerjaan yang harus selesai."

"Di sini ada klinik, kita ke sana sebentar."

"Tapi, Mas ...."

"Ayo sama aku."

Citra tersenyum tipis dan menuruti Indra tanpa beragumen lagi setelah mendengar kata terakhir itu. Sebuah kata yang seperti mantra bagi Citra.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top